Sumur

Cerpen Muna Masyari (Republika, 23 Oktober 2011)
SUDAH menginjak lima bulan lamanya matahari berpesta. Merayakan kemenangan atas pohon-pohon, tanah, kali, dan sungai. Daun-daun meranggas. Berguguran. Retak-retak tanah mengular. Pohon-pohon tembakau di sawah yang belum sempat dirobohkan berdiri kaku. Pohon kapuk berjajar gundul di sisi jalan kampung. Tinggal kapuknya yang berjatuhan dan bergelantungan dengan kulit mengering. Terkuak. Isinya menyembul, sebagian mulai tertiup angin. Bebatuan di dasar sungai teronggok diam menyaksikan pesta kemarau yang tak kunjung usai.
Sumur-sumur warga sudah kekeringan sejak sebulan yang lalu. Air bersih menjadi barang paling langka, sementara kebutuhan tidak bisa ditunda. Hanya sumur tua milik Bu Muniah yang menjadi rebutan warga kampung untuk memenuhi kebutuhan memasak, mandi, dan mencuci setiap hari.
Sumur yang dikelilingi rerimbun bambu duri itu terletak di belakang dapur Bu Muniah, berdekatan dengan kali pembatas antara dua kampung yang sama-sama dilanda krisis air bersih. Warga kampung sebelah harus melintasi area pemakaman dan melangkahi kali selebar satu setengah meter untuk mengambil air di sumur Bu Muniah. Rakitan bambu melintang di atas kali guna memudahkan penyeberangan.
Sepanjang hari sumur Bu Muniah tak pernah sepi. Sebelum subuh, ibu-ibu sudah berdatangan menjinjing dan menyunggi tembah [1]. Rambutnya digelung sembarangan. Meski tanpa penerang, tidak lantas membuat mereka takut kakinya dililiti ular. Padahal, jalan setapak menuju sumur dipenuhi reruntuhan daun bambu kering yang berserak setinggi mata kaki.
Langkah mereka bersegera sebelum air habis. Ada yang bolak-balik hingga empat kali untuk mengisi gentong dapur sebagai bahan menanak dan minum.
Begitu azan selesai berkumandang di masjid dan berlanjut ke bacaan shalawat dari muazin yang menunggu makmum rampung, giliran bapak-bapak yang mendatangi sumur. Sarung diselempangkan di bahu. Baju dan pecinya ditenteng. Mereka mengambil wudhu bergantian. Sementara baju dan pecinya disandangkan ke carang [2]. Pinggir sumur yang terdiri atas susunan bata berlumut dikelilingi para penimba. Ada yang menunggu giliran sambil duduk-duduk menghisap rokok. Hanya satu-dua kata mereka berbincang, saling tegur sapa. Selebihnya, justru dipenuhi kecipak dan suara jatuhnya air memecah pagi. Begitu selesai, mereka langsung menuju satu-satunya masjid tua di tengah kampung.
Setelah fajar merayap dan selesai memasak, para ibu kembali bergegas mendatangi sumur dengan membawa setumpuk baju kotor. Takut keduluan yang lain. Khawatir tidak kebagian air. Maklum, menjelang Zhuhur, biasanya air akan terkuras habis. Maka, mau tidak mau, yang belum kebagian harus sabar mengantre.
Anak-anak kecil bertelanjang dada membuntuti ibunya dengan menenteng timba yang sudah berikat tambang. Sambil mencuci, para ibu itu tak henti berbincang mengenai segala hal. Mulai dari murahnya harga garam, hingga mahalnya harga tembakau tahun ini.
“Tembakaunya Pak Ruham terjual 50 ribu. Yang terakhir saja sebanyak 8 bal. Tidak heran ia mampu memperbaiki rumahnya dan membangun langgar.” Kata Bu Hasan sambil mengucek baju cuciannya.
“Iya. Pak Sadili kemarin juga membeli honda [3],” timpal Bu Mar, sesekali mencubit lengan anaknya yang sibuk memain-mainkan busa sabun di bak cucian.
