Kisah 3 Ayah yang Dituduh Gila

Cerpen Mashuri (Jawa Pos, 10 April 2011)

I
“YAH, aku sudah dewasa. Apa Ayah tak ingin mewariskan perusahaan garmen itu padaku?”
“Ayah belum mati.”
“Bukan itu maksudku, Ayah!”
“Terus?”
“Aku tak ingin ada kekacauan di keluarga.”
“Apa kau melihat ada yang tak beres dengan keluarga kita?”
“Tidak, sih!”
“Berarti kau yang kacau!”
“Aku rasional!”
“Aku tak akan menyerahkan perusahaan itu kepadamu. Kapan pun.”
“Apa Ayah sudah gila!?”

II
Di mataku, perempuan itu selalu bergaun ungu. Gaun terusan, dengan motif kembang-kembang putih di antara dada dan perut. Wajahnya selalu tampak ayu dan segar. Hidungnya bangir. Rambutnya sebahu dibiarkan terurai, tanpa digelung. Di hidungku, perempuan itu selalu beraroma wangi, bau seribu bunga.
Hingga kini aku selalu datang kepadanya dengan pandang sekelebat. Tak lebih. Persoalannya sederhana, aku pernah disapa dengan sapaan yang membuatku tergeragap karena aku pernah merasa telah lama akrab dengan panggilan itu, tapi tak pernah dengan mampu mengerti letak kekaribannya.
Kala itu, senja. Suasana jalan desa demikian lengang. Aku bermain di pagar tanaman yang tersusun dari berbagai jenis bunga. Ada kupu-kupu dan capung beterbangan. Aku mengejarnya dan terus mengejarnya. Sampailah aku di rumah yang selalu tampak sepi bila siang, dan selalu ramai bila malam. Rumah perempuan yang selalu bergaun ungu.
Ada dua bunga di pagar tanaman rumahnya. Satu bunga sepatu, lainnya bunga entah, aku tak tahu namanya. Yang jelas, beluntasnya memanjang menyerupai tembok dengan warna hijau rata. Di pekarangan, bunga-bunga tumbuh di taman. Sepertinya perempuan itu berselera menata tanaman: pagar hijau, juga rumah yang asri.
Dan… capung itu hinggap di antara daun-daun beluntas. Binatang bersayap bening itu diam tepekur, seakan-akan menanti senja pulih ke gelap. Aku pun melangkah pelan, pelan dan… clep. Aku menangkapnya dengan ibu jari tangan kanan dan jari telunjuk. Ah, alangkah manis capung itu. Masih kuingat benar. Warnanya keemasan, dengan beberapa bagian tubuh yang mengilap. Pukaunya membuatku tak menghiraukan kupu-kupu yang juga beterbangan di antara bunga yang aku tak tahu namanya. Beterbangan di antara kelopak-kelopak putih yang meruapkan bau sedap.
“Hai, anakku lelaki, perjakaku sendiri, kok masih mainan saja. Sudah candik ala, sudah senja!” Suara itu mengagetkanku. Ketika kucari asal suara, perempuan pemilik rumah dengan pakaian ungu sudah di ambang pintu. Bibirnya yang merah rekah mengulum senyum. Ah, kenapa dia menyapaku anakku lelaki perjakaku sendiri. Itu sapaan yang tak lazim untukku. Aku yakin ibuku pun dulu tak pernah menyapaku begitu. Tapi, aku merasa pernah mendengarnya dulu. Entah kapan, entah di mana.
Jika aku dalam kondisi demikian, kurasakan diriku mabuk.
Aku langsung pulang. Ada perasaan takut tak terkatakan yang mendadak mendekap dada. Setelah itu, aku tak pernah berani dekat-dekat rumahnya, meski rumah itu hanya berjarak tujuh rumah dari tempat tinggalku. Setiap kali aku melewati rumahnya, aku akan berlari kencang-kencang, tidak peduli siang dan malam. Ternyata perempuan bergaun ungu itu menjelma hantu bagiku. Hantu yang selalu ingin disingkiri, tetapi mengundang untuk dilihat dan diakrabi.
Aku sendiri tak tahu, sungguh.
***
Tak ada yang tahu namanya dengan pasti, tetapi yang jelas usianya sudah 12 tahun. Dia biasa disapa Joko. Dia lahir tepat pada peristiwa berdarah di kampung, 12 tahun lalu, bulan ketiga, ketika rembulan bersinar dengan sempurna. Ketika terjadi perang dengan kampung sebelah.
Sepanjang usia, dia tak punya teman karena dia seakan-akan tak butuh kawan. Dia selalu bermain sendiri. Kadangkala berbicara sendiri, baik terhadap bunga-bunga, tanaman di pinggir jalan, padi-padi di sawah, maupun terhadap capung-capung yang kerap dia tangkap lalu dia bebaskan dengan senyum terkulum.
“Aku bisa mendengar mereka bicara, menyapaku dan mengajakku bermain!” Joko akan berkata demikian kepada ayahnya, setiap kali ayahnya menyentak keasyikannya.
Sejak berusia lima tahun, dia sudah ditinggal ibunya ke alam baka. Kata orang-orang kampung, ibunya mati karena sakit perasaan. Ayahnya terlalu sering sambang ke rumah berpagar beluntas yang berjarak tujuh rumah dari rumahnya. Semua lelaki di kampung suka rumah itu. Ayahnya menyimpan sesuatu tentang rumah itu. Joko pun menyimpan sesuatu tentang rumah itu, antara rindu dan takut. Rumah yang tampak selalu berbau dupa, wangi, rumah yang selalu membuatnya betah hanya sekadar menatap pintu, tanaman-tanaman hias di taman, juga bunga sepatu yang selalu membuatnya tertarik untuk memetik.
Joko kerap memetik bunga sepatu merah, lalu diselipkannya di telinga. Dia akan berlari-lari di sepanjang jalan desa, seperti seorang yang sedang naik kuda. Bila bunga itu terjatuh, dia akan memungutnya, membersihkannya dari kotoran dan tanah, lalu memasangnya di telinga. Dia akan mengulang-ngulangnya, sampai bunga itu layu, kepala serbuk sarinya hilang, sedangkan kelopak-kelopaknya tak lagi genap.
Bila sudah sampai begitu, Joko berkata pada ayahnya, satu-satunya orang yang pernah dia ajak berbicara, satu-satunya orang yang suaranya kerap sampai di gendang telinganya. Dia selalu berkata, “Aku seperti mendengar bunyi terompet. Aku seperti di padang-padang gembala. Aku naik kuda, main perang-perangan, berhadapan dengan musuh, tapi aku tak pernah melihat musuh. Aku tidak memburu, tetapi juga diburu.”
Ayahnya diam. Ayahnya tahu, itu bukan kata-kata anaknya. Dia tahu, Joko telah pergi, tanpa dia tahu, ke mana raibnya. Dia hanya tahu jika Joko berkata dengan ungkapan melampaui usianya, anaknya itu telah terusir. Si ayah kadang menangis, tapi dia sadar: dia tak bisa menangisi takdir. Apalagi setiap senja datang dan dia menemukan anak tunggalnya itu terpaku, dia hanya bisa diam seperti batu.
Hampir setiap senja, Joko terpaku. Dia mendengar suara-suara lain, selain suara-suara tanaman, capung, belalang, juga binatang, juga ayahnya. Dia mendengar suara sapa, dari rumah yang dia bayangkan dalam kabut kedamaian. Rumah yang memesona, sekaligus rahasia. Dia mendengar sa pa yang teramat akrab, sekaligus jauh. Dia mendengar, tetapi tak ingin merekamnya. Dia ingin mengusir pendengaran yang telah merusak heningnya, merusak gendang telinganya dengan suara-suara baru, atau suara lama yang baru terangkat dari endapan jiwanya.
“Anakku lelaki, perjakaku sendiri!”
***
Aku tak pernah bermimpi, tapi semalam aku bermimpi.
