Cerpen Triyanto Triwikromo (Jawa Pos, 2 Januari 2011)


KAU tak pernah tahu pada gerimis ke-15 pada senja yang muram, lelaki kencana yang kausangka menyamar sebagai Raja Ali Haji itu menulis 12 kisah tentang kota-kota dan makhluk-makhluk yan diberkati. Sebagian orang menganggap itu hanya kisah-kisah palsu. Sebagian lain menganggap gurindam dua belas tak bisa dimaknai secara utuh tanpa tahu cerita-cerita yang baru ditemukan di sebuah peti di kuburan tanpa nama di Pulau Penyengat pada 1874, tetapi tetap disembunyikan oleh penemunya itu.
Apakah kau ingin mendengarkan kisah tersebut sekarang? Hmm, karena kau tak mungkin paham bahasa yang digunakan pada masa Yang Dipertuan Muda Riau Muhammad Yusuf Al Hamadi, aku telah mengubah kisah tragik-komik itu dalam tata kata masa kini. Kini kau bisa membacanya untuk para polisi tersebut.
Kamilah yang Membangun Parit Kota Itu
Tak kami bayangkan sebelumnya pada 6 Januari 1784, Belanda menyerang semua pertahanan Kerajaan Melayu Riau. Mereka menyangka Tanjungpinang, Penyengat, Senggarang, dan Pulau Bayan akan hancur dalam sekejap dan kami hangus bagai arang. Tetapi, mereka salah menduga. Mereka tak tahu betapa kami bukan kayu yang mudah dibakar, bukan besi yang mudah dibentuk menjadi apa pun setelah dipanaskan. Mereka salah menduga betapa kami menginginkan sejarah tanah kami direbut paksa oleh Belanda.
Ya, kau pun tahu, Belanda pada akhirnya keok. Kami menang meskipun banyak saudara kami yang gugur. Kami menang karena kami tahu bahwa nyawa tak lebih berharga daripada sejumput tanah yang akan dicuri para serdadu kafir. Kami menang karena ingin menegakkan masjid, menegakkan doa, menegakkan cinta kami kepada Allah semata.
Kau tahu siapa yang kemudian membangun parit-parit kota dan kampung-kampung elok di Tanjungpinang? Kau tahu siapa yang kemudian membangun masjid indah di Pulau Penyengat? Kau tahu siapa yang kemudian menegakkan agama di Senggarang dan Pulau Bayan? Kamilah Laskar Riau yang tak pernah kaukenal. Sebab, kau hanya mengenal raja. Kamilah rakyat yang membangun segala hal, tetapi kau kubur di hati. Sebab, di dadamu hanya rajalah yang bertakhta dan bersemayam.
Kamilah yang membangun kubu dan parit-parit itu. Bukan mereka…. Bukan mereka….
Kentut David Ruhde di Benteng Kroonsprins
Sebagai abdi David Ruhde, aku sangat tahu tabiat residen murah senyum itu. Semua orang tahu bahwa dia suka makan. Tetapi, tak semua orang tahu bahwa Residen David Ruhde suka kentut. Kentut pembangun militer dan dagang di Tanjungpinang sangat bau. Tetapi, dia selalu menganggap apa pun yang muncul dari dirinya harum semata.
“Bahkan, kelak mayatku pun akan wangi,” katanya.
“Ampun, tak ada mayat yang wangi, Paduka. Semua mayat—bahkan mayat Nabi—akan bau. Tak ada bangkai yang harum….”
“Waktu mengubur mayatku, kau akan tahu betapa harum jasadku….”
Aku tak percaya. Aku berdoa pada suatu hari bisa membuktikan betapa kentut residen pun tak mungkin seharum sedap malam. Pun benar, pada malam tanpa bintang, di antara kebisuan Benteng Kroonsprins, terdengar bunyi kentut dengan nada menyerupai trompet bobrok.
Kau tahu, sungguh sangat menyengat bau kentut itu.
“Ampun, Paduka, apakah Tuan baru saja kentut?”
Residen mengangguk.
