Sebelum Jauh Melangkah
"Bukan itu maksudku."
"Lantas apa?"
"Aku juga keberatan kalau kamu mesti pergi-pergi terus; Bandung, Surabaya, Bali... sementara kamu biarkan hari-hariku sepi."
"Nes, Nes...." Kugeleng-gelengkan kepala. Rasa penatku belum pulih betul setelah seharian memburu beberapa pemulung untuk diwawancarai perihal keterlibatan mereka dalam dunia yang penuh caci-maki yang seringkali dilontarkan khalayak; tentang kecerobohannya!
Ini memang tugasku sebagai wartawan freelance di seubuah suratkabar ibukota. Sengaja aku tadi menyempatkan menjemputmu sepulang sekolah. Biasanya tidak begitu. Tapi, karena ada sesuatu hal yang harus kusampaikan padamu, Nesia - pacarku setahun ini, mau tak mau aku menjemputmu; seperti kebiasaanku kalau ada perlu yang mendadak.
Hari ini pun begitu. Tadi, sebelum berangkat memburu beberapa pemulung, seniorku menugaskan aku lagi untuk mengupas obyek wisata Lombok. Aku sendiri senang menerima tugas itu. Bukan karena aku akan senang-senang melewati Bali, atau menikmati beberapa obyek wisata dengan gratis. Tapi, karena aku mencintai pekerjaan itu. Dan dengan segenap sukacita, kukabarkan padamu dalam bis kota sepulang sekolah.
"Kamu bilang, kamu senang melihat aku maju. Maksudmu, maju yang bagaimana?"
Kamu memberengut. "Tapi tidak harus dengan pergi-pergi begitu!"
"Nes!" Kutekan suaraku. "Itu resiko, sebagai tugas dan tanggungjawabku. Kamu ngerti, kan?"
"Aku capek kalau mesti menunggumu terus-menerus!" dengusmu, tak peduli.
Aku terperanjat. "Jadi kamu tak mendukung tugasku kali ini?"
Kamu membisu, menatapku dengan bibir terkatup.
***
Berawal dari hobi menulis cerpen di majalah-majalah remaja, aku bisa menunjukkan hasil karyaku padamu. Secara kebetulan, kamu rupanya penggemar berat cerpen-cerpenku. Terbukti di kamarmu, setiap majalah edisi terbaru di mana tulisanku dimuat, kamu selalu dengan setia membelinya.
"Bagus tuh, ceritanya," komentarmu pada salah satu cerpen terbaruku.
"Yang mana?"
"Biarkan Bunga Itu."
"O."
Aku tentu saja senang diperhatikan begitu. Paling tidak, aku telah memiliki seorang penggemar hasil karyaku. Itu jugalah yang membuatku bersemangat membuat cerpen-cerpen yang lebih menarik.
Sementara, di tengah giat-giatnya membuat beberapa cerpen dalam satu bulan, aku terkena kritik olehmu ketika malam itu main ke rumahmu.
"Kok jadi asal-asalan membuat cerpennya?"
"Maksudmu?"
"Cerpenmu yang baru tuh, endingnya klise. Nggak menarik seperti cerpen-cerpen yang terdahulu!"
"Yang mana?"
"Indahnya Sepi."
"O."
Aku menelan ludah, pahit. Ini kenyataan yang harus kuhadapi, pikirku. Ini kritik membangun. Kemudian aku larut dalam diskusi kecil denganmu. Ternyata kamu enak juga diajak bicara. Pengetahuanmu tentang nilai sastra, kendati teramat minim, tapi mantap. Aku tiba-tiba larut dalam diskusi kecil malam itu.
Dan selanjutnya aku benar-benar membutuhkan teman bicara sepertimu. Di kampus, teman-temanku tak ada yang berminat pada masalah sastra; dunia tulis-menulis yang bagiku sudah menjadi sedikit bagian dari hidupku. Tapi ketika tiba di kamar kos, dan sore atau malamnya aku datang ke rumahmu sambil kadang mengajarimu tata bahasa atau memberimu jalan cara-cara men-translate yang baik - aku menemukan kembali duniaku.
Dari rutinas itu, entah siapa yang memulai menebarkan pesona, menebarkan benih-benih cinta di dada, di hati dan di setiap detak langkah kita. Tahu-tahu aku menyadari, tanpamu satu malam saja tak berbincang, kamarku jadi senyap. Aku merasa sepi seorang diri; tanpa senyummu, tanpa cubitan manjamu, tanpa gelak tawamu yang seringkali terdengar syahdu. Aku, tahu-tahu telah jatuh dan terjerembap ke alam lain yang menawarkan geletar rindu.
Aku jatuh cinta padamu! Wahai, bergeletar jugakah buluh-buluh darah di tubuhmu kala kamu dekat di sisiku?
"Ke mana saja sih, Kak? Kok nggak pernah kelihatan?" semburmu saat tiba-tiba aku datang ke rumahmu setelah seminggu tak muncul.
"Sibuk."
"Kerja, ya?"
"Ya. Daripada seusai kuliah nganggur di rumah, kan lebih baik cari kesibukan."
"Bagus begitu. Kan kreatif namanya."
Tepat setelah percakapan malam itu, esok paginya, ketika aku berangkat kuliah dan kamu ke sekolah, kamu memberiku sepucuk surat. Isinya singkat saja:
Kak Ton, aku kagum padamu.
Nesia.
***
"Besok aku berangkat, Nes!"
"Tetap dengan tugasmu?"
Aku mengangguk. "Aku telah terlanjur mencintai pekerjaanku, Nes. Aku ingin maju!"
"Jadi kamu lebih mementingkan Lombok daripada aku? Sejak kapan Lombok lebih menarik dibanding aku?"
"Nes!"
"Pergilah, Kak Ton. Biarkan aku sendiri. Bukankah Kak Ton juga pergi sendiri?"
Aku terhenyak. Begitu tiba-tiba kamu berkata begitu. Selama ini kamu belum pernah melarangku pergi ke tempat-tempat wisata untuk mengupas wisata itu; Surabaya, Bandung, bahkan empat bulan lalu Bali pun telah aku jadikan kenangan-kenangan yang terindah dalam sejarah hidupku. Aku benar-benar terpukau oleh pesona alamnya.
Tapi menjelang keberangkatanku ke Pulau Lombok, di mana aku ditugaskan untuk mengupas pulau wisata yang masih 'perawan' itu, tiba-tiba kamu tak mendukungku sedikit pun!
"Okelah, Nes, kalau begitu. Aku pikir ada perbedaan yang mendasar dalam hal ini. Aku akan tetap menjalankan tugas, dan berangkat besok."
Kamu diam saja, memberengut.
"Aku permisi dulu, Nes."
"Tetap dengan tugasmu?"
Aku mengangguk. "Aku telah terlanjur mencintai pekerjaanku, Nes. Aku ingin maju!"
"Jadi kamu lebih mementingkan Lombok daripada aku? Sejak kapan Lombok lebih menarik dibanding aku?"
"Nes!"
"Pergilah, Kak Ton. Biarkan aku sendiri. Bukankah Kak Ton juga pergi sendiri?"
Aku terhenyak. Begitu tiba-tiba kamu berkata begitu. Selama ini kamu belum pernah melarangku pergi ke tempat-tempat wisata untuk mengupas wisata itu; Surabaya, Bandung, bahkan empat bulan lalu Bali pun telah aku jadikan kenangan-kenangan yang terindah dalam sejarah hidupku. Aku benar-benar terpukau oleh pesona alamnya.
Tapi menjelang keberangkatanku ke Pulau Lombok, di mana aku ditugaskan untuk mengupas pulau wisata yang masih 'perawan' itu, tiba-tiba kamu tak mendukungku sedikit pun!
"Okelah, Nes, kalau begitu. Aku pikir ada perbedaan yang mendasar dalam hal ini. Aku akan tetap menjalankan tugas, dan berangkat besok."
Kamu diam saja, memberengut.
"Aku permisi dulu, Nes."
***
Menyusuri tepian Pantai Gili Aer di senja yang cerah, ditingkahi semilir angin pantai, tiba-tiba kesedihan mengalir di anganku. Barangkali karena aku berjalan seorang diri dalam suasana yang begitu cerah dan indah ini. Lihat saja, matahari merah saga di ujung barat sana. Burung-burung berterbangan; menyambar-nyambar ombak, buih-buih, dan akhirnya melayang ke atas lagi.
Aku jadi larut memikirkanmu, Nes. Padahal sebelumnya ketika aku ke Surabaya, Bandung, dan Bali untuk tujuan serupa - sebelum kamu melontarkan ketidaksetujuanmu, aku tak pernah merasa resah begitu. Setidaknya, aku merasa percaya bahwa kamu, Nes, adalah gadis satu-satunya yang mengerti diriku, profesiku, dan segala yang menyangkut kegiatanku.
Tapi, barangkali pengertian memang tak selamanya berpihak padamu. Aku tahu, gadis seusiamu memiliki kecenderungan emosi yang lebih sarat daripada kendali. Mulanya aku tak pernah menemukan sosok kamu yang begitu. Namun pada akhirnya, seperti yang kuduga sebelumnya, sosok kamu yang sesungguhnya akhirnya kamu tampakkan juga. Aku pikir, ketika kamu mengizinkan aku pergi-pergi dulu, barangkali hanya sebagai rasa pengertian dan basa-basimu belaka. Karena setiap kali kamu bilang 'ya' ketika itu, matamu bicara lain.
Kuhabiskan senja itu dengan hati tak menentu. Ini hari kesepuluh aku menyusuri jejak Pulau Lombok. Sudah hampir semua obyek wisata budaya di sini aku kupas habis. Dari desa Bayan yang masih dengan kuatnya mempertahankan tradisi Sasak masa lalu, sampai keramatnya Pura Lingsar, tempat orang Islam dan penganut Hindu bersembahyang bersama saat Waktu Telu. Hampir semua keragaman budaya Lombok telah kurekam baik-baik dalam ingatan, tulisan dan gambar.
Rasanya tak ingin kutinggalkan Lombok andai aku bersamamu atau setidaknya dengan kesetiaanmu menungguku di rumah. Karena masih ada satu lagi yang belum kutuntaskan; Gunung Rinjani dengan segala pesonanya, dengan Segara Anak-nya yang menempel di dinding Rinjadi pada ketinggian 2400 meter dari permukaan laut. Ah, Nes....
Andai saja kamu mendukungku, atau sedikitnya menyulut api semangatku seperti yang sudah-sudah - kendati barangkali terpaksa, aku pasti akan merangkak tebing Rinjani dengan segenap kemahiran climbing-ku. Tapi perjalananku kali ini tak ubahnya melarikan kekecewaan yang kamu torehkan padaku; dengan hanya tak memberiku dorongan.
Aku jadi tak mengerti kenapa tiba-tiba begitu. Rasanya tak usah kamu sangsikan perihal kesungguhanku padamu, sayangku padamu. Tak usah! Aku cukup mengerti tentang diriku, yang semuanya telah kubeberkan juga padamu sejak mula dulu.
Tapi kalau sudah begini, aku sendiri merasa goyah. Semacam ada kesangsian yang membuatku harus berpikir dua kali. Bagaimana mungkin; sementara aku tengah berjibaku dengan profesi, tiba-tiba saja kamu tak memberiku dorongan. Apalagi kalau aku mesti pergi jauh setiap hari?
Aku termenung sendiri. Ingin sekali kutuntaskan masalah kecil yang membuatku goyah seperti ini.
Sementara senja makin temaram. Ah, esok pagi akan kutinggalkan Lombok dengan seribu harapan....
Aku jadi larut memikirkanmu, Nes. Padahal sebelumnya ketika aku ke Surabaya, Bandung, dan Bali untuk tujuan serupa - sebelum kamu melontarkan ketidaksetujuanmu, aku tak pernah merasa resah begitu. Setidaknya, aku merasa percaya bahwa kamu, Nes, adalah gadis satu-satunya yang mengerti diriku, profesiku, dan segala yang menyangkut kegiatanku.
Tapi, barangkali pengertian memang tak selamanya berpihak padamu. Aku tahu, gadis seusiamu memiliki kecenderungan emosi yang lebih sarat daripada kendali. Mulanya aku tak pernah menemukan sosok kamu yang begitu. Namun pada akhirnya, seperti yang kuduga sebelumnya, sosok kamu yang sesungguhnya akhirnya kamu tampakkan juga. Aku pikir, ketika kamu mengizinkan aku pergi-pergi dulu, barangkali hanya sebagai rasa pengertian dan basa-basimu belaka. Karena setiap kali kamu bilang 'ya' ketika itu, matamu bicara lain.
Kuhabiskan senja itu dengan hati tak menentu. Ini hari kesepuluh aku menyusuri jejak Pulau Lombok. Sudah hampir semua obyek wisata budaya di sini aku kupas habis. Dari desa Bayan yang masih dengan kuatnya mempertahankan tradisi Sasak masa lalu, sampai keramatnya Pura Lingsar, tempat orang Islam dan penganut Hindu bersembahyang bersama saat Waktu Telu. Hampir semua keragaman budaya Lombok telah kurekam baik-baik dalam ingatan, tulisan dan gambar.
Rasanya tak ingin kutinggalkan Lombok andai aku bersamamu atau setidaknya dengan kesetiaanmu menungguku di rumah. Karena masih ada satu lagi yang belum kutuntaskan; Gunung Rinjani dengan segala pesonanya, dengan Segara Anak-nya yang menempel di dinding Rinjadi pada ketinggian 2400 meter dari permukaan laut. Ah, Nes....
Andai saja kamu mendukungku, atau sedikitnya menyulut api semangatku seperti yang sudah-sudah - kendati barangkali terpaksa, aku pasti akan merangkak tebing Rinjani dengan segenap kemahiran climbing-ku. Tapi perjalananku kali ini tak ubahnya melarikan kekecewaan yang kamu torehkan padaku; dengan hanya tak memberiku dorongan.
Aku jadi tak mengerti kenapa tiba-tiba begitu. Rasanya tak usah kamu sangsikan perihal kesungguhanku padamu, sayangku padamu. Tak usah! Aku cukup mengerti tentang diriku, yang semuanya telah kubeberkan juga padamu sejak mula dulu.
Tapi kalau sudah begini, aku sendiri merasa goyah. Semacam ada kesangsian yang membuatku harus berpikir dua kali. Bagaimana mungkin; sementara aku tengah berjibaku dengan profesi, tiba-tiba saja kamu tak memberiku dorongan. Apalagi kalau aku mesti pergi jauh setiap hari?
Aku termenung sendiri. Ingin sekali kutuntaskan masalah kecil yang membuatku goyah seperti ini.
Sementara senja makin temaram. Ah, esok pagi akan kutinggalkan Lombok dengan seribu harapan....
***
Baru saja kubuka pintu kamar kos, kulihat sepucuk surat tergeletak di lantai. Aku tahu, kertas segi empat itu telah melewati kaca nako. Lantas kurobek amplopnya, setelah sebelumnya kuletakkan tas ini di atas velbed.
Kak Ton,
Rasanya Nes nggak bisa terus-menerus begini. Selama ini memang Nes akui, Nes bisa melepas Kak Ton dengan rela - walau kerelaan Nes nggak utuh. Bagaimanapun, Nes tak ingin kalau perhatian Kak Ton jadi berkurang karena tugas-tugas itu. Kalau Kak Ton tahu, betapa Nes sering menangisi kepergian Kak Ton....
Kalau Kak Ton tahu Nes sering mengutuki diri karena kecengangan itu....
Yah, betapa pun Nes sadari, Nes adalah sekian banyak dari Nes-Nes yang merindukan kekasihnya menemani hari libur, pergi nonton, ke ultah teman, atau paling tidak, sebulan sekali menikmati Sabtu malam yang indah....
Kusudahi saja membaca surat itu. Tiba-tiba kusadari betapa jahatnya aku! Selama ini, tepatnya hampir selama setengah tahun terakhir ini setelah aku menjadi wartawan freelance, tak pernah sekali pun kita nikmati suasana yang begitu kamu dambakan. Paling kita hanya ngobrol-ngobrol sebentar. Setelah itu aku sibuk dengan laporan-laporan yang membuat pegal pinggang dan tangan. Ah, alangkah jahatnya aku! Aku terlalu larut dalam kesibukanku. Dan hafal betul karena kamu jadi korban kesibukanku!
Masih dengan keletihan yang sangat, aku menghambur ke rumahmu yang berjarak seratus meter lebih. Ibumu yang membukakan pintu untukku. Aku duduk, setelah ibumu mempersilakan.
