Menjelang Maut
Cerpen Miftah Fadhli (Republika, 8 Mei 2011)
SEBELUM matahari tegak lurus di atas kepalanya, dia bergegas meninggalkan rumah ketika azan berkumandang dari masjid yang terletak agak jauh di perempatan jalan raya. Lelaki itu agak ragu mengambil langkah demi menyeberangi jalan selebar sepuluh meter, sebab lalu lalang kendaraan yang tak ada habis-habisnya. Setiap hendak maju selangkah-dua langkah, dari arah kanan melintas tiga sepeda motor dengan kecepatan yang tak terduga. Dia dapat merasakan angin bagai ujung duri di cuping hidungnya.
Sementara itu, azan telah berakhir di syahadat kedua. Dia masih belum menemukan ruang yang cukup longgar buat dia menyeberang. Dia tidak ingin ketinggalan barisan jamaah, namun deru rapat kendaraan menghalang-halanginya mengambil keputusan langkah pertama.
Sesungguhnya, saat azan telah berakhir dan—barangkali—bersiap-siap menyambut iqamat, dia menggulung sarungnya hingga di atas betis dan mewanti-wanti kendaraan dari arah kanan dan kiri. Itu jalan raya dua arah tanpa jeda trotoar di tengahnya sebagai batas. Pembatas hanya garis putih panjang tiada ujung. Saat muazin telah berkoar pada lafal iqamat pertama, lelaki itu menggerakkan kaki bakal langkah pertama. Seandainya dia mati pada langkah selanjutnya, dalam hati, dia telah bersiap-siap dengan syahadat. Sebetulnya sejak mewanti-wanti desing kendaraan sejak tadi, dia telah mengucap syahadat dalam hati.
Ketika hendak memindahkan kaki pada langkah keempat, dia ragu menilai kecepatan mobil pick up dari arah kanan, apakah si empunya mobil akan berhenti dan menunggu dia menyeberang atau jalan terus. Antara iya dan tidak, betisnya gemetar, lafal syahadat semakin kencang dia gumamkan. Andaikan pick up itu adalah penanda akhir hidupnya, dia telah ikhlas meninggal dengan menjadi mujahid di jalan Tuhan—meninggalkan dunia dengan berbekal hati yang insya Allah (gumamnya) bersih, dan peci putih. Bagaimanapun, dia meninggal dalam perjalanan menegakkan rukun Islam.
Dia meremas lipatan sarungnya saat bunyi decit roda menggesek aspal, menurunkan lehernya menahan ngilu pada telinga dan melafalkan takbir saat mobil pick up yang melaju cepat tiba-tiba berbelok ke belakang punggungnya secara tiba-tiba, menyenggol barang segelintiran bahu, dan berkoar bak bermulut toa mengucapkan syahadat saat bunyi kedubrak keras terlantun di udara. Iqamat telah lama selesai, dan bunyi ‘amin’ membahana di udara lewat speaker masjid.
Orang-orang berkerumun—sebagian lelaki tak membiarkan si empunya pick up melarikan diri—mengelilingi si pemilik tubuh yang tergeletak dengan darah bagai genangan hujan, membasahi aspal menyelimuti pakaiannya, dan muncrat sebagai titik-titik noda sejauh tiga meter.
Lelaki itu—bagaimanapun takutnya—merasa penasaran dengan si empunya badan yang tertutupi tubuh orang-orang yang kebetulan berada di sekitar jalan raya yang ramai itu. Dia menerobos benteng tubuh wanita, anak-anak, para lelaki, dan menatap dengan pandangan yang penuh istighfar saat menyaksikan si empunya tubuh menggelepar.
Kepalanya telah retak, namun telapak tangannya masih bergerak-gerak selayaknya mulut kerang dan tubuhnya menggeliat seolah-olah ikan terdampar di daratan. Mulutnya megap-megap mengambil udara, membuat si lelaki paruh baya merasakan bulu tengkuknya berdiri dan punggungnya dingin. Dari awal hingga akhir, dia menyaksikan mulut yang megap-megap itu perlahan berhenti bergerak sambil terus mengucurkan darah dari dalam tubuh. Dalam hati, syahadat itu telah berubah gumam menjadi racauan ngeri tak terbahasakan. Si empunya tubuh, dia sangat kenal, namanya Badrun.
***
“Badrun, takkah kau dengar itu azan? Terlalu sayupkah kumandang muazin itu di telingamu?”
“Dengar, Pak Haji. Tapi nanggung. Saya sudah kalah telak, Pak Haji.”
“Apa sebutan agama di KTP-mu itu, hah?”
“Islam, Pak Haji.”
“Kalau begitu ayo shalat. Jangan kau remehkan panggilan Allah itu.”
Badrun bangkit setelah melemparkan sebuah kartu dari tangannya. Hidungnya dan hidung lelaki paruh baya—Pak Haji sebutannya bagi orang kampung—itu bagai hendak bercium mesra, tapi tidak. Ludahlah yang justru muncrat dari mulutnya, membasahi pipi lelaki paruh baya itu. Dengan sekali hentakan kaki, lelaki itu mundur tiga langkah dan mengusap dada seraya mengucap istighfar.
“Tobatlah kau, Anak Muda, sebelum Allah murka.”
“Peduli setan, Pak Haji. Sudahlah, tunaikan saja shalat Pak Haji sana. Jangan ajak-ajak orang!”
Lelaki paruh baya itu berselonjoran di dipan teras rumahnya sekembalinya dari masjid. Istrinya, Bu Hajjah—begitu ia dipanggil orang sekampung—membawakan sepiring ubi rebus dan kopi pahit. Lelaki itu minta dipijit betisnya. Rapuh sudah tenaganya bolak-balik ke masjid setiap hari. Tapi, toh dia selalu bersyukur.
“Si Badrun itu, Bu. Telah kerasukan setankah dia?”
“Sudahlah, Pak. Percuma keringat bapak curahkan buat anak itu. Bapak tahu pepatah, kan? ‘Buah tak kan jatuh jauh dari pohonnya’.”
Lelaki itu mengembuskan napas panjang. Badrun, lelaki pemabuk, penjudi, peselingkuh—meski sebenarnya telah lama dia ceraikan istrinya—memang bukan buah salak yang jatuh di bawah pohon durian. Bapaknya salak, Badrun, sang anak pun tak kalah salaknya. Bapak pemabuk, penjudi, peselingkuh; si anak pun tak jauh beda. Torin, si bapak, telah meninggal dua tahun lalu disengat petir saat asyik main api di tengah sawah orang. Tubuhnya layaknya kayu terbakar api, asap membumbung tinggi dari tubuh sekaratnya, sementara si anak perawan selamat, terduduk menangis di samping tubuh Torin.
Dibawa ke balai desa, tak mati juga si Torin. Lelaki paruh baya itu—yang kiranya telah pergi haji dua kali itu—dipanggil dan dimohonkan membaca Yasin barang mengantarkan Torin ke muka Ilahi. Mulutnya megap-megap, telapak tangannya mengatup-membuka bagai mulut kerang. Telah habis Yasin, Torin tak juga berhenti napasnya. Sejam kemudian, dipanggillah si anak perawan itu, dicurahkan isi hatinya di hadapan tubuh Torin—betapa pilu pengakuan gadis yang ternyata suka ditoel bokongnya oleh Torin itu—barulah si empunya tubuh berhenti napasnya. Matanya membelalak, dengan ngeri lelaki itu—Pak Haji itu—menutup kedua matanya dengan telapaknya yang gemetar.
“Tak jerakah dia, si bapak meninggal dengan tubuh hitam hati hitam?”
“Namanya hati, Pak, penuh lubang, penuh ruang. Sekali setan masuk, nikmatnya seperti menyesap tuak.”
***
Lelaki itu telah bersiap dengan sarung wangi kambojanya. Istrinya telah tunai menamatkan bedak pada pipi, dan sangat bersahaja dengan baju terusan berwarna putih dengan payet warna serupa di ujung kain. Jilbabnya panjang menjauhi dada. Dengan sepeda motor mereka hendak berangkat ke rumah sakit menjenguk Bu Halimah yang telah sebulan terbaring karena penyakit jantung. Kabarnya, penyakitnya bertambah parah kemarin.
Di rumah sakit, di depan ruang Melati, telah menunggu sanak saudara juga anak satu-satunya, Annisa, dengan cemas melingkupi wajahnya. Katanya, dokter tengah memeriksa sang ibu ditemani suaminya, Raifan. Mata Annisa sembap seolah lantai sehabis diguyur gerimis. Jilbabnya kuyu, bajunya lusuh, sebab telah seminggu dia menunggu sang ibu dengan cemas.
Suami lelaki paruh baya itu mengusap-usap bahu Annisa, dan membisikkan kata-kata yang tak dapat didengar olehnya. Selama menunggu dokter memeriksa Bu Halimah, lelaki itu berbincang-bincang dengan paman Annisa, Abdul Kodir. Setelah sarapan, kemarin kondisi Bu Halimah sebenarnya sudah membaik, ujar Abdul Kodir, dan seharusnya sudah bisa dibawa pulang. Namun setelah shalat Zhuhur usai, ia pingsan dan detak jantungnya tiba-tiba melemah. Puncaknya adalah selepas Subuh, Bu Halimah bergumam dalam tidurnya, memanggil-manggil nama suaminya yang telah lebih dulu tiada. Semakin siang, detak jantungnya semakin lemah. Terakhir Annisa mengatakan bahwa ibunya susah bernapas, kemudian ia lekas memanggil dokter dan menunggu di luar sampai yang lain datang.
Lelaki itu mengembuskan napas melihat betapa rumit perasaan si anak, Annisa.
Pintu ruangan terkuak. Raifan, suami Annisa bermuka sendu, memanggil Annisa untuk menghadap sang ibu. Lelaki paruh baya itu juga turut dipanggil memohon mengantarkan sakratul maut si empunya tubuh dengan membacakan Yasin.
Masuk ke ruangan itu, dia seolah merasakan ketenangan menggelayut di dinding-dinding kamar, hangat melingkupi udara. Bu Halimah bernapas satu-satu dengan tenang sambil mengucapkan beberapa patah kata kepada sang anak. Tak kedengaran jelas oleh lelaki paruh baya itu, namun persis setelah Yasinnya kandas, suara syahadat dari bibir si empunya tubuh terdengar bagai gelenting bel membuat tubuhnya kuyu dan bergetar. Dalam sekejap, saat lelaki paruh baya itu tak lagi menyaksikan si empunya tubuh mengembuskan napas, mulutnya ternganga, matanya menatap dalam wajah Bu Halimah. Wajah yang terang, kulit yang putih bagai langit.
***
“Padahal, dua hari lalu Bu Halimah itu baru masuk rumah sakit lho, Pak. Tapi, hari ini ia sudah bikin selametan.”
“Patut disyukuri, Bu. Suami istri seperti bunga dan tangkainya. Selaras.”
“Alhamdulillah, Pak. Saya teringat dengan Pak Suryaman itu. Beliau meninggal setelah memberi makan anak yatim.”
“Saya ingat, Bu.”
“Ini, Pak, dimakan. Penganan dari selametan.”
“Ngomong-ngomong Bu Halimah bikin selametan buat siapa?”
“Saya juga tidak tahu, Pak. Tadi di rumahnya banyak anak dari panti. Oh iya, saya ingat, ibu-ibu pengajian kemarin bilang Bu Halimah ulang tahun hari ini.”
Lelaki itu mengangguk. Seingatnya, saat anaknya, Annisa, menikah dua tahun yang lalu, Bu Halimah juga mengundang anak panti ke rumahnya. Lalu saat akikahan cucu pertamanya, ia sekeluarga bertandang ke rumah jompo menggelar acara di sana. Membayangkan itu semua, tak terbayangkan olehnya nikmat Tuhan di surga kelak.
“Pak, jangan melamun. Tidak baik.”
“Astaghfirullah. Oh, sudah Ashar, Bu. Sisakan kuenya buat nanti malam.”
“Kenapa, Pak?”
“Lho, kan Suryadi dan istrinya mau datang, Bu.”
“Oh, masya Allah, saya lupa, Pak. Sudah lama saya tidak menimang-nimang anak Suryadi, Pak.”
***
Sudah seminggu lelaki itu hanya berbaring di kamarnya. Sekujur badannya panas dan menggigil. Dokter berkata kalau dia terserang demam biasa. Anaknya, Suryadi, telah dua hari menginap di rumah bapaknya itu.
Istrinya tak paham dengan kondisi suaminya. Setelah pulang dari rumah sakit menjenguk Bu Halimah, dia langsung tidur dan keesokan paginya mengeluh kedinginan. Saat diukur dengan termometer, panasnya sampai 40 derajat, membuat Bu Hajjah panik.
Sementara itu, lelaki paruh baya itu dalam sakitnya membayangkan tubuh Badrun menggelepar di aspal. Bersamaan dengan itu, dia membayangkan Bu Halimah yang meninggal dengan tenang, dengan syahadat terucap sempurna di bibirnya. Berbeda jauh dengan kondisi Badrun juga bapaknya menjelang sakratul maut.
Tengah malam, dia terbangun dengan tubuh panas dan tangan gemetar. Dia membangunkan istrinya dan mengeluh kedinginan.
“Sudah hangat, Pak?” tanya istrinya setelah menyelimutinya dengan sarung ketiga.
Dia menggeleng. “Bu, saya takut.”
“Kenapa, Pak?”
“Saya… sa….”
“Kenapa, Bapak?”
Dia memejamkan matanya, mengembuskan napasnya dan mencoba menahan dingin tubuhnya. “Saya melihat malaikat membawa orang-orang itu.” (*)
.
.
Depok, 2011
Penulis yang mempunyai nama lengkap Miftah Fadhli ini beberapa kali menjuarai lomba menulis puisi. Sejumlah cerpennya pernah dibukukan, yaitu antologi cerpen bersama “Hampir Sebuah Metafora” (Indiepublishing, 2011) dan antologi novelet bersama “Cinta Jangan Kau Pergi” (Hafsa Publlisher, 2011). Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan aktif di Teater Sastra UI. Pementasan pertamanya berjudul “Sketsa Robot” karya dramawan I Yudhi Sunarto, yang dipentaskan pada November 2010 di Taman Ismail Marzuki.
Source: http://lakonhidup.wordpress.com
.
0 komentar:
Posting Komentar