Cerpen Ayi Jufridar (Jawa Pos, 30 Oktober 2011)



LIMA belas tahun sudah Merlyn Getty tidur bersama Gunawan di ranjang rumah dan beberapa ranjang hotel yang pernah mereka singgahi. Sudah tidak terhitung percintaan yang pernah mereka nikmati tidak hanya di ranjang, tetapi di ruang mana pun yang menurut mereka aman dan nyaman untuk melakukannya. Sebegitu dekatnya Merlyn dengan Gunawan sehingga ia hapal terhadap setiap jengkal tubuh lelaki itu sehapal pada tubuhnya sendiri. Ia mengetahui setiap perubahan apa pun yang terjadi di tubuh Gunawan, mulai dari yang kecil lebih-lebih perubahan besar. Kantung di bawah mata yang kian nyata kendati Gunawan pernah rajin meredamnya dengan potongan mentimun atas permintaan Merlyn, perut yang kian buncit, sampai beberapa helai bulu hidung Gunawan yang sudah memutih menjadi perhatian Merlyn ketika lelaki itu tertidur pulas setelah lelah bercinta.
Kalau bulu hidung yang pendek dan tersembunyi dalam liang kecil dan gelap masih terlihat Merlyn Getty, tentulah mengherankan bila ia abai terhadap beberapa helai uban yang mulai menghiasi kepala Gunawan. Merlyn tidak pernah melihatnya dalam setiap kebersamaan mereka yang paling intim sekalipun, konon lagi ketika menemani Gunawan sarapan atau sekadar mengantar Gunawan sampai teras depan ketika lelaki itu berangkat kerja. Perhatiannya tidak tertuju ke atas kepala Gunawan, tetapi ke hati lelaki itu. Sedangkan ketika mereka bercinta, pikiran Merlyn mengembara entah ke mana.
Merlyn tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang berlebihan atau tidak masuk akal dengan beberapa helai uban yang luput dari perhatiannya. Ia jadi ingat pengakuan beberapa teman sebelum ini. Seorang temannya baru menyadari suaminya memiliki pusar di atas dahi setelah 11 tahun mereka berumahtangga. Temannya yang lain tidak mengetahui ada tahi lalat tersembunyi di bagian paling intim suaminya. Yang terakhir ini menurut Merlyn keterlaluan karena ia menganggap perempuan itu tidak melakukan apa pun untuk menyenangkan suaminya sebelum mereka menyatu dalam sebuah kebersamaan yang penuh desah.
Kedua kasus di atas, menurut Merlyn, berbeda dengan uban karena rambut putih itu tidak muncul sejak Gunawan lahir sebagaimana pusar di puncak dahi.
Merlyn tidak menemukan uban itu, melainkan uban itulah yang menemukannya tadi pagi ketika ia masuk ke kamar mandi dan Gunawan ada di sana dengan handuk putih yang melilit di pinggang. “Ternyata aku sudah tua,” katanya seperti kepada diri sendiri karena ia berdiri di depan cermin yang berkabut sambil menyibak rambutnya yang tebal lurus sampai sedikit menutup daun telinga. Merlyn masih tidak peduli dengan pengakuan itu karena Gunawan sudah berusia 46 tahun. Justru keterlaluan bila ia tidak menyadari ketuaannya sehingga bertingkah seperti pemuda belasan tahun ketika melihat gadis-gadis belia di luar sana. Ketika Gunawan memutar tubuhnya dan menundukkan kepala di depan wajah Merlyn sambil meminta dicabuti ubannya, seketika itulah Merlyn terkejut. Tanpa sadar ia mundur beberapa langkah hingga punggungnya membentur dinding. Wajahnya pucat pasi serupa air muka orang yang baru saja berjumpa dengan sesuatu yang paling menakutkan seumur hidupnya.
Bagi Merlyn, sesuatu yang menakutkan itu bukanlah hantu karena ia tidak pernah melihatnya meski sangat percaya makhluk itu ada. Ia pernah melewati masa-masa yang penuh hantu, tetapi tidak pernah satu kali pun melihat meski bisa jadi justru hantu itu sedang melihatnya. Hantu sungai, hantu kuda, hantu api, hantu emas, segala jenis hantu ada pada masa itu, tetapi Merlyn hanya mendengar nama mereka saja. Ketika papanya pergi dan mama mulai sering memukulnya, ia selalu berharap berjumpa dengan hantu apa pun yang akan mengajak dirinya dan dua adiknya pergi. Mereka bertiga sering mandi di alur Kapuas ketika air sedang pasang dengan kayu gelondongan sebagai perahu. Orang dewasa yang menggunduli hutan di sana menakuti dengan kisah hantu buaya yang memangsa anak kecil agar mereka segera menyingkir. Merlyn dan kedua adiknya justru bermain di sana sampai malam menjelang agar hantu buaya datang dan membawa mereka ke dalam dunia buaya. Namun, hantu buaya tidak pernah datang, yang datang justru air bah bercampur lumpur yang membuat ia dan kedua adiknya nyaris mati tenggelam. Sampai beberapa tahun setelah kejadian itu, ia harus rutin memeriksakan diri ke dokter karena paru-parunya tercemar lumpur.
Merlyn Getty bukannya menyesali keputusannya bermain di Kapuas ketika air sedang pasang, melainkan menyesali kenapa tidak mati saja. Dua kali sudah ia mengundang kematian, tetapi kematian tidak menghampirinya ketika diharapkan. Setelah kematian yang gagal di Kapuas, kehidupannya menjadi lebih sulit. Papanya tidak pernah pulang lagi, yang belakangan ternyata sudah kabur dengan anak gadis orang setelah menghamili perempuan muda itu. Mamanya bekerja di sebuah pabrik tripleks sebagai buruh kasar. Ia pergi pagi dan pulang menjelang malam dengan tubuh yang kelelahan. Semakin lelah mamanya bekerja, semakin sering ia memukuli Merlyn dan kedua adiknya. Sampai kemudian Merlyn dikirim ke tantenya di Cilacap. Tantenya itu adalah adik mama, tetapi mereka beda ayah. Suami tantenya bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan perminyakan nasional, dan cukup sukses sehingga dua tahun berturut-turut menjadi karyawan teladan. Mereka mempunyai dua anak lelaki, tetapi tidak satu pun lahir dari rahim tante. Merlyn mengira nerakanya sudah berakhir ketika ia dikirim ke Cilalap, tapi ternyata di sanalah ia menemukan neraka yang sesungguhnya dari perilaku dua anak tante yang seharusnya menjadi saudara sepupunya, juga dari perilaku tante dan lebih-lebih dari suaminya.