"Nesia pergi nonton," kata ibumu ketika aku menayakanmu.
"Dengan siapa?" selaku tak sabar.
"Katanya sih teman sekolahnya."
"Teman cewek, maksud Ibu?"
Perempuan itu menggeleng. "Teman cowok."
Aku terdiam. Tiba-tiba dadaku serasa bergemuruh.
Kak Ton,
Rasanya Nes nggak bisa terus-menerus begini. Selama ini memang Nes akui, Nes bisa melepas Kak Ton dengan rela - walau kerelaan Nes nggak utuh. Bagaimanapun, Nes tak ingin kalau perhatian Kak Ton jadi berkurang karena tugas-tugas itu. Kalau Kak Ton tahu, betapa Nes sering menangisi kepergian Kak Ton....
Kalau Kak Ton tahu Nes sering mengutuki diri karena kecengangan itu....
Yah, betapa pun Nes sadari, Nes adalah sekian banyak dari Nes-Nes yang merindukan kekasihnya menemani hari libur, pergi nonton, ke ultah teman, atau paling tidak, sebulan sekali menikmati Sabtu malam yang indah....
Kusudahi saja membaca surat itu. Tiba-tiba kusadari betapa jahatnya aku! Selama ini, tepatnya hampir selama setengah tahun terakhir ini setelah aku menjadi wartawan freelance, tak pernah sekali pun kita nikmati suasana yang begitu kamu dambakan. Paling kita hanya ngobrol-ngobrol sebentar. Setelah itu aku sibuk dengan laporan-laporan yang membuat pegal pinggang dan tangan. Ah, alangkah jahatnya aku! Aku terlalu larut dalam kesibukanku. Dan hafal betul karena kamu jadi korban kesibukanku!
Masih dengan keletihan yang sangat, aku menghambur ke rumahmu yang berjarak seratus meter lebih. Ibumu yang membukakan pintu untukku. Aku duduk, setelah ibumu mempersilakan.
"Nesia pergi nonton," kata ibumu ketika aku menayakanmu.
"Dengan siapa?" selaku tak sabar.
"Katanya sih teman sekolahnya."
"Teman cewek, maksud Ibu?"
Perempuan itu menggeleng. "Teman cowok."
Aku terdiam. Tiba-tiba dadaku serasa bergemuruh.
***
"Namanya Andi."
"Teman sekelas?"
Kamu menggeleng. "Kelasnya di sebelah kelasku."
Aku mengangkat bahu. Dengan hati-hati, kutanyakan lagi tentang cowok yang bernama Andi itu; pelan-pelan agar tak terdengar oleh penumpang di belakangku.
"Kamu mencintainya?" tatapku kemudian.
"Aku belum bisa mengatakannya sekarang," gelengmu. "Yang pasti, Andi begitu penuh perhatian padaku," ujarmu, tuntas. Tak ada beban dalam nada suaramu.
Mulanya aku terkejut juga mendengar kamu bicara begitu. Malah aku nyaris tak percaya kamu bisa mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tak kuduga sebelumya. Kamu masih emosional, kamu yang baru duduk di kelas satu SMA kemarin....
Ah, tapi siapa duga gadis sepertimu bisa berterus-terang begitu? Atau barangkali karena kamu terlalu sering kukecewakan belakangan ini, sehingga kami bisa berbicara sesantai itu? Padahal bagiku itu bukanlah masalah sepele. Ya, bukan masalah kecil yang bisa terlupakan dalam beberapa hari.
Aku benar-benar tak menduga. Semalam aku berpikir keras untuk menghilangkan kecemburuanku pada Andi. Aku hampir saja berhasil, andai saja siang ini seusai sekolah, di bis kota, kamu tak berbicara tentang simpatimu pada Andi. Andi yang penuh penuh perhatian. Dan rasanya sulit kamu pungkiri dan sembunyikan, bahwa kamu mencintai cowok itu. Barangkali antara kamu dan Andi telah ada benang biru yang terajut sebelum kamu melontarkan ketidaksetujuanmu memberiku dorongan untuk mengupas obyek wisata Lombok.
"Oke, Kak Ton," ucapmu tiba-tiba. "Aku turun di sini. Kak Ton terus saja. Aku akan menjenguk Andi."
"Sakit?"
"Hm...."
Ketika kamu turun dari bis kota, kurasakan hatiku kosong. Aku tak pernah membayangkan, bagaimana peristiwa seperti ini terjadi begitu tiba-tiba. Bagaimana mungkin benang biru yang telah kurajut denganmu selama setahun lebih begitu saja terputuskan? Aku terpaku, tertunduk diam.
Tapi, barangkali itu jalan yang terbaik untukmu, pikirku setelah tiga hari tiga malam akrab dengan keterpakuan. Belakangan aku juga menemukan jawaban pasti: itu juga lebih baik untukku. Sebelum aku jauh melangkah denganmu, dengan kesentimentilanmu yang kupikir menghambat laju profesiku. ©
"Teman sekelas?"
Kamu menggeleng. "Kelasnya di sebelah kelasku."
Aku mengangkat bahu. Dengan hati-hati, kutanyakan lagi tentang cowok yang bernama Andi itu; pelan-pelan agar tak terdengar oleh penumpang di belakangku.
"Kamu mencintainya?" tatapku kemudian.
"Aku belum bisa mengatakannya sekarang," gelengmu. "Yang pasti, Andi begitu penuh perhatian padaku," ujarmu, tuntas. Tak ada beban dalam nada suaramu.
Mulanya aku terkejut juga mendengar kamu bicara begitu. Malah aku nyaris tak percaya kamu bisa mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tak kuduga sebelumya. Kamu masih emosional, kamu yang baru duduk di kelas satu SMA kemarin....
Ah, tapi siapa duga gadis sepertimu bisa berterus-terang begitu? Atau barangkali karena kamu terlalu sering kukecewakan belakangan ini, sehingga kami bisa berbicara sesantai itu? Padahal bagiku itu bukanlah masalah sepele. Ya, bukan masalah kecil yang bisa terlupakan dalam beberapa hari.
Aku benar-benar tak menduga. Semalam aku berpikir keras untuk menghilangkan kecemburuanku pada Andi. Aku hampir saja berhasil, andai saja siang ini seusai sekolah, di bis kota, kamu tak berbicara tentang simpatimu pada Andi. Andi yang penuh penuh perhatian. Dan rasanya sulit kamu pungkiri dan sembunyikan, bahwa kamu mencintai cowok itu. Barangkali antara kamu dan Andi telah ada benang biru yang terajut sebelum kamu melontarkan ketidaksetujuanmu memberiku dorongan untuk mengupas obyek wisata Lombok.
"Oke, Kak Ton," ucapmu tiba-tiba. "Aku turun di sini. Kak Ton terus saja. Aku akan menjenguk Andi."
"Sakit?"
"Hm...."
Ketika kamu turun dari bis kota, kurasakan hatiku kosong. Aku tak pernah membayangkan, bagaimana peristiwa seperti ini terjadi begitu tiba-tiba. Bagaimana mungkin benang biru yang telah kurajut denganmu selama setahun lebih begitu saja terputuskan? Aku terpaku, tertunduk diam.
Tapi, barangkali itu jalan yang terbaik untukmu, pikirku setelah tiga hari tiga malam akrab dengan keterpakuan. Belakangan aku juga menemukan jawaban pasti: itu juga lebih baik untukku. Sebelum aku jauh melangkah denganmu, dengan kesentimentilanmu yang kupikir menghambat laju profesiku. ©
Source: http://www.cafenovel.com
BIODATA PENULIS
Noerdin Es. Er., lahir di Bumiayu, Jawa Tengah. Meniti karirnya sebagai penulis cerpen remaja di berbagai majalah remaja nasional, ia beranjak berkembang sebagai wartawan freelance di beberapa koran ibukota dan menjadi wartawan majalah GADIS pada akhir tahun '80-an. Tidak lama kemudian, bersama Bens Leo, ia bergabung sebagai wartawan di majalah Anita Cemerlang, dan menerima predikat sebagai wartawan nonfiksi terbaik versi poling pembaca Anita Cemerlang pada tahun 1994. Ia diangkat sebagai redaktur pelaksana pada tahun 1996, dan pemimpin redaksi pada tahun 1998. Kini ia menerbitakan majalah musik M&G.
0 komentar:
Posting Komentar