“Ampun, Paduka. Mulai sekarang Tuan harus berhati-hati.”
“Mengapa harus hati-hati?”
“Kentut Paduka sudah tak wangi. Itu berarti Paduka diambang kekalahan….”
“Kalah?”
Tak kujawab pertanyaan itu. Yang kutahu, dia melesat ke kamar. Tak lama kemudian, dia mengacungkan senapan ke dadaku. Dia sangat berhasrat membunuhku. Dalam waktu bersamaan, dia kentut dalam nada letusan salvo.
Ya, ya, sekali lagi kukatakan kepadamu, kentut Residen David Ruhde di Benteng Kroonsprins sangat bau.
Minuman Pertama Laksamana Tun Abdul Jamil
Perintah dari Sultan Johor itu berbunyi: Carilah sumber air bersih di Sungai Carang. Setelah itu, bercerminlah. Jika kau lihat wajahmu tak semakin elok, tetapi juga tak semakin berborok, segeralah bangun kerajaan baru di situ.
Lalu, sebagimana yang termaktub dalah kitab-kitab sejarah resmi, berangkatlah Laksamana Tun Abdul Jamil dengan Lancang Kuning ke hulu Sungai Riau.
“Apakah dia mendapatkan mata air yang jernih?”
“Tidak. Dia justru mendapatkan air mata yang keruh.”
“Air mata? Air mata siapa?’”
“Rakyat Sungai Carang.”
“Mengapa mereka menangis?”
“Mereka kelaparan.”
“Mengapa kelaparan?”
“Mereka tak diberi makan oleh raja.”
Lalu, sebagimana yang termaktub dalam kotab-kitab resmi, pindahlah Kerajaan Johor ke Riau.
“Apakah Laksamana Tun Abdul Jamil akhirnya menemukan mata air yang jernih?”
“Tidak. Dia tetap hanya menemukan air mata yang keruh. Konon, air mata yang keruh itulah yang disajikan oleh rakyat Sungai Carang kepadanya sebagai minuman pertama. Sejak itu berpindahlah Kerajaan Johor ke hulu Sungai Riau.”
“Lalu, mengapa kitab-kitab resmi menulis kisah Laksamana Tun Abdul Jamil secara lain?”
Cahaya Istana Kota Piring
Di taman itu, Raja Haji Fisabilillah bercakap-cakap dengan merpati. Raja Haji Fisabilillah mendapatkan ilmu bercakap dengan binatang itu dari Nabi Sulaiman dalam mimpi ke-1.298.
“Tuan, mengapa kau membangun istanamu dengan bertakhta pinggan dan piring? Mengapa dindingnya berlapis cermin? Mengapa kaki-kaki tangannya berlapis tembaga sehingga apabila terkena sinar matahari dan sinar bulan memancarkan cahaya?” cericit merpati.
“Sebab, aku hanya ingin mengenang nur Muhammad.”
“Bukankah Cahaya Mahacahaya sudah ada di hatimu, Tuan?”
“Ya, yang tak tampak juga harus tampak agar ita selalu ingat yang tak tampak….”
“Apa yang Tuan lihat saat bercermin?”
“Diri yang daif….”
“Apa lagi?”
“Wajah yang keruh?”
“Tidakkah ada cahaya yang memancar?”
“Belum….”
Lalu, Raja Haji Fisabilillah terus membangun Istana Piring dalam balutan cahaya, dalam balutan cinta yang dia sangka menebar dari nur Muhammad hingga akhir masa.
“Apakah pada akhirnya kau temukan cahaya sejati, Paduka?”
Raja Haji Fisabilillah menggeleng. Tak ada cahaya sejatikah?
Tentang Phe Kong dan Keselamatanmu
Tak ada yang berani yang mencampakkan patung dewa yang tak pernah tidur itu. Pohon-pohon lebih memilih membisu dan para peziarah hanya sesekali menatap matanya yang sayu.
“Kenapa semua takut kepadaku?” kata Phe Kong. “Bukankah telah kuselamatkan segala kehidupan di darat? Bukankah telah kumuliakan segala yang tumbuh di Senggarang?”
Tak ada yang berani mendengarkan perkataan dewa yang santun itu. Tak ada yang sekadar menatap matanya yang kuyu.
“Baiklah, kau. Saat berada di laut, kau boleh bersandar pada Ma Chou, dewa yang menjaga hijau biru lautmu. Tetapi, kini kau hidup di darat, kau membutuhkan sabda-sabda putih yang menghidupkan bulir-bulir padimu. Ayolah, jangan takut kepadaku. Hari ini aku akan menjelma Lou Wei Sheng dan kuselamatkan orang-orang yang sudah mati. Ayolah, sapa aku. Besok aku akan menjelma To Po Kong dan tetap kuselamatkan segala hal yang hidup di darat.”
Tetap saja tak ada yang berani mempercakapkan patung dewa yang tak pernah tidur itu. Embun-embun lebih memilih membisu dan peziarah hanya sesekali menatap matanya yang sayu.
“Aku akan menyelamatkan Senggarang. Jangan takut kepadaku….”
Aku Telah Belajar kepada Cia Lan Pho Sak
Gurindam itu tak akan pernah jadi jika aku tak belajar kepada Cia Lan Pho Sak. Dia mengajariku menatap bulan saat matahari masih memanggang Pulau Penyengat dengan panas yang tak keruan. Dia mengajariku menyelam di laut yang menakjubkan saat aku ingin menyisir pantai dan bercakap dengan ketam.
“Kau akan mencapai makrifat pada saat yang tepat,” katanya, pelan.
Aku takut mendengar perkataan itu. Aku lalu bersujud. Aku lalu berlari ke bilik dan salat berkali-kali.
“Kau akan jadi tiang… tetaplah sembahyang.”
Lidahku kelu. Aku tak berani menatap apa pun. Aku hanya tertunduk dengan mata terpejam.
“Kau tak akan pernah menggunakan kakimu dengan sia-sia. Kau hanya akan menggunakan kakimu untuk melangkah ke masjid, untuk melangkah ke kebajikan.”
Aku ingin tidur saja saat itu. Aku ingin melupakan segalanya.
“Kau telah memiliki kerajaan. Hatimulah kerajaan yang tak akan pernah kau tinggalkan itu.”
Kali ini aku ingin mati. Aku tak sanggup menerima sabda dari sesuatu yang tak kutahu wajah dan hatinya.
“Kau telah memiliki sabda. Kelak kau didengar saat kau tak lagi bisa berkata-kata.”
Apakah pada akhirnya aku juga bisa berdusta?
“Kau tak akan mempercakapkan segala sesuatu yang sia-sia. Kau tidak akan pernah masuk ke ceruk dosa.”
“Apakah hidupku tak akan pernah berkhianat kepada-Nya?”
“Kau akan sekali berkhianat kepada manusia, yakni ketika kau akan memuja rajamu melebihi pemujaanmu kepada-Nya.”
“Apakah setan pernah menyentuhku?”
“Ya, pernah tiga kali, saat kau batuk ketika azan berkumandang, saat kau berdahak ketika Allah menyapa malam, dan saat meludah ketika Nabi gemetar melihat Pulau Penyengat menggigil dalam hujan.”
“Baiklah, apakah aku pernah menjadi pendurhaka paling laknat?”
Cia Lan Pho Sak tak menjawab.
“Apakah aku pernah tak adil kepada sesama?”
Cia Lan Pho Sak tak menjawab.
“Apakah aku akan mati sebelum kubuat Kisah Dua Belas Kisah untuk para sahabat?”
Cia Lan Pho Sak tetap tak menjawab.
Aku lalu pulang. Aku lalu membikin gurindam dua belas itu.
Mereka Memalsukan Kisahku
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa aku belajar kepada para ulama bersama bocah-bocah keraton yang kolokan. Kenyataannya: Aku belajar kepada burung untuk memahami bahasa sayap dan keajaiban kicauan.