Kedua sepupunya itu sering menjamahi tubuhnya yang sedang tumbuh ketika orang tua mereka tidak ada di rumah. Seorang di antaranya kemudian diterima sebuah perguruan tinggi terkemuka di Yogya dan itu amat disyukuri Merlyn. Namun, nerakanya belum berakhir karena sepupunya yang lain merasa sudah menguasai Merlyn seorang diri. Ketika Merlyn Getty memberanikan diri untuk melawan, hanya satu kali perlawanan secara fisik dan ancaman akan mengadukan ke polisi, sepupunya itu berhenti untuk selamanya. “Satu kali saja kamu berani menyentuhku lagi, kita akan berjumpa di pengadilan!”
Merlyn kelas dua SMA ketika itu. Sedang mekar-mekarnya dengan darah Banjar dan China yang mengalir dalam tubuhnya yang semampai dan proporsional. Kelebihan itulah yang menggoda pamannya untuk mulai menyentuhnya justru setelah kedua anaknya berhenti. Mulanya hanya di tangan ketika ia meminta bantuan Merlyn. Setelah itu dianggap biasa, naik ke pipi lalu turun lagi ke pinggul dan mulai berani naik lagi ke dada. Ketakutan Merlyn bahwa sentuhan itu akan turun lagi ke bagian lain, menjadi kenyataan. Setiap pagi, pamannya bangun lebih subuh dan menyelinap ke kamarnya. Dia melarang Merlyn mengunci pintu. “Jangan pernah bilang ke siapa pun, terutama tantemu!”
Merlyn tidak berani membalas ancaman itu sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap sepupunya. Mengadu ke malaikat pun tidak akan dipercayai kalau lelaki yang menjadi tokoh masyarakat itu melakukan perbuatan tak senonoh. Paman menggunakan pengaruhnya agar bebas melakukan apa pun terhadap dirinya. Orang-orang sekitar sangat menghormatinya. Merlyn bisa melihat pada hari-hari besar seperti Idul Fitri, pejabat kepolisian di Cilacap, jaksa, dan hakim, sering bertamu ke rumah. Ancaman “kita akan berjumpa di pengadilan” seolah tak berlaku untuk membalas kekurangajaran pamannya.
Salah satu kebiasaan lelaki itu adalah meminta bantuan Merlyn untuk mencabuti ubannya, ada atau tidak ada istrinya di rumah. Bila tantenya di rumah, pekerjaan itu tak terlalu menakutkan. Begitu tantenya di luar, itulah kesempatan paman untuk menggerayangi tubuhnya ketika tangannya sibuk mencari uban. Dua tangan bekerja bersamaan, satu mencari uban dan yang lain mencari kenikmatan. Puncaknya, ketika tante tak ada di rumah, paman memerkosanya. Itulah hari paling buruk dalam hidup Merlyn sehingga ia nekat mengiris nadi dengan pecahan botol.
Ketika tante pulang dan melihatnya bermandikan darah, paman mengaku baru saja memarahinya karena kedapatan berada di tempat bilyar bersama teman-teman cowoknya. Pamannya benar, sehari sebelumnya ia kedapatan di meja bilyar selama jam belajar dengan sejumlah teman sekolahnya. Mereka sering bolos sekolah dan baru kali itu kedapatan. Di rumah Merlyn memang anak pendiam, tapi di sekolah ia bandel. “Mungkin karena itu dia bunuh diri,” kata paman tanpa panik sedikit pun. Bahkan ketika ia membawa Merlyn ke rumah sakit, ia sempat berbisik di telinga, “Dasar bodoh. Sudah kuberikan surga dunia, kau malah ingin ke neraka. Bunuh diri itu dosa besar, tahu!” Pamannya tidak berkata tentang hukum menzinahi keponakan sendiri.
Uban itulah yang menjadi pintu neraka bagi Merlyn. Setelah mendapat pengobatan, dia kabur dari rumah dan menjadi istri simpanan seorang bangsawan di Malaysia. Mereka berpisah dua tahun kemudian dan Merlyn bertemu dengan statusnya sebagai janda kembang serta Gunawan sebagai duda beranak satu. Sebelum menikah, ia sudah menceritakan semua masa lalunya kepada lelaki itu, kecuali soal uban pamannya. Tak disangkanya uban di kepala Gunawan telah membuka kembali rahasia masa lalu yang sudah dikuburnya dalam-dalam.
“Aku tidak ingin lagi melihat uban di kepalamu!” cetus Merlyn sambil memutar tubuhnya dan keluar dari kamar mandi.
“Aku sudah tua, sudah pantas beruban. Kamu tidak bisa menolak kodrat.”
Masih sempat didengar ucapan Gunawan itu sebelum ia benar-benar lenyap dari kamar mandi. Merlyn tidak menolak Gunawan menjadi tua, tidak menolak rambut putih tumbuh di lubang hidungnya atau di tempat lain. Namun, Merlyn tidak ingin melihat uban di atas kepala Gunawan. Dia ingin uban itu berubah hitam atau ia akan kabur dari rumah bila Gunawan memaksa untuk mencabutinya. (*)
 .
.
Ayi Jufridar adalah jurnalis dan penulis fiksi. Tiga novelnya yang sudah diterbitkan Alon BuluekGelombang Laut yang Dahsyat(Grasindo, 2005) dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Belanda. Kemudian Kabut Perang (Universal Nikko, 2010), dan Putroe Neng(Grasindo, 2011).





Soure: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Muna Masyari (Republika, 23 Oktober 2011)
SUDAH menginjak lima bulan lamanya matahari berpesta. Merayakan kemenangan atas pohon-pohon, tanah, kali, dan sungai. Daun-daun meranggas. Berguguran. Retak-retak tanah mengular. Pohon-pohon tembakau di sawah yang belum sempat dirobohkan berdiri kaku. Pohon kapuk berjajar gundul di sisi jalan kampung. Tinggal kapuknya yang berjatuhan dan bergelantungan dengan kulit mengering. Terkuak. Isinya menyembul, sebagian mulai tertiup angin. Bebatuan di dasar sungai teronggok diam menyaksikan pesta kemarau yang tak kunjung usai.
Sumur-sumur warga sudah kekeringan sejak sebulan yang lalu. Air bersih menjadi barang paling langka, sementara kebutuhan tidak bisa ditunda. Hanya sumur tua milik Bu Muniah yang menjadi rebutan warga kampung untuk memenuhi kebutuhan memasak, mandi, dan mencuci setiap hari.
Sumur yang dikelilingi rerimbun bambu duri itu terletak di belakang dapur Bu Muniah, berdekatan dengan kali pembatas antara dua kampung yang sama-sama dilanda krisis air bersih. Warga kampung sebelah harus melintasi area pemakaman dan melangkahi kali selebar satu setengah meter untuk mengambil air di sumur Bu Muniah. Rakitan bambu melintang di atas kali guna memudahkan penyeberangan.
Sepanjang hari sumur Bu Muniah tak pernah sepi. Sebelum subuh, ibu-ibu sudah berdatangan menjinjing dan menyunggi tembah [1]. Rambutnya digelung sembarangan. Meski tanpa penerang, tidak lantas membuat mereka takut kakinya dililiti ular. Padahal, jalan setapak menuju sumur dipenuhi reruntuhan daun bambu kering yang berserak setinggi mata kaki.
Langkah mereka bersegera sebelum air habis. Ada yang bolak-balik hingga empat kali untuk mengisi gentong dapur sebagai bahan menanak dan minum.
Begitu azan selesai berkumandang di masjid dan berlanjut ke bacaan shalawat dari muazin yang menunggu makmum rampung, giliran bapak-bapak yang mendatangi sumur. Sarung diselempangkan di bahu. Baju dan pecinya ditenteng. Mereka mengambil wudhu bergantian. Sementara baju dan pecinya disandangkan ke carang [2]. Pinggir sumur yang terdiri atas susunan bata berlumut dikelilingi para penimba. Ada yang menunggu giliran sambil duduk-duduk menghisap rokok. Hanya satu-dua kata mereka berbincang, saling tegur sapa. Selebihnya, justru dipenuhi kecipak dan suara jatuhnya air memecah pagi. Begitu selesai, mereka langsung menuju satu-satunya masjid tua di tengah kampung.
Setelah fajar merayap dan selesai memasak, para ibu kembali bergegas mendatangi sumur dengan membawa setumpuk baju kotor. Takut keduluan yang lain. Khawatir tidak kebagian air. Maklum, menjelang Zhuhur, biasanya air akan terkuras habis. Maka, mau tidak mau, yang belum kebagian harus sabar mengantre.
Anak-anak kecil bertelanjang dada membuntuti ibunya dengan menenteng timba yang sudah berikat tambang. Sambil mencuci, para ibu itu tak henti berbincang mengenai segala hal. Mulai dari murahnya harga garam, hingga mahalnya harga tembakau tahun ini.
“Tembakaunya Pak Ruham terjual 50 ribu. Yang terakhir saja sebanyak 8 bal. Tidak heran ia mampu memperbaiki rumahnya dan membangun langgar.” Kata Bu Hasan sambil mengucek baju cuciannya.
“Iya. Pak Sadili kemarin juga membeli honda [3],” timpal Bu Mar, sesekali mencubit lengan anaknya yang sibuk memain-mainkan busa sabun di bak cucian.
“Tahun ini tembakau memang menguntungkan,” sela Pak Saudi yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Bu Mar. Memikul Tembah pekol [4], hendak mengambil air untuk keperluan lolo [5]. Sudah tiga hari ia bekerja di rumah Pak Ruham yang sedang merenovasi rumah.
Para ibu yang duduk rapat terdesak bak cuci, saling pandang sebentar. Tidak ada yang menggeser untuk memberi jalan pada Pak Saudi.
“Bukankah dilarang menimba air sumur ini kalau hanya digunakan sebagai bahan bangunan.” Bu Mar memberanikan diri.
“Kata siapa?” Pak Saudi balik bertanya.
“Bu Muniah kemarin yang bilang, karena waktu mau ngambil air kebetulan sumurnya sedang terkuras. Tinggal air dasar yang sangat kotor,” jawab Bu Hasan.
“Iya, kemarin Bu Muniah marah-marah. Mau mengambil air minum, yang ada malah keruh. Kenapa Pak Ruham tidak mendatangkan tangki saja sih? Air ini hanya cukup untuk masak, mandi, dan mencuci.” Sambung yang lain.
Wah, saya kurang tahu. Saya kan hanya pekerja. Ya sudah, kalau demikian, saya bilang saja pada Pak Ruham.”
Pak Saudi kembali dengan timba kosong. Baru lima belas menit dari kepergian Pak Saudi, Bu Ruham datang tergopoh-gopoh. Tubuhnya menyembul di antara pohon kamboja yang merindangi pamakaman, sambil menyingsing sarung setinggi lutut. Langkahnya lebar, tanpa sandal. Kebaya depannya hanya dijepit satu peniti, hingga kutang dan perut bagian atas sedikit terlihat.
“Siapa yang melarang mengambil air di sini?” Tanya Bu Ruham. Matanya mancelak [6]. Kerut wajahnya semakin jelas.
Ibu-ibu yang sedang mencuci menghentikan kucekannya. Tak segera menjawab. Mereka tahu betul watak Bu Ruham. Siapa pun akan berpikir sekian ulang kalau mau berurusan dengannya. Bisa runyam.
“Siapa yang melarang?” Ulang Bu Ruham, meninggikan suara.
“Bu Muniah kemarin.” Jawab Bu Hasan, bernada cemas. Ia yakin sebentar lagi akan terjadi cekcok besar.
Sambil menggerutu kesal, Bu Ruham berbalik pergi dengan langkah lebar. Menyingsing sarungnya setinggi lutut.
“Bakal rebut!” Ujar Bu Hasan. Diiyakan yang lain.
Benar saja. Di rumah Bu Muniah, perang mulut tak bisa dihindari. Bu Ruham mencak-mencak mempersoalkan larangan Bu Muniah pada pekerjanya yang hendak menimba air.
“Itu sumur umum. Ibu tidak berhak melarang siapa pun mengambil air di sana.” Telunjuk Bu Ruham ditudingkan ke wajah Bu Muniah.
“Siapa bilang itu sumur umum? Sumur itu terletak di tanahku. Sesepuhku yang menggalinya dulu. Jadi, aku berhak melarang siapa pun yang aku mau. Termasuk Ibu! Cari saja sumur di desa Ibu kalau mau bangun rumah, jangan di sini!” Balas Bu Muniah, tak kalah sengit.
“Kalau begitu, tanah di makam itu juga tanah sesepuhku. Aku berhak mengusir siapa pun yang dimakamkan di sana, termasuk keluarga Ibu atau keluarga desa ini!” Sambil menunjuk area pemakaman yang terletak di sebelah kali, masuk kawasan kampung sebelah.
Dada Bu Muniah menggemuruh. Area pemakaman itu memang tanah yang diwakafkan bangaseppo keluarga Bu Ruham. Pemakaman yang menjadi rujukan orang meninggal kedua kampung.
“Pindahkan saja makam keluargamu dari tanahku!”
“O, jadi seperti itu? Baik! Jangan ada lagi orang di kampungmu yang mengambil air ke sini!” Bu Muniah tak mau kalah.
Pagi itu juga, Bu Muniah memanggil Dulla, anak satu-satunya yang sedang mengumpulkan bunga tembakau di sawah.
“La, pulang! Kita harus memindahkan makam hari ini juga!” Teriak Bu Muniah dari jalan setapak yang menjadi pambatas dua petak sawah.
“Memindahkan makam bagaimana, Bu?” Dahi Dulla mengerut. Tangannya dimiringkan di dahi untuk menghalau serbuan panas matahari yang mengganggu ketajaman pandangannya. Matanya nyaris terpejam.
“Ya, memindahkan makam. Sudah, ayo pulang! Nanti aku jelaskan.”
Dulla menurut meski belum mengerti. Ia mengikuti langkah Bu Muniah seraya menenteng tas kresek berisi bunga tembakau kering.
***
Akhirnya, pemindahan makam massal pun terjadi. Tidak hanya makam keluarga Bu Muniah yang dipindahkan. Semua tetangga sepakat memindahkan makam keluarga mereka ke tanah milik Bu Muniah yang masih bertanam pohon singkong.
Ada yang membongkar makam. Ada yang mencabut pohon singkong, lalu digali sedalam satu setengah meter sebagai tempat pemindahan jenazah yang sudah meninggal bertahun-tahun lamanya.
Sejak peristiwa itu, Pak Ruham mendatangkan tangki untuk meneruskan pembangunan rumahnya. Karena jalan desa yang masih sempit, terpaksa air ditampung di salah satu rumah familinya yang dekat dengan jalan raya. Pak Saudi harus bolak-balik memikul air ke rumah Pak Ruham sepanjang 500 meter perjalanan.
Tidak ada lagi warga kampung sebelah yang menimba air di sumur Bu Muniah. Pun, tidak ada lagi jenazah di kampung Bu Muniah yang dimakamkan di area pemakaman Bu Ruham. Penyeberangan kali sebagai pelintas antarkampung dirusak.
Dua kampung bersitegang.
Tidak berselang lama dari peristiwa itu, sumur Bu Muniah ikut mengalami kekeringan. Warga resah. Banyak ternak mati karena kurang minum. Baju-baju kotor menumpuk di setiap rumah. Bau-bau badan menyengat kecut. Pohon-pohon semakin meranggas. Tanah-tanah terpanggang. Debu beterbangan.
Sumur Bu Muniah kembali sepi. Hanya suara pohon bambu yang menderit saling bergesekan diembuskan angin. Tumpukan reruntuhan daun bambu di seputar sumur sudah setinggi di atas mata kaki.
Tidak ada lagi ibu-ibu menyunggi timba sebelum subuh. Tak ada lagi yang berduyun-duyun membawa oncor [7] setelah Isya untuk berebut air. Sekarang, yang bisa dilakukan warga hanya menunggu Pak Lurah mendesak pemerintah agar mendatangkan air bersih ke kampung itu.
Untuk sementara waktu, Pak Lurah berupaya membantu kebutuhan air warganya sebagai bahan memasak, minum, dan berwudhu melalui pembelian tangki.
Sementara langit belum mengutus awan untuk berkabar kapan hujan akan turun. Matahari masih menyempurnakan pesta, merayakan kemenangan atas pohon-pohon, tanah, dan sungai yang sudah sekarat. (*)
.
.
Catatan:
[1] tembah: timba
[2] carang: duri-duri bambu
[3] honda: sebutan sepeda motor untuk segala merek oleh orang Madura.
[4] Tembah pekol: timba yang biasa dipakai untuk mengangkut air.
[5] lolo: campuran tanah, semen dan lumpur.
[6] mancelak: membelalak
[7] oncor: obor
 .
.
Penulis lahir di Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Karya-karyanya sempat dimuat di sejumlah media cetak. Masuk 30 besar dalam Lomba Mengarang Cerpen Ber-setting Wisata Probolinggo, FLP Probolinggo Raya. Nominator Lomba Puisi FTD-FLP Riau dan Lomba Puisi Minda Media Group, Pekanbaru. Menjadi kontributor dalam antologi puisi Sesayat Munajat Doa (2011), kumpulan novelet Lafaz Cinta di Ambang Gerhana (2011), kumpulan cerpen Merindu Matahari (2011), dan di sejumlah antologi lainnya.





Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Virgorini Dwi Fatayati (Republika, 30 Oktober 2011)
 

SEORANG lelaki sedang menjalani tes calon presiden tahun 2014. Tubuhnya yang masih gagah dan tegap meski usianya sudah memasuki kepala lima, ditambah air mukanya yang berwibawa dan bijaksana, menjadikannya layak memimpin negara dan bangsa Indonesia yang sudah karut-marut dan banyak masalah.
“Apa yang menjadikan Anda mencalonkan diri dalam Pilpres 2014 ini?” tanya salah seorang juri.
“Saya ingin memperbaiki Indonesia secara menyeluruh, nasib bangsanya, kekayaan alamnya, dan namanya di tingkat internasional. Saya ingin mengharumkan nama Indonesia dengan memperbaiki segala sistem yang sudah ada sekarang.”
“Anda yakin?”
“Yakin.”
“Apa modal Anda?”
“Keyakinan.”
“Hanya itu?”
“Ya.”
“Tidak mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi?”
“Tidak.”
“Mantap sekali Anda menjawab. Apakah Anda tidak tahu banyak mantan presiden yang mencalonkan diri lagi?”
“Saya tahu.”
“Tahukah Anda bahwa saingan-saingan Anda nanti adalah orang-orang yang sudah berpengalaman dan kuat-kuat?”
“Saya punya kekuatan uang dan koneksi.”
“Baiklah, melihat kemantapan Anda, Anda seharusnya lulus, tapi sebelum kami meluluskan Anda ikut dalam Pilpres 2014 ini, kami akan ajak Anda menaiki karpet waktu.”
“Karpet waktu?”
“Ya, tidak usah banyak bertanya, ikuti saja kami.”
“Baik.”
Pada akhirnya seorang juri yang banyak bertanya tadi membawa lelaki itu ke dalam suatu tempat. Di tempat yang tersembunyi itu terdapat sebuah karpet merah mirip sebuah permadani. Lampu yang hanya lima watt menjadikan lelaki yang bermata rabun jauh itu tidak dapat jelas melihat detail karpet itu.
“Mari kita duduk di karpet itu!” ajak sang juri. Lelaki itu menurut.
“Anda tidak usah banyak bertanya, ikut saja.” Sekali lagi juri itu mengingatkan.
Meski sebenarnya merasa aneh dan merasa takut, lelaki itu menurut saja.
Dengan sedikit ragu, lelaki itu duduk mengikuti juri yang telah lebih dulu duduk bersila.
“Pejamkan mata!”
“Baik.” Lelaki itu pun memejamkan mata. Semakin ketakutanlah hatinya, namun tak bisa berbuat apa-apa, apalagi pintu ruangan dikunci. Hanya pasrah yang bisa dilakukannya.
Beberapa saat kemudian terdengar suara bising sebuah mesin, padahal di ruangan itu hanya ada karpet. Lelaki itu terkejut, namun dia tak berani membuka mata.
Hanya sekitar satu menit suara mesin itu membisingkan ruangan, yang kini dirasakan lelaki itu dalam mata terpejamnya adalah sebuah ruangan terbuka dan semilir angin yang terasa panas.
“Bukalah mata Anda.” Perlahan, lelaki itu membuka mata. Betapa terkejutnya dia karena yang didapatinya adalah sebuah gurun pasir. Dan, tempatnya duduk adalah sebuah batu besar, bukan lagi karpet yang tadi.
“Kita berada pada masa pemerintahan Sayidina Umar bin Abdul Aziz.” Ucap sang juri menjawab keheranan lelaki itu.
“Siapa dia?”
“Beliau pemimpin negara yang adil. Setelah pemerintahan Khulafaur Rasyidin, tidak ada lagi pemimpin yang seadil beliau. Beliau sangat berhati-hati mengurus tanggung jawab yang diamanahkan padanya. Beliau amat takut kalau tidak dapat bersikap adil. Karena itulah beliau lebih mengutamakan keperluan rakyat daripada diri dan keluarga.”
“Memangnya masih ada pemimpin seperti itu setelah wafatnya Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin?”
“Sekarang kita lihat buktinya. Mari kita ke rumah beliau.” Sang juri mengajak lelaki itu berjalan.
“Salah satu kehebatan Khalifah Umar bin Abdul Azis yang luar biasa adalah beliau malah hidup miskin setelah diangkat menjadi khalifah. Anda tahu khalifah itu apa?”
“Semacam presiden di negara kita.”
Yap, Anda benar. Khalifah Umar menempati rumah yang hanya cukup untuk dirinya. Karena setelah diangkat menjadi khalifah, seluruh kekayaannya diberikannya pada baitul mal.” Papar sang juri membuat hati sang calon presiden kecut.
“Benar-benar ini rumahnya?” tanya lelaki itu tak percaya karena semula dia mengira akan melewati rumah gubuk itu dan menuju rumah yang lebih baik dari yang dilihatnya.
“Ya, ini benar-benar rumah beliau.” Sang juri memperlihatkan sebuah rumah yang teramat sangat kecil dan sederhana.
Lelaki itu mengintip dari balik jendela yang atapnya hanya terbuat dari daun kurma itu. Ternyata, di dalam rumah itu hanya terdapat sebuah cangkir, sebuah piring, dan sebuah alas lilin, tidak ada alas untuk tidur.
“Mari kita naik lagi ke karpet.” Ajak sang juri, lelaki itu menurut saja.
Tiba-tiba dua lelaki itu sudah dibawa ke tempat yang gelap.
“Di mana ini?” tanya sang calon presiden.
“Masih di tempat yang sama, tapi kita berada di malam hari.” Sahut sang juri.
Beberapa saat kemudian, terdengar seseorang mendatangi rumah Khalifah Umar.
“Siapa?” tanya Khalifah Umar dari dalam rumah.
“Saya, Ayah,” jawab orang yang datang yang ternyata putranya.
“Ada apa?”
“Ibu menyuruh saya berjumpa ayah.”
“Untuk apa?”
“Membicarakan masalah keluarga.”
“Kalau begitu tunggu sebentar.” Sang calon presiden dan sang juri mengintip dari lubang dinding. Dilihatnya khalifah Umar meniup lilin satu-satunya yang ada di ruangan itu sehingga rumahnya menjadi gelap gulita.
Kemudian, Khalifah Umar membukakan pintu untuk anaknya.
“Mengapa gelap begini, Ayah?”
“Maafkan Ayah, anakku, rumah ini bukan milik kita dan lampu ini bukan milik kita. Oleh karena Ayah adalah pemimpin rakyat, Ayah wajib menjaga uang rakyat untuk kepentingan rakyat. Ayah tidak mau gunakan untuk kepentingan keluarga sehingga merugikan negara. Ayah takut di hadapan Allah nanti akan ditanya mengapa Ayah gunakan minyak rakyat untuk kepentingan keluarga.” Papar Khalifah Umar panjang lebar.
“Jadi, kalau aku ke sini untuk membicarakan masalah negara, ayah akan tetap menyalakan lampu, tapi kalau untuk membicarakan masalah keluarga ayah mematikan lampu?”
“Ya, kau benar anakku, masalah keluarga kan masalah pribadi, ayah tidak mau menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi,” ujar Khalifah Umar lagi.
Sang calon presiden dahinya berkerut, rasa kesal menyergapnya.
“Anda dengar itu? Anda paham?” tanya sang juri.
“Ya, tapi berlebihan sekali kalau hanya uang untuk lampu saja beliau tidak mau menggunakannya, padahal rakyatnya tidak akan menuntut kalau hanya sedikit.”
“Beliau tidak berlebihan, tapi terlalu berhati-hati.”
“Ah, mana ada manusia seperti itu? Ini pasti hanya dongeng.”
“Tidak, ini nyata, kalau tidak percaya akan aku tunjukkan kepemimpinan pemimpin-pemimpin lain yang patut dicontoh.”
“Tidak perlu, aneh, aku tidak percaya!” Sengit sang calon presiden lagi. “Ngomong-ngomong, mengapa tiba-tiba aku memahami bahasa Arab?”
“Karena dengan menaiki karpet ini, kita akan memahami semua bahasa di dunia.” Bisik sang juri kepada lelaki yang akhirnya termenung-menung.
“Kita naik lagi ke karpet,” ajak sang juri lagi.
Tak lama kemudian, mereka tiba kembali di kegelapan malam, masih di tempat yang sama.
“Dengar, beliau sedang menangis di atas sajadah,” bisik sang juri.
“Mengapa Ayah menangis?” tanya istri Khalifah Umar.
“Bagaimana aku tidak menangis? Aku telah diangkat menjadi raja kaum Muslimin dan orang asing. Yang sedang aku pikirkan sekarang adalah nasib orang-orang miskin yang kelaparan. Orang yang sakit, yang tak berpakaian dan menderita, yang tertindas, orang asing yang dipenjara. Mereka yang banyak anak, tapi miskin. Serta, mereka yang berada di tempat-tempat yang jauh. Aku merasakan, pada hari kiamat tentu aku akan ditanya oleh Allah keadaan mereka yang di bawah penguasaanku. Aku takut tidak ada pembelaan yang dapat membantuku. Karena itu aku menangis.”
“Anda dengar itu? Ayo, kita kembali naik ke karpet!”
Beberapa saat kemudian, dua lelaki itu sudah berada di tempat yang sama dalam keadaan terang.
“Ini sudah pagi,” ujar sang juri.
“Lihat ada yang datang,” seru sang calon presiden menunjuk pada seorang nenek. Nenek itu mendatangi rumah Khalifah Umar dengan tergesa-gesa.
“Demi Allah aku bermimpi aneh sekali.” Ujar nenek itu.
“Ceritakanlah mimpimu.” Kata Khalifah Umar.
“Aku bermimpi melihat neraka yang berkobar apinya. Dan, ada titian siratul mustaqim di atasnya. Kemudian, Abdul Malik bin Marwan dibawa di atas titian itu lalu jatuh ke neraka jahanam. Kemudian, dibawa al-Walid bin Abdul Malik moyang Anda, setelah hampir ke ujung kemudian dia jatuh. Kemudian, dibawa Sulaiman bin Abdul Malik, nasibnya pun begitu juga.”
“Teruskan… teruskan…,” ujar Khalifah Umar gundah, suaranya bergetar, kecemasannya menjadikan tubuhnya menggigil dan ketakutannya bisa dilihat oleh sang juri dan sang calon presiden..
“Setelah itu giliran Anda… saat giliran Anda… Anda, Anda masuk….”
Bug! Belum selesai si nenek bercerita, tubuh Khalifah Umar terjatuh.
“Ya Tuhan… ya Allah, aduh, bagaimana ini? Khalifah, khalifah, mengapa Anda? Ada apa dengan Anda?” Si nenek mengguncang-guncang tubuh Khalifah Umar dengan penuh cemas, sejurus kemudian berdatanganlah orang-orang mendekati tempat itu.
“Cepat kita kembali ke karpet!” Secepat kilat pula mereka sudah tiba di ruangan kosong lagi.
“Apa yang terjadi pada Khalifah Umar?” tanya lelaki itu penuh rasa ingin tahu.
“Beliau wafat karena takut dirinya juga menerima nasib yang sama dengan pendahulu-pendahulunya. Usianya masih 36 tahun dan beliau hanya memerintah selama dua tahun. Seluruh hartanya sebelum menjabat menjadi khalifah diserahkan semua ke baitul mal dan beliau hidup seperti rakyat biasa. Ketika beliau wafat, semua berdukacita, termasuk mereka yang bukan Islam. Terasa betapa makmurnya mereka hidup di bawah pemerintahan beliau. Kambing dan serigala yang saat pemerintahan beliau berbaikan, setelah beliau wafat bermusuhan lagi.”
“Mengapa bisa begitu?”
“Karena beliau orang bertakwa, tak ada seujung rambut pun beliau punya kepentingan dunia, sekali pun sanjungan atau kehormatan, apalagi harta.”
“Maksud Anda, dia hanya punya kepentingan dengan akhirat?”
“Ya, dia merasa jadi pemimpin adalah amanat Tuhan yang harus dijalankannya dengan baik dan benar. Dengan penghormatan saja beliau merasa tersiksa, apalagi dengan harta.”
Sang calon presiden terdiam dan termenung.
“Apakah Anda siap menjadi presiden seperti beliau?” tanya sang juri.
Sang calon presiden tidak menjawab, dia malah tergugu menangis.
Lho, mengapa Anda malah menangis?”
“Ada apa saya ini? Tidak pernah terpikir sedikit pun dalam diri saya menjadi orang seperti beliau, bahkan tidak sedikit pun saya memiliki sifat seperti beliau, berani-beraninya saya mencalonkan diri.” Masih tergugu lelaki itu menjawab.
“Lantas?”
“Periode ini saya mengundurkan diri, saya ingin memperbaiki diri dulu dan juga memperbaiki niat saya mencalonkan diri jadi presiden. Atau, mungkin juga saya tidak berani-berani lagi mencalonkan diri menjadi presiden. Seumur hidup.”
“Memang seharusnya begitu,” batin sang juri dalam hati sambil tersenyum. “Kita sedang sangat membutuhkan pemimpin yang dipilih oleh Tuhan, bukan manusia.” (*)
 .
.
Sentul, 260811
Penulis adalah seorang guru. Aktif menulis sejak kelas 1 Sekolah Menengah Pertama. Puluhan karyanya dimuat di sejumlah surat kabar dan majalah. Pertama menulis, karyanya langsung dimuat di sebuah surat kabar  nasional.




Source:http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Toni Lesmana (Koran Tempo, 30 Oktober 2011)
 

LELAP sekali dirimu terbaring di lantai. Tak ada yang bergerak selain isyarat lemah napasmu. Mimpi apa yang tumbuh dalam tidurmu? Aku hanya bisa memandangmu. Tubuhmu nyaris telanjang. Aku terus memandangimu sambil perlahan merayap di tembok, memanjat kaca jendela dan meloloskan diri pada lubang angin.
Tak tahan melihatmu terus tertidur, aku ingin pergi sebentar melihat negerimu. Barangkali aku akan menemukan sesuatu yang dapat membunuh seluruh rinduku padamu. Atau mungkin pergi darimu selamanya. Tidak, aku tak mungkin sanggup. Tapi aku harus lepas dan bertualang. Masih sempat kulirik tumpukan buku dan kertas yang berserak di lantai. Tulisan yang belum tamat di layar komputer. Sama seperti dirimu, mereka juga pulas dan lelap. Dari kamarmu, kutangkap tubuh istrimu yang meringkuk, seperti memeluk. Ada gerak-gerik di sana. Namun aku tak tahan lagi. Betapa aku sakit menatapmu terus tertidur.
Pekarangan yang dingin, kabut merubung lampu-lampu. Aku menyusupinya. Rumah-rumah kelabu. Gang yang lembab. Ada suara yang cukup nyaring di ujung gang. Aku melayang perlahan di tanah basah. Dan melesat menuju suara itu. Seorang pedagang nasi goreng nampak sedang sibuk mendorong gerobak sambil memukul-mukul wajannya. Dua orang pemuda mabuk menghampirinya, tawar-menawar. Akhirnya dengan muka sedikit marah penjual nasi goreng itu meluluskan keinginan sang pembeli. Kedua pemuda itu duduk di trotoar. Meracau tak tentu. Mata mereka rapat terpejam. Begitu pula mata sang pedagang. Bagaimana mereka bisa mabuk dan berdagang dalam keadaan tertidur? Keparat. Aku teringat dirimu. Dirimu yang melulu tidur. Dirimu yang sering kukutuk karena tak juga membuka mata barang sekejap. Ternyata tak hanya dirimu. Negeri apa sebenarnya yang kau tinggali dan tak pernah usai kau cintai ini?
Lepas dari mulut gang, aku cepat-cepat meninggalkan pemandangan suram yang tadi kukejar dengan penuh pengharapan. Berlari dalam kabut menuju pusat kota. Orang gila berteriak-teriak di jembatan. Gelandangan memeluk kardus di trotoar. Sepasang manusia berciuman di bawah lampu jalan. Seorang fotografer asyik memotret sebuah bangunan kuno. Serombongan anak punk bernyanyi-nyanyi sambil berjalan. Satpam sebuah rumah repot mengejar pencuri. Tapi mata mereka semuanya terpejam. Mereka semua tidur. Itulah kehidupan dalam tidur. Aku terus berlari. Berlari dalam penasaran. Kususuri seluruh pelosok kota. Memasuki gedung demi gedung. Melewati perempatan demi perempatan. Melesat ke alun-alun. Berdiam di terminal. Menyaksikan pasar. Mengaduh di stasiun. Apa yang kudapati adalah orang-orang yang tertidur. Semuanya berjalan sambil tidur. Tak ada mata yang terbuka. Tak seorang pun terjaga. Tubuh-tubuh itu bergerak dengan mata tertutup.
Malam sebentar lagi usai. Orang-orang dan kendaraan mulai memenuhi jalanan. Lampu-lampu mati dan kabut menyusut entah ke mana. Aku menyaksikan matahari pagi terbit di sebuah pelataran gedung pemerintahan. Orang-orang dengan pakaian rapih dan berseragam nampak mulai sibuk menyiapkan segala sesuatu. Sepertinya bakal ada acara. Ada panggung lumayan besar dengan peralatan band dan tata suara lengkap. Kursi-kursi tertata rapih. Hajatan di gedung yang paling besar dan megah. Perlahan semakin banyak yang datang. Para pejabat, pengisi acara, juga masyarakat, datang sebagai penonton. Puluhan bahkan ribuan orang mulai memadati pelataran gedung yang luas. Acara yang meriah. Pidato-pidato dengan suara yang lantang dan bersemangat, tangan yang terkepal, dan riuh sorak masyarakat. Doa-doa dipanjatkan. Puisi, lagu, dan tarian dipentaskan. Mereka mengerjakan itu dengan mata terpejam. Padahal matahari nyaris mencapai puncak ketinggian di langit.
Aku pun mengikuti anak-anak sekolah yang berjalan riang menuju sekolah mereka. Tak berapa lama kemudian di dalam kelas kulihat guru mengajar sambil tidur dan anak-anak sekolah belajar sambil bermimpi. Dan kecewa membawaku melayang dari satu kantor ke kantor yang lain. Tak berbeda adanya. Orang-orang bekerja sambil tidur. Mereka mengerjakan dan menyaksikan korupsi tanpa membuka mata. Di pengadilan, hakim menjatuhkan vonis dengan mata tertutup. Sipir penjara menjaga narapidana juga tanpa membuka mata. Semua berjalan dengan tenang tanpa gejolak. Dan aku berlari lagi ke pabrik-pabrik yang riuh dan gaduh. Para buruh berpeluh dalam tidurnya. Sang majikan menghitung uang sambil tidur pulas.
Aku ingin pergi sejauh-jauhnya, barangkali masih ada kehidupan yang terjaga dan waspada. Sepasang mata yang terbuka. Namun, di jalanan aku menemukan sekelompok demonstran yang meneriak yel-yel berani juga dengan mata yang tidur. Beberapa melakukan perusakan dan terjadi bentrokan sambil bermimpi. Dengan sedikit malu-malu aku singgah di beberapa rumah ibadat, mengikuti sejumlah ritual yang khusyuk. Hanya seperti khusyuk, nyatanya mereka juga beribadah dalam tidur.
 .
PERJALANAN segera saja membosankan. Siang hari saja sudah begini. Apalagi malam hari. Tak ada seorang pun yang membuka mata. Semuanya hidup dalam tidur. Kesadaran seperti sebuah kondisi yang tak lagi diperlukan. Sementara ketidaksadaran menjadi sebuah kehidupan. Barangkali aku sedikit bisa memahami apa yang terjadi pada dirimu, setelah selama ini aku menganggap dirimu gila. Kini tak dapat disangkal, bahwa kau adalah bagian dari sebuah negeri yang memang lelap dan tak pernah bangun. Sepanjang perjalanan pulang aku mulai belajar menutup mata sambil melayang. Namun berkali-kali aku tersesat. Dan semakin jauh dari rumahmu, dari dirimu. Alih-alih semakin dekat, ini malah semakin menjauh. Aku muncul di pasar yang terbakar, di samping sebuah bom yang meledak, di sekolah yang runtuh, juga di sebuah rumah ibadat yang dilempari batu. Betapa susah menggenapi perjalanan sambil menutup mata.
Tiba-tiba aku berada di perempatan bersama pengamen dan anak-anak kecil penjual cobek batu, malah tak sengaja masuk ke kamar hotel dan menyaksikan seorang pejabat memeluk tubuh perempuan muda yang pasti bukan istrinya. Aku melayang-layang tak tentu arah. Heran sungguh aku, bagaimana dirimu dan penghuni negeri ini bisa melakukan semuanya dengan kelopak mata yang terkunci. Akhirnya kubuka kembali mataku lebar-lebar, lantas melayang cepat di atas kota. Senja hampir habis. Dan aku ingin segera kembali ke rumahmu. Ke tubuhmu. Cukup sudah perjalanan ini. Setidaknya dapat kupahami apa yang terjadi pada dirimu.
Hinggap di atap rumahmu, aku memasuki celah-celah genting. Meluncur turun ke lubang di langit-langit rumahmu. Aku melihat dirimu masih terbaring di lantai. Sementara istrimu seperti sedang menyusui.
Kau tertidur dengan telentang. Wajahmu begitu damai. Dadamu bergerak halus. Napasmu lemah. Tubuh yang sering kucaci kini nampak sangat indah. Indah dalam tidurnya yang lelap. Tubuhmu. Aku cepat meluncur kembali. Namun aku tak dapat menjejak lantai. Aku hanya melayang-layang mengitari tubuhmu. Tanganku menggapai-gapai namun tak dapat menyentuh. Tanganku tak dapat menyentuh apa pun. Semuanya. Rambutmu. Hidungmu. Bibirmu. Tanganmu. Dadamu. Kakimu. Semuanya tak dapat kusentuh. Tanganku hanya menembus semuanya.
 .
TIBA-TIBA aku menjadi begitu takut. Aku lupa bagaimana aku meninggalkanmu. Meninggalkan tubuhmu. Aku lupa. Kini aku begitu merindukan memasuki kembali tubuhmu. Tubuhku. Namun aku tak tahu bagimana caranya. Aku mulai berteriak-teriak. Namun tentu kau tak akan mendengarku. Tak akan ada yang mendengarku. Aku melayang-layang dalam rumah. Aku tabrak semua barang. Namun tak satu pun yang bergerak.
Tubuhmu nampak semakin indah.
Tubuhmu. Tapi kini tubuhmu tak lagi telanjang, tapi mengenakan kemeja dan celana jeans. Berarti tubuhmu telah bergerak selama aku pergi. Bagaimana mungkin? Bagaimana kau bergerak sementara aku pergi meninggalkanmu. Tubuhmu adalah tubuhku.
Itu tubuhku! Aku berteriak tiba-tiba entah pada siapa. Ketakutan semakin merajalela. Aku tak dapat memasuki tubuhku sendiri. Aku hanya melayang berputar-putar seperti layangan putus. Ketika aku melihatmu terbangun. Berdiri. Berjalan menuju kamar. Lantas berbalik, mengarah ke dapur. Memanaskan air. Menyeduh teh. Dan membawanya ke ruang tengah. Tubuhmu menyalakan komputer. Menyalakan sebatang rokok. Aku menghalang-halangi. Namun aku, tubuhku, kau tembus begitu saja. Ah, matamu yang terus terpejam itu, membuatku seperti gila.
Itu tubuhku! Aku berteriak berulangkali. Kini dengan tangisan dan jeritan.
Tubuhmu mulai menulis di komputer. Asyik sendiri.
Aku melihatmu. Hanya dapat melihatmu. Aku ingin memasukimu. Tubuhmu adalah tubuhku. Tubuhku. Aku melayang kesepian di sudut ruangan. Tak tahu hendak bagaimana. Sungguh, mulai dapat kupahami kau hidup sambil tertidur. Namun kini, aku tak dapat mengerti bagaimana dapat kau hidup tanpa nurani, tanpa hati. Barangkali seluruh penghuni negeri penidur ini tak hanya hidup dalam tidur, barangkali mereka juga hidup tanpa hati, tanpa ruh. Seperti jarum detik. Seperti mesin. Seperti robot. Seperti tubuhmu kini. Tubuhku, tubuhku. Alangkah malang tubuhku.
Aku terus mengingat cara untuk dapat memasukimu. Aku ingin menceritakan perjalananku. Aku ingin mengajakmu untuk menulis dengan mata terbuka. Namun aku hanya dapat melayang-layang. Tersesat sendiri tanpa tubuh. (*)
 .
.
Kedungpanjang, 2011
Toni Lesmana lahir di Sumedang 25 November 1976. Menetap di Ciamis, Jawa Barat. Ia juga menulis puisi dan cerita dalam bahasa Sunda.



source: http://lakonhidup.wordpress.com