Aku menetek di susu perempuan bergaun ungu, dia lalu kupanggil ibu dengan sepenuh kalbu. Tubuhku lalu membesar, sebesar ayah. Tetapi tetap tidur bersama perempuan itu. Aku selalu berada di sampingnya bila malam tiba, bila hujan menitipkan dingin ke kulit dan cuaca, bila alam terasa demikian sepi. Aku selalu tidur bersamanya. Ketika aku lelah dari padang gembala kuda-kuda, aku lalu menghampirinya. Ketika aku tersaruk di medan-medan laga, aku kembali ke pangkuannya. Dalam sebuah pertempuran penghabisan, aku terluka, sekarat dan hampir mati, dia datang, memanggil namaku, lalu menyiramkan air ke kepalaku. Aku bangkit kembali. Aku menjelma seorang kesatria, menunggang kuda, menggenggam pedang, dan selalu menang perang.
Tapi, ketika aku bercerita pada ayah, tentang mimpi bertemu dengan perempuan menakutkan itu, dia hanya termangu.
Ayah lalu bertanya, “Kenapa kau usir anakku, ke mana kau ungsikan dia?”
Aku diam seribu bahasa. Aku merasa ayahku sudah gila.

III
Pohon trembesi itu tegar di kaki bukit. Dahannya bagai lengan raksasa dengan jumlah beratus-ratus menaungi semak di bawahnya. Jika musim panas dan matahari tepat di atas kepala, orang-orang berteduh di bawahnya. Angin akan mengusir rasa gerah, dan panas menjelma kesejukan yang merayap ke pori-pori kulit. Kedamaian terjelma lewat tiupan angin.
Hampir semua warga kampung merasakan hal itu, terlebih Sukmo. Dia seperti memiliki ikatan khusus dengan pohon itu. Ayahnya telah menanam ari-arinya di sana. Sejak balita, dia sering ditimang-timang ibundanya di bawah pohon; sambil mendendangkan tembang pelipur lara, nyanyian penidur ananda; lewat sepoi angin, Sukmo kecil merasa disirep, dia pun lelap dalam buaian.
Siang itu Sukmo mengajak anak sulungnya, Rai, ke bawah trembesi. Mereka baru saja dari ladang, tepat di lereng bukit. Kerut sudah tampak di wajahnya. Langkahnya menunjukkan hidupnya yang sudah dimakan usia. Diseretnya cangkul dengan tangan kasarnya dan disandarkannya tubuhnya ke pohon yang berusia ratusan tahun itu. Ada perasaan damai, sekaligus gundah di hatinya. Dibiarkannya Rai menangkap belalang, lalu dikunyahnya dan ditelan. Anak ini sudah semakin besar, tetapi perangainya masih seperti anak kecil. Dia masih suka bermain-main, tidak stabil dan tidak bisa diajak bertukar pikiran. Tetapi saat ini, Sukmo tidak sedang berpikir seperti itu. Dia sedang dilanda kegelisahan.
“Kenapa ayah menangis?”
Sukmo terhenyak mendengar sapaan Rai. Dia merasa aneh dan asing dengan sapaan itu. Ini bukan tabiat Rai, tetapi dia buru-buru mengusap air matanya. Dia lalu tersenyum, ketika melihat mimik anaknya tegang. Dia tak ingin anaknya itu merasa yang hadir di hadapannya bukan sang ayah tak dikenalnya selama ini, tetapi sosok lain, yang semakin rapuh. Sukmo ingin tegar di hadapan Rai.
“Saya tahu bagaimana ayah melihatku. Tetapi, tidak baik jika ayah sampai menangis. Aku tidak ingin adik-adik melihat Ayah menitikkan air mata. Cukup aku saja,” tandas Rai.
Sukmo seperti berada di sebuah wilayah yang dia sendiri ingin berpaling; dia merasa antara perasaan lega dan terjepit. Meski hati kecilnya tetap melihat Rai sebagaimana biasanya, dalam satu detik itu, dia ingin memperlakukan Rai sebagai seorang anak tertuanya, dan memang seharusnya bersikap dewasa. Dia pun membeber rahasianya.
“Aku melihat kematianku, Nak. Karena kau sulung, kuingin membuka rahasia ini kepadamu. Semalam aku bermimpi melihat batu nisanku berada di bawah pohon ini. Berarti kematianku semakin dekat,” kata Sukmo. “Karena itu, aku ingin kita pindah dari kampung ini, karena adik-adikmu masih membutuhkan aku. Kukira pendapatku ini baik. Oleh karena itu, mulai besok kita semua pindah.”
Rai kembali sibuk sendiri. Dia mempermainkan rumput di telapaknya. Sukmo merasa perih melihat perangai Rai yang kembali. Dia telanjur membuka diri pada Rai bahwa dia memiliki rahasia, tetapi Rai kembali hilang. Sukmo memang sering mendapati anaknya demikian. Anaknya memiliki dunia sendiri yang sukar diukur, bahkan oleh Sukmo sekalipun.
Karena hanya angin yang terdengar, Sukmo mengajak Rai turun. Mereka lalu berkemas dan pindah ke kampung lain. Adik-adiknya yang berjumlah empat juga mengikutinya. Ada juga 11 keluarga yang selama ini pengikut Sukmo, turut mengikuti langkah keluarga Sukmo.
***
Angin malam yang dingin menampar pipi Rai. Diraihnya kentongan dan dibunyikannya bertalu-talu. Dalam sekejap saja, balai-balai yang diterangi dengan cahaya obor itu dipenuhi orang, laki dan perempuan. Semuanya menggenggam senjata.
“Malam ini, kita semua berjaga. Kampung kita sedang menghadapi bahaya. Kampung sebelah ingin menyerang kita,” Sukmo berkata lantang. Di pinggangnya tampak sebilah parang.
Di kampung baru Sukmo didaulat sebagai kepala kampung. Selain masalah karisma dan memiliki pengikut dari kampung asal, banyak warga kampung baru melihat Sukmo sebagai seorang lelaki yang tegar; tanpa seorang istri, dia mampu mengatur ke-5 anaknya, yang semuanya laki-laki.
Hadirin menyerukan sebuah sorakan: tanda siap berjuang. Mereka lalu dibagi. Perempuan tetap di rumah menjaga anak-anaknya, dengan tetap menggenggam pisau atau senjata apa adanya. Sedangkan yang laki-laki di luar rumah, siap dengan senjata terhunus.
“Siapa yang menjaga adik-adik, Ayah?” tanya Rai, di sela-sela kesibukan Sukmo membagi warga kampungnya.
“Kamu, Rai. Lindungi adik-adikmu. Apa pun yang terjadi, kamu harus dekat dengan adik-adikmu,” tegas Sukmo.
“Aku laki-laki ayah, aku harus ikut berperang,” tutur Rai.
“Tidak!”
“Aku harus melindungi Ayah. Kalau ayah terluka dan mati?”
Sukmo kembali tercenung. Dia merasa di sebuah wilayah seperti berada di bawah pohon trembesi beberapa waktu lalu dan merasa Rai cukup dewasa. Tetapi kondisi itu tak lama.
“Kamu tetap di rumah. Aku akan tetap hidup, aku tidak bisa mati di kampung ini. Aku harus tetap hidup untuk kalian!”
Rai diam. Dia masuk rumah, kembali asyik dengan empat saudaranya. Biasanya, bila bulan purnama seperti sekarang, dia akan bermain di halaman. Tetapi, kini dia main petak umpet di rumah.
Dini hari, perang berkecamuk dahsyat. Sukmo terkoyak dadanya. Meski darah berceceran membasahi bumi, Sukmo tidak kunjung mati.
***
“Bawa aku ke pohon trembesi!”
“Kenapa, Ayah?”
“Aku tersiksa. Aku ingin mati. Aku hanya bisa mati di sana!”
“Ingin mati? Apa Ayah sudah gila?” (*)
Surabaya-Jogjakarta, 2011

Source: http://lakonhidup.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar