Cerpen Setta SS (Sumatera Ekspres, 8 Mei 2011)

Ada sebuah kolam ikan tak jauh dari sekolahku. Kolam ikan itu milik Wak Jasim. Aku selalu melewatinya ketika berangkat atau pulang ke rumah dari sekolah. Di kolam ikan itu ada ikan mujahir, nila, lele, dan ikan emas. Aku suka melihat ikan-ikan itu berebut makanan ketika Wak Jasim memberi mereka pakan.  Mereka selalu makan bersama-sama dengan ceria. Jujur, terkadang aku iri melihat keakraban mereka. Aku sangat berharap, aku pun bisa lebih dekat dengan keluargaku seperti keakraban ikan-ikan di kolam Wak Jasim itu….
MALAM semakin beranjak matang. Lelaki muda itu semakin hening. Tetapi sepasang matanya tak jua redup meski sedari tadi sudah diserang jarum kantuk bertubi-tubi. Tiba-tiba perasaan ganjil menyelinap lindap. Ia seperti meridukan sesuatu yang entah. Sesuatu yang tak wujud, tak terdefinisikan. Mungkin, seperti keceriaan ikan-ikan di kolam Wak Jasim kah?
***
Kanvas raksasa berpigura horizon diperciki jelaga pekat berhiaskan sepotong bulan pias yang bergantung malas di batas cakrawala dilingkupi awan nimbostratus lebih tampak segerombolan bulu domba. Kesenyapan adalah melodi paling harmoni yang telah disepakati bersama untuk disenandungkan sekelompok orkestra alam. Nadanya yang dingin tak berkawan melenting ke pori-pori udara lembab, terpantul tak hanya di pucuk-pucuk dedaun basah dan ceruk-ceruk bah aspal jalanan yang tak lagi mulus karena hujan sepanjang sore, namun sanggup menembus ke balik dinding-dinding batu kamar kontrakan di salah satu gang kompleks perumahan padat sebuah kota satelit; menelusup lewat ventilasi udara, bagian bawah pintu yang tak rapat sempurna, dan kisi-kisi jendela yang beku. Seperti mantra sihir menghiptonis, murajab mengatupkan mata-mata lelah seluruh penghuninya setelah merentang otot seharian. Oh, tidak, kamar di paling ujung ternyata masih menyiratkan tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
Sebuah kamar maskulin? Sebuah beker antik terduduk pasrah di pojok meja kecil berkaki pendek, hampir menempel ke dinding, di tengah ruangan. Putaran jarum merah yang mengatrol pergerakan dua jarum lainnya terdengar khas. Di dekatnya sebuah wadah berbentuk balok berdiri dari potongan kaca yang direkatkan lem berisi penggaris mika dua puluh senti, dua buah pensil gambar, sebuah bolpen berisi tinta empat warna, dan sisir mini setia menemani. Ambal coklat tebal dan dua kasur lipat yang menutup lantai keramik kamar itu sempurna menyerap gebyar cahaya neon yang menempel di kanopi asbes. Sebuah cermin besar di dinding memotret bayangan di sebrangnya; sepotong span hitam, kemeja lengan pendek biru, sehelai koko baru, peci shalat dari rajutan nilon abu-abu biru, dan singlet putih tergantung rapi di sebalik pintu.
Di sudut lain, di antara lemari kayu kuning gading dan rak buku raksasa yang menutup lebih separoh dinding timur kamar, sebuah papan agenda harian dari karton licin terpasang elegan. Cardboard  berlapis gabus setebal satu senti itu hanya ditulisi dua kalimat pendek tulisan tangan spidol merah darah: Winners don’t do different things. They do things differently. Ungkapan Shiv Khera yang dikutip dari You Can Win, buku pertama sosok Indian yang meledak di pasar lintas kontinental itu. Apakah penghuni kamar itu mengidolakan motivational speaker pencipta metode Blueprint for Success yang mencakup point-point berikut ini: motivasi, sikap, ambisi, kepemimpinan, teamwork dan harga diri? Sejatinya ia tak pernah mengidolakan siapa pun, ia hanya terpenjara pada selarik rangkaian huruf-huruf yang ditulis-ulangnya itu. Tak lebih. Dan memang begitulah faktanya. Ia cukup bangga mengidolakan dirinya sendiri.
Tak ada perabot lain di ruangan tiga kali empat meter itu. Selain galon air mineral dan gelas bening berlengan menangkup di mulut galon. Tak ada asbak berjubel abu kuntung atau sobekan bungkus kopi instan. Karena penghuninya tak pernah merengek minta ditemani keduanya saat harus melek hingga larut sekalipun. Ia, seorang lelaki muda berkaos oblong dan bersarung, sedang duduk khusyu di tengah ruangan menghadapi sebuah meja kecil berkaki pendek.
PERCAYAKAH ANDA BAHWA SAYA ADALAH ORANG TERHEBAT SEDUNIA?
Kamu dapat membaca dengan jelas kata-kata itu tertera pada bagian pungggung kaos oblong yang dikenakannya, menggunakan huruf balok dengan warna kontras.
99% responden menjawab YA dan 1% menjawab TIDAK. Survey telah dilakukan pada 100.000.000 orang dan Anda adalah orang yang terakhir.
Kelanjutan kalimat itu, agak jauh letaknya ke bawah hampir mendekat ke pinggangnya.
Hmm… kamu tak sepenuhnya keliru jika menerka ia tipikal robot kapitalis yang lebih sering lupa waktu, kadang lupa diri, dan tak pernah sudi diganggu. Hampir setiap malam, di saat semua penghuni kontrakannya lelap dijerat mimpi, ia masih akrab berkutat dengan sederetan bahasa pemograman. Tahukah kamu, deret bahasa sandi itu cinta matinya selama beberapa tahun belakangan ini. Simbol-simbol latin itu tak lain nyawanya yang sesungguhnya. Hatinya seolah telah beku, tak tersentuh, tak menyisakan ruang bagi sosok gemulai—di matamu, namun kadung terpatri dalam benaknya sebagai pencipta horror. Ia pun setia menjadi diri sendiri di usia yang semakin matang dan mandiri.
Tepat pukul dua puluh tiga lewat tiga belas menit sembilan belas detik. Keruwetan program yang sedari dua jam sebelumnya sudah ia pelototi ternyata membuatnya jengah juga kali ini. Saat vakum itulah tiba-tiba sebuah pesan singkat dari nomer Ayahnya membuyarkan konsentrasi lelaki muda itu pada monitor 12 inci di hadapannya. Special message alert tone ponsel mungilnya purna merobek keheningan yang berdentang akut di dasar palung hatinya.
O ya, sebaiknya aku perkenalkan terlebih dahulu nama lelaki muda itu padamu: Satria—ya, kamu panggil sajalah dia Satria. Nama lengkapnya sangat panjang. Tapi ingat, jangan dibaca “Satrio”, dia sangat tidak suka itu. Karena ia merasa bukan Jawa, alibinya ketika aku tanyakan hal itu padanya.
“Pa, aku ado PR English. Disuruh buat karangan tentang lingkungan alam sekitar sekolah yang aku lihat. Minimal satu paragraf. Contohnya, I see landscape. Aku dak biso cara nyusun kalimat dan kata-katanyo. Kato guru aku, yang dinilai tu cara penyusunan kalimatnyo. Tolong carikan, Pa, aku dak biso. Besok ngumpulnyo!”
Bibir tipis Satria hanya sedikit merekah; namun tampang kecutnya membongkar pasang sebuah program berbasis bahasa C++ untuk simulasi aliran supersonic—sebenarnya ia hanya sedang mencoba-coba saja karena bukan bidang pemograman keahlian utamanya, tak sempat berganti rona. Pesan singkat itu forward-an dari SMS adik perempuannya. Ayahnya ternyata sedang di perjalanan dinas dan tak sempat menyusun sebuah karangan pendek dalam bahasa Inggris untuk memenuhi permintaan bungsunya, gadis kelas tujuh di sekolah menengah.
Ia memilih acuh dan kembali menatap himpunan kode-kode numerik pada layar monitor. Ada kehampaan merayap seketika di lembar-lembar membran otaknya tanpa bersuara. Ya, meski kamu lihat matanya menancap lekat di deret angka-angka buta.
Ia beralih ke pesan singkat itu lagi.
Inilah kesempatan yang kau tunggu-tunggu itu! Sebuah hardikan menghentak alam bawah sadarnya.
Ia ragu.
Terpaku.
Bisu.
Dan hardikan itu sekali lagi mencibirnya, menghempaskannya pada sebuah ruang kosong dalam lipatan waktu.
Maka, kini ia hendak membuka kembali laci memori paling bawah di lemari otaknya yang sudah sekian lama diabaikan. Kawan, jika kamu penasaran coba tengoklah sendiri apakah tampak debu lekat menempel di sekujur permukaan laci memorinya itu? Aha! Beruntunglah ia masih menyimpan kunci gembok kecilnya, tergantung di satu sudut nuraninya. Pengembaraan menembus belantara kelam masa silam pun dimulai.
Ia teringat sketsa sebuah bangunan permanen di sebuah desa satu jam dari pusat keramaian ibu kota kabupaten, tersempil di satu ruang kecil di bagian selatan luasnya bongkahan tanah Andalas. Sketsa itu kini semakin jelas di pelupuk matanya. Mula-mula sebuah gerbang kokoh dari jalinan batang besi setinggi dua meter warna hijau lumut. Kemudian beranda depan rumah bercat putih dengan besi-besi seukuran telunjuk sisa coran yang mencuat tepat di atasnya. Sebuah meja antik, dua kursi plastik, dan sebuah kursi rotan yang anyamannya bolong tepat di tengah dudukan pantat untuk duduk santai dulu teronggok di sana. Namun ia sudah lupa detail bagian-bagian di dalam bagunan itu. Tentu saja, ia pun tak ingat lagi setiap sudut di bagian luar yang dulu berhalaman sangat luas itu. Yang masih terekam jelas hanya serumpun pohon jeruk nipis di pinggir pagar jeruji besi yang buahnya sangat lebat dan tak bosan ia buatkan minuman segar di siang terik. Genap delapan tahun ia tak menginjakkan kaki di lantai keramik putih bangunan permanen itu. Keramik putih? Itu dulu, entah sekarang, mungkinkah sudah berganti keramik merah delima?
“Teras depan rumah sudah diperluas sekarang. Banyak pot bunga kesayangan Mamamu di sana. Mirip toko bunga.”
Ayahnya berseloroh setengah bercanda, beberapa waktu sebelumnya, berpromosi meyakinkan saat memintanya pulang barang beberapa hari saja. Saat itu ayahnya menyempatkan mampir selagi tugas ke ibu kota.
Ia bergeming.
“Di samping kiri bagian belakang rumah, yang dulu tumbuh rindang pohon pelem itu, kini sudah disulap menjelma garasi mobil,” Ayahnya tak jera, terus saja bercerita tentang kediaman mereka terkini.
“Garasi mobil dinas?” gumamnya retoris, sekadar memastikan.
Apa kabar pohon salak dan durian di belakang rumah?
“Kolam 2 x 4 m di pinggir tembok jalan belakang rumah itu untuk induk gurame. Di pinggir tembok Wak Jasim, sepanjang tiga puluh meter, kandang entog. Rencana untuk kandang bebek kapasitas 500 ekor,” kata Ayahnya lagi.
Seketika ia teringat tingkah konyol bersama ketiga adiknya tak jauh di pinggir kolam ikan berair jernih yang sekarang ternyata sudah dibeton semua itu. Kolam ikan itu dulu bertabur pawai ikan mas dan nila. Suatu ketika, kepala adik bungsunya nyaris tertimpa sebutir kelapa tua yang jatuh tanpa permisi dari pohonnya di pinggir kolam itu.
Namun lagi-lagi kehampaan seolah tak lelah mencibirnya sempurna. Kekonyolan itu sudah jauh digerus waktu yang terus gegas melaju tak hirau jeritan pilu dan rintik sendu yang diam-diam menyatroni hatinya kini. Waktu yang tetap diam dan terus berjalan tanpa memihak pada siapa pun, tanpa membantu siapa pun; tak pernah kalah, tak akan usang, selalu baru, selalu tegar dan segar. *
Ke mana masa-masa penuh senyum itu sirna?
Satria menelan ludah serta merta. Tenggorokannya tiba-tiba seperti kram. Tak ingin ia mengingat kembali saat-saat keputusan paling sulit itu menjelma satu-satunya opsi yang paling diamini neutron syaraf di otaknya. Tak sudi ia terseret arus kembali ke pusaran sebuah episode kelabu. Tentang ide-ide yang selalu bersebrangan dan tak pernah menemukan titik temu. Tentang mufakat yang tak lebih indah dari slogan demokrasi, seekor makhluk asing di planet antah-berantah. Kecuali titah tak terbantah. Wanita itu diktator setara Hitler di hadapan goliath pada sosok hijaunya kala itu. Ya, dan ayahnya tak pernah benar-benar terlibat atau sengaja melibatkan diri dalam perseteruan antara ia dan wanita yang seharusnya dijunjung setinggi langit sepenuh bumi itu.
Sesungguhnya perasaan terbuang adalah bencana paling kronik. Seolah wanita itu hanya menanam janin di perutnya dan lantas membuangnya ribuan mil ke tanah sebrang. Membuang? Jika tidak, adakah seorang yang mempunyai naluri Hawa sanggup berpisah dari buah hatinya hanya sesaat berselang setelah kehadirannya? Dan dua puluh tahun terasing sebelum kembali dengan penolakan tersembunyi. Hanya itu yang dimahfumkannya selama ini.
Dirinya adalah alien yang sempat tersasar di hunian berlantai keramik putih itu dulu. Hingga pada akhirnya ia memilih tak pernah kembali. Hanya sesekali saja menengok sepasang lelaki tua dan nenek renta yang sangat bersahaja telah merawatnya sejak bayi merah di sela aktivitas perkuliahannya yang padat—ia sengaja memadatkannya dengan aktif di berbagai forum kampus, di sebuah universitas negeri tertua di Jawa. Dan, hampir satu dasawarsa bisu menihilkan sapaan kedua anak beranak itu.
“Hidup adalah sebuah misteri dini hari yang sangat pekat. Akan naas jika sudi tenggelam dan hanyut dalam lautan sentimentil berlebih. Ada kalanya kita harus legawa,” suatu waktu kata ayahnya, seolah ditujukan pada dirinya sendiri yang tak pernah sanggup mendinginkan konflik dua belahan jiwanya. Sosok yang mulai beranjak sepuh itu menatap dalam ceruk matanya bersahabat, tak pernah ada kesan menghakimi terdeteksi olehnya. Selalu begitu, bertahun-tahun, tak pernah berubah, tak mengenal lelah.
Ia mencoba tersenyum tulus menghormati. Tetapi bayangan seorang pemuda lugu yang sedang duduk mencangkung di ruang tengah rumah berlantai keramik putih itu, lebih sepuluh tahun silam, akan selalu hadir menghantui. Hujan deras, petir menggelegar, listrik mati, perut lapar, pemuda lugu itu terisak, tak mengerti kenapa ia ditinggalkan sendiri, tiga hari berturut. Pemuda lugu itu tak lain adalah dirinya yang baru tiba dari Jawa untuk menghabiskan liburan sekolah. Ayahnya tak tahu apa-apa tentang perlakuan itu karena sedang bertugas ke luar kota sejak beberapa hari sebelum kedatangannya. Adiknya yang paling besar tinggal di asrama sekolah, sedang dua yang paling kecil belum tahu apa-apa untuk dilibatkan dalam sebuah rahasia pelik itu. Wanita itu memboyong kedua adiknya meninggalkan rumah mereka ke kontrakan salah seorang famili tanpa permisi.
“Kau orang berilmu, Nak. Masa lalu akan menjadi catatan usang yang teronggok di lemari buku penuh kecoa,” lirih Ayahnya, kali ini lewat mimpi yang memaksa kedua matanya kembali terbuka tak lama berselang setelah terpejam pada suatu dini hari yang menggigilkan tulang.
Hingga pada akhirnya ia luluh, tersedu sendiri. Ego diri yang selama bilangan tahun diagungkannya melumer di hadapan lelaki pengasih itu. Kamu harus percaya, sesungguhnya ia tak sudi menyerah begitu saja. Namun mata elangnya tak kuasa melawan arus tatapan sepasang mata teduh itu setiap kali ia memberanikan diri menatapnya saat bersua. Sepasang ceruk beretina coklat tua yang menceburkannya pada sebuah kolam yang sangat dalam tak berombak tak beriak. Ia pun takluk dengan penghormatan tertinggi di dalamnya.
Tapi boleh jadi bukan itu penyebab sesungguhnya. Ia hanya sudah lelah dengan kesendiriannya. Mungkin. Ia memang merasa terbuang, namun ia yakin lelaki sepuh yang ia panggil Ayah itu tak pernah membuangnya. Ia pun hanya mengiris dendam pada seseorang yang tak ingin disebutnya lagi. Dendam? Entahlah kini. Ia hanya ingin memulai. Tak ada salahnya untuk memulai sebuah episode baru bukan? Ya, mungkin saja saatnya baru saja tiba.
Setelah membaca sekali lagi pesan singkat itu, memori otaknya kembali terlempar ke suatu lipatan masa, pada Wak Jasim, tetangga belakang rumahnya yang bertani ikan di lahan Ayahnya. Dulu ia beberapa kali menemaninya memberi pakan ikan-ikan lincah itu di kolamnya.
Satria mulai menggurat untaian kata di ponsel mungilnya dalam bahasa Inggris sesuai permintaan di SMS itu….
….
Beberapa kali jarum detik jam beker tak jauh darinya bersender ke dinding kamar mengitar sempurna tiga ratus enam puluh derajat. Pesan terkirim. Ia termangu. Kesendirian yang melabirin. Seperti menggerogoti nadi keakuannya.
Malam semakin beranjak matang. Lelaki muda itu semakin hening. Tetapi sepasang matanya tak jua redup meski sedari tadi sudah diserang jarum kantuk bertubi-tubi. Tiba-tiba perasaan ganjil menyelinap lindap. Ia seperti meridukan sesuatu yang entah. Sesuatu yang tak wujud, tak terdefinisikan. Mungkin, seperti keceriaan ikan-ikan di kolam Wak Jasim kah? (*)
 .
.
Yogyakarta, 15 April 2010 – Jakarta, 7 April 2011 22:12 WIB
Setta SS, lahir pada penghujung 1981 di Lubuklinggau. Penikmat sastra, alumni Jurusan Mesin FT UGM, berkarya sebagai Analis Industri di Ditjen IKM Kementerian Perindustrian.
 .
Catatan:
* Kata-kata inspiratif Andrie Wongso tentang waktu.

Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Sitok Srengenge (Kompas, 8 Mei 2011)

MESKI sedang liburan di rumah neneknya di Desa Bangunjiwa, Amir tetap bangun pagi. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari. Kalau sedang tidak libur, Amir bangun pagi untuk bersiap ke sekolah. Amir selalu ingat nasehat Nenek, “Orang yang rajin bangun pagi akan lebih mudah mendapat rezeki.”
Di mata Amir, Nenek adalah sosok perempuan tua yang bijak dan pintar. Amir tak tahu apa makna nasehat Nenek itu, tapi ia merasa ada benarnya. Bangun pagi membuatnya tidak terlambat tiba di sekolah dan tidak ketinggalan pelajaran. Selain itu, bangun pagi sungguh menyenangkan. Hanya pada waktu pagi kita bisa menikmati suasana alam yang paling nyaman. Cahaya matahari masih hangat, udara masih bersih, tumbuhan pun tampak segar, seolah semua lebih bugar setelah bangun tidur.
Pagi itu Amir mendapati Nenek duduk sendirian di beranda depan. Rupanya, Nenek sedang menyulam bendera. Amir menyapa dan bertanya, “Selamat pagi, Nek. Benderanya kenapa?”
“Oh, cucuku yang ganteng sudah bangun!” sahut Nenek pura-pura kaget. “Bendera ini sedikit robek karena sudah tua.”
“Kenapa tidak beli yang baru saja?”
Nenek tersenyum. “Belum perlu,” katanya. “Ini masih bisa diperbaiki. Tidak baik memboroskan uang. Lebih untung ditabung, siapa tahu akan ada kebutuhan yang lebih penting.”
“Bendera tidak penting ya, Nek?”
“O, penting sekali. Justru karena sangat penting, Nenek tidak akan membuangnya.” Nenek berhenti sejenak dan menatap cucunya. “Kelak, ketika kamu dewasa, Nenek harap kamu juga menjadi penting seperti bendera ini.”
Amir mengamati bendera itu. Selembar sambungan kain merah dan putih. Tidak ada yang istimewa. “Apa pentingnya, Nek? Apa bedanya dengan kain yang lain?”
Pertanyaan Amir membuat Nenek berhenti menyulam. Nenek diam. Pintar sekali anak ini, kata Nenek dalam hati. Nenek merasa perlu memberi jawaban terbaik untuk setiap pertanyaannya. Untunglah, Nenek teringat Eyang Coelho, seorang lelaki gaek yang cengeng dan sedikit manja, yang membayangkan dirinya bersimpuh dan tersedu di tepi Sungai Paedra. Eyang Coelho pernah menulis sebuah cerita tentang pensil. Nah, Nenek akan meniru cara tokoh perempuan tua dalam cerita itu ketika memberikan penjelasan kepada sang cucu.
“Penting atau tidak, tergantung bagaimana kita menilainya,” akhirnya Nenek berkata. Bendera ini, lanjutnya, bukan kain biasa. Ia punya beberapa keistimewaan yang membedakannya dengan kain-kain lain. Keistimewaan itu yang patut kita tiru.
Pertama: semula ini memang kain biasa. Tapi, setelah dipadukan dengan urutan dan ukuran seperti ini, ia berubah jadi bendera, menjadi lambang negara. Merah-putih ini lambang negara kita, Indonesia. Setiap negara punya bendera yang berbeda. Dan semua warga negara menghormati bendera negaranya. Tapi, jangan lupa, kain ini menjadi bendera bukan karena dirinya sendiri, melainkan ada manusia yang membuatnya. Begitu pula kita bisa menjadi apa saja, tapi jangan lupa ada kehendak Sang Mahapencipta.
Kedua: Pada waktu kain ini dijahit, tentu ia merasa sakit. Tapi sesudahnya, ia punya wujud baru yang indah dan bermakna. Kita, manusia, hendaknya begitu juga. Sabar dan tabah menghadapi sakit dan derita, karena daya tahan itulah yang membuat kita menjadi pribadi yang kuat, tidak mudah menyerah.
Ketiga: Bendera akan tampak perkasa jika ada tiang yang membuatnya menjulang, ada angin yang membuatnya berkibar. Artinya, seseorang bisa mencapai sukses dan berguna karena ada dukungan dari pihak-pihak lain. Kita tak boleh melupakan jasa mereka.
Keempat: Makna bendera ini tidak ditentukan oleh tempat di mana ia dibeli, berapa harganya, atau siapa yang mengibarkannya. Ia bermakna karena di balik bentuk dan susunan warnanya ada gagasan dan pandangan yang diwakili. Begitulah, kita pun harus memperhatikan diri dan menjaganya agar tetap selaras dengan cita-cita dan tujuan hidup kita.
Kelima: Seutas benang menjadi kain, lalu kain menjadi bendera, dan bendera punya makna; karena diperjuangkan dan akhirnya dihormati. Kita juga seperti itu. Harus selalu berusaha agar apa yang kita lakukan bisa bermakna. Jadikan dirimu bermakna bagi orang lain, jika dirimu ingin dihormati.
“Begitulah, cucuku yang ganteng, sekarang kau mengerti?” ujar Nenek mengakhiri penjelasannya.
Amir mengangguk. Meski belum bisa memahami semua, ia menangkap inti dan garis besarnya: betapa penting arti sebuah bendera.
“Sudah, sana mandi dulu. Nenek akan menyiapkan gudeg manggar lengkap dengan telor dan daging ayam kampung empuk kesukaanmu.”
Amir menuruti saran Nenek. Ia masuk ke rumah sambil membayangkan kesegaran air sumur pedesaan.
***
Pada kesempatan lain, Amir mendapat tugas sebagai pengibar bendera pada upacara di sekolahnya. Seiring dengan lagu “Indonesia Raya” yang dinyanyikan serentak oleh para guru dan teman-temannya, ia menarik tali pengikat bendera agar Sang Saka Merah-Putih berkibar di angkasa.
Ketika bendera mencapai puncak tiang, semua peserta upacara khusyuk memberikan penghormatan. Saat itu Amir berpikir bahwa setiap orang di lapangan itu tak ubahnya sehelai benang. Sekolah tempat mereka belajar ibarat alat pemintal, tempat benang-benang itu menganyam dan meluaskan diri agar menjadi lembaran kain.
Kelak setiap lembar kain akan berguna. Ada yang menjadi baju, celana, selimut, atau taplak meja. Menjadi lap piring juga berjasa, meski tidak pernah dibanggakan dan murah harganya. Sebaliknya, jika menjadi pakaian, sering dipamerkan dalam acara-acara gemerlapan dan harganya bisa mencapai ratusan juta.
Di dalam hati Amir bertekad, ingin menjadi kain yang istimewa. Ia ingin menjadi lambang, seperti bendera. (*)

Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Wendoko (Koran Tempo, 8 Mei 2011)

KAFE adalah tempat perhentian. Tempat orang-orang bertemu atau singgah, pada satu jeda waktu. Tetapi pernahkah kau berpikir, berapa orang di kafe yang saling mengenal? Berapa banyak yang tak mengenal? Orang-orang selalu datang ke kafe, lalu duduk—sendiri atau mengelompok—dan berceloteh, pada satu jeda waktu. Atau hanya duduk diam, menyeruput kopi, dan mengamati sebelum akhirnya pergi lagi. Begitu banyak yang terjadi. Seperti waktu dan penggal peristiwa yang datang dan pergi.
Dan di kafe aku bertemu banyak orang, setiap hari. Orang-orang yang sama, dan berbeda. Kadang waktu aku berhenti di depan barista, atau ketika mengangkat muka dan melihat seseorang melintas. Atau ketika saling menatap dengan orang di seberang meja—seolah mengenali—untuk waktu sedikit lebih lama.
Aku katakan orang-orang yang sama, dan berbeda. Kadang orang yang sama, yang pernah singgah, kembali ke kafe. Ia akan datang pada jam yang hampir sama, meminta kopi yang sama, duduk di meja yang sama lalu berkutat dengan laptop untuk waktu yang lama. Kadang ia datang dengan tatanan rambut yang baru diubah, dengan pasangan lain, memesan kopi yang lain, lalu duduk atau berceloteh—tapi selalu berlarat-larat untuk segelas kopi.
Aku katakan, orang-orang yang sama—dan berbeda. Kadang orang yang sama tak kembali ke kafe. Orang lain yang datang, yang melewati pintu kaca, satu-satunya pintu kaca. Ia akan datang pada jam yang acak, tapi selalu mengulang adegan yang sama. Memesan kopi, menunggu di konter pengambilan, duduk diam atau berceloteh, berkutat dengan laptop atau telepon genggam, lalu mengotori meja dengan tisu, kertas gula, sedotan, dan kadang tumpahan kopi….
.
14 MEI.
Pintu kaca itu selalu membuka ke dalam, ketika seseorang mendorong atau menarik—mendorong untuk masuk atau menarik waktu keluar dari kafe.
Kafe tak terlalu penuh. Ada dua anak tanggung di meja dan bangku kayu. Lelaki dan perempuan berjejer di sofa jingga-ungu, di dekat palem kerdil dan rumput plastik dalam pot kayu. Lalu, di sudut yang agak redup perempuan itu termangu. Perempuan bersetelan Chanel warna gelap tapi bukan hitam, yang sesekali menyeruput kopi, dan menyeka mulut. Wajahnya agak bulat dengan rambut legam berserat cokelat dan mata agak sipit dan sedikit menukik di ujung dekat alis.
Tetapi aku tahu, sebulan yang lalu dua lelaki duduk di meja dan bangku kayu. Bercakap dalam suara rendah—lalu diam, sampai kafe hampir tutup. Dua anak tanggung bermain kartu di sofa jingga-ungu, sampai dua anak tanggung lain muncul di kafe. Di sudut yang agak redup, ada lelaki memesan dua gelas kopi. Lelaki dengan ujung kemeja menyembul, dan berdasi miring dengan manset. Wajahnya gembung, dan ia terus menelepon, dengan hanya satu gelas kopi, sebelum bergegas keluar dari kafe.
Kadang aku berpikir, orang-orang hanya masuk ke kafe, tapi tak pernah benar-benar keluar dari kafe. Seolah ada yang tertinggal pada dinding-dinding berwarna krem-muda, plafon cokelat-hitam, lantai separuh kayu dan separuh keramik dan karpet. Atau pada fasade kaca yang membingkai lanskap kota—dengan langit yang meleleh waktu hujan, gelap dan terang bertubrukan, bintik-bintik cahaya yang diam atau melingkar. Seolah coretan di sebuah kanvas berwarna hitam.
Dan pintu kaca itu selalu membuka ke dalam….
Di depanku ada caffe latte. “Campuran 1/3 espresso dan 2/3 susu,” kata barista waktu menyorongkan kopi dengan busa tipis sampai ke bibir cangkir. Lalu ada jazz menyeruak di ruang beraroma kopi—di tengah gradasi lampu-lampu, jingga dan kuning.
.
14 JUNI.
Kafe agak penuh. Suara-suara bergaung di setiap sudut—tapi tak ada yang kudengar utuh. Hampir tak ada bangku kosong. Di dekat kaca, seorang perempuan dengan rambut berserat marun dan kaos yang terbelah di bahu. Di depannya perempuan berkawat gigi dan berambut bop. Ada perempuan dengan anting-anting seukuran gelang, yang berkedip dalam cahaya lampu. Di dekat konter, seorang lelaki dengan pipi mengendur dan rambut tipis di kening yang sedikit berkerut.
Aku terus mengaduk caramel macchiato sambil mengamati warna putih-keruh di dasar gelas. Kukira itu steamed milk, yang perlahan menjernihkan warna espresso. Di muka gelas ada taburan serbuk cokelat, di tengah busa susu. Aku terus mengaduk dengan sedotan sampai susu bercampur, dan tinggal warna cokelat yang lembut.
Aku lalu menyesap kopi itu. Manis. Lebih manis dari cappuccino es.
Di sampingku, seorang lelaki tambun berkaos Lacoste dan celana Cinos. Rambutnya sudah mundur ke ubun-ubun. Mukanya gemuk, dengan kacamata plus. Sedari tadi kepalanya menggeleng, lalu mengangguk. Kakinya mengetuk-ngetuk, sesekali mulutnya melenguh. Ada earphone di telinganya yang juga gemuk.
Tetapi di depanku, di sudut yang agak redup—kulihat perempuan itu. Eh, bukankah perempuan itu juga duduk di sudut itu sebulan yang lalu? Malam ini ia bercelana jins hitam, dengan kaos biru-pekat di balik blazer hitam. Sedari tadi ia kelihatan merenung di bawah dinding cetakan mural di balik dua camgkir keramik mungil di meja. Tapi kopi apa yang diseduhnya dalam dua cangkir itu?
Aku terus mengaduk kopi. Warna cokelat lalu memudar, tapi masih ada endapan susu di dasar gelas. Kopiku tinggal setengah, tapi perempuan itu tak juga menyesap kopinya. Waktu aku masuk, rasanya ia sudah ada di kafe—dan aku lalu mengamati wajahnya yang putih dengan hidung agak mencuat. Tapi dua cangkir di atas meja? Adakah yang ia tunggu, malam ini?
.
14 JULI.
“Ini kopi konsentrat, yang didapat dengan menyemburkan air panas. Hasilnya, cairan mirip sirop yang kental. Larutan lebih padat, dan crema, busa cokelat kemerahan yang mengambang di permukaan.”
Aku lalu mengamati espresso dalam cangkir.
“…Kadar kafein kopi ini juga sangat tinggi. Satu ons cairan setara 1/3 kafein kopi lain dalam cangkir enam ons cair. Ibaratnya kopi tapi tak diseduh dengan air atau susu. Ini hanya satu shot.”
Aku lalu menyesap kopi itu. Agak pahit, dan waktu kuteguk ada rasa atau aroma asam yang tertahan di mulut.
Terdengar Miles Davis menyodokkan Summertime dengan trompet yang melantur, tapi mendesak. Ada ketukan-ketukan drum pada latar, yang menyendat. Satu kerangka musik dalam skala yang seperti pentatonik kukira, dan bernada A minor. Ada progresi harmoni yang lambat, menyarankan blues. Ada juga anasir lagu rakyat pada suara-suara yang seolah menyelusup angin itu.
Lalu kulihat lagi perempuan itu. Perempuan yang duduk sendiri, di sudut yang agak redup. Aku teringat, sebulan yang lalu ia juga duduk di sudut itu, diam, tapi tak menyeruput kopi.
“Perempuan itu sering kemari,” kata barista waktu mengantarkan cairan gula. “Dan duduk di sudut itu. Ia tak mau bangku atau sofa lain. Selalu begitu. Ia akan datang pada jam yang sama, tanggal yang sama, dan memesan dua espresso. Tapi ia tak menunggu siapa pun. Tak menelepon atau bicara pada seorang pun. Ia hanya duduk, dan meneguk satu cangkir. Pernah sekali, waktu ia muncul, sudut itu sudah ditempati pelanggan lain. Ia berbalik, lalu pergi…. Ah, kau juga memesan espresso malam ini?”
Aku lalu memandang perempuan itu. Malam ini wajah bulatnya agak redup. Mungkin karena ia duduk tegak dalam temaram lampu. Ia memakai blazer warna gelap, dan rok yang tertarik ke lutut waktu menyilangkan kaki. Di baliknya blus dengan satu kancing terbuka, memperlihatkan kalung di lehernya yang putih. Sedari tadi ia menatap ke satu titik di kafe, ke fasad kaca yang digelayuti gelap. Di luar hujan melompat liar, memukul-mukul kaca, pecah, lalu mencair.
Aku masih mengamati perempuan itu—meneliti wajahnya di tiap sudut. Juga waktu ia mengusap mulut dengan tisu. Kata orang, sekali kau dilukai, kau akan mampu melihat luka orang lain. Dan wajah itu seperti membuka diri, lapis demi lapis.
Malam terlamunkan di cangkir kopi….
.
14 AGUSTUS.
Kopi ini agak pahit, seperti kopi hitam tapi tanpa ampas. Warnanya juga cokelat-hitam—dalam gelas kertas merah-cokelat.
Americano. Ini espresso yang diseduh dengan air panas. Satu atau dua shots dalam 16 ons air. Americano itu menghilangkan crema. Sama kuatnya dengan drip coffee, tapi berbeda rasa. Ada banyak varian. Lungo misalnya, yang mengekstraksi espresso untuk waktu lebih lama dan dengan lebih banyak air. Atau red eye, seperti drip coffee tapi tak diseduh air panas.”
“Kau tak takut aku mencuri resep-resep ini?”
Barista itu tersenyum, “Sobat, kau bisa membaca di mana saja. Tapi tiap kafe punya ramuan sendiri. Juga soal kecakapan si peramu, aku sendiri.”
Tapi malam ini ada yang berubah di kafe. Ada lemari-lemari merapat ke dinding berisi gelas dan cangkir. Lalu tumbler dan coffee press dalam aneka bentuk dan ukuran. Di dinding samping cetakan mural, ada potret hitam-putih. Juga lukisan bermotif batik.
Selebihnya hanya aneka sofa dan kursi yang ditata dalam pola lingkar baris.
Kafe agak kosong. Perempuan muda dengan kereta bayi di meja dekat pintu. Perempuan lain membaca buku di dekat partisi lengkung. Ia berkaos turtleneck warna ungu, yang terus ditarik-tariknya selagi ia membaca buku. Rambutnya digelung. Hidungnya agak bengkok, dengan pahatan tulang pipi yang menonjol. Jari-jarinya berderap di tepi cangkir, yang mengepul.
Di sampingnya seorang lelaki termangu. Lelaki berotot, berambut cepak, dan sedikit berjanggut. Lehernya menjulur di balik dasi hitam dan kemeja marun. Ia juga membaca dengan mata mengernyit di balik kacamata tanduk.
Perempuan yang membaca buku mulai menyeruput kopi. Lelaki di sampingnya lalu menggeser kursi. Tapi buku apa yang dibacanya sejak tadi? Eh, Sex and the City!
.
SEKARANG, 14 OKTOBER.
Tapi kenapa ada bau rokok di kafe?
Hampir jam 8. Lampu-lampu menyorot di fasad kaca. Juga di pilar-pilar dan dinding krem-muda yang buram. Di muka konter pengambilan, lima anak tanggung di tiga meja yang terpisah masing-masing dengan laptop di meja. Dua perempuan di sofa bundar terus menelepon, berbicara terlalu cepat atau seperti terengah.
Terdengar trompet Miles melantunkan Boplicity, di sela saksofon dan trombon. Satu kerangka musik dalam harmonisasi alat tiup. Piano hanya muncul pada 1/3 terakhir lagu, dengan latar drum yang jauh. Sebuah cool jazz yang rileks, mengalir dalam struktur yang berkelok. Agak ketinggalan pada beat, dengan suara-suara teredam, yang terpola menguatkan akor.
Tapi kenapa ada bau rokok di kafe?
Di luar kafe, malam bertambah gelap pada langit yang dipenuhi lekuk-lekuk awan, yang lebih pucat. Cahaya membercak di rumput, helai daun, dan pelataran yang basah. Tapi ada kelengangan merangkak di dinding kaca. Lewat decit rem, klakson, aliran mobil, gedung-gedung memagar langit, atau siluet orang lalu-lalang tak bersuara.
Lalu ketukan-ketukan drum. Lalu dengung organ dan suara-suara berkelindan. Ada saat drum menghilang dan organ melambat. Saksofon menyodok perlahan. Lalu trompet, dan suara-suara undur ke belakang. Piano dan drum mendedas. Organ mendengung pada nada yang datar. Irama yang kaku, bergoyang tapi tak mengayun. Miles memainkan In a Silent Way yang kental dengan warna rock. Bukan rock, tapi tidak juga jazz yang biasa. Ada elemen sonata klasik. Tapi suara-suara kadang berselisih dalam irama tak standar dan bertumpu pada ekspresi. Suara yang tumpang-tindih. Begitu banyak suara, seolah muncul dari balik kepala. Sebuah gema, dalam disonansi yang retak mengendap, seolah kau masuk ke lorong saat subuh jam 3.
Tapi kenapa ada bau rokok di kafe?
…Eh, lama aku tak melihat perempuan yang duduk di sudut yang agak redup itu.
“Sejak malam itu, waktu kau memesan espresso, ia tak kembali ke kafe,” kata barista, yang malam ini bertopi bisbol dan bercelemek cokelat-karamel.
Hampir jam 9.
“Tapi ia menitipkan kunci di konter, malam itu.”
“Kunci….”
“Ya. Katanya seorang lelaki akan mengambilnya.”
Aku lalu teringat My Blueberry Nights. Hmm, kapan sebetulnya aku pernah menonton film itu? (*)
.
.
Wendoko telah menerbitkan buku-buku puisi Oratorio (edisi kedua, 2011), Sajak-sajak Menjelang Tidur (2008), Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa (2009) dan Selected Poems (terjemahan Inggris puisinya, 2010).

Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Miftah Fadhli (Republika, 8 Mei 2011)

SEBELUM matahari tegak lurus di atas kepalanya, dia bergegas meninggalkan rumah ketika azan berkumandang dari masjid yang terletak agak jauh di perempatan jalan raya. Lelaki itu agak ragu mengambil langkah demi menyeberangi jalan selebar sepuluh meter, sebab lalu lalang kendaraan yang tak ada habis-habisnya. Setiap hendak maju selangkah-dua langkah, dari arah kanan melintas tiga sepeda motor dengan kecepatan yang tak terduga. Dia dapat merasakan angin bagai ujung duri di cuping hidungnya.
Sementara itu, azan telah berakhir di syahadat kedua. Dia masih belum menemukan ruang yang cukup longgar buat dia menyeberang. Dia tidak ingin ketinggalan barisan jamaah, namun deru rapat kendaraan menghalang-halanginya mengambil keputusan langkah pertama.
Sesungguhnya, saat azan telah berakhir dan—barangkali—bersiap-siap menyambut iqamat, dia menggulung sarungnya hingga di atas betis dan mewanti-wanti kendaraan dari arah kanan dan kiri. Itu jalan raya dua arah tanpa jeda trotoar di tengahnya sebagai batas. Pembatas hanya garis putih panjang tiada ujung. Saat muazin telah berkoar pada lafal iqamat pertama, lelaki itu menggerakkan kaki bakal langkah pertama. Seandainya dia mati pada langkah selanjutnya, dalam hati, dia telah bersiap-siap dengan syahadat. Sebetulnya sejak mewanti-wanti desing kendaraan sejak tadi, dia telah mengucap syahadat dalam hati.
Ketika hendak memindahkan kaki pada langkah keempat, dia ragu menilai kecepatan mobil pick up dari arah kanan, apakah si empunya mobil akan berhenti dan menunggu dia menyeberang atau jalan terus. Antara iya dan tidak, betisnya gemetar, lafal syahadat semakin kencang dia gumamkan. Andaikan pick up itu adalah penanda akhir hidupnya, dia telah ikhlas meninggal dengan menjadi mujahid di jalan Tuhan—meninggalkan dunia dengan berbekal hati yang insya Allah (gumamnya) bersih, dan peci putih. Bagaimanapun, dia meninggal dalam perjalanan menegakkan rukun Islam.
Dia meremas lipatan sarungnya saat bunyi decit roda menggesek aspal, menurunkan lehernya menahan ngilu pada telinga dan melafalkan takbir saat mobil pick up yang melaju cepat tiba-tiba berbelok ke belakang punggungnya secara tiba-tiba, menyenggol barang segelintiran bahu, dan berkoar bak bermulut toa mengucapkan syahadat saat bunyi kedubrak keras terlantun di udara. Iqamat telah lama selesai, dan bunyi ‘amin’ membahana di udara lewat speaker masjid.
Orang-orang berkerumun—sebagian lelaki tak membiarkan si empunya pick up melarikan diri—mengelilingi si pemilik tubuh yang tergeletak dengan darah bagai genangan hujan, membasahi aspal menyelimuti pakaiannya, dan muncrat sebagai titik-titik noda sejauh tiga meter.
Lelaki itu—bagaimanapun takutnya—merasa penasaran dengan si empunya badan yang tertutupi tubuh orang-orang yang kebetulan berada di sekitar jalan raya yang ramai itu. Dia menerobos benteng tubuh wanita, anak-anak, para lelaki, dan menatap dengan pandangan yang penuh istighfar saat menyaksikan si empunya tubuh menggelepar.
Kepalanya telah retak, namun telapak tangannya masih bergerak-gerak selayaknya mulut kerang dan tubuhnya menggeliat seolah-olah ikan terdampar di daratan. Mulutnya megap-megap mengambil udara, membuat si lelaki paruh baya merasakan bulu tengkuknya berdiri dan punggungnya dingin. Dari awal hingga akhir, dia menyaksikan mulut yang megap-megap itu perlahan berhenti bergerak sambil terus mengucurkan darah dari dalam tubuh. Dalam hati, syahadat itu telah berubah gumam menjadi racauan ngeri tak terbahasakan. Si empunya tubuh, dia sangat kenal, namanya Badrun.
***
“Badrun, takkah kau dengar itu azan? Terlalu sayupkah kumandang muazin itu di telingamu?”
“Dengar, Pak Haji. Tapi nanggung. Saya sudah kalah telak, Pak Haji.”
“Apa sebutan agama di KTP-mu itu, hah?”
“Islam, Pak Haji.”
“Kalau begitu ayo shalat. Jangan kau remehkan panggilan Allah itu.”
Badrun bangkit setelah melemparkan sebuah kartu dari tangannya. Hidungnya dan hidung lelaki paruh baya—Pak Haji sebutannya bagi orang kampung—itu bagai hendak bercium mesra, tapi tidak. Ludahlah yang justru muncrat dari mulutnya, membasahi pipi lelaki paruh baya itu. Dengan sekali hentakan kaki, lelaki itu mundur tiga langkah dan mengusap dada seraya mengucap istighfar.
“Tobatlah kau, Anak Muda, sebelum Allah murka.”
“Peduli setan, Pak Haji. Sudahlah, tunaikan saja shalat Pak Haji sana. Jangan ajak-ajak orang!”
Lelaki paruh baya itu berselonjoran di dipan teras rumahnya sekembalinya dari masjid. Istrinya, Bu Hajjah—begitu ia dipanggil orang sekampung—membawakan sepiring ubi rebus dan kopi pahit. Lelaki itu minta dipijit betisnya. Rapuh sudah tenaganya bolak-balik ke masjid setiap hari. Tapi, toh dia selalu bersyukur.
“Si Badrun itu, Bu. Telah kerasukan setankah dia?”
“Sudahlah, Pak. Percuma keringat bapak curahkan buat anak itu. Bapak tahu pepatah, kan? ‘Buah tak kan jatuh jauh dari pohonnya’.”
Lelaki itu mengembuskan napas panjang. Badrun, lelaki pemabuk, penjudi, peselingkuh—meski sebenarnya telah lama dia ceraikan istrinya—memang bukan buah salak yang jatuh di bawah pohon durian. Bapaknya salak, Badrun, sang anak pun tak kalah salaknya. Bapak pemabuk, penjudi, peselingkuh; si anak pun tak jauh beda. Torin, si bapak, telah meninggal dua tahun lalu disengat petir saat asyik main api di tengah sawah orang. Tubuhnya layaknya kayu terbakar api, asap membumbung tinggi dari tubuh sekaratnya, sementara si anak perawan selamat, terduduk menangis di samping tubuh Torin.
Dibawa ke balai desa, tak mati juga si Torin. Lelaki paruh baya itu—yang kiranya telah pergi haji dua kali itu—dipanggil dan dimohonkan membaca Yasin barang mengantarkan Torin ke muka Ilahi. Mulutnya megap-megap, telapak tangannya mengatup-membuka bagai mulut kerang. Telah habis Yasin, Torin tak juga berhenti napasnya. Sejam kemudian, dipanggillah si anak perawan itu, dicurahkan isi hatinya di hadapan tubuh Torin—betapa pilu pengakuan gadis yang ternyata suka ditoel bokongnya oleh Torin itu—barulah si empunya tubuh berhenti napasnya. Matanya membelalak, dengan ngeri lelaki itu—Pak Haji itu—menutup kedua matanya dengan telapaknya yang gemetar.
“Tak jerakah dia, si bapak meninggal dengan tubuh hitam hati hitam?”
“Namanya hati, Pak, penuh lubang, penuh ruang. Sekali setan masuk, nikmatnya seperti menyesap tuak.”
***
Lelaki itu telah bersiap dengan sarung wangi kambojanya. Istrinya telah tunai menamatkan bedak pada pipi, dan sangat bersahaja dengan baju terusan berwarna putih dengan payet warna serupa di ujung kain. Jilbabnya panjang menjauhi dada. Dengan sepeda motor mereka hendak berangkat ke rumah sakit menjenguk Bu Halimah yang telah sebulan terbaring karena penyakit jantung. Kabarnya, penyakitnya bertambah parah kemarin.
Di rumah sakit, di depan ruang Melati, telah menunggu sanak saudara juga anak satu-satunya, Annisa, dengan cemas melingkupi wajahnya. Katanya, dokter tengah memeriksa sang ibu ditemani suaminya, Raifan. Mata Annisa sembap seolah lantai sehabis diguyur gerimis. Jilbabnya kuyu, bajunya lusuh, sebab telah seminggu dia menunggu sang ibu dengan cemas.
Suami lelaki paruh baya itu mengusap-usap bahu Annisa, dan membisikkan kata-kata yang tak dapat didengar olehnya. Selama menunggu dokter memeriksa Bu Halimah, lelaki itu berbincang-bincang dengan paman Annisa, Abdul Kodir. Setelah sarapan, kemarin kondisi Bu Halimah sebenarnya sudah membaik, ujar Abdul Kodir, dan seharusnya sudah bisa dibawa pulang. Namun setelah shalat Zhuhur usai, ia pingsan dan detak jantungnya tiba-tiba melemah. Puncaknya adalah selepas Subuh, Bu Halimah bergumam dalam tidurnya, memanggil-manggil nama suaminya yang telah lebih dulu tiada. Semakin siang, detak jantungnya semakin lemah. Terakhir Annisa mengatakan bahwa ibunya susah bernapas, kemudian ia lekas memanggil dokter dan menunggu di luar sampai yang lain datang.
Lelaki itu mengembuskan napas melihat betapa rumit perasaan si anak, Annisa.
Pintu ruangan terkuak. Raifan, suami Annisa bermuka sendu, memanggil Annisa untuk menghadap sang ibu. Lelaki paruh baya itu juga turut dipanggil memohon mengantarkan sakratul maut si empunya tubuh dengan membacakan Yasin.
Masuk ke ruangan itu, dia seolah merasakan ketenangan menggelayut di dinding-dinding kamar, hangat melingkupi udara. Bu Halimah bernapas satu-satu dengan tenang sambil mengucapkan beberapa patah kata kepada sang anak. Tak kedengaran jelas oleh lelaki paruh baya itu, namun persis setelah Yasinnya kandas, suara syahadat dari bibir si empunya tubuh terdengar bagai gelenting bel membuat tubuhnya kuyu dan bergetar. Dalam sekejap, saat lelaki paruh baya itu tak lagi menyaksikan si empunya tubuh mengembuskan napas, mulutnya ternganga, matanya menatap dalam wajah Bu Halimah. Wajah yang terang, kulit yang putih bagai langit.
***
“Padahal, dua hari lalu Bu Halimah itu baru masuk rumah sakit lho, Pak. Tapi, hari ini ia sudah bikin selametan.”
“Patut disyukuri, Bu. Suami istri seperti bunga dan tangkainya. Selaras.”
“Alhamdulillah, Pak. Saya teringat dengan Pak Suryaman itu. Beliau meninggal setelah memberi makan anak yatim.”
“Saya ingat, Bu.”
“Ini, Pak, dimakan. Penganan dari selametan.”
“Ngomong-ngomong Bu Halimah bikin selametan buat siapa?”
“Saya juga tidak tahu, Pak. Tadi di rumahnya banyak anak dari panti. Oh iya, saya ingat, ibu-ibu pengajian kemarin bilang Bu Halimah ulang tahun hari ini.”
Lelaki itu mengangguk. Seingatnya, saat anaknya, Annisa, menikah dua tahun yang lalu, Bu Halimah juga mengundang anak panti ke rumahnya. Lalu saat akikahan cucu pertamanya, ia sekeluarga bertandang ke rumah jompo menggelar acara di sana. Membayangkan itu semua, tak terbayangkan olehnya nikmat Tuhan di surga kelak.
“Pak, jangan melamun. Tidak baik.”
“Astaghfirullah. Oh, sudah Ashar, Bu. Sisakan kuenya buat nanti malam.”
“Kenapa, Pak?”
“Lho, kan Suryadi dan istrinya mau datang, Bu.”
“Oh, masya Allah, saya lupa, Pak. Sudah lama saya tidak menimang-nimang anak Suryadi, Pak.”
***
Sudah seminggu lelaki itu hanya berbaring di kamarnya. Sekujur badannya panas dan menggigil. Dokter berkata kalau dia terserang demam biasa. Anaknya, Suryadi, telah dua hari menginap di rumah bapaknya itu.
Istrinya tak paham dengan kondisi suaminya. Setelah pulang dari rumah sakit menjenguk Bu Halimah, dia langsung tidur dan keesokan paginya mengeluh kedinginan. Saat diukur dengan termometer, panasnya sampai 40 derajat, membuat Bu Hajjah panik.
Sementara itu, lelaki paruh baya itu dalam sakitnya membayangkan tubuh Badrun menggelepar di aspal. Bersamaan dengan itu, dia membayangkan Bu Halimah yang meninggal dengan tenang, dengan syahadat terucap sempurna di bibirnya. Berbeda jauh dengan kondisi Badrun juga bapaknya menjelang sakratul maut.
Tengah malam, dia terbangun dengan tubuh panas dan tangan gemetar. Dia membangunkan istrinya dan mengeluh kedinginan.
“Sudah hangat, Pak?” tanya istrinya setelah menyelimutinya dengan sarung ketiga.
Dia menggeleng. “Bu, saya takut.”
“Kenapa, Pak?”
“Saya… sa….”
“Kenapa, Bapak?”
Dia memejamkan matanya, mengembuskan napasnya dan mencoba menahan dingin tubuhnya. “Saya melihat malaikat membawa orang-orang itu.” (*)
 .
.
Depok, 2011
Penulis yang mempunyai nama lengkap Miftah Fadhli ini beberapa kali menjuarai lomba menulis puisi. Sejumlah cerpennya pernah dibukukan, yaitu antologi cerpen bersama “Hampir Sebuah Metafora” (Indiepublishing, 2011) dan antologi novelet bersama “Cinta Jangan Kau Pergi” (Hafsa Publlisher, 2011). Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan aktif di Teater Sastra UI. Pementasan pertamanya berjudul “Sketsa Robot” karya dramawan I Yudhi Sunarto, yang dipentaskan pada November 2010 di Taman Ismail Marzuki.

Source: http://lakonhidup.wordpress.com
.
Cerpen Abednego Afriadi (Jawa Pos, 8 Mei 2011)


Tak ada satu pun kerangka atau mayat-mayat busuk tersisa. Liang kubur terbuka berantakan. Kosong. Di mana jenazah-jenazah itu? Dicuri? Atau pergi sendiri? Ah tak mungkin. Tak mungkin!
PETIR serupa ekor naga yang membesat, menyambar pedang para malaikat penjaga langit. Bergemuruh membelah gumpalan mendung yang sebagian hitam, sebagian putih. Mendung terlalu sombong menghalangi singgasana jutaan bintang dan galaksi.
Lampu padam. Nyala obor, lilin, dan senter redup menembus celah-celah pintu, jendela, fentilasi dan sebagian gubuk-gubuk rumah penduduk. Aroma hujan, tanah basah, dan limbah tahu yang memuakkan begitu kentara. Apalagi pemakaman sebelah kampung yang tidak terurus bertahun-tahun; kuburan orang-orang yang diajak menjarah pertokoan, sepuluh tahun lalu, menyisakan aroma mayat yang kadang-kadang menggelitik lambung untuk memuntahkan segala macam makanan. Malam itu, ketakutan mencengkeram kami.
Setiap malam, kenthongan dipukul bertalu-talu, peringatan agar tidak membuka pintu, jendela atau genting; mengintip, apalagi keluar rumah. Setidaknya bakal ada salah satu anggota keluarga yang hilang tanpa jejak, jika tetap nekat. Sudah hampir sepuluh keluarga kehilangan anak, suami, dan istri.
***
Pagi begitu bening setelah semalam diguyur hujan. Usai kerja bakti membersihkan selokan yang tersumbat sampah, kami baru memulai pembicaraan. Saat itu, Mbah Joko Gembok, juru kunci pemakaman umum sebelah kampung menceritakan, bahwa beberapa warga pernah datang ke tengah-tengah kuburan tanpa alasan.
“Kenapa tak kau beri tahu kami?”
“Saya juga tak habis pikir, sejak itu tak pernah saya lihat mereka keluar. Saya pikir mereka ziarah di makam Eyang Restu. Apa mungkin saat mereka keluar saya tertidur?”
“Penculikan?” tanya Pak Rt penuh curiga.
“Ah, ada urusan apa? Warga tak pernah sekalipun ikut demo, dan aktif jadi kader organisasi yang bertentangan dengan pemerintah,” sahutku.
“Mungkin mereka mencurinya. Tapi ada firasat tak enak, apa mungkin mayat-mayat itu bangkit kembali?” jawab Mbah Joko Gembok dengan tenang. “Pertanda apa ini?”
Sesuai dengan rapat yang digelar, kami sepakat malam itu berkumpul di Balai Kampung. Empat orang satgas bersenjatakan pentungan menjaga mereka. Tidak boleh ada satu pun warga yang nekat mendekam di rumah. Semua dikunci di Balai Kampung. Sedangkan bapak-bapak dan beberapa pemuda serentak menuju pemakaman umum. Sebagian membawa obor, sebagian membawa kenthongan. Di barisan depan, samping, dan belakang berjaga-jaga bersenjatakan klewang, sabit, pisau dapur, pisau cukur, gunting, gobang, pedang, cemiti, silet, dan jarum. Sedangkan Mbah Joko Gembok hanya bergumam merapalkan mantera tolak balak.
Hujan sudah berhenti. Tinggal beberapa butir tersisa di setiap helai daun. Mantel hujan enggan kami copot. Angin berisik kadang menjatuhkannya. Sedikit gentar pula sebagian pemuda ketika kaki mereka menginjak tanah pemakaman yang basah, becek dan dingin. Mereka mulai frustasi dan berteriak seperti kesurupan.
***
Sejak hilangnya beberapa warga, kami tak pernah pergi ke kota yang telah luluh lantak. Tarian mayat-mayat membuat beberapa warga kota mengungsi ke kampung kami, sebelum air bah menerjemahkan kutuk. Kebetulan kampung pinggiran kota ini letaknya lebih tinggi. Apalagi karena para mayat memilih tinggal di gorong-gorong, selokan, bendungan, sungai, sumur, wc umum, tempat-tempat ibadah, sekolah-sekolah, universitas, rumah sakit, kantor polisi, kantor pengadilan, kantor kejaksaan, kantor kelurahan, kantor kecamatan, kantor balai kota, gedung pertunjukan, hotel-hotel, diskotik, kantor wali kota, bus-bus kota, alun-alun, mall-mall, supermarket, kaki lima, angkutan kota, becak, taksi, pasar-pasar, sampai truk sayur.
Barisan mayat itu tak lagi punya persinggahan. Mungkin jika terpaksa, mereka akan menjalar ke pedesaan hingga tempat-tempat terpencil yang jauh dari peradaban seperti wabah. Karena seluruh penjuru kota penuh sesak berebut kematian. Mereka menyakiti diri sendiri, saling membunuh, tapi tidak mati-mati juga. Mereka minum segala macam racun, alkohol berkadar 99 persen, tapi tak juga mati. Mereka rela bersetubuh dengan virus-virus binatang, tapi tak juga mati. Mereka memotong-motong tangan, kaki, dan lehernya sendiri, tapi tersambung kembali tanpa diminta.
Gedung-gedung telah rubuh, petir merembet ke tubuh mereka, tapi tetaplah mereka mayat yang hidup, berjalan bergeleyotan serupa pemabuk arak, menyisakan becek dan lengket daging busuknya.
Jutaan ekor pemburu bangkai mengitari langit, mencari mayat-mayat untuk disantap. Tapi tak seekor pun selamat, dan akhirnya malah jadi santapan para mayat. Jerit doa-doa dan mantera kian bersahutan. Tapi mayat-mayat itu malah kian mengejek dengan wajah yang menyeramkan. Sebagian membusuk, tapi masih hidup. Mayat-mayat kian berkembang, bersetubuh, melahirkan anak. Begitu seterusnya. Anak-anak mereka bertumbuh cepat menjadi besar seperti ayah dan ibunya.
***
Setiba di kompleks pemakaman, kami terperangah memandang nisan-nisan hancur terbongkar. Tak ada satu pun kerangka atau mayat-mayat busuk tersisa. Liang kubur kosong.
“Di mana jenazah-jenazah itu?”
“Dicuri?”
“Atau pergi sendiri?”
“Ah tak mungkin.”
Tubuh kami gemetar. Sebagian terkencing-kencing di celana. Sedangkan kami harus melanjutkan perjalanan ke kota. Mbah Joko Gembok memimpin. Semangatnya itulah yang membuat kami tak gentar menghadapi jutaan mayat di kota. Kami merasa malu, apalagi para pemuda melihat keberaniannya menyusuri desiran angin yang terasa dingin menyeramkan.
Mbah Joko Gembok bukanlah mantan tentara pejuang, atau anggota sanggar beladiri tenaga dalam. Tubuhnya pendek, badannya kurus. Selalu ia menyapa siapa saja dengan sebutan Gus. Sikap yang membuat kami tiba-tiba sungkan.
Setiba di kota, seluruh pasang mata jutaan mayat membidik kami. Kami menyusuri sudut-sudut kota. Mbah Joko Gembok hanya bergumam menembang, dan kami pun mengikutinya dengan memukul kenthongan bertalu-talu, serupa irama takbir di malam Lebaran, serupa nyanyian yang meminta Setan Wewe Gombel untuk mengembalikan seorang anak yang diculik dan diberinya susu dari buah dadanya yang sebesar gentong. Dan kami pun juga serempak menembang, dengan irama yang tidak selazimnya digunakan untuk tembang seliris itu.
Mayat-mayat menyingkir. Sebagian musnah, sebagian berhenti bersetubuh di jalan-jalan. Sebagian berarak mengikuti kami dengan tangisan yang mengiris-iris hati. Kami berharap sebagian warga mengikuti kami untuk pulang kembali di kampung pinggiran.
Hujan merajam kian deras. Mayat-mayat sebagian terseret air. Sebagian mengikuti kami. Mbah Joko Gembok tak henti-hentinya menatap sosok wanita cantik yang kisut wajahnya, menggendong seorang bayi berkulit keriput serupa jeruk purut. Mereka tersenyum sinis. Menatap kami. Sepasang taringnya tak bisa bersembunyi dari mulutnya yang mungil dan berlendir. Matanya semerah kulit matang melinjo. Amis lendir hidung dan telinganya mengundang laler ijo.  Mungkin mereka masih ingin menghinggapi salah satu atau beberapa orang dari rombongan.
Kenthongan terus bertalu. Perempuan itu kian menjauh, meninggalkan anaknya yang merangkak licik. Sesekali ingin menoleh mengisyaratkan ajakannya berenang di lembah lava pijar, di kerak-kerak bumi. Mungkin ia putus asa. Mungkin baginya pembalasan dalam alam arwah tidak begitu berarti, dan hanya akan menjadi dongeng horor yang menakutkan anak-anak kecil.
Kami memang harus mengusir mayat-mayat itu, jika perlu memusnahkannya. Sebab mereka sudah mulai kencing dan buang air besar di sembarang tempat. Segala kotoran yang keluar dari tubunya meresap ke tanah, merasuk ke air-air sumur. Hingga air yang kami minum serasa bangkai, nasi yang kami makan pun juga serasa daging yang telah membusuk. Maka jangan salahkan kami jika kami selalu muntah-muntah usai makan dan minum.
Dan tubuh kami pun perlahan ikut membangkai. Semula hanya beberapa bagian saja, tapi sehari saja hampir separuh tubuh kami membusuk. Bagi mereka yang lemah satu persatu tubuhnya akan terlepas. Mulai dari kepala, tangan, kaki, hingga jari jemari. Bayi-bayi pun membangkai karena menetek ibunya yang telah membangkai. Saban hari lidah anak-anak itu mencecap, kemudian mereguk busuk air susu.
Tak ampuh lagi mantera, rapal doa menolak wabah itu. Bahkan, Mbah Joko Gembok pun sudah membangkai, lalu musnah begitu saja. Tak ada lagi panutan untuk kami. Kami kalap.
Dan kubur-kubur kosong pun kian bertambah, sebab mayat-mayat mulai membongkar kuburannya sendiri, menghancurkan nisan-nisan bisu, lalu bergeleyotan mencari kemusnahan. Kami ingin segera musnah saja. Di kota ini, orang-orang merintih, meraung kesakitan. Jika saja kau mendengar, hatimu akan teriris, tapi semilyar pun uangmu, gajimu, tak akan mampu memulihkannya. Karena tak ada vaksin yang sanggup melawan pembangkaian ini.
Mungkin tak lama lagi, kota kami tidak lagi membutuhkan kuburan. Sebab kami adalah bangkai yang akan musnah dengan sendirinya. Lihatlah! Orang-orang yang duduk di kantor-kantor pemerintahan, polisi, tentara, rumah sakit, rumah ibadah, kampus, rumah makan, gedung olahraga, balai desa! Mereka juga membangkai. Meski ada satu anggota yang melawan, tapi tetaplah pasti terular wabah itu. Wabah bangkai. Tak lama lagi, kami akan punah. (*)
.
.
Solo-Yogjakarta, November 2010
Penulis tinggal di Solo. Pernah aktif di teater. Cerpennya dimuat di Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Koran Sindo, Joglosemar, Solopos, Majalah Gong dan sejumlah antologi. Selain itu juga menulis cerkak di sejumlah jurnal dan rubrik berbahasa Jawa.
 .
Catatan:
Kenthongan: alat komunikasi tradisonal, terbuat dari bambu yang dipukul-pukul setiap ada jadwal ronda, kerja bakti, dan kematian.
Laler ijo: Lalat berwarna hijau, ukurannya lebih besar dari lalat pada umumnya.

Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Oka Rusmini (Jawa Pos, 24 April 2011)





PEREMPUAN itu mengurai rambutnya yang mulai berwarna kelabu. Cermin di depannya membuatnya selalu merasa ingin berpaling. Ya, dia ingin sekali menonton wajahnya. Membaca remah-renah yang membuat warna kerutan di wajahnya makin keras, seperli goresan garis di kanvas. Setiap garis memiliki maknanya sendiri. Semua lekuk dan kerut itu pasti memiliki cerita. Kelamkah? Ia ingin sekali mengenal dengan detail setiap wajahnya. Seperti sebuah lekuk peta. Oh, bukan. Bukan peta, mungkin lebih tepat palung.
Lengkungnya, kekasarannya, juga deburan air yang menampar-nampar, menyakiti setiap sisi dari keratan tubuhnya. Meninggalkan rasa gilu. Rasa sakit yang tidak mungkin bisa diobati. Rasa sakit yang nikmat? Adakah rasa sakit yang nikmat itu? Begitulah air melukai palung itu, seperti melukai seluruh perjalanan hidup. Tapi palung tidak pernah mengeluh, memaki, atau mengumpat dengan beragam sumpah serapah. Seperti dirinya yang selalu mengumpat dan marah. Kemarahannya seringkali menganggu orang-orang yang berada di dekatnya. Kata orang-orang, kemarahannya begitu mengerikan.
Hanya perempuan yang terluka bisa membunuh dirinya sendiri. Hanya perempuan yang terluka bisa memakan hidup-hidup anak yang dikandungnya. Hanya perempuan terluka yang bisa menggorok batang leher anak yang dikandungnya. Hanya perempuan yang terluka bisa meremas daging hidup yang meletus dari rahimnya lalu membuangnya di tong sampah. Semua itu dilakukannya tanpa beban.
Lalu, kemana hatinya? Kemana perasaannya? Kemana rasa keibuannya? Bukankah perempuan itu makhluk yang membuat bumi damai. Penyejuk yang lebih menyejukkan dari beragam penyejuk. Sapuan angin pegunungan juga tidak bisa mengalahkan rasa sejuk yang lahir dari tubuhnya.
Bagaimana kalau dia perempuan yang terluka? Dikhianati. Ditikam dari belakang. Pikiran, hati, jantung, perasaan, juga seluruh perjalanan hidupnya digerus. Salahkah kalau perempuan itu meradang? Mengamuk! Menghancurkan seluruh makhluk hidup juga benda mati yang muncul di depan matanya?
Pernahkah kau menemukan perempuan yang terluka? Dan bertanya padanya, apakah yang diinginkannya? Obat apakah yang bisa menyembuhkan lukanya?
“Tak ada obat yang bisa menyembuhkan perempuan yang terluka hati, jantung, pikirannya?”
“Aku bisa mencarikan balian, dukun.”
“Tak ada balian yang bisa menyembuhkanku.”
“Bagaimana kalau kutawarkan sepiring menu lelaki. Kau bisa memilihnya. Kau patah hati?”
“Ini lebih dari patah hati?”
“Maksudmu? Adakah yang melukai makhluk hidup bernama perempuan selain patah hati?”
“Ada.”
“Apa?”
“Apa yang ada di otakmu ketika hatimu dicabut paksa. Lalu, di depan matamu hatimu diiris-iris. Untuk sebuah pesta cinta di tengah malam. Sejoli burung malam muncul penuh aroma cinta. Kedatangan di tengah malam. Tamu yang tak pernah diundang. Mereka datang diiringi lagu cinta, kata-kata cinta, puisi-puisi mabuk. Mereka datang-pergi tanpa mengetuk pintu. Juga tidak membuka jendela. Tanpa suara, tanpa bau.”
“Burung apakah itu?”
“Burung pengecut!”
“Kau benar-benar perempuan terluka?”
“Adakah yang lebih tepat dari terluka?”
“Kau terluka?”
“Sangat dalam.”
“Kuhidangkan menu lelaki?”
“Masihkah kuperlukan mahluk itu? Tak adakah pilihan yang lain? Menu yang lebih menggairahkan lagi?  Mungkin semangkuk salad perempuan?”
“Tak ada menu perempuan. Kau masih menyantap lelaki kan? Kau bisa memakannya satu demi satu. Kau pilih menunya?”
“Aku ingin hatiku kembali.”
“Apakah sejoli burung malam itu telah memakan hatimu?”
“Mereka tidak hanya makan hatiku. Juga makan jantung dan pikiranku.”
“Apakah kau masih hidup?”
“Mungkin tidak. Lukaku lebih dalam dari luka.”
“Sejoli burung malamkah yang membunuhmu?”
“Mereka tidak hanya membunuhku. Adakah yang lebih kelam dari kematian? Adakah yang lebih menyakitkan dari kebohongan?”
“Kau benar-benar luka parah.”
“Lebih parah dari apa yang sedang kau pikirkan. Perempuan yang terluka itu seperti makhluk buas yang siap menelan apa pun. Kau tahu itu? ”
“Tidak.”
“Jangan pernah membuat perempuan terluka.”
“Kenapa tidak kau bunuh sejoli burung malam itu? Di mana bisa kutemukan pasangan itu? Kalau kau tidak bisa membunuhnya, aku akan datang pada mereka.”
“Mereka sejoli yang cerdik…. Datang ketika kau tertidur…. Pulang ketika kau terbangun. Bagaimana kau akan membunuhnya? Senjata apa yang akan kau pakai?”
“Aku akan bersembunyi menunggu kedatangan mereka.”
“Mereka pecinta yang ulung. Yang lelaki begitu sabar menunggu, berjam-jam dia bisa menunggu sampai kau kelelahan. Dia begitu sabar menunggumu sampai kau benar-benar tertidur. Setelah kau tidur, sejoli itu muncul. Mereka datang tanpa pernah mengetuk pintu. Kedatanganya begitu misterius. Mereka punya kode-kode khusus yang hanya mereka pahami. Mereka juga punya panggilan khusus yang lelaki bernama: Mata Air. Yang perempuan bernama: Bintang.”
“Mata Air?”
“Nama yang indah.”
“Ya. Nama yang terlihat suci, ganas, gaduh, tetap dingin. Kadang-kadang juga terlihat terhormat.”
“Bintang?”
“Karena perempuan itu hanya muncul pada malam hari. Tak ada bintang ketika subuh.”
“Kau terluka?”
“Sangat dalam.”
“Tidakkah kau ingin membunuh mereka?”
“Adakah yang lebih ganas dari kata membunuh?”
“Kau kenapa?”
“Terluka sangat dalam.”
***
PEREMPUAN itu benar-benar ingin menjadi palung. Aku tidak pernah paham, kenapa dia selalu ingin menjadi palung. Kadang, ketika duduk berdua, aku sering memandang matanya yang teduh. Mata yang begitu penuh cerita. Mata yang membuatku merasa nyaman berada di sisinya. Menyentuh kulitnya yang keriput. Atau menatap matanya yang bulat. Mata seorang penari. Mata yang memikat. Mata yang membuat semua orang percaya, bahwa dia seorang perempuan Bali. Perempuan yang biasa menari. Perempuan yang menjajakan tubuhnya hanya untuk para dewa.
Aku belum pernah melihat perempuan yang memandangku begitu tulus. Penuh cinta dan gairah. Tatapannya membuatku bergairah. Seperti magnet yang menarikku. Aku selalu ingin menjatuhkan kepalaku di pangkuannya. Atau aku ingin menangis di dadanya. Atau bercerita lirih di telinganya. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa perempuan ini ketika muda? Makhluk apakah yang tega mencabik-cabiknya. Merusak seluruh sistem kehidupannya. Merampas hari-hari dan masa depannya.
Lelakikah? Yang merusaknya?
“Aku ingin menjadi palung. Yang tidak pernah sakit hati dan terluka ketika disakiti?”
“Adakah manusia yang kuat disakiti?”
“Makanya aku ingin jadi palung.”
“Kau tidak pernah tahu. Mungkin saja luka palung lebih kuat dari lukamu?”
“Aku ingin cantik dan tegar seperti palung?”
“Sejoli malam itu membuatmu sering meracau.”
“Aku tidak meracau. Kau tahu, sejak sejoli malam itu datang di tengah malam dan pulang menjelang subuh. Aku telah kehilangan lelakiku.”
“Lelakimu?”
“Ya. Kupikir dia telah menjelma jadi makhluk asing ketika aku tertidur.”
“Kau tahu yang dilakukannya?”
“Tidak. Aku tertidur. Tetapi aku merasakan lelaki itu mengiris-iris hatiku. Juga mencangkuli jantungku. Mereka selalu datang malam hari menanak pikiranku, menggoreng hati, dan membuat sop jantung untung pesta cinta mereka. Kurasakan kehadiran sejoli malam itu di mimpiku. Lelakiku sering mengigau sambil memanggil sebuah nama. Lalu mereka bercumbu…. Meninggalkan darah yang tercecer dari: pikiran, jantung dan hatiku. Setiap malam mereka datang.”
“Ketika kau tak ada.”
“Ya. Ketika aku tak ada.”
“Bunuhlah!”
“Jejaknya tak ada. Jejaknya tertinggal di otakku.”
“ Aku tahu sekarang. Kenapa kau sering menjerit-jerit sambil meracau.”
“Aku tidak meracau. Aku membaca mantra?”
“Mantra?”
“Ya. Mantra untuk memanggil hati, jantung, dan pikiranku yang bocor dan teriris. Hati, jantung, pikiranku mulai membusuk. Aku tidak meracau! Aku merapal mantra….”
“Ya. Ya. Jangan mengamuk.”
***
PEREMPUAN itu ingin menjadi palung. Keinginan yang sangat aneh! Aku telah jatuh cinta padanya. Sejak melihatnya pertama kali. Jantungku berdegup. Wajah perempuan itu begitu berkarakter. Pipinya yang licin. Hidungnya yang tegak. Matanya, ya, aku suka matanya. Begitu hidup dan membuatku sangat bergairah. Gairah yang tidak pernah kudapatkan dari perempuan mana pun. Ketika dia bercerita, begitu mempesona. Ceritanya begitu runut. Wajahnya terlihat makin cemerlang. Kupikir: perempuan itu adalah perempuan tercantik yang pernah muncul dalam hidupku.
Aku juga menyukai jari-jarinya yang panjang. Kukunya terawat rapi. Kelihatan sekali kalau dia perempuan yang pajam memanjakan tubuhnya.
Aku kembali menatapnya.
“Apakah aku masih terlihat cantik?” Kali ini untuk pertama kali dia berkata padaku. Padahal sudah hampir sepuluh tahun dia tidak bicara. Dia bicara dan menyatakan keinginannya dengan pensil yang selalu digantungkan di lehernya yang jenjang. Kali ini dia bicara?! Aku bergidik. Girang.
Hyang Jagat, perempuan satu-satunya di dunia yang sangat kukagumi. Kubayangkan dia ketika sepuluh tahun yang lalu. Betapa cantiknya. Betapa menggairahkan. Yang menjadi beban pikiranku, kenapa perempuan itu begitu terobsesi menjadi palung. Palung di tengah laut. Sendiri. Kedinginan. Kesepian. Siapa yang bisa membaca perasaan palung di tengah laut?
“Aku bisa merasakan perasaan menjadi palung di tengah laut.” Suaranya terdengar pelan. Lalu kembali sunyi. Hanya itu kata-kata yang keluar dari bibirnya yang merekah merah. Dia benar-benar perempuan menggairahkan.
***
“KAU memang sudah gila. Bila jatuh cinta dengan perempuan itu. Aku akui dia cantik. Tapi bisakah kau berpikir, apakah kau tidak takut digiling seperti daging ayam potong di mesin blender? Seperti dia menggiling suaminya? Atau memotong anak-anaknya, karena dia merasa hidup anak-anaknya tidak bahagia?”
“Tapi kau tidak mengenalnya?”
“Kau yang tidak mengenalnya! Melihat matanya, aku seperti melihat mata yang mengerikan. Mata yang akan menelanku hidup-hidup!”
“Matanya, begitu cantik. Mata seorang penari!”
“Dulu!”
“Masih terlihat keindahannya!”
“Hah? Keindahan?”
Tak ada seorang psikiater pun bisa melihat keindahan perempuan itu. Aku tahu dari surat-surat yang dikirimkan padaku. Dia perempuan yang terluka, yang merasa disayat-sayat hidupnya. Ditikam dari belakang. Walaupun lelaki yang mengawininya tidak pernah menggores kulitnya seinci pun. Tapi dia perempuan yang terluka. Yang selalu terjaga di tengah malam, melihat suaminya menjelma jadi sejoli burung malam. Bermesra dan mengumbar kata-kata cinta di rumahnya, sambil memutar lagu-lagu cinta picisan yang dibeli di pasar malam.
Perempuan aneh yang tidak pernah tidur, selalu waspada. Dia akan tidur pukul empat pagi. Dan selalu terjaga dengan sorot mata pucat dan kecewa. Dia perempuan yang benar-benar terluka. Perempuan terluka yang bisa memakan apa saja yang telah mematahkan hati, jantung, pikiran, dan kepercayaannya. Perempuan yang membakar radio yang memutar lagi-lagu cinta. Mengumpat tak jelas. Tapi aku mencintainya. Perempuan tercantik dan jujur dengan luka menganga di seluruh perjalanan hidupnya. (*)
.
Denpasar, 2008-2009-2010
Oka Rusmini, saat ini tinggal di Denpasar, Bali. Ia menulis puisi, novel dan cerita pendek. Bukunya yang telah terbit: Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000),Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007) , Erdentanz, novel Tarian Bumi edisi bahasa Jerman (2007), Pandora (2008) danTempurung (2010).

Source: http://lakonhidup.wordpress.com