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa aku belajar ke Batavia. Kenyataannya: Aku lebih belajar bercermin di gelombang laut.
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa aku belajar ke Makkah. Kenyataannya: Aku lebih menyukai menatap segala piramida di Mesir, aku lebih memahami keindahan Alquran dan segala tafsir.
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa aku belajar tentang tasawuf. Kenyataannya: Aku belajar kepada nur Muhammad. Aku belajar kepada Cahaya Mahacahaya.
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa aku memiliki banyak guru sesat. Kenyataannya: Aku hanya bercakap tentang hujan dengan Syekh Muhammad Arsyad Banjar, hanya bercakap tentang gunung dengan Haji Abu Bakar Bugis, hanya bercakap tentang matahari dengan Sayid Ghulam Al Rasul Al Kandahari, hanya bercakap tentang hati dengan diri sendiri.
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa jasadku wangi. Kenyataannya: Harum hanya milik Sang Mahahati.
Kitab Pengetahuan Ketam dan Kitab Taman Para Penjilat
Mereka telah membakar Kitab Pengetahuan Ketam yang menceritakan bagaimana para ketam memburu surga, mendaki makrifat, menyusuri tarekat, melewati syariat, dan mencium hakikat. Aku sedih, tetapi tak bisa berbuat apa-apa karena mereka lebih mencintai Kitab Pengetahuan Bahasa.
Mereka telah membakar Kitab Taman Para Penjilat yang menceritakan bagaimana para punggawa memengaruhi raja untuk menyerah saja kepada Belanda. Mereka malu jika buku itu dibaca anak, cucu, dan masyarakat dunia. Aku sedih, tetapi tak bisa apa-apa karena mereka lebih suka membaca Kitab Taman Para Penulis.
Apakah mereka ingin membakarku juga?
Penjara Para Pembaca
Pada suatu masa, kau tidak boleh mengunjungi makam keramat dan tak boleh membaca gurindam dua belas yang diguratkan di dinding-dindingnya. Jika kau membaca, para serdadu memenjaramu. Kau akan dipaksa membaca kitab lain. Kau akan dipaksa meyakini kehendak lain.
Pada suatu masa, para pembaca riwayatku dan risalah-risalahku dianggap bodoh dan bersekutu dengan setan. Jika sekarang kau masih sempat membaca gurindamku, jika kau sekarang masih bisa mengunjungi makam itu, bersyukurlah. Segeralah pergi dan lupakan huruf-hurufku. Segeralah berlari dan lupakanlah setiap nada cinta gurindamku.
Larilah…! Mereka mengintaimu. Mereka akan memenjara dan akhirnya membakarmu.
Percakapan Para Peragu
“Dia telah mati.”
“Siapa yang mati?”
“Bukan siapa-siapa. Hanya Raja Ali Haji. Pun, kita tak perlu menguburnya di Pulau Penyengat.”
“Mengapa? Bukankah dia bunga bagi tanah indah ini?”
“Kita tak perlu mengubur bunga indah karena dia telah melakukan mikraj.”
“Dia telah menghilang semalam.”
“Seseorang telah melarikan makam itu ke luar pulau?”
“Tidak, dia telah terbang ke langit.”
Aku Hanya Angin, Aku Hanya Laut
Pada akhirnya, aku tak lebih terhormat daripada batu karena mereka terlalu memujaku. Pada akhirnya, aku tak lebih berharga daripada kabut karena mereka menganggapku sebagai pahlawan terindah. Mereka lupa bahwa aku hanya angin yang mengembuskan isyarat dan rambu-rambu perjalanan ke surga. Mereka lupa bahwa aku hanya laut yang membuai tidur dan mimpi mereka saat berlayar menuju cakrawala-Nya.
Doa Terakhir
Aku berharap, janganlah mereka membaca Kisah Dua Belas Kisah ini, ya Allah. Aku berharap tak seorang pun hangus setelah membaca kisah-kisah yang mereka sangka tak pernah kutulis itu. (*)
KAU tak pernah tahu pada gerimis ke-15 pada senja yang muram, lelaki kencana yang kausangka menyamar sebagai Raja Ali Haji itu menulis 12 kisah tentang kota-kota dan makhluk-makhluk yan diberkati. Sebagian orang menganggap itu hanya kisah-kisah palsu. Sebagian lain menganggap gurindam dua belas tak bisa dimaknai secara utuh tanpa tahu cerita-cerita yang baru ditemukan di sebuah peti di kuburan tanpa nama di Pulau Penyengat pada 1874, tetapi tetap disembunyikan oleh penemunya itu.
Apakah kau ingin mendengarkan kisah tersebut sekarang? Hmm, karena kau tak mungkin paham bahasa yang digunakan pada masa Yang Dipertuan Muda Riau Muhammad Yusuf Al Hamadi, aku telah mengubah kisah tragik-komik itu dalam tata kata masa kini. Kini kau bisa membacanya untuk para polisi tersebut.
Kamilah yang Membangun Parit Kota Itu
Tak kami bayangkan sebelumnya pada 6 Januari 1784, Belanda menyerang semua pertahanan Kerajaan Melayu Riau. Mereka menyangka Tanjungpinang, Penyengat, Senggarang, dan Pulau Bayan akan hancur dalam sekejap dan kami hangus bagai arang. Tetapi, mereka salah menduga. Mereka tak tahu betapa kami bukan kayu yang mudah dibakar, bukan besi yang mudah dibentuk menjadi apa pun setelah dipanaskan. Mereka salah menduga betapa kami menginginkan sejarah tanah kami direbut paksa oleh Belanda.
Ya, kau pun tahu, Belanda pada akhirnya keok. Kami menang meskipun banyak saudara kami yang gugur. Kami menang karena kami tahu bahwa nyawa tak lebih berharga daripada sejumput tanah yang akan dicuri para serdadu kafir. Kami menang karena ingin menegakkan masjid, menegakkan doa, menegakkan cinta kami kepada Allah semata.
Kau tahu siapa yang kemudian membangun parit-parit kota dan kampung-kampung elok di Tanjungpinang? Kau tahu siapa yang kemudian membangun masjid indah di Pulau Penyengat? Kau tahu siapa yang kemudian menegakkan agama di Senggarang dan Pulau Bayan? Kamilah Laskar Riau yang tak pernah kaukenal. Sebab, kau hanya mengenal raja. Kamilah rakyat yang membangun segala hal, tetapi kau kubur di hati. Sebab, di dadamu hanya rajalah yang bertakhta dan bersemayam.
Kamilah yang membangun kubu dan parit-parit itu. Bukan mereka…. Bukan mereka….
Kentut David Ruhde di Benteng Kroonsprins
Sebagai abdi David Ruhde, aku sangat tahu tabiat residen murah senyum itu. Semua orang tahu bahwa dia suka makan. Tetapi, tak semua orang tahu bahwa Residen David Ruhde suka kentut. Kentut pembangun militer dan dagang di Tanjungpinang sangat bau. Tetapi, dia selalu menganggap apa pun yang muncul dari dirinya harum semata.
“Bahkan, kelak mayatku pun akan wangi,” katanya.
“Ampun, tak ada mayat yang wangi, Paduka. Semua mayat—bahkan mayat Nabi—akan bau. Tak ada bangkai yang harum….”
“Waktu mengubur mayatku, kau akan tahu betapa harum jasadku….”
Aku tak percaya. Aku berdoa pada suatu hari bisa membuktikan betapa kentut residen pun tak mungkin seharum sedap malam. Pun benar, pada malam tanpa bintang, di antara kebisuan Benteng Kroonsprins, terdengar bunyi kentut dengan nada menyerupai trompet bobrok.
Kau tahu, sungguh sangat menyengat bau kentut itu.
“Ampun, Paduka, apakah Tuan baru saja kentut?”
Residen mengangguk.
“Ampun, Paduka. Mulai sekarang Tuan harus berhati-hati.”
“Mengapa harus hati-hati?”
“Kentut Paduka sudah tak wangi. Itu berarti Paduka diambang kekalahan….”
“Kalah?”
Tak kujawab pertanyaan itu. Yang kutahu, dia melesat ke kamar. Tak lama kemudian, dia mengacungkan senapan ke dadaku. Dia sangat berhasrat membunuhku. Dalam waktu bersamaan, dia kentut dalam nada letusan salvo.
Ya, ya, sekali lagi kukatakan kepadamu, kentut Residen David Ruhde di Benteng Kroonsprins sangat bau.
Minuman Pertama Laksamana Tun Abdul Jamil
Perintah dari Sultan Johor itu berbunyi: Carilah sumber air bersih di Sungai Carang. Setelah itu, bercerminlah. Jika kau lihat wajahmu tak semakin elok, tetapi juga tak semakin berborok, segeralah bangun kerajaan baru di situ.
Lalu, sebagimana yang termaktub dalah kitab-kitab sejarah resmi, berangkatlah Laksamana Tun Abdul Jamil dengan Lancang Kuning ke hulu Sungai Riau.
“Apakah dia mendapatkan mata air yang jernih?”
“Tidak. Dia justru mendapatkan air mata yang keruh.”
“Air mata? Air mata siapa?’”
“Rakyat Sungai Carang.”
“Mengapa mereka menangis?”
“Mereka kelaparan.”
“Mengapa kelaparan?”
“Mereka tak diberi makan oleh raja.”
Lalu, sebagimana yang termaktub dalam kotab-kitab resmi, pindahlah Kerajaan Johor ke Riau.
“Apakah Laksamana Tun Abdul Jamil akhirnya menemukan mata air yang jernih?”
“Tidak. Dia tetap hanya menemukan air mata yang keruh. Konon, air mata yang keruh itulah yang disajikan oleh rakyat Sungai Carang kepadanya sebagai minuman pertama. Sejak itu berpindahlah Kerajaan Johor ke hulu Sungai Riau.”
“Lalu, mengapa kitab-kitab resmi menulis kisah Laksamana Tun Abdul Jamil secara lain?”
Cahaya Istana Kota Piring
Di taman itu, Raja Haji Fisabilillah bercakap-cakap dengan merpati. Raja Haji Fisabilillah mendapatkan ilmu bercakap dengan binatang itu dari Nabi Sulaiman dalam mimpi ke-1.298.
“Tuan, mengapa kau membangun istanamu dengan bertakhta pinggan dan piring? Mengapa dindingnya berlapis cermin? Mengapa kaki-kaki tangannya berlapis tembaga sehingga apabila terkena sinar matahari dan sinar bulan memancarkan cahaya?” cericit merpati.
“Sebab, aku hanya ingin mengenang nur Muhammad.”
“Bukankah Cahaya Mahacahaya sudah ada di hatimu, Tuan?”
“Ya, yang tak tampak juga harus tampak agar ita selalu ingat yang tak tampak….”
“Apa yang Tuan lihat saat bercermin?”
“Diri yang daif….”
“Apa lagi?”
“Wajah yang keruh?”
“Tidakkah ada cahaya yang memancar?”
“Belum….”
Lalu, Raja Haji Fisabilillah terus membangun Istana Piring dalam balutan cahaya, dalam balutan cinta yang dia sangka menebar dari nur Muhammad hingga akhir masa.
“Apakah pada akhirnya kau temukan cahaya sejati, Paduka?”
Raja Haji Fisabilillah menggeleng. Tak ada cahaya sejatikah?
Tentang Phe Kong dan Keselamatanmu
Tak ada yang berani yang mencampakkan patung dewa yang tak pernah tidur itu. Pohon-pohon lebih memilih membisu dan para peziarah hanya sesekali menatap matanya yang sayu.
“Kenapa semua takut kepadaku?” kata Phe Kong. “Bukankah telah kuselamatkan segala kehidupan di darat? Bukankah telah kumuliakan segala yang tumbuh di Senggarang?”
Tak ada yang berani mendengarkan perkataan dewa yang santun itu. Tak ada yang sekadar menatap matanya yang kuyu.
“Baiklah, kau. Saat berada di laut, kau boleh bersandar pada Ma Chou, dewa yang menjaga hijau biru lautmu. Tetapi, kini kau hidup di darat, kau membutuhkan sabda-sabda putih yang menghidupkan bulir-bulir padimu. Ayolah, jangan takut kepadaku. Hari ini aku akan menjelma Lou Wei Sheng dan kuselamatkan orang-orang yang sudah mati. Ayolah, sapa aku. Besok aku akan menjelma To Po Kong dan tetap kuselamatkan segala hal yang hidup di darat.”
Tetap saja tak ada yang berani mempercakapkan patung dewa yang tak pernah tidur itu. Embun-embun lebih memilih membisu dan peziarah hanya sesekali menatap matanya yang sayu.
“Aku akan menyelamatkan Senggarang. Jangan takut kepadaku….”
Aku Telah Belajar kepada Cia Lan Pho Sak
Gurindam itu tak akan pernah jadi jika aku tak belajar kepada Cia Lan Pho Sak. Dia mengajariku menatap bulan saat matahari masih memanggang Pulau Penyengat dengan panas yang tak keruan. Dia mengajariku menyelam di laut yang menakjubkan saat aku ingin menyisir pantai dan bercakap dengan ketam.
“Kau akan mencapai makrifat pada saat yang tepat,” katanya, pelan.
Aku takut mendengar perkataan itu. Aku lalu bersujud. Aku lalu berlari ke bilik dan salat berkali-kali.
“Kau akan jadi tiang… tetaplah sembahyang.”
Lidahku kelu. Aku tak berani menatap apa pun. Aku hanya tertunduk dengan mata terpejam.
“Kau tak akan pernah menggunakan kakimu dengan sia-sia. Kau hanya akan menggunakan kakimu untuk melangkah ke masjid, untuk melangkah ke kebajikan.”
Aku ingin tidur saja saat itu. Aku ingin melupakan segalanya.
“Kau telah memiliki kerajaan. Hatimulah kerajaan yang tak akan pernah kau tinggalkan itu.”
Kali ini aku ingin mati. Aku tak sanggup menerima sabda dari sesuatu yang tak kutahu wajah dan hatinya.
“Kau telah memiliki sabda. Kelak kau didengar saat kau tak lagi bisa berkata-kata.”
Apakah pada akhirnya aku juga bisa berdusta?
“Kau tak akan mempercakapkan segala sesuatu yang sia-sia. Kau tidak akan pernah masuk ke ceruk dosa.”
“Apakah hidupku tak akan pernah berkhianat kepada-Nya?”
“Kau akan sekali berkhianat kepada manusia, yakni ketika kau akan memuja rajamu melebihi pemujaanmu kepada-Nya.”
“Apakah setan pernah menyentuhku?”
“Ya, pernah tiga kali, saat kau batuk ketika azan berkumandang, saat kau berdahak ketika Allah menyapa malam, dan saat meludah ketika Nabi gemetar melihat Pulau Penyengat menggigil dalam hujan.”
“Baiklah, apakah aku pernah menjadi pendurhaka paling laknat?”
Cia Lan Pho Sak tak menjawab.
“Apakah aku pernah tak adil kepada sesama?”
Cia Lan Pho Sak tak menjawab.
“Apakah aku akan mati sebelum kubuat Kisah Dua Belas Kisah untuk para sahabat?”
Cia Lan Pho Sak tetap tak menjawab.
Aku lalu pulang. Aku lalu membikin gurindam dua belas itu.
Mereka Memalsukan Kisahku
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa aku belajar kepada para ulama bersama bocah-bocah keraton yang kolokan. Kenyataannya: Aku belajar kepada burung untuk memahami bahasa sayap dan keajaiban kicauan.
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa aku belajar ke Batavia. Kenyataannya: Aku lebih belajar bercermin di gelombang laut.
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa aku belajar ke Makkah. Kenyataannya: Aku lebih menyukai menatap segala piramida di Mesir, aku lebih memahami keindahan Alquran dan segala tafsir.
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa aku belajar tentang tasawuf. Kenyataannya: Aku belajar kepada nur Muhammad. Aku belajar kepada Cahaya Mahacahaya.
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa aku memiliki banyak guru sesat. Kenyataannya: Aku hanya bercakap tentang hujan dengan Syekh Muhammad Arsyad Banjar, hanya bercakap tentang gunung dengan Haji Abu Bakar Bugis, hanya bercakap tentang matahari dengan Sayid Ghulam Al Rasul Al Kandahari, hanya bercakap tentang hati dengan diri sendiri.
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa jasadku wangi. Kenyataannya: Harum hanya milik Sang Mahahati.
Kitab Pengetahuan Ketam dan Kitab Taman Para Penjilat
Mereka telah membakar Kitab Pengetahuan Ketam yang menceritakan bagaimana para ketam memburu surga, mendaki makrifat, menyusuri tarekat, melewati syariat, dan mencium hakikat. Aku sedih, tetapi tak bisa berbuat apa-apa karena mereka lebih mencintai Kitab Pengetahuan Bahasa.
Mereka telah membakar Kitab Taman Para Penjilat yang menceritakan bagaimana para punggawa memengaruhi raja untuk menyerah saja kepada Belanda. Mereka malu jika buku itu dibaca anak, cucu, dan masyarakat dunia. Aku sedih, tetapi tak bisa apa-apa karena mereka lebih suka membaca Kitab Taman Para Penulis.
Apakah mereka ingin membakarku juga?
Penjara Para Pembaca
Pada suatu masa, kau tidak boleh mengunjungi makam keramat dan tak boleh membaca gurindam dua belas yang diguratkan di dinding-dindingnya. Jika kau membaca, para serdadu memenjaramu. Kau akan dipaksa membaca kitab lain. Kau akan dipaksa meyakini kehendak lain.
Pada suatu masa, para pembaca riwayatku dan risalah-risalahku dianggap bodoh dan bersekutu dengan setan. Jika sekarang kau masih sempat membaca gurindamku, jika kau sekarang masih bisa mengunjungi makam itu, bersyukurlah. Segeralah pergi dan lupakan huruf-hurufku. Segeralah berlari dan lupakanlah setiap nada cinta gurindamku.
Larilah…! Mereka mengintaimu. Mereka akan memenjara dan akhirnya membakarmu.
Percakapan Para Peragu
“Dia telah mati.”
“Siapa yang mati?”
“Bukan siapa-siapa. Hanya Raja Ali Haji. Pun, kita tak perlu menguburnya di Pulau Penyengat.”
“Mengapa? Bukankah dia bunga bagi tanah indah ini?”
“Kita tak perlu mengubur bunga indah karena dia telah melakukan mikraj.”
“Dia telah menghilang semalam.”
“Seseorang telah melarikan makam itu ke luar pulau?”
“Tidak, dia telah terbang ke langit.”
Aku Hanya Angin, Aku Hanya Laut
Pada akhirnya, aku tak lebih terhormat daripada batu karena mereka terlalu memujaku. Pada akhirnya, aku tak lebih berharga daripada kabut karena mereka menganggapku sebagai pahlawan terindah. Mereka lupa bahwa aku hanya angin yang mengembuskan isyarat dan rambu-rambu perjalanan ke surga. Mereka lupa bahwa aku hanya laut yang membuai tidur dan mimpi mereka saat berlayar menuju cakrawala-Nya.
Doa Terakhir
Aku berharap, janganlah mereka membaca Kisah Dua Belas Kisah ini, ya Allah. Aku berharap tak seorang pun hangus setelah membaca kisah-kisah yang mereka sangka tak pernah kutulis itu. (*)
Pulau Penyengat, Oktober 2010; Semarang, Desember 2010
Triyanto Triwikromo, peraih penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa untuk kumpulan cerpen Ular di Mangkuk Nabi.
Source: http://lakonhidup.wordpress.com