“Tahun ini tembakau memang menguntungkan,” sela Pak Saudi yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Bu Mar. Memikul Tembah pekol [4], hendak mengambil air untuk keperluan lolo [5]. Sudah tiga hari ia bekerja di rumah Pak Ruham yang sedang merenovasi rumah.
Para ibu yang duduk rapat terdesak bak cuci, saling pandang sebentar. Tidak ada yang menggeser untuk memberi jalan pada Pak Saudi.
“Bukankah dilarang menimba air sumur ini kalau hanya digunakan sebagai bahan bangunan.” Bu Mar memberanikan diri.
“Kata siapa?” Pak Saudi balik bertanya.
“Bu Muniah kemarin yang bilang, karena waktu mau ngambil air kebetulan sumurnya sedang terkuras. Tinggal air dasar yang sangat kotor,” jawab Bu Hasan.
“Iya, kemarin Bu Muniah marah-marah. Mau mengambil air minum, yang ada malah keruh. Kenapa Pak Ruham tidak mendatangkan tangki saja sih? Air ini hanya cukup untuk masak, mandi, dan mencuci.” Sambung yang lain.
Wah, saya kurang tahu. Saya kan hanya pekerja. Ya sudah, kalau demikian, saya bilang saja pada Pak Ruham.”
Pak Saudi kembali dengan timba kosong. Baru lima belas menit dari kepergian Pak Saudi, Bu Ruham datang tergopoh-gopoh. Tubuhnya menyembul di antara pohon kamboja yang merindangi pamakaman, sambil menyingsing sarung setinggi lutut. Langkahnya lebar, tanpa sandal. Kebaya depannya hanya dijepit satu peniti, hingga kutang dan perut bagian atas sedikit terlihat.
“Siapa yang melarang mengambil air di sini?” Tanya Bu Ruham. Matanya mancelak [6]. Kerut wajahnya semakin jelas.
Ibu-ibu yang sedang mencuci menghentikan kucekannya. Tak segera menjawab. Mereka tahu betul watak Bu Ruham. Siapa pun akan berpikir sekian ulang kalau mau berurusan dengannya. Bisa runyam.
“Siapa yang melarang?” Ulang Bu Ruham, meninggikan suara.
“Bu Muniah kemarin.” Jawab Bu Hasan, bernada cemas. Ia yakin sebentar lagi akan terjadi cekcok besar.
Sambil menggerutu kesal, Bu Ruham berbalik pergi dengan langkah lebar. Menyingsing sarungnya setinggi lutut.
“Bakal rebut!” Ujar Bu Hasan. Diiyakan yang lain.
Benar saja. Di rumah Bu Muniah, perang mulut tak bisa dihindari. Bu Ruham mencak-mencak mempersoalkan larangan Bu Muniah pada pekerjanya yang hendak menimba air.
“Itu sumur umum. Ibu tidak berhak melarang siapa pun mengambil air di sana.” Telunjuk Bu Ruham ditudingkan ke wajah Bu Muniah.
“Siapa bilang itu sumur umum? Sumur itu terletak di tanahku. Sesepuhku yang menggalinya dulu. Jadi, aku berhak melarang siapa pun yang aku mau. Termasuk Ibu! Cari saja sumur di desa Ibu kalau mau bangun rumah, jangan di sini!” Balas Bu Muniah, tak kalah sengit.
“Kalau begitu, tanah di makam itu juga tanah sesepuhku. Aku berhak mengusir siapa pun yang dimakamkan di sana, termasuk keluarga Ibu atau keluarga desa ini!” Sambil menunjuk area pemakaman yang terletak di sebelah kali, masuk kawasan kampung sebelah.
Dada Bu Muniah menggemuruh. Area pemakaman itu memang tanah yang diwakafkan bangaseppo keluarga Bu Ruham. Pemakaman yang menjadi rujukan orang meninggal kedua kampung.
“Pindahkan saja makam keluargamu dari tanahku!”
“O, jadi seperti itu? Baik! Jangan ada lagi orang di kampungmu yang mengambil air ke sini!” Bu Muniah tak mau kalah.
Pagi itu juga, Bu Muniah memanggil Dulla, anak satu-satunya yang sedang mengumpulkan bunga tembakau di sawah.
“La, pulang! Kita harus memindahkan makam hari ini juga!” Teriak Bu Muniah dari jalan setapak yang menjadi pambatas dua petak sawah.
“Memindahkan makam bagaimana, Bu?” Dahi Dulla mengerut. Tangannya dimiringkan di dahi untuk menghalau serbuan panas matahari yang mengganggu ketajaman pandangannya. Matanya nyaris terpejam.
“Ya, memindahkan makam. Sudah, ayo pulang! Nanti aku jelaskan.”
Dulla menurut meski belum mengerti. Ia mengikuti langkah Bu Muniah seraya menenteng tas kresek berisi bunga tembakau kering.
***
Akhirnya, pemindahan makam massal pun terjadi. Tidak hanya makam keluarga Bu Muniah yang dipindahkan. Semua tetangga sepakat memindahkan makam keluarga mereka ke tanah milik Bu Muniah yang masih bertanam pohon singkong.
Ada yang membongkar makam. Ada yang mencabut pohon singkong, lalu digali sedalam satu setengah meter sebagai tempat pemindahan jenazah yang sudah meninggal bertahun-tahun lamanya.
Sejak peristiwa itu, Pak Ruham mendatangkan tangki untuk meneruskan pembangunan rumahnya. Karena jalan desa yang masih sempit, terpaksa air ditampung di salah satu rumah familinya yang dekat dengan jalan raya. Pak Saudi harus bolak-balik memikul air ke rumah Pak Ruham sepanjang 500 meter perjalanan.
Tidak ada lagi warga kampung sebelah yang menimba air di sumur Bu Muniah. Pun, tidak ada lagi jenazah di kampung Bu Muniah yang dimakamkan di area pemakaman Bu Ruham. Penyeberangan kali sebagai pelintas antarkampung dirusak.
Dua kampung bersitegang.
Tidak berselang lama dari peristiwa itu, sumur Bu Muniah ikut mengalami kekeringan. Warga resah. Banyak ternak mati karena kurang minum. Baju-baju kotor menumpuk di setiap rumah. Bau-bau badan menyengat kecut. Pohon-pohon semakin meranggas. Tanah-tanah terpanggang. Debu beterbangan.
Sumur Bu Muniah kembali sepi. Hanya suara pohon bambu yang menderit saling bergesekan diembuskan angin. Tumpukan reruntuhan daun bambu di seputar sumur sudah setinggi di atas mata kaki.
Tidak ada lagi ibu-ibu menyunggi timba sebelum subuh. Tak ada lagi yang berduyun-duyun membawa oncor [7] setelah Isya untuk berebut air. Sekarang, yang bisa dilakukan warga hanya menunggu Pak Lurah mendesak pemerintah agar mendatangkan air bersih ke kampung itu.
Untuk sementara waktu, Pak Lurah berupaya membantu kebutuhan air warganya sebagai bahan memasak, minum, dan berwudhu melalui pembelian tangki.
Sementara langit belum mengutus awan untuk berkabar kapan hujan akan turun. Matahari masih menyempurnakan pesta, merayakan kemenangan atas pohon-pohon, tanah, dan sungai yang sudah sekarat. (*)
.
.
Catatan:
[1] tembah: timba
[2] carang: duri-duri bambu
[3] honda: sebutan sepeda motor untuk segala merek oleh orang Madura.
[4] Tembah pekol: timba yang biasa dipakai untuk mengangkut air.
[5] lolo: campuran tanah, semen dan lumpur.
[6] mancelak: membelalak
[7] oncor: obor
 .
.
Penulis lahir di Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Karya-karyanya sempat dimuat di sejumlah media cetak. Masuk 30 besar dalam Lomba Mengarang Cerpen Ber-setting Wisata Probolinggo, FLP Probolinggo Raya. Nominator Lomba Puisi FTD-FLP Riau dan Lomba Puisi Minda Media Group, Pekanbaru. Menjadi kontributor dalam antologi puisi Sesayat Munajat Doa (2011), kumpulan novelet Lafaz Cinta di Ambang Gerhana (2011), kumpulan cerpen Merindu Matahari (2011), dan di sejumlah antologi lainnya.





Source: http://lakonhidup.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar