Cerpen Triyanto Triwikromo (Jawa Pos, 2 Januari 2011)



KAU tak pernah tahu pada gerimis ke-15 pada senja yang muram, lelaki kencana yang kausangka menyamar sebagai Raja Ali Haji itu menulis 12 kisah tentang kota-kota dan makhluk-makhluk yan diberkati. Sebagian orang menganggap itu hanya kisah-kisah palsu. Sebagian lain menganggap gurindam dua belas tak bisa dimaknai secara utuh tanpa tahu cerita-cerita yang baru  ditemukan di sebuah peti di kuburan tanpa nama di Pulau Penyengat pada 1874, tetapi tetap disembunyikan oleh penemunya itu.
Apakah kau ingin mendengarkan kisah tersebut sekarang? Hmm, karena kau tak mungkin paham bahasa yang digunakan pada masa Yang Dipertuan Muda Riau Muhammad Yusuf Al Hamadi, aku telah mengubah kisah tragik-komik itu dalam tata kata masa kini. Kini kau bisa membacanya untuk para polisi tersebut.
Kamilah yang Membangun Parit Kota Itu
Tak kami bayangkan sebelumnya pada 6 Januari 1784, Belanda menyerang semua pertahanan Kerajaan Melayu Riau. Mereka menyangka Tanjungpinang, Penyengat, Senggarang, dan Pulau Bayan akan hancur dalam sekejap dan kami hangus bagai arang. Tetapi, mereka salah menduga. Mereka tak tahu betapa kami bukan kayu yang mudah dibakar, bukan besi yang mudah dibentuk menjadi apa pun setelah dipanaskan. Mereka salah menduga betapa kami menginginkan sejarah tanah kami direbut paksa oleh Belanda.
Ya, kau pun tahu, Belanda pada akhirnya keok. Kami menang meskipun banyak saudara kami yang gugur. Kami menang karena kami tahu bahwa nyawa tak lebih berharga daripada sejumput tanah yang akan dicuri para serdadu kafir. Kami menang karena ingin menegakkan masjid, menegakkan doa, menegakkan cinta kami kepada Allah semata.
Kau tahu siapa yang kemudian membangun parit-parit kota dan kampung-kampung elok di Tanjungpinang? Kau tahu siapa yang kemudian membangun masjid indah di Pulau Penyengat? Kau tahu siapa yang kemudian menegakkan agama di Senggarang dan Pulau Bayan? Kamilah Laskar Riau yang tak pernah kaukenal. Sebab, kau hanya mengenal raja. Kamilah rakyat yang membangun segala hal, tetapi kau kubur di hati. Sebab, di dadamu hanya rajalah yang bertakhta dan bersemayam.
Kamilah yang membangun kubu dan parit-parit itu. Bukan mereka…. Bukan mereka….
Kentut David Ruhde di Benteng Kroonsprins
Sebagai abdi David Ruhde, aku sangat tahu tabiat residen murah senyum itu. Semua orang tahu bahwa dia suka makan. Tetapi, tak semua orang tahu bahwa Residen David Ruhde suka kentut. Kentut pembangun militer dan dagang di Tanjungpinang sangat bau. Tetapi, dia selalu menganggap apa pun yang muncul dari dirinya harum semata.
“Bahkan, kelak mayatku pun akan wangi,” katanya.
“Ampun, tak ada mayat yang wangi, Paduka. Semua mayat—bahkan mayat Nabi—akan bau. Tak ada bangkai yang harum….”
“Waktu mengubur mayatku, kau akan tahu betapa harum jasadku….”
Aku tak percaya. Aku berdoa pada suatu hari bisa membuktikan betapa kentut residen pun tak mungkin seharum sedap malam. Pun benar, pada malam tanpa bintang, di antara kebisuan Benteng Kroonsprins, terdengar bunyi kentut dengan nada menyerupai trompet bobrok.
Kau tahu, sungguh sangat menyengat bau kentut itu.
“Ampun, Paduka, apakah Tuan baru saja kentut?”
Residen mengangguk.
“Ampun, Paduka. Mulai sekarang Tuan harus berhati-hati.”
“Mengapa harus hati-hati?”
“Kentut Paduka sudah tak wangi. Itu berarti Paduka diambang kekalahan….”
“Kalah?”
Tak kujawab pertanyaan itu. Yang kutahu, dia melesat ke kamar. Tak lama kemudian, dia mengacungkan senapan ke dadaku. Dia sangat berhasrat membunuhku. Dalam waktu bersamaan, dia kentut dalam nada letusan salvo.
Ya, ya, sekali lagi kukatakan kepadamu, kentut Residen David Ruhde di Benteng Kroonsprins sangat bau.
Minuman Pertama Laksamana Tun Abdul Jamil
Perintah dari Sultan Johor itu berbunyi: Carilah sumber air bersih di Sungai Carang. Setelah itu, bercerminlah. Jika kau lihat wajahmu tak semakin elok, tetapi juga tak semakin berborok, segeralah bangun kerajaan baru di situ.
Lalu, sebagimana yang termaktub dalah kitab-kitab sejarah resmi, berangkatlah Laksamana Tun Abdul Jamil dengan Lancang Kuning ke hulu Sungai Riau.
“Apakah dia mendapatkan mata air yang jernih?”
“Tidak. Dia justru mendapatkan air mata yang keruh.”
“Air mata? Air mata siapa?’”
“Rakyat Sungai Carang.”
“Mengapa mereka menangis?”
“Mereka kelaparan.”
“Mengapa kelaparan?”
“Mereka tak diberi makan oleh raja.”
Lalu, sebagimana yang termaktub dalam kotab-kitab resmi, pindahlah Kerajaan Johor ke Riau.
“Apakah Laksamana Tun Abdul Jamil akhirnya menemukan mata air yang jernih?”
“Tidak. Dia tetap hanya menemukan air mata yang keruh. Konon, air mata yang keruh itulah yang disajikan oleh rakyat Sungai Carang kepadanya sebagai minuman pertama. Sejak itu berpindahlah Kerajaan Johor ke hulu Sungai Riau.”
“Lalu, mengapa kitab-kitab resmi menulis kisah Laksamana Tun Abdul Jamil secara lain?”
Cahaya Istana Kota Piring
Di taman itu, Raja Haji Fisabilillah bercakap-cakap dengan merpati. Raja Haji Fisabilillah mendapatkan ilmu bercakap dengan binatang itu dari Nabi Sulaiman dalam mimpi ke-1.298.
“Tuan, mengapa kau membangun istanamu dengan bertakhta pinggan dan piring? Mengapa dindingnya berlapis cermin? Mengapa kaki-kaki tangannya berlapis tembaga sehingga apabila terkena sinar matahari dan sinar bulan memancarkan cahaya?” cericit merpati.
“Sebab, aku hanya ingin mengenang nur Muhammad.”
“Bukankah Cahaya Mahacahaya sudah ada di hatimu, Tuan?”
“Ya, yang tak tampak juga harus tampak agar ita selalu ingat yang tak tampak….”
“Apa yang Tuan lihat saat bercermin?”
“Diri yang daif….”
“Apa lagi?”
“Wajah yang keruh?”
“Tidakkah ada cahaya yang memancar?”
“Belum….”
Lalu, Raja Haji Fisabilillah terus membangun Istana Piring dalam balutan cahaya, dalam balutan cinta yang dia sangka menebar dari nur Muhammad hingga akhir masa.
“Apakah pada akhirnya kau temukan cahaya sejati, Paduka?”
Raja Haji Fisabilillah menggeleng. Tak ada cahaya sejatikah?
Tentang Phe Kong dan Keselamatanmu
Tak ada yang berani yang mencampakkan patung dewa yang tak pernah tidur itu. Pohon-pohon lebih memilih membisu dan para peziarah hanya sesekali menatap matanya yang sayu.
“Kenapa semua takut kepadaku?” kata Phe Kong. “Bukankah telah kuselamatkan segala kehidupan di darat? Bukankah telah kumuliakan segala yang tumbuh di Senggarang?”
Tak ada yang berani mendengarkan perkataan dewa yang santun itu. Tak ada yang sekadar menatap matanya yang kuyu.
“Baiklah, kau. Saat berada di laut, kau boleh bersandar pada Ma Chou, dewa yang menjaga hijau biru lautmu. Tetapi, kini kau hidup di darat, kau membutuhkan sabda-sabda putih yang menghidupkan bulir-bulir padimu. Ayolah, jangan takut kepadaku. Hari ini aku akan menjelma Lou Wei Sheng dan kuselamatkan orang-orang yang sudah mati. Ayolah, sapa aku. Besok aku akan menjelma To Po Kong dan tetap kuselamatkan segala hal yang hidup di darat.”
Tetap saja tak ada yang berani mempercakapkan patung dewa yang tak pernah tidur itu. Embun-embun lebih memilih membisu dan peziarah hanya sesekali menatap matanya yang sayu.
“Aku akan menyelamatkan Senggarang. Jangan takut kepadaku….”
Aku Telah Belajar kepada Cia Lan Pho Sak
Gurindam itu tak akan pernah jadi jika aku tak belajar kepada Cia Lan Pho Sak. Dia mengajariku menatap bulan saat matahari masih memanggang Pulau Penyengat dengan panas yang tak keruan. Dia mengajariku menyelam di laut yang menakjubkan saat aku ingin menyisir pantai dan bercakap dengan ketam.
“Kau akan mencapai makrifat pada saat yang tepat,” katanya, pelan.
Aku takut mendengar perkataan itu. Aku lalu bersujud. Aku lalu berlari ke bilik dan salat berkali-kali.
“Kau akan jadi tiang… tetaplah sembahyang.”
Lidahku kelu. Aku tak berani menatap apa pun. Aku hanya tertunduk dengan mata terpejam.
“Kau tak akan pernah menggunakan kakimu dengan sia-sia. Kau hanya akan menggunakan kakimu untuk melangkah ke masjid, untuk melangkah ke kebajikan.”
Aku ingin tidur saja saat itu. Aku ingin melupakan segalanya.
“Kau telah memiliki kerajaan. Hatimulah kerajaan yang tak akan pernah kau tinggalkan itu.”
Kali ini aku ingin mati. Aku tak sanggup menerima sabda dari sesuatu yang tak kutahu wajah dan hatinya.
“Kau telah memiliki sabda. Kelak kau didengar saat kau tak lagi bisa berkata-kata.”
Apakah pada akhirnya aku juga bisa berdusta?
“Kau tak akan mempercakapkan segala sesuatu yang sia-sia. Kau tidak akan pernah masuk ke ceruk dosa.”
“Apakah hidupku tak akan pernah berkhianat kepada-Nya?”
“Kau akan sekali berkhianat kepada manusia, yakni ketika kau akan memuja rajamu melebihi pemujaanmu kepada-Nya.”
“Apakah setan pernah menyentuhku?”
“Ya, pernah tiga kali, saat kau batuk ketika azan berkumandang, saat kau berdahak ketika Allah menyapa malam, dan saat meludah ketika Nabi gemetar melihat Pulau Penyengat menggigil dalam hujan.”
“Baiklah, apakah aku pernah menjadi pendurhaka paling laknat?”
Cia Lan Pho Sak tak menjawab.
“Apakah aku pernah tak adil kepada sesama?”
Cia Lan Pho Sak tak menjawab.
“Apakah aku akan mati sebelum kubuat Kisah Dua Belas Kisah untuk para sahabat?”
Cia Lan Pho Sak tetap tak menjawab.
Aku lalu pulang. Aku lalu membikin gurindam dua belas itu.
Mereka Memalsukan Kisahku
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa aku belajar kepada para ulama bersama bocah-bocah keraton yang kolokan. Kenyataannya: Aku belajar kepada burung untuk memahami bahasa sayap dan keajaiban kicauan.
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa aku belajar ke Batavia. Kenyataannya: Aku lebih belajar bercermin di gelombang laut.
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa aku belajar ke Makkah. Kenyataannya: Aku lebih menyukai menatap segala piramida di Mesir, aku lebih memahami keindahan Alquran dan segala tafsir.
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa aku belajar tentang tasawuf. Kenyataannya: Aku belajar kepada nur Muhammad. Aku belajar kepada Cahaya Mahacahaya.
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa aku memiliki banyak guru sesat. Kenyataannya: Aku hanya bercakap tentang hujan dengan Syekh Muhammad Arsyad Banjar, hanya bercakap tentang gunung dengan Haji Abu Bakar Bugis, hanya bercakap tentang matahari dengan Sayid Ghulam Al Rasul Al Kandahari, hanya bercakap tentang hati dengan diri sendiri.
Ada yang memalsukan kisahku. Mereka bilang bahwa jasadku wangi. Kenyataannya: Harum hanya milik Sang Mahahati.
Kitab Pengetahuan Ketam dan Kitab Taman Para Penjilat
Mereka telah membakar Kitab Pengetahuan Ketam yang menceritakan bagaimana para ketam memburu surga, mendaki makrifat, menyusuri tarekat, melewati syariat, dan mencium hakikat. Aku sedih, tetapi tak bisa berbuat apa-apa karena mereka lebih mencintai Kitab Pengetahuan Bahasa.
Mereka telah membakar Kitab Taman Para Penjilat yang menceritakan bagaimana para punggawa memengaruhi raja untuk menyerah saja kepada Belanda. Mereka malu jika buku itu dibaca anak, cucu, dan masyarakat dunia. Aku sedih, tetapi tak bisa apa-apa karena mereka lebih suka membaca Kitab Taman Para Penulis.
Apakah mereka ingin membakarku juga?
Penjara Para Pembaca
Pada suatu masa, kau tidak boleh mengunjungi makam keramat dan tak boleh membaca gurindam dua belas yang diguratkan di dinding-dindingnya. Jika kau membaca, para serdadu memenjaramu. Kau akan dipaksa membaca kitab lain. Kau akan dipaksa meyakini kehendak lain.
Pada suatu masa, para pembaca riwayatku dan risalah-risalahku dianggap bodoh dan bersekutu dengan setan. Jika sekarang kau masih sempat membaca gurindamku, jika kau sekarang masih bisa mengunjungi makam itu, bersyukurlah. Segeralah pergi dan lupakan huruf-hurufku. Segeralah berlari dan lupakanlah setiap nada cinta gurindamku.
Larilah…! Mereka mengintaimu. Mereka akan memenjara dan akhirnya membakarmu.
Percakapan Para Peragu
“Dia telah mati.”
“Siapa yang mati?”
“Bukan siapa-siapa. Hanya Raja Ali Haji. Pun, kita tak perlu menguburnya di Pulau Penyengat.”
“Mengapa? Bukankah dia bunga bagi tanah indah ini?”
“Kita tak perlu mengubur bunga indah karena dia telah melakukan mikraj.”
“Dia telah menghilang semalam.”
“Seseorang telah melarikan makam itu ke luar pulau?”
“Tidak, dia telah terbang ke langit.”
Aku Hanya Angin, Aku Hanya Laut
Pada akhirnya, aku tak lebih terhormat daripada batu karena mereka terlalu memujaku. Pada akhirnya, aku tak lebih berharga daripada kabut karena mereka menganggapku sebagai pahlawan terindah. Mereka lupa bahwa aku hanya angin yang mengembuskan isyarat dan rambu-rambu perjalanan ke surga. Mereka lupa bahwa aku hanya laut yang membuai tidur dan mimpi mereka saat berlayar menuju cakrawala-Nya.
Doa Terakhir
Aku berharap, janganlah mereka membaca Kisah Dua Belas Kisah ini, ya Allah. Aku berharap tak seorang pun hangus setelah membaca kisah-kisah yang mereka sangka tak pernah kutulis itu. (*)


Pulau Penyengat, Oktober 2010; Semarang, Desember 2010
Triyanto Triwikromo, peraih penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa untuk kumpulan cerpen Ular di Mangkuk Nabi.

Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Irwan Kelana (Republika, 9 Januari 2011)



KETIKA Ismail menyatakan ingin menjadi wartawan, aku sebetulnya tidak setuju. Cukup aku saja yang jadi wartawan. Anak-anakku jangan ada yang mengikuti jejakku. Jadi wartawan tak akan bisa kaya. Aku jadi wartawan selama 25 tahun, tapi karierku tak lebih dari redaktur senior. Dan gajiku kalah dibandingkan anak muda yang baru kerja dua tahun di sebuah perusahaan BUMN.
Namun, putra sulungku itu bersikeras tetap ingin menjadi wartawan. Ia menegaskan, “Dahulu Ayah pernah berkata, jadi wartawan itu memang tidak kaya secara materi, tapi kaya hati, kaya jiwa. Jiwa kita akan terasa lapang dan lega manakala kita bisa membantu orang-orang yang tertindas, orang-orang yang teraniaya. Sebagai wartawan, kita mempunyai kesempatan untuk melakukan hal tersebut.”
***
“Yah, mohon izin dan doa, aku akan ikut rombongan relawan kemanusiaan yang akan berangkat ke Gaza minggu depan,” ujar Ismail melalui telepon.
Aku terkejut.
“Gaza? Tempat itu sangat berbahaya, Is. Pemerintah dan tentara Israel pasti tak akan membiarkan siapa pun melewati perairan tersebut menuju Gaza. Tempat tersebut diblokade sejak beberapa tahun terakhir.”
“Memang, Yah. Kami semua tahu itu. Tapi, akan tetap mencoba sebatas yang mungkin bisa dilakukan. Lagipula, rombongan kami jumlahnya ratusan orang dan berasal dari puluhan negara, termasuk Amerika dan Eropa. Di antara relawan itu banyak tokoh terkemuka, seperti peraih hadiah nobel, mantan senator, dan penulis novel terkenal. Tentu saja puluhan jurnalis dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia.”
“Sudah kau pikirkan masak-masak niatmu itu? Bagaimana dengan Sindy yang tengah hamil tua?” tanyaku khawatir.
“Ah, Ayah seperti lupa. Sembilan belas tahun lalu, Ayah meninggalkan ibu yang sedang mengandung Yusuf sembilan bulan demi meliput Perang Teluk yang pertama. Ayah tidak ragu sedikit pun. Sekarang aku pun begitu. Dan Sindy sudah siap lahir batin. Dia bahagia kalau aku pulang dengan selamat dan dia pun ikhlas kalau kelak aku pulang dalam peti mati sebagai seorang syahid. Lagipula dia masih muda, cantik, dan salehah pula. Kalau pun dia jadi janda, pasti banyak lelaki saleh dan insya Allah lebih kaya dari aku yang siap menyuntingnya.”
“Husss! Kamu kalau ngomong suka sembarangan!”
Terdengar tawa kecil di seberang sana. “Pokoknya Ayah doakan aku dan seluruh rombongan biar selamat dan misi kemanusiaan kami dapat membuat anak-anak Palestina tersenyum. Ibu mana, Yah?”
“Sebentar, Bu, ini anakmu mau bicara. Katanya dia mau ke Gaza untuk mengantarkan bantuan kemanusiaan sekaligus melakukan liputan di sana.”
***
Sejak rombongan dari Indonesia berangkat ke Gaza melalui Turki bersama dengan relawan lainnya, aku terus memantau perkembangannya. Ada lebih 600 relawan dari berbagai negara. Mereka membawa bermacam-macam bantuan untuk rakyat Palestina.
Ismail beberapa kali kirim SMS kepadaku. “Doain, Yah. Titip Sindy ya.”
Ketika kapal raksasa yang membawa rombongan relawan itu makin mendekati Gaza, aku makin khawatir akan reaksi Israel yang bertekad dan nekat menghadang rombongan relawan tersebut. Apalagi, selama ini, Israel sering tidak peduli apa kata dunia.
Akhirnya apa yang aku khawatirkan itu menjadi kenyataan. Pasukan Israel menyerbu dengan membabi buta saat kapal yang mengangkut relawan itu berada di perairan internasional. Penyerbuan yang biadab itu menyebabkan sembilan orang tewas. Ada pula yang luka tertembak.
Berita simpang siur. Aku berkali-kali mencoba menghubungi HP Ismail, tapi tidak ada nada sambung sama sekali. Aku sangat cemas kalau-kalau Ismail termasuk korban yang tewas atau luka tembak. Aku dan istriku segera ke Depok untuk menemani Sindy sambil terus mencari informasi tentang Ismail. Istriku sangat mengkhawatirkan Sindy, tapi istri Ismail itu tampak tenang dan pasrah. “Tenanglah, Bu. Kalau Allah mengizinkan Mas Ismail pulang dengan selamat, dia pasti pulang dengan selamat. Namun, kalau Allah menghendaki Mas Ismail meninggal di Gaza, dia tidak mati sia-sia. Dia gugur sebagai syuhada. Saya sudah ikhlas, Bu,” tuturnya mantap.
Betul-betul menantu yang luar biasa. Tidak salah Ismail memilih istri. Perempuan berjilbab bernama Sindy Mara’atush Shalihah! Lulusan sebuah pesantren tahfizh di Jawa Tengah itu hafal Alquran 30 juz.
Dua hari kemudian barulah ada informasi bahwa seluruh rombongan relawan dari Indonesia selamat. Ada dua orang yang tertembak dan dirawat di rumah sakit di Israel, sedangkan yang lainnya ditahan dan diinterogasi oleh tentara Zionis Israel. Melalui beberapa kontakku, aku mencari nomor telepon Dubes RI di Yordania. Aku kenal baik dengan beliau. Sewaktu dia menjabat dirut sebuah bank, aku sering mewawancarainya.
“Assalaamualaikum, Pak Dubes. Saya Abdurrahman, wartawan yang biasa meliput Bapak pada tahun 1990an.”
“Waalaikumsalam, Pak Rahman. Saya ingat. Apa yang bisa saya bantu, Pak?”
“Salah satu anggota rombongan relawan adalah anak saya. Seorang wartawan, namanya Ismail. Mohon bantuan, Pak Dubes, bagaimanakah keadaannya?”
“Pak Rahman tak perlu cemas. Alhamdulillah, sepuluh orang, semuanya selamat. Delapan orang sudah ada di Yordan, termasuk Ismail. Hanya dua orang yang masih dirawat di RS di Israel karena kena tembak tentara Israel.”
Dubes menjelaskan bahwa dia sudah ditelepon oleh Presiden, menanyakan kondisi seluruh relawan dari Indonesia. Presiden juga berpesan kepada Dubes agar memberikan pelayanan semaksimal mungkin kepada para relawan itu agar bisa segera kembali ke Tanah Air. Para tokoh dan masyarakat di berbagai negara mengutuk aksi barbar tentara Israel. Di Indonesia, demo digelar di berbagai tempat. Semuanya mengutuk zionis Israel. Keesokan harinya, akhirnya aku bisa berbicara dengan Ismail.
“Bagaimana keadaanmu, Nak?” tanyaku tak sabar.
“Alhamdulillah, berkat doa ibu, Ayah dan Sindy, aku dan rombongan dari Indonesia semuanya selamat.”
“Syukurlah. Kapan kamu pulang?”
“Tergantung pemerintah mengurusnya. Tapi, insya Allah secepatnya. Sindy bagaimana, Yah, apakah sudah ada tanda-tanda mau melahirkan?”
“Tadi pagi, dia mulai mulas-mulas. Makanya, ibumu sekarang lagi mengantar dia ke rumah sakit. Tapi, tadi ibumu menelepon, kata dokter mungkin masih dua atau tiga hari lagi. Mulas-mulas tadi mungkin lantaran tegang memikirkan kamu.”
“Syukurlah. Kalau anakku sudah keburu lahir sebelum aku tiba di rumah, tolong azankan dan ikamatkan ya, Yah.”
“Tentu. Yang penting kamu pulang dengan selamat.”
Sejak peristiwa penyerbuan kapal bantuan tersebut, rumah kecil milik Ismail jadi ramai. Tiap hari banyak wartawan dari berbagai media datang untuk mewawancarai Sindy, istriku, bahkan juga aku. Biasanya, aku mewancarai orang, kini aku diwawancarai.
Para wartawan bertambah banyak yang datang ke rumah Ismail. Apalagi ketika dua hari kemudian Sindy melahirkan. Mereka seakan berlomba-lomba melakukan liputan yang penuh humanisme.
Akhirnya, Ismail pulang. Di bandara, ia disambut oleh ratusan penjemput. Begitu pula di rumah, ratusan orang tetangga dan puluhan wartawan sudah menunggunya. Ismail seperti pahlawan.
***
Lewat pukul sepuluh malam, para tetangga sudah pulang. Demikian pula para pemburu berita, baik dari media cetak, online, maupun elektronik.
Aku dan Ismail duduk di beranda rumah. Semburat purnama bertengger di langit. Angin malam membelai lembut.
“Sudah punya nama buat bayimu?”
“Sudah, Yah.”
“Siapa?”
“Muhammad Fatih El-Ghozi.”
“Artinya apa?”
“Muhammad Sang Pembebas Gaza. Aku berdoa, semoga 25 tahun lagi dia akan datang ke Gaza, meneruskan jejak ayahnya untuk membebaskan Gaza, membongkar segala blokade yang menyengsarakan rakyat Palestina, membuka jalan seluas-luasnya untuk kesejahteraan mereka, serta mengibarkan panji-panji cinta dan perdamaian di antara warga dan para pemimpin Palestina,” tutur Ismail penuh semangat.
Aku menepuk-nepuk bahunya. “Tak ada doa yang lebih pantas untuk aku ucapkan selain ‘Aamiin’,” kataku.
Ia memelukku. “Terima kasih, Yah. Tidak salah kan aku memilih profesi sebagai wartawan? Seperti pernah Ayah katakan bertahun-tahun lalu, jadi wartawan mungkin tidak kaya materi, tapi kaya hati,” bisiknya.
Aku hanya tersenyum. (*)


Jakarta, Juni 2010
Irwan Kelana adalah wartawan Republika yang juga cerpenis dan novelis. Bukunya yang sudah diterbitkan antara lain Kelopak Mawar Terakhir, Kemboja Terkulai di Pangkuan, dan Meniti Jarak Hati.

Source :http://lakonhidup.wordpress.com



PEREMPUAN itu berjongkok di antara mayat-mayat yang hampir membusuk dalam menara Rashomon. Perempuan yang tua, berbaju kecoklatan, bertubuh pendek dan kurus, berambut putih dan mirip seekor monyet. Dengan oncor dari potongan kayu cemara di tangan kanannya, perempuan itu memandangi wajah sesosok mayat. Mayat seorang perempuan dengan rambut panjang.
Bagaimana bisa ada tumpukan mayat dalam menara Rashomon, baiknya kuceritakan dulu. Ini adalah Kyoto, kota yang ramai dan permai, dulu. Namun beberapa tahun silam, kota ini didera bencana beruntun. Gempa bumi, angin puyuh, kebakaran dan paceklik. Itulah sebab kota ini menjadi senyap dan porak poranda.
Menurut catatan kuno, patung Buddha dan peralatan upacara agama Buddha lainnya hancur, dan kayu-kayunya yang masih tertempel cat dan perada ditumpuk di pinggir jalan, dijual sebagai kayu bakar. Dengan kondisi seperti itu, perbaikan Rashomon sulit diharapkan. Rubah dan cerpelai, musang dan burung punai, juga para penjahat, memanfaatkan reruntuhannya sebagai tempat tinggal. Dan akhirnya, bukan perkara aneh membawa dan membuang mayat ke gerbang itu. Setiap senja seperti sekarang ini, seperti saat si perempuan tua itu berjongkok sambil memandang wajah mayat perempuan itu, suasana menjadi teramat menyeramkan. Tak seorang pun—kecuali perempuan tua itu, tentu saja—berani mendekat.
Perempuan itu sebatang kara, tak mempunyai keluarga. Perempuan itu tak menikah sebab tak ada lelaki yang ingin menikah dengan perempuan berwajah buruk seperti monyet. Apalagi ia bukan seorang kaya atau turunan bangsawan. Dulu, ia bekerja sebagai pelayan di rumah bangsawan Kyoto. Bertahun-tahun ia bekerja dengan baik dan tak pernah mengeluhkan gaji yang terlalu sedikit. Majikannya menyayanginya. Ia merasa bahagia. Dan sepertinya tak bakal ada alasan bagi majikannya untuk memberhentikannya. Ia sudah seperti keluarga saja dengan keluarga majikannya. Karena perlakuan seperti itulah ia tak terlalu bersedih sewaktu bapak ibunya meninggal terkena wabah penyakit.
Namun ia keliru. Kondisi Kyoto pada waktu seperti ini mengalami kemunduran yang teramat cepat. Dan majikannya yang baik itu juga merasakan dampak kemunduran itu. Majikannya memecatnya. Majikannya bilang tak mampu lagi membayar gajinya yang tak banyak dan memberinya makan. Majikannya tak sekaya dan sebaik yang ia sangka ternyata. Kemudian ia pergi dari rumah majikannya. Dan karena ia tak mempunyai sanak famili untuk menumpang tinggal, juga rumah orangtuanya yang sempit telah lama dijual untuk biaya pengobatan mereka, maka ia melantung, tidur di emper rumah penduduk atau meringkuk di relung-relung reruntuhan bangunan yang banyak terdapat di seantero Kyoto bersama pencoleng dan orang-orang buangan.
Awalnya ia kebingungan bagaimana bekerja dan mendapat uang untuk menopang kehidupannya. Ia tak punya keahlian apa-apa selain menyiapkan teh dan membikin sushi, menyapu rumah dan mencuci pakaian. Ia tahu, tak bakal ada yang mau menerimanya sebagai pelayan. Semenjak krisis berkepanjangan ini, orang-orang kaya tak lagi mencari pelayan baru, sebagian besar malah memecat pelayan mereka. Dan para istri saudagar atau bangsawan mesti belajar menanak nasi, membersihkan rumah dan merawat kebun. Krisis berlangsung terlalu panjang dan menimbulkan akibat yang teramat hebat. Pemecatan perempuan tua itu dan pelayan-pelayan lainnya barangkali hanya sekadar riak kecil saja dari kemunduran itu.
Dalam kebingungan seperti itu, perempuan tua itu berpikir untuk menjadi pencuri. Ia kelaparan. Daripada mati kelaparan lebih baik ia mencuri. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menopang hidupnya selain dengan mencuri. Namun belum sempat menjalankan pikiran itu, kesadarannya timbul. Tubuhnya sudah lemah dimakan usia, ia tak bakal bisa berlari cepat menyelamatkan diri bila terpergok pemilik rumah. Ia akan mudah tertangkap dan menjadi bulan-bulanan penduduk Kyoto. Itu akan sangat memalukan. Memang, seringkali rasa malu lebih penting dari perut yang kelaparan.
Hingga pada suatu ketika, ia sampai di Rashomon. Dengan menaiki beberapa anak tangga, ia menuju menara yang teduh untuk beristirahat. Alangkah terkejut ia dan hampir saja semaput demi dilihatnya dalam menara itu bertumpuk mayat-mayat. Sebagian mayat-mayat itu berpakaian, sebagian lagi telanjang. Sebagian mayat laki-laki dan sebagian lagi perempuan. Mayat-mayat itu berserakan dan bertumpuk di lantai, serupa boneka-boneka dari tanah. Ada yang mulutnya menganga dan tangan terentang. Sulit baginya membayangkan bahwa mayat-mayat mengerikan itu pernah hidup sebelumnya.
Perempuan tua itu nyaris berlari balik ke arah darimana ia datang, ke jalan yang tadi ia tempuh. Namun secepat ia berbalik badan, secepat itu pula terbersit pikiran untuk mendapatkan uang dari mayat-mayat itu. Barangkali di saku baju mayat-mayat yang masih berpakaian ada barang berharga yang tertinggal, barang berharga yang bisa dijual. Tapi mayat-mayat itu adalah mayat buangan. Bagaimana bisa ada barang berharga dari mayat-mayat semacam itu. Tentu orang yang membuang mayat-mayat itu telah lebih dulu mengambilnya.
Namun ia menemukan ide yang lebih cemerlang. Dulu, sewaktu masih kanak-kanak, bapaknya pernah mengajarinya membuat cemara palsu dari bahan rambut. Itu bisa dijual. Dan kini di hadapannya, tersedia banyak sekali rambut untuk membuat cemara. Rambut mayat-mayat itu. Ia tinggal mencabutinya. Kemudian ia putuskan untuk tinggal dalam menara itu, tidur bersama tumpukan mayat-mayat itu.
Senja ini, hujan mengguyur Kyoto. Perempuan tua itu tak peduli. Ia merasa nyaman dan terlindung dalam menara itu. Tadi siang seseorang melempar mayat baru ke dalam menara itu. Mayat perempuan dengan rambut panjang yang lembut, perempuan yang seperti ia kenal, atau paling tidak pernah ia jumpai, hanya saja ia tak tahu persisnya di mana dan kapan. Ia tak tahu kenapa wanita itu mati dan dibuang ke dalam menara. Tak ada bekas luka di tubuh mayat itu, karena itulah ia menyimpulkan perempuan itu meninggal karena wabah penyakit. Tapi itu tak menjadi pikiran yang penting dan perlu berlama-lama direnungkan. Ia juga tak peduli siapa yang membuang mayat perempuan itu. Yang penting baginya adalah sesegera mungkin mencabuti rambut di kepala wanita itu untuk membuat cemara.
“Alangkah bagus rambut ini. Tentu bakal jadi cemara yang bagus dan berharga mahal nantinya,” bisiknya pada diri sendiri.
Setelah mengamati beberapa saat, perempuan itu menancapkan oncor kayu cemara di sela lantai papan, kemudian menaruh kedua belah tangannya pada leher mayat itu. Perempuan tua itu mulai mencabuti rambut panjang si mayat helai demi helai. Persis seekor monyet yang sedang mencari kutu di tubuh anaknya. Pada waktu itulah, ia teringat siapa perempuan yang kini menjadi mayat dan tengah ia cabuti rambutnya itu.
Ia terlalu bersemangat mencabuti rambut mayat itu sampai tak tahu bahwa sedari tadi seseorang tengah mengamatinya. Seorang Genin, samurai kelas rendah. Genin itu tiba-tiba saja melompat dari tangga. Sambil menggenggam gagang pedang, lelaki itu menghampirinya dengan langkah lebar.
Ia terkejut. Saking kagetnya, ia sampai terlonjak bagai dilontarkan dengan ketapel. “Hei, mau ke mana kau?” hardik Genin itu seraya mencengkeram tangan perempuan itu yang bermaksud melarikan diri. Ia masih meronta-ronta dengan hebat. Namun sehebat apa pun rontaan dari tubuhnya yang lemah, tetap saja tak mampu membuatnya lolos dari cengkeraman Genin itu.
“Apa yang sedang kamu lakukan? Jawab! Kalau tidak mau mengaku….”
Genin itu melepaksan cengkeramannya seraya menghunus pedang baja putih berkilau dan mengacungkannya ke depan mata perempuan tua itu. Namun perempuan itu bungkam, kedua tangannya gemetar hebat, napasnya terengah, matanya membelalak seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya. Genin mengerti perempuan tua itu tengah ketakutan.
“Aku bukan petugas Badan Keamanan. Aku kebetulan lewat di dekat gerbang ini. Maka aku tidak akan mengikatmu atau melakukan tindakan apa pun terhadapmu. Kau cukup mengatakan sedang melakukan apa di sini.”
“Aku mencabuti rambut. Aku mencabuti rambut untuk membuat cemara.”
Genin itu merasa kecewa dan kaget dengan jawaban sederhana dan di luar dugaannya itu.
Perempuan tua itu melanjutkan, “Ya, memang, mencabuti rambut orang yang sudah mati bagimu mungkin merupakan kejahatan besar. Tapi mayat-mayat yang ada di sini semua pantas diperlakukan seperti itu. Perempuan yang rambutnya barusan kucabuti, biasa menjual daging ular kering yang dipotong-potong sekitar 12 sentimeter ke barak penjaga dan mengatakannya sebagai ikan hering. Kalau tidak mati karena terserang wabah penyakit, pasti sekarang pun ia masih menjualnya. Para pengawak katanya kerap membeli, dan mengatakan rasanya enak. Perbuatannya tak dapat disalahkan, karena kalau tak melakukan itu ia akan mati kelaparan. Ia terpaksa melakukannya. Jadi, yang kulakukan pun bukan perbuatan tercela. Aku terpaksa melakukannya, karena kalau tidak, aku pun akan mati kelaparan. Maka, perempuan itu tentunya dapat pula memahami apa yang kulakukan sekarang ini.”
Genin menyarungkan pedangnya kembali. Ia mendengar ocehan perempuan tua itu dengan dingin. “Kau yakin begitu?” tanyanya dengan nada mengejek ketika perempuan itu telah selesai bicara. Lalu sambil mencengkeram leher baju perempuan itu, ia berkata geram.
“Kalau begitu, jangan salahkan aku bila aku merampokmu. Aku pun akan mati kelaparan kalau tak melakukannya.”
Dengan kasar, lelaki itu merenggut pakaian si perempuan tua, menarik tangan dan menyepak tubuh ringkih itu hingga jatuh menerpa tumpukan mayat-mayat. Dengan mengempit pakaian hasil rampasan, Genin itu menuruni tangga dan hilang di ujung jalan.
Beberapa saat kemudian, tubuh perempuan tua yang telanjang itu menggeliat di antara tumpukan mayat-mayat. Ia pandang berlama-lama tumpukan tubuh tak bernyawa itu sambil memijit-mijit bagian tubuhnya yang sakit karena ditendang dan jatuh tadi. Ia memandang jasad-jasad itu seperti tak pernah memandang sebelumnya. Tiba-tiba ia bergumam, “Alangkah damai mayat-mayat itu, alangkah tenang mereka yang tak lagi berurusan dengan perkara lapar, dengan perkara duniawi.”
Pada waktu itu, ia ingin menjadi mayat. Terlentang di tempat itu. Tak lagi berpikir apa-apa. Tak lagi merasa sedih sewaktu ada seseorang yang datang mencabut rambut atau mengiris sekerat dagingnya. (*)


Cerpen di atas pernah dimuat Kompas Minggu, 30 Januari 2011,  yang ditulis oleh Dadang Ari Murtono, adalah cerpen PLAGIAT dari cerpen berjudul Rashomon karya Akutagawa Ryunosuke dengan jalan memindah-mindahkan susunan paragrafnya.

Cerpen Rashomon karya Akutagawa Ryunosuke (cerpenis terbaik Jepang) ini, terhimpun dalam kumpulan cerita yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), pada Januari 2008, berjudul Rashomon.

Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Romi Zarman (Koran Tempo, 24 April 2011)
BEGITU keluar dari gedung Perwakilan Rakyat ini, aku langsung teringat pada Tigris. Gadis kecil dengan seraut senyum akan menyambutku di depan pintu. “Ayah pulang, Bu. Ayah pulang.”
Suara itu begitu dekat di telinga, tapi sesungguhnya amat jauh. Masih sepuluh kilometer lagi, baru akan kudengar suara gadis kecilku itu. Oh, anakku. Gadis kecil berponi. Matanya, sungguh, sayu seperti mataku. Hidungnya, oh….
Tanganku membuka tas. Waktu itu, kuberikan beberapa lembar uang. Gadis kecilku menyambutnya. Seraya mengucapkan terima kasih, anakku akan membalikan badan. Masuk ke dalam kamar. Beberapa detik, gadis kecilku itu keluar sambil membawa celengan.
“Yah, Ayah,” ujarnya, “Tigris masukin,Yah?”
“Iya. Masukanlah, Nak.”
“Yah,” katanya, sehabis memasukan duit itu ke dalam celengan. Bagai ada yang hendak ia minta. Tigris anakku langsung berkata, “Hmm, lain kali duit logam ya, Yah?”
Senyumku mengambang. Aku menggangguk pelan.
“Horeeeeeeee.”
Gadis kecilku berlari, kembali masuk ke dalam kamar meletakan celengan. Betapa bahagia gadis kecilku itu. Ya, bahagia. Gadis sekecil itu, kelas satu SD, memang, harus terlihat bahagia….
 .
“AYAH pulang,” ujarku di depan pintu, sehabis memarkir mobil di garasi. Kedua bola mataku mencari-cari Tigris ke seisi rumah.
“Ssssstt….”
Istriku datang memberi isyarat agar aku memelankan suara. Gadis kecilku, ternyata sedang mengerjakan PR.
“Menggambar,” kata istriku setengah berbisik. “Tigris lagi menggambar di dalam kamar.”
“Lho?”
“Sehabis pulang sekolah tadi, Tigris langsung mengerjakan apa yang disuruh oleh Bu Guru. Sudah setengah jam dia asyik mengerjakan tugasnya. Sssstt… dia jangan sampai tahu bahwa abang sudah pulang.”
Aku paham. Kalau gadis kecilku itu tahu bahwa aku sudah pulang, tentu dia akan meninggalkan pekerjaan menggambarnya. Setelah itu, tentu, ia akan asyik bermain denganku, dan akan melupakan apa yang sedang dia kerjakan sekarang. Kubiarkan dia selesai menggambar. Akan kutunggu gadis kecilku itu.
Kuayunkan kaki menuju sofa. Kubaringkan badan di atasnya. Kupejamkan mata. Oh, anakku….
 .
TIGRIS keluar dari kamar, menuju ke arahku seraya membawa celengan.
“Yah, Tigris mau boneka. Tigris mau sepeda.Tigris mau….”Aku diberondong permintaan, seraya disodorkannya celengan, “Cukup nggak,Yah?”
“Cukup,” kataku.
“Kapan, Yah?”
“Hmm… sekarang juga boleh. Tunggu ya.”
Aku berlalu.
Satu jam kemudian aku datang dengan boneka di tangan. Kuberikan pada gadis kecilku. Akan tetapi, sungguh, diluar dugaanku. Anakku diam. Tak seperti biasanya. Kali ini tak ada senyuman. Anakku itu memeluk celengannya. Wajahnya cemberut. Aku heran.
“Kenapa, Nak?”
Kupandangi bola matanya. Katanya, “Tigris pengen beli sendiri, dengan celengan ini.”
Agak terbata gadis kecilku itu berkata. Lalu disodorkannya celengan. Kuterjemahkan sorot matanya. Oh, barulah aku paham: ternyata Tigris ingin membeli boneka dengan hasil tabungannya sendiri.
“Baiklah. Ayah mengerti sekarang.”
Ya, aku paham. Tigris ingin membeli boneka dari uang simpanannya. Bukan uang dari sakuku. Akan tetapi, apa bedanya? Bukankah tabungan Tigris itu juga berasal dari uangku? Ya, ya.
“Ayo!” Kuraih tangannya. Dan kami bermobil ke toko boneka. Begitu sampai, Tigris langsung menyerahkan celengannya padaku.
“Pecahkan saja, Yah.”
“Iya.”
Kutemani dia memilih boneka. Aku yakin, tabungan anakku ini bakal cukup. Sudah lebih lima bulan celengan ini diisi. Apalagi, setiap uang yang kuberikan lumayan besar untuk anak seusia Tigris. Pernah, sehabis Sidang Paripurna aku memberikan Tigris beberapa lembar uang seratus ribu. Pastilah cukup.
Setelah kasir menyebutkan harga boneka yang dipilih Tigris, aku lantas berkata kepada anakku itu, “Nah, sekarang kita buka.”
“Iya, Yah,” ujarnya. “Pecahkan saja.”
Sengaja celengan itu tak kupecahkan. Aku ingin anakku yang menarik uang yang ada di dalamnya, dengan cara memasukan jari mungilnya. Maka, celengan plastik itu kurobek dengan pisau. Akan tetapi, sungguh, begitu anakku memasukkan jari dan menarik beberapa lembar uang, aku bagai terpana tak percaya. Lihatlah, bukan uang yang ada di tangannya. Tapi ulat. Ulat bulu. Lihat, warnanya. Aku bagai tak percaya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa? Bagaimana bisa celengan anakku itu berisi ulat?
 .
KUTANYAKAN pada istriku di mana celengan itu biasanya ia letakan.
“Di atas meja,” katanya, “di atas meja belajar anak kita.”
Kuperhatikan meja belajar anakku. Bersih. Beberapa buku yang ada di atasnya pun tertata dengan rapi. Kualihkan pandang ke sebelah kiri. Lemari mini, berisi pakaian anakku, tegak dengan warna hijau terang. Dinding-dinding kamar anakku pun terlihat putih-bersih.
“Lantas, dari manakah asal ulat yang kulihat di toko boneka tadi siang?”
“Ah, itu hanya perasaan abang saja.”
“Tapi….”
“Tak mungkin. Coba abang lihat,” ujar istriku seraya mempersilahkanku agar lebih memperhatikan lagi kamar anakku ini. “Bersih, kan? Nah, mana mungkin ulat itu masuk ke celengan Tigris dari sini. Kecuali, bila tadi siang abang teledor membawa celengan itu, lantas di tengah perjalanan ulat itu masuk ke celengannya.”
“Ya, ya. Bisa saja,” ucapku.
Istriku tersenyum. Ia berlalu keluar pintu, meninggalkanku di kamar ini. Kulihat Tigris anakku sedang tidur berbaring di atas ranjang. Hendak kubalikkan badan. Akan tetapi, sebelum sempat hal itu kulakukan, tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh perubahan warna. Warna itu, warna seprei ranjang anakku. Sejak kapankah warnanya yang biru berubah jadi hitam?
Kuperhatikan lebih dekat. Astaga, benarkah apa yang kulihat? Ulat-ulat itu. Ulat-ulat bulu. Hitam tubuhnya menutupi seprei yang biru. Dan anakku, lihat, tanpa merasa terganggu tidur di dekat ulat-ulat itu. Entah ratusan entah ribuan. Kuperhatikan lebih dekat. Bukan hanya seprei ternyata. Boneka yang dibeli tadi siang pun, yang kini tergeletak tak jauh dari bantal anakku juga dikerubungi ulat. Ulat-ulat itu. Ulat-ulat bulu. Ada yang melata di tubuh anakku. Dari situ, oh….
Segera kubangunkan Tigris. Akan tetapi, sungguh, kakiku terpaku. Tak bisa aku menolongnya. Sementara, ulat-ulat itu… Bagaimana bisa? Bagaimana bisa? Kukucek-kucek mata.
Ah, ternyata aku hanya bermimpi di atas sofa. (*)
 .
Romi Zarman lahir dan menetap di Padang, Sumatera Barat.

Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Beni Setia (Jawa Pos, 17 April 2011)


0
KAMI dari Planet Muibi. Salah satu dari komunitas makhluk cerdas yang dikirim Dewan Pengetahuan Planet Muibi ke Planet X—yang diandaikan Planet Noyda. Planet yang terkubur dan ditinggal leluhur kabilah Ben Aineista, sama seperti ketika mereka meninggalkan Planet Tagja dan mengungsi ke Planet Muibi. Kronologi data dan fakta yang telah kami rekonstruksi, tapi belum jadi kesempurnaan karena Planet Noyda itu belum diketemukan, karena jejak peradaban awal belum diketemukan, serta sekaligus Peta Semesta—yang akan membawa kami ke Planet Azias—belum diketemukan. Kalau Planet Noyda benar-benar diketemukan, dan penggalian berhasil mernemukan artefak purbani itu, maka kami akan diserap emanasi balik atau terbang ke Planet Azias, tidak hanya pergi ke sembarang titik di luas semesta dalam hitungan detik dengan pesawat semesta dan teknologi warisan Ben Aineista.
Kami mendarat di Planet X—berharap semoga itu Planet Noyda.
1
SEHARUSNYA di hamparan fosil tunggul pohon pakis dan bakau itu: terkubur catatan itu. Di satu tempat di hutan homogen yang tumbuh di bibir rawa-rawa, ketika lumpur sulfur yang pekat berair memadat menimbun daun, ranting, serta batang yang rubuh terbakar. Di wilayah yang terkubur saat gunung Noyda, julang raksasa tunggal itu: meletus menebarkan magma dan debu. Lapisan sulfur yang jadi pengubur ladang pakis dan bakau setebal 1 kilometer, yang membuat daerah oloran hasil urukan alam sepanjang 212 kilometer dari garis awal pesisiran rawa. Di mana ikut terkubur dalam lumpur magma serta debu vulkanik—endapan yang mengekalkannya sebagai fosil—: reruntuk rumah pertama dari manusia pertama di Planet Noyda.
Meski sosok yang mahluk pertama tak mungkin akan pernah diketemukan tapi sekadar kuburnya pasti ada. Begitu manuskrip menandaskan ketika generasi ke-1054 mengungsi dengan pesawat raksasa yang berisi segala macam binatang dan tanaman, yang dicatat sebagai rujukan saat generasi ke-2011 mengungsi dari Planet Tagja serta mendarat di pesisir Wail—setelah tsunami besar itu. Dengan membawa fauna dan flora asli Planet Azias yang dibekalkan ketika manusia pertama diusir dengan nailk pesawat semesta, yang dipakai mengungsi lagi saat Planet Noyda hancur oleh erupsi Gunung Noyda. Setidaknya itu yang tertera di catatan generasi ke-2011 kabilah Ben Aineista—tertinggal di pesawat semesta itu terdampar di Wail. Terlupakan sekitar 12 milenium, sampai ombak dan abrasi selama 2.310.000 tahun pelan menggalinya: menghadirkan sejarah semesta ke mahluk Planet Muibi.
Kami menyebutnya teks catatan peristiwa banjir serta penyelamatan kehidupan itu: Manuskrip Wail—bukti sejarah semesta yang dimulai lagi di Planet Muibi. Lewat diskusi antar generasi selama 2.000 tahun, teks catatan itu bisa ditafsirkan dan sejarah semesta direkonstruksi dengan (sesungguhnya) memanfaatkan semua mitos, legenda dan kisah dalam teks kitab-kitab suci. Hal yang sejak 9 milenium terakhir hanya jadi kajian filologis yang tak memberi sumbangan apa-apa ke kemajuan ilmu pengetahuan Planet Muibi. Dengan rekonstruksi Planet Tagja ditemukan, bahkan dengan hipotesa—bila Planet Noyda diketemukan—bisa dipastikan, kalau pesawat hukuman dari Planet Azias itu mendarat di sekitar situs melakoni hukuman—ada pada lapisan tanah dalam ketebalan endapan x kilometer. Bukti arkeologis dari mitos yang dituturkan dari mulut ke mulut lintas generasi kabilah Ben Aineista itu ternyata ada dekat tempat komunitas pertama membangun peradaban—yang dihancurkan alam dan memaksa pengungsian.
2
SETELAH perdebatan lintas ilmu kami membuat rekonstruksi. Tersimpulkan di teks bersama, bahwa di masa awal di tengah semesta yang tercipta oleh Emanasi: tak ada angin. Bahkan di Planet Azias di antara perdu serta semak berbunga itu—dengan beribu kupu-kupu aneka warna—: tidak ada angin. Tidak pernah ada angin. Dan angin bangkit ketika Dengki Pertama marah karena Lelaki Pertama itu mendadak bisa tahu dan sekaligus hapal nama-nama benda yang ada di langit semesta dan hamparan datar Planet Azias. Angin yang pelan bangkit, melintas dan segera hilang, meski ada sempat mengusik helai rumput yang selalu setinggi dua ruas jari dari tanah lembut berpasir—sehingga di mana-mana tak ada lopak air tergenang.
Berminggu kemudian angin hanya gerak yang tidak diketahui siapa pun—meski dipastikan Rasio Emanasi tahu—, yang kian liat memanjang tidak ada habisnya, mulai menimbulkan desir di daun perdu, mengguyah bunga dan membuat kupu-kupu berlari menjauh. Makin keras ketika Dengki Pertama berbisik dan mendesis-desis (perlahan) memanggili Wanita Pertama dari pojokan laboratorium bio-kimia Azias. Merayu agar mendekati pintu yang terlarang itu—angin menderas, memiuh dan merontokkan daun-daun dan helaian bunga-bunga ketika Lelaki Pertama itu terbujuk oleh manja Wanita Pertama—instink yang dibangkitkan Dengki Pertama—, dan nekad buat memetik buah eksperimen—bukti forensik pencitraan emanasi yang gagal.
Angin jadi badai saat keluguan instinktif Wanita Pertama itu mencoba mencecap rasa buah eksperimen. Tak bisa dirumuskan dan diperkatakan apa-apa rasa dari buah eksperimen itu—sampai kapan pun. Karena sebelum liur mencairkan gumpalan potensi nikmat atau pahit dengan melekat di syaraf  lidah—selain ruap tak terkatakan—: polisi emanasi menangkap mereka. Lelaki Pertama dan Wanita Pertama itu diterbangkan ke Planet Noyda—yang entah sejak kapan ada karena tak sedikit pun itu diketahui si Lelaki Pertama, yang diberi tahu nama-nama yang berada di langit semesta dan hampar datar Planet Azias. Seakan memang telah disiapkan untuk begitu. Bukankah tidak mungkin ada yang tak diketahui oleh Rasio Emanasi?
Lantas badai berubah menjadi angin sepoi di rambut dan pori-pori tubuh Lelaki Pertama ketika berada di hamparan Planet Noyda, ketika Lelaki Pertama yang sendiri diperintahkan mencari Wanita Pertama di Planet Noyda. Bertahun-tahun mencari di mana-mana dan ke mana-mana, sambil memperkirakan jarak dengan Planet Azias dan merumuskan kenangan menjadi Peta Semesata hipotesis. Momen di mana angin lirih menebar ruap bunga, buah matang, bau serangga, dan perlahan menggugurkan tepung sari menyerbuki putik, mengawal buah matang jatuh membusuk dan semua biji—lebih tepatnya spora—pelan mengecambah memperluas hutan pakis dan bakau di rawa-rawa pesisir pulau bergunung tunggal—Noyda. Angin yang mengumandangkan denging dan isyarat sperma serangga jantan. Setiap hari—berkali-kali. Berhari. Berbulan Bertahun—membuat Lelaki Pertama itu pening.
Berpuluh tahun—yang disangka oleh si Lelaki Pertama itu sebagai penghukuman seumur hidup. Dan semua berakhir ketika Lelaki Pertama—akhirnya—bertemu dengan Wanita Pertama. Dan saat itu angin berputar lembut dalam laku spiral ke arah zenith, menyerukan tangis kebahagiaan—hujan pertama terlahir di Planet Noyda, gerimis lirih dalam laku spiralia yang dipuntirkan oleh angin, dengan lengkungan pelangi samar di tentang matahari petang. Kehidupan dimulai di Planet Noyda. Peradaban disemaikan.
3
SAAT amarah Rasio Emanasi reda: Lelaki Pertama sudah jauh di Planet Noyda, di tengah hamparan vegetasi bakau dan pakis. Lantas ia diperintahkan mencari Wanita Pertama—karenanya terpaksa membuat rintisan setapak ke arah timur, sebelum belok ke selatan, dan memutar ke barat, serta kembali ke titik awal penghukuman di Planet Noyda. Bergerak ke utara, bersikelak-kelok tak melurus serta tak tentu arah, bertemu dengan jejak setapak—yang disangkanya rintisan pencarian si Wanita Pertama—, yang membawanya ke titik pendaratam pengasingan dari Planet Azias. Di titik itu si Lelaki Pertama berpikir: harus jalan lurus sejauh mungkin. Lurus selama 2 tahun. Berbelok, lurus 500 langkah dan lurus lagi selama 5 tahun. Berbalik dan lurus 5 tahun lagi.
Dalam rentang 3 windu buku harian cuma berisi map. Catatan arah setapak yang dirintis ke segala arah—dilengkapi dengan nama-nama pohon, bunga, binatang, cuaca dan sunyi. Di 7 windu kemudian ia berjalan dalam gerakan spiral memusat ke puncah kawah Gunung Noyda, dan 8 windu lagi berjalan spiral arah pantai dalam perjalanan yang dinamai si Lelaki Pertama itu sebagai jalan duka merindu. Di mana lembar buku harian dipenuhi puisi resah. Siang malam (tetap) sunyi sendiri. Hanya diikawal angin, yang menumbuhkan instink genital dengan wangi bunga, suara biji menembus kulit dan jadi kecambah, serta bau sperma hewan.
Lepas 3 windu lagi baru si Wanita Pertama diketemukan, terlunta (ketika itu) di geger gunung Noyda timur. Di tempat dengan hamparan panorama datar itu: mereka membuat rumah pertama—dengan 14 kamar—, rumah luas bagi 12 anak yang kembar lahir berpasangan dan ditakdirkan bersilang pasangan. Yang setiap senja, ketika udara mulai sejuk dan bayangan gunung Noyda yang diciptakan matahari mau tenggelam itu mulai memekat, di seputaran perapian dengan dikelilingi anak-anak: si Lelaki Pertama membuka buku harian dan menerangkan jutaan setapak yang dirintis—sekaligus mulai memperkirakan letak si Planet Azias di lengkung semesta. “Mengembaralah kalian,” katanya, “rentangkan jarak, abadikan rindu menjadi jalan.…”
“Dan nanti, mungkin 690 dekade lagi, Noyda ini menjadi bergugus rumah yang menggerombol sebagai perkampungan, berdesakan menjadi kota—yang dihubungkan oleh jalan-jalan yang saling memotong dan bersinggungan. Nanti, di kolong jembatan berkumpul para gelandangan yang tak punya rumah, dan yang setiap malam menangis karena tak bisa bikin jalan baru. Lolong sunyi yang membuat instink merindukan istri dan rumah di ujung kembara membuat mereka tak bisa tidur. Karena itu aku percaya, Rasio Emanasi bukan tanpa rencana mengusirku ke planet ini, ke tempat yang nanti tak memiliki terra incognita buat perintis jalan ke rumah terakhir di planet ini.”
“Apa tanda sudah sampai di ujung waktu?” kata si Lelaki Pertama—muram. Lalu Lelaki Pertama itu berbisik, “Sementara di masa itu sebagian orang yang punya kuasa mengerahkan daya agar bisa menguasai sisa tanah yang ada, dan leluasa ia membuat rumah yang kuasa mencitrakan individualitas diri, agar bisa santai pesta. Berkomplot membebaskan tanah dengan menggusur rumah-rumah kecil, yang segera dirubuhkan—dalam pertunjukan pengusiran tanpa pernah ada lahan di tempat lain buat menampung si yang terusir. Hanya demi bisa menciptakan jalan lebar dan mulus untuk memuaskan naluri bersipacu saling bersidulu ada di depan—meski tanpa motif pencarian dan target penemuan. Rindu akan rumah terakhir yang tidak terlampiaskan itu memicu manusia berpacu di jalan lain,” kata si Lelaki Pertama, pilu, “—jalan yang akan membawa aku, ibumu, kalian dan semua manusia kembali ke Planet Azias—ke sisi Rasio Emanasi.”
4
SEBELUM meninggal Lelaki Pertama ada mencatatkan semua ramalan itu—dan peta hipotesis untuk pulang ke Planet Azias, untuk menyusuri balik arus emanasi ke Rasio Emanasi. Bahwa semua yang diperanakkan di garis silsilah Lelaki dan Wanita Pertama itu, yang tersungkur ke Planet Noyda—terasing dari Planet Azias—, akan ikut merasakan derita menggelepar dalam sepi pengembaraan mencari si Wanita Pertama (ataupun si Lelaki Pertama) dan membangun rumah. Dan, pada akhirnya, akan seperti si Lelaki Pertama yang ingin menyusuri balik prosesi emanasi, kembali membubung ke Planet Azias. Karena itu apa yang tertinggal di Planet Noyda dan tidak bisa naik ke arus balik emanasi ke Planet Azias oleh ritus pensucian harus disumpalkan ke rongga tanah, sampai ada letusan raksasa yang akan menyebabkan lapis kerak Planet Noyda terbang, mencelat ke hamparan Planet Azias.
Titik kerucut. Puncak pukau yang menarik semua yang hadir dalam semesta ini dalam alur spiralia piut, sehingga semua jadi yang senilai atom dan memadat—seperti dulu dipicu emanasi awal—semesta yang mengembang. Tempat di mana akhir menjadi awal, dan semua yang terlanjur ada menggejala terhapus dari ingatan, tempat di mana semua peristiwa runtuh, surut kembali seperti di detik awal penciptaan. Abai. Seperti pagi ketika sinar emanasi pertama—yang paling samar—menyentuh semesta yang suci karena baru terbentuk. Semua terbebas dari kenangan. Kemurnian kekal dan manusia fitri tanpa instink. Kalau berpapasan serentak tersenyum dengan keakraban murni sua pertama, terbebas dari riwayat kelahiran dan sejarah derita rentang perang berebutan jalan di Planet Noyda—tempat yang pernah dihuni dan kini tak akan bisa dibayangkan pernah dihuni mereka.
“Ingatan dan semua kenangan telah dihapus,” kata si Lelaki Pertama, meramal—sambari berhati-hati memperagakan gerak melirik ke tempat di mana Rasio Emanasi memasang papan peringatan yang berbunyi: Semua kenikmatan berasal dari angan dan instink—karena hati-hati dengan segala yang tumbuh dan berbuah di tempat ini. Sekali lagi dan senantiasa berhati-hati akan si Dengki Pertama dan tempat fosil segala ciptaan gagal disimpan. Nun! Buah kenikmatan yang membuat Manusia jadi manusia, yang memicu angin yang mengiringi pengasingan di Planet Noyda. Menggelandang di Planet Azias, merintis jalan rentang ke mana-mana demi leluasa menandaskan sunyi yang menyuburkan rindu pada pasangan, membuat rumah kebersamaan—serta Rindu pulang dan kembali. Terbebas dari ingatan dan kenangan akan Noyda. Nun di puncak lengkung langit yang dituding oleh nisan—dengan tulisan sederhana berbunyi: Awal bertemu akhir, Noyda mengembalikan aku ke Azias.
Teks hipotesis yang pada masa awal selalu ditafsirkan sebagai pembebasan ruh dari tubuh, dan kematian selalu diartikan sebagai pembalik kode emanasi pengasingan di Planet Noyda ini dengan yang murni berasal dari Rasio Emanasi. Berbalut dimensi sufistik sebab tak semua orang punya mantra pembalik emanasi penghukuman. Meski yang begitu bukan bidang kajian spesialistik kami—kami hanya ingin mengumpulkan fakta dan pelan merekonstruksinya. Siapa tahu kami (nanti) bisa menemukan peta hipotesis yang mengembalikan kami ke Planet Azias—Bumi terserap emanasi balik.
5
BATU nisan itu entah di mana, batu nisan itu yang menandai satu kuburan yang belum bisa diperkirakan tempatnya. Kuburan si Nun. Kalau (nanti) kami menemukan catatan, versi tertulis dari semua teks tutur kabilah Ben Aineista, sekaligus Manuskrip Wail itu bisa direkonstruksi. Nanti. Kini kami telah punya rujukan letak, hasil proses pemindaian sonar ke permukaan planet secara menyeluruh, yang membuat kami bisa memperkirakan letak Gunung Noyda dan terutama: rumah pertama manusia di planet ini, rumah yang ditimbun lava. Teks yang dilengkapi penelitian atas pemindaian sonar bersama itu membawa kami ke kemungkinan (nanti) kami bisa menemukan kuburan itu—menemukan peta hipotesis atau merekonstruksi mantra emanasi balik.
Itu di versi filologik mistik sufistiknya, karena kami percaya bahwa kami sedang mencari pola peristiwa kimiawi terkontrol, energi rahasia yang membawa kami masuk di proses emanasi balik, terserap ke Planet Azias dan menggumpal di dalam inti Rasio Emanasi. Nanti. Mungkin hanya peta hipotesis jalur pengasingan manusia pertama ke Planet Noyda, alur yang akan direkayasa menjadi jalur balik. Nun. Nanti. (*)

Source:  http://lakonhidup.wordpress.com
Oleh Setta SS (Kotasantri, 7 September 2009)


“Aku ingin hidup lama. Terlalu serakahkah aku jika berharap untuk hidup? Jika memang harus mati cepat, aku sangat ingin jadi rumput di surga nanti. Bisa tidak, ya? Aku tidak mungkin jadi bidadari. Aku hanya ingin menjadi rumput saja.” (Lin, 25 Desember 2006)
***
SAYA pertama kali mengenal sosoknya di tahun 2003 silam. Seorang gadis Chinese. Lin atau Alin, saya lebih suka memanggilnya demikian saat menyapanya. Nama lengkapnya Yoanita Afrianty Lin Che Ying. Dia mendeskripsikan arti namanya itu lewat sebuah pesan singkat di bawah ini.
“Dari dulu aku tahu kalau arti namaku ada hubungannya dengan cinta. Tapi aku baru tahu kalau artinya ternyata “Tuhan adalah Cinta”. Asal namaku dari bahasa Yunani. Papa ingin aku selalu menebarkan cinta kasih dimanapun aku berada.” (Lin, 29 Januari 2006)
Lin adalah salah seorang sahabat terbaik yang pernah saya miliki. Kami kerap berjumpa di Yogyakarta, antara rentang waktu tahun 2003 hingga 2007, tetapi kami lebih sering berkomunikasi via SMS dan email.
Sore itu, 6 Nopember 2007, tepat pukul 16:19 WIB. Ponsel saya berdering. Dari seorang sahabat akrab. “Apa benar Lin telah wafat seminggu yang lalu setelah operasi?” Ia bertanya—atau lebih tepatnya meminta klarifikasi.
Saya terdiam cukup lama mendengar pertanyaan itu sebelum menjawabnya. Hampir dua minggu sebelumnya, Lin masih mengirim sebuah SMS pada saya. Sebuah SMS yang isinya terasa janggal. Saya baru menyadarinya setelah membaca kembali SMS terakhirnya itu.
“U. Setta, aku pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik. Berjanjilah untuk selalu bahagia. Maafkan aku. Terima kasih atas semuanya. Hik-hik-hik, aku pergi. Assalamu ‘alaikum wr. wb.” (Lin, 26 Oktober 2007)
Ucapan salam dalam pesan singkat itu terletak di akhir. Seperti orang yang sedang berpamitan.
Dan, setelah konfirmasi ke salah seorang anggota keluarganya, benar Lin telah kembali ke haribaanNya beberapa waktu sebelumnya. Sebelum naik ke meja operasi akibat komplikasi beberapa penyakit yang sudah lama dideritanya: kanker otak, kanker darah, TBC usus, dan beberapa penyakit lainnya.
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun. Semoga kembali ke sisi-Nya adalah yang terbaik untukmu, Sahabat.
***
Lin, mengenangmu kembali adalah belajar tentang keceriaan menikmati hidup dalam belitan penyakit, belajar tentang semangat hidup, belajar tentang cinta dan empati pada sesama, belajar tentang indahnya persahabatan, juga belajar tentang pemaknaan atas keagungan-Nya.
“Aku kena TBC usus. Keren ya namanya? Hehehe, tapi kok gak sengetop aku ya? Perlu dianalisa nih! Oya, aku turun 7 kg! Pantas kalau jalan seperti melayang-layang. But don’t worry! I’m gonna be OK! Sure! Insya Allah! Coz I know God with me.” (Lin, 26 Agustus 2005)
“Alhamdulillah, aku lagi sakit parah. Mungkin harus dioperasi lagi yang kedua. Amandel. Sudah beberapa hari tidak bisa ngomong dan makan/minum. Kekebalan tubuhku sangat jelek. Aku kan lahir prematur, sudah bagus bisa hidup seperti bayi lain. Tapi aku lelah sakit terus.” (Lin, 30 Nopember 2005)
“Hidup ini memang penuh perjuangan. Dunia ini bukan untuk seorang pengecut, tetapi untuk mereka yang tak pernah lelah dan berani berjuang menjalani hidup. Manusia lahir dengan masalahnya sendiri. Bahkan bayi pun dituntut untuk berjuang menyampaikan rasa laparnya. Setiap orang diberi ujian yang berbeda. Karenanya, Tuhan, aku berjanji akan selalu berjuang.” (Lin, 31 Desember 2006)
“Bagaimana aku makan jika membayangkan saudara-saudaraku di pengungsian? Mereka sudah makan belum ya? Aku merasa seperti penjahat. Di luar sana banyak yang kena musibah, kenapa aku malah tiduran! Aduuh, aku pengin ke Palestina, Libanon, Pangandaran—saat dihantam tsunami. Pasti keren. Kapan aku bisa ke sana?” (Lin, 7 Mei 2006)
“A tree is known by its fruit, a man by his deed. A good deed is never lost, he who saws courtesy, reaps friendship; and he who plants kindness, gathers love.” (Lin, 28 Pebruari 2007)
“I breathed a song into the air. It fell to earth I knew not where and the song from the beginning to end. I found again in the heart of a friend.” (Lin, 2 Maret 2007)
“Hiasilah mimpimu dengan tetesan air sembahyang. Lelapkan matamu dengan alunan zikrullah. Selimutkan dirimu dengan kalimat syahadat. Alaskan tidurmu dengan doa.” (Lin, 21 Maret 2007)
“Allah lebih canggih dari video pengintai ya? Subhanallah banget deh. Tapi sebel, lagi ngapa-ngapain aja perasaan selalu dilihatin Tuhan. Aku kan jadi malu. Grogi. Gak PD. Aduuuh!!” (Lin, 21 Mei 2006)
Kami, sahabat-sahabatmu, akan mengenangmu sebagai sosok yang selayaknya kami kenang. Kesungguhanmu membaca tujuh juz Al-Qur’an dalam semalam di malam i’tikaf Ramadhan terakhirmu, akan kami coba ikuti, Lin.
Selamat datang di haribaan-Nya. Selamat berjumpa dengan kekasih sejatimu. Kami yakin, itu tempat yang layak untukmu. Bahkan tidak sekadar menjadi rumput di sisi-Nya. Amin. (*)
 .
Yogyakarta, 14 April 2009 07:29 WIB
Tempatkan dia di tempat terbaik di sisi-Mu, Robb. Amin.

Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Mashdar Zainal (Republika, 24 April 2011)

 

MENURUTKU, gelar dan nama adalah dua hal yang tak boleh dipisah-pisahkan. Seperti tubuh dan pakaian, sebuah nama akan telanjang tanpa gelar. Itulah mengapa aku sangat mengutuk orang-orang—terutama mahasiswaku—yang luput mencantumkan gelar pada namaku. Sebagai seorang dosen senior, aku telah menerapkan beberapa pantangan bagi seluruh mahasiswa yang mengikuti perkuliahanku. Salah satu di antaranya adalah mengenai gelar itu sendiri.
Mereka—para mahasiswaku—yang berulang kali salah menyebutkan nama berikut gelarku, kujamin akan bernasib buruk. Seperti yang sudah kukatakan, gelar dan nama adalah sesuatu yang sakral bagiku, jadi tak boleh diotak-atik oleh siapa pun.
Sebenarnya, untuk mengantisipasi hal itu, aku selalu berbaik hati. Pada setiap awal semester, di perkuliahan, aku selalu berpanjang lebar memperkenalkan diri. Para mahasiswa yang belum pernah mengikuti perkuliahanku, mereka akan mendengarkan semua ceritaku dengan khidmat dan sesekali manggut-manggut. Jabatanku di kampus adalah pembantu rektor satu, sekaligus guru besar. Sudah berapa dosen di kampus ini yang dulunya bekas mahasiswaku? Toh, mereka semua menghormatiku.
Tak perlu ditebak, pastinya gelarku cukup mentereng. Setiap awal semester, pada acara perkenalan dengan mahasiswa baru, aku selalu menuliskan nama lengkapku besar-besar di jantung papan tulis. Aku selalu menuliskannya begini: Prof Dr H M Kibari MA.
Bila para mahasiswa yang kuajak bicara mengernyitkan dahi, dengan semangat aku akan menjelaskan pada mereka, bahwa kata prof, dari namaku itu berarti profesor, yakni seorang ahli dalam suatu bidang, bidangku tentu kebahasaan. Untuk meyakinkan mereka, aku selalu menyebutkan prestasi-prestasi akademik dan non-akademik yang telah kukantongi. Sudah bertebaran pula buku-buku barat yang aku terjemahkan ke dalam bahasa ibu. Rasanya tak ada yang kurang dengan prestasiku.
Adapun mengenai huruf Dr, dari namaku ialah singkatan dari kata doktor yang aku peroleh dari S3-ku yang kedua, di Jakarta. Tak pernah ketinggalan pula aku menjelaskan tentang huruf H, yang bertengger pada namaku. Huruf H di sana tentu saja singkatan dari kata haji, itu karena memang sudah berkali-kali aku ke Makkah. Dan untuk huruf M, aku takkan menjelaskan panjang lebar karena M di sana ialah singkatan dari nama depanku, Muhammad.
Dan yang terakhir, huruf MA, master of art, merupakan oleh-oleh dari S2-ku dari negeri yang punya ibu Menara Eifel, Prancis. Hebat bukan?
Tak ada yang perlu diragukan, rasanya gelar itu cukup sepadan dengan kemampuan akademik yang kumiliki. Mungkin bisa dibilang aku ini seorang multitalent. Mulai dari kecerdasan matematis, bahasa, kinestetik, sampai musikal, aku menguasainya. Tak banyak orang tahu bahwa diam-diam aku ini berbakat menggesek biola, itulah yang kukatakan sebagai kecerdasan musikal. Bukannya aku sombong, karena sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Aku tidak begitu, justru aku mengagungkan kebenaran, semua tentangku memang benar adanya, bukan mengada-ada. Aku juga tak pernah memandang rendah orang lain, mungkin orang lain saja yang harus mengakui bahwa aku memang ada di atas mereka, dalam banyak hal.
***
Pada akhir semester seperti ini biasanya aku akan lebih sibuk dari biasanya. Banyak sekali agenda-agenda kampus yang harus rampung sebelum rapat wisuda digelar nanti. Belum lagi urusan konsultasi para mahasiswa yang bebal itu. Beberapa kali mereka datang ke rumah, mengemis-ngemis agar aku dapat menerima konsultasinya lalu mengasese skripsinya yang amburadul itu.
Seminggu terakhir ini, sudah terhitung tiga mahasiswa yang terpaksa aku depak untuk mengulang semester depan. Aku sudah terbiasa dengan wajah-wajah kecewa mereka.
Awal pekan lalu, seorang wanita berkunjung ke rumah. Setelah kuhitung-hitung, aku yakin, itu kedatangannya yang ketujuh. Sepertinya dia lebih pandai mengobral alasan daripada menekuni tugas akhirnya. Kali ini dia datang malam-malam dengan segepok kertas di tanganya. Aku menyesal sekali, istriku mempersilakannya masuk. Terpaksa aku meladeninya.
“Apa kita sudah buat janji sebelumnya?” ujarku tanpa basa-basi.
“Maaf Pak, saya tadi tidak sempat, tadi seharian penuh saya menyelesaikan bab terakhir ini. Dan, waktu saya ke kampus bapak tidak ada.” Dalihnya enteng.
Walah… itu alasan kamu saja, wong sedari pagi saya di kampus kok! Urusan kampus ya selesaikan di kampus. Lha, mengapa kamu berani menemui saya tanpa membuat janji terlebih dahulu. Sudah…, sebaiknya kamu pulang saja, saya mau istirahat….” Tukasku santai.
“Tapi Pak, minggu depan sudah ujian. Izinkan saya bicara sebentar dengan bapak. Saya mau minta pertimbangan-pertimabangan lagi dari bapak supaya semuanya clear dan lusa saya sudah bisa daftar ujian skripsi.” Ia merajuk, membuatku semakin muak.
“Entah besok ujian, entah minggu depan ujian, itu urusan kamu. Pertanyaannya, selama satu semester ini kamu ngapain aja? Bukannya dead line yang kuberikan sudah kedaluwarsa?”
“Sungguh, Pak…! Ada urusan penting yang harus saya utamakan.”
“Lebih penting dari skripsimu?” tandasku.
Wanita itu tak bergeming, tapi matanya mengilat seperti kaca.
“Sudah, terserah draf itu mau kamu apakan. Yang jelas malam ini saya mau istirahat. Badan saya rasanya remuk semua. Maaf.” Ucapku singkat, lalu beringsut meninggalkannya yang tergugu di ruang tamu. Entah dengan cara apa dia enyah, lagi-lagi aku takkan peduli. Aku benar-benar muak dengan mahasiswa model begitu.
Mahasiswa kedua yang tidak kugubris kedatangannya juga seorang wanita. Ia mengaku tak punya banyak waktu untuk menyentuh skripsinya karena ia repot mengurus balitanya. Bagiku, itu risiko yang harus ia tanggung. Maka, baginya tak ada lagi toleransi. Aku hanya menyarankan padanya supaya ia pandai-pandai membagi waktu.
Yang ketiga ialah seorang pemuda kumal. Dia seorang aktivis organisasi ekstra kampus. Bertubi-tubi ia mengemukakan alasan dengan bahasa yang diplomatis dan dibuat-buat. Dipikirnya itu akan mengubah nasibnya, sama sekali tidak. Bahkan, terang-terangan aku memberinya dua pilihan, skripsi atau organisasi. Aku menyuruhnya pulang dan datang kembali semester depan dengan pilihan yang tepat.
Setelah para mahasiswa error itu, malam ini datang lagi seorang pemuda dengan potongan alim. Kalau tidak salah dia adalah seorang anggota takmir masjid kampus. Entah, aku lupa namanya siapa. Sebenarnya dia itu rajin, tapi untuk soal skripsi dia tak beda jauh dengan mahasiswa kebanyakan. Dari matanya aku masih menangkap kemuakkannya terhadapku. Mungkin dia teringat kejadian beberapa bulan lalu saat aku menegurnya karena kesalahan fatal menyebut namaku tanpa memakaikan bajunya, gelarnya. Pada khutbah Jumat waktu itu aku mendapat jadwal khatib dan dia sebagai bilal. Sebelum aku naik ke mimbar, dia menyebutkan namaku begini: “Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Bapak Muhammad Kibari.”
Bukankah seharusnya dia menyebut namaku begini: “Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Prof Dr HM Kibari, MA.”
Iya kan? Seharusnya begitu, kan? Untung saja posisiku waktu itu sebagai khatib, kalau tidak pasti aku sudah melabraknya. Tapi sudahlah, aku sudah melupakan kejadian itu dan memaafkannya. Dan, malam ini aku menerima konsultasinya yang terakhir, tentu setelah dia membuat janji denganku.
“Maaf Pak, ini hasil revisi saya yang terakhir,” ucapnya sambil menyerahkan bendel skripsinya yang tebal. Dengan malas aku meraihnya, lalu membolak-balik halaman itu dengan saksama.
“Apa ini? Sudah mau diwisuda ngetik saja belum becus. Lihat itu! Apa pantes itu dibaca orang.” Pekikku setelah mencoret beberapa kata yang salah redaksi.
“Maaf Pak, mungkin saya memang kurang teliti. Iya, akan segera saya perbaiki.” balasnya. Belum selesai ia bicara aku sudah menemukan lagi kesalahannya yang lebih fatal.
“Ini apa lagi. Rupanya kamu benar-benar tak tahu siapa nama dosen pembimbingmu sendiri. Ini lihat!” Tanganku mengacung pada tulisan: “Dosen Pembimbing: Prof H Kibari, MA.”
“Ini doktornya mana, terus M, Muhammadnya mana? Sudah, sudah, ini bawa lagi skripsimu. Besok saya tunggu di kampus, jam sepuluh. Ingat! Itu yang terakhir kali. Kalau kamu masih salah-salah lagi, saya sarankan kamu ujian semester depan saja! Kamu belajar ngetik dulu sambil menghafalkan gelar-gelar saya.” Emosiku meledak. Setelah sepatah dua patah kata yang terbata, ia memohon diri dengan wajah seperti terbakar.
Esoknya pemuda itu menemuiku di kantor, ia kembali dengan print out yang baru, tapi dasar penyakit, dia membuat kesalahan lagi dengan menghilangkan tanda baca titik pada ujung kata Prof dan Dr. Tanpa berpikir panjang aku menyuruhkannya menuliskan tanda titik itu secara manual, dengan pena yang digenggamnya. Setelah kurasa beres aku segera mengasesenya, aku tak ingin lama-lama berhadapan dengannya, bisa-bisa darah tinggiku kumat.
***
Usai sidang skripsi, aku bisa bernapas lega. Hal yang paling sulit bagiku selama berpuluh-puluh tahun jadi dosen ialah saat menjadi penguji skripsi. Aku selalu dihadapkan pada dua pilihan yang menyebalkan: yakni memelihara kebodohan para mahasiswa itu atau mempermalukan mereka. Namun, aku lebih sering mengambil pilihan yang pertama: memelihara kebodohan mereka dengan dua kata: kamu lulus.
Biasanya, setelah nilai keluar, para mahasiswa bimbinganku yang puas dengan nilainya akan mendatangiku dengan ucapan terima kasih berikut tandanya. Minggu ini sudah terhitung lima tanda mata yang aku terima, mulai dari karangan bunga, kemeja, arloji, hiasan dinding, bahkan sampai sepatu made in Italy.
Dan, malam ini aku menerima lagi sebuah kiriman paket dalam kardus besar tanpa nama pengirim. Aku tersenyum-senyum saja menerimanya. Dari beratnya, aku yakin isinya bukan barang biasa.
“Dapat lagi, Bu!” kataku sambil memamerkan paket kotak itu pada istriku.
“Wah, sepertinya berat sekali. Kira-kira isinya apa ya, Pak?” tanya istriku.
“Yah, pastinya benda berharga, Bu. Mahasiswaku kalau memberi hadiah memang tak tanggung-tanggung.” Balasku girang.
Istriku tersenyum, “Cepet buka, Pak! Saya jadi ndak sabar pingin ngeliat isinya apa.”
“Iya, iya, saya buka. Sabar. Tapi tolong, ibu bikinin teh dulu buat bapak.”
“Iya, ibu bikinin. Tenang saja. Tunggu sebentar ya, Pak,” ujarnya sambil beranjak ke dapur.
Istriku pasti akan terkagum-kagum melihat kado istimewa dari mahasiswaku kali ini. Bagaimana tidak istimewa, bungkusnya saja dari kertas emas berkilauan dengan pita cokelat muda, masih dihiasi bunga-bunga rumput kering pula, artistik sekali. Dan untuk lebih memberi sensasi kejutan, pengirim kado ini pasti sengaja membuat saya penasaran dengan tidak mencantumkan siapa nama pengirimnya.
Maka, dengan tidak sabar aku membuka kardus itu. Satu per satu kulucuti pita dan plester yang rapat membalut kardus itu. Kubuka kertas emas mengilat itu pelan-pelan agar tidak sampai sobek. Aku benar-benar sudah tidak sabar untuk melihat isinya. Mulai kusingkap kardus itu dengan hati dag-dig-dug penasaran. Setelah kubuka kardus itu aku tercekat, kaget bukan main. Dua papan batu nisan dari marmer terbujur di sana. Pada salah satu batu nisan itu terukir tulisan yang sangat indah, berseni. Tulisan itu begini:
Alm Prof Dr H M Kibari, MA.
Jidatku terasa dihantan pendulum satu ton saat kusadari apa yang baru saja kubaca. Kepalaku mulai terasa pening. Bersama dengan batu nisan itu, terselip pula selembar kertas dengan tulisan tangan yang cukup rapi, kubaca tulisan itu perlahan:
 .
Bapak Prof Dr H M Kibari, MA. yang ter(gila) hormat. Mohon maaf sebelumnya.
Ini saya kirimkan kenang-kenangan berharga buat Anda. Batu mahal berukir gelar kebanggaan Anda. Jadi, kelak Anda tidak usah repot-repot membayar orang untuk mengukir gelar Anda pada batu itu.
Oh ya, saya juga telah menuliskan satu lagi Gelar bagi Anda: Almarhum. Tentu Anda senang, gelar Anda bertambah satu lagi. Gelar itu akan benar-benar Anda dapatkan, jadi Anda tak usah khawatir. Mohon disimpan baik-baik hadiah dari saya ini. Anda boleh memajangnya di ruang tamu atau di kamar tidur Anda, supaya Anda selalu bisa melihatnya. Semoga bermanfaat.
Salam
Mahasiswamu.
 .
Usai membacanya kepalaku berdenyut-denyut tak keruan. Wajah-wajah kecewa itu berkelebat satu per satu menggelayuti dinding kepalaku. Aku seperti menemukan maksud indah yang enggan kuterima kebenarannya. Tanganku masih gemetar menimang batu kuburan itu. Aku tak mau siapa pun tahu akan hal ini. Sebelum istriku melihatnya, secepat kilat kumasukkan kembali batu itu ke dalam kardus lalu membungkusnya kembali rapat-rapat.
“Wah, isinya apa, Pak? Ibu mau ngeliat?” tutur istriku dengan secangkir teh yang masih bergoyang di tangannya.
“Ah, tak perlu, Bu. Ini cuma hiasan batu berukir biasa.” Balasku kecut. Sesuatu yang tidak enak mulai menggeliat di kepalaku lalu meletup-letup di palung dadaku. (*)
 .
Malang, 2009-2010
Mashdar Zainal adalah nama pena dari Darwanto. Penulis sekarang tinggal di Malang, Jawa Timur. Sejumlah karyanya beberapa kali dimuat di sejumlah surat kabar dan majalah.

 Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Satria Anggaprana (Suara Merdeka, 24 April 2011)

 

DI stasiun itu dia menunggu keretamu—yang tak kunjung tiba—bersama orang tua yang menunggu anak pulang atau mungkin menunggu waktu mereka pulang karena tidak juga datang atau memang tidak akan pernah datang. Beberapa orang memang pergi dan kembali, tetapi banyak yang pergi untuk benar-benar pergi. Apakah berguna menunggui mereka yang benar-benar pergi?
Dia duduk diam di peron, memandang rel yang kosong. Apa benar kau akan pulang? Dengan kereta? Bukan dengan bus, kapal laut, atau pesawat? Oh ya aku ingat tak ada bandara di kota kita. Dia diam sepanjang tahun ini. Dia sudah menjadi debu peron, menjadi ludah, sisa makanan yang jatuh dan terinjak, bungkus permen, lantai peron. Mengapa dia tak pernah mau bercerita kepadaku tentang kamu? Tentang orang yang pergi mencari mutiara air hujan ke negeri yang tak pernah hujan. Tentang kalian yang terus menggali dengan jari-jari tanah yang kering penuh retakan.
Tentang negeri yang hanya pernah kudengar dari lagu. Lagu orang yang tak pernah mau ditinggalkan. Lalu kenapa kemudian kalian malah saling meninggalkan? Mencari mutiara hujan, mencari cara untuk mencintai kekasihnya, mencari cara untuk mati yang sepi. Bukankah kalian takut kesepian? Lalu kenapa dia masih menunggumu? Kenapa dia tidak pergi saja, meninggalkan kamu yang sudah jelas-jelas meninggalkan dia. Apakah karena kalian saling mencinta? Kalau begitu kenapa dia biarkan dirimu pergi bersama orang banyak bertahun-tahun yang lalu dari stasiun ini?
Aku tak pernah bisa mengerti pikiran dia. Dia menunggui kereta yang tak pernah datang dari negeri tanpa hujan. Kenapa tak dia kejar saja dirimu dengan kereta pagi? Stasiun ini hanya memberangkatkan kereta. Sekarang tak ada kereta yang datang. Tak ada yang mau kembali sebelum mendapatkan mutiara hujan untuk melengkapi perhiasan kekasihnya. Melengkapi kekasihnya.
Kereta pagi segera dilansir, orang-orang berdesakan, kereta menuju negeri tanpa hujan tak pernah kosong. Tak ada keluarga yang mengantar, tak ada lambaian sapu tangan di udara, tidak ada hiruk-pikuk, hanya sepi dan diam. Kepergian mereka hanya menyisakan orang yang menunggu. Menunggu sesuatu yang tak pernah ada. Dan aku hanya memandangi mereka dari balik kaca. Beberapa bulan lagi tugasku di stasiun ini akan berakhir. Dan mereka yang menunggu termasuk dirinya sebentar lagi akan terlupakan, akan hilang. Bukankah kau pernah berkata kepadaku,“Kita harus melupakan, semuanya bisa dilupakan.” [1]
Aku tak ingin lupa. Sesuatu yang terlupa kemudian mencoba mengingatnya, bukankah sama saja dengan kehilangan? Semuanya bisa dilupakan katamu, semuanya bisa kehilangan pikirku. Tapi aku tak ingin kehilangan.
Apa kau ingat? Kalau kau sudah melupakannya biarkan aku saja yang mengingat dan memutar kembali di kepalaku. Pada pagi itu jauh sebelum kamu mengenalnya, sebelum lagu itu berputar dan berulang di otak semua orang. Sebelum kita semua, atau kalian semua dirundung wabah kesenduan, wabah yang rasanya begitu manis didengar namun pahit untuk dicecap.
Kamu mengajakku menghabiskan sore dengan beberapa cangkir latte dan sepiring cake keju. Saat itu masih ada kereta yang datang kembali ke stasiun kita dengan keriuhan keluarga, karena mereka yang pergi masih ingin kembali. Di sela jam istirahatku, kita duduk berdua di sebuah kafe di seberang stasiun. Kau duduk di sofa seberangku namun tidak pernah memandangku. Yang kau lihat hanya orang di balik kaca. Tidak bisakah kau memperhatikan orang semeja denganmu ini saja? Apakah karena aku kurang terlihat manis? Apakah karena aku terasa pahit luar dan dalam? Apakah karena aku tidak mau merasa sendu seperti mereka yang berkeliaran di luar sana, mencari bekas kekasih di setiap angin yang lewat?
Aku memandangi wajahmu yang bulat. Aku merasa kita secara fisik sangatlah serupa. Apakah mungkin kita ini anak kembar? Lelucon murahan kelas opera sabun itu cukup sering muncul di pikiranku. Kau masih saja diam. Memang benar aku tidak dapat menciptakan kata-kata yang menarik perhatianmu, tapi apakah kemiripan ini tak membuatmu tertarik untuk sekedar menyinggahkan bingkai kacamatamu itu ke arah wajahku? Aku menyedot habis gelas ketiga latte, mencoba membuat suara srok-srok yang menyebalkan, tapi kau tetap diam, kaca yang lumpuh itu tetap memegangi wajahmu. Kau tahu? Kau terus diam. Bukankah kita sering melihat gunung mati yang kita kira sudah terlalu renta, meletus? Kalau begitu mengapa kau terus diam? Dan bukankah kita tahu setelah itu sang gunung menyelimuti kota-kota dengan api dan abu, lalu menumbuhkan gandum di sana sini? Bukankah akan ada perayaan saat panen tiba? Mengapa kau terus diam? Mengapa tidak kau ajak aku mengobrol walau dengan bingkai kacamatamu saja, dan dengannya aku akan menarik tanganmu ke bar di tengah kota. Aku akan mentraktir seluruh pengunjung dengan bir dan minuman terbaik. Aku akan memberikan perayaan, tapi kenapa kau memilih kaca itu: kesenduan yang bisu di baliknya. Tidakkah kau merasa muak? Aku sudah muak. Dengan latte-latte ini, dengan cake keju, dengan kaca, denganmu.
Jam istirahatku habis. Aku meninggalkanmu duduk di kafe itu, sendirian. Aku sudah membayarkan semua latte dan cake itu untukmu. Jadi nikmatilah sisa yang ada di gelasmu itu bersama kaca dan kebisuan. Aku tidak kuat. Aku merasa lebih tenang berada di balik loket. Menatap wajah kosong di balik kaca, menyorongkan karcis tanpa memberikan senyum, karena wajah mereka memang tidak mengharapkannya.
Sesuatu yang tipis memenuhi ruangan kerjaku, tipis dan cukup hangat, seperti selimut di kamar kita dulu. Apakah ini yang kau rasakan ketika melihat kaca dengan orang sendu di baliknya? Aku merasa ketenangan menyelimutiku, duniaku menjadi hanya sebatas kaca dan orang sendu yang bisu. Apakah itu juga yang kau rasakan, bersama kaca?
“Ini akan menjadi hari terbaikmu,” bisikku, kepada mereka yang menunggu, kepada dia. Walau kaca ini membuatku bisu di telinga mereka. Tapi memang ini akan menjadi hari terbaik mereka. Mutiara air hujan sudah ditemukan, dan tangan yang mengais tanah kering akan berhenti untuk kembali ke kota ini. Bukankah itu yang kalian tunggu selama ini?
Satu stasiun lagi dan kereta yang kalian tunggu akan segera tiba. Pengeras suara sudah memberitakan, membuat kalian berdiri dari lantai peron. Membuat kalian berdesakan, setelah lama sekali aku tidak melihat yang seperti itu di kota ini. Satu stasiun lagi dan penantian kalian akan berakhir. Aku berharap lagu yang kalian sanjung itu tidak lagi kalian ingat.
Mungkin kau sudah tidak mengingatnya, sepulang kerja, setelah menemuimu di kafe, aku menulis sebuah puisi. Mengirimkannya pada seorang teman, dari percakapan kita sebelumnya. Percakapan? Itu lebih seperti monologku bukan dialog kita.
Setelah kita berpisah, setelah aku membuang selimut tipis kita, kamu bertemu dengan dia. Kamu melihat dia dari balik kaca. Wajahnya kosong, mencari sesuatu di udara. Kamu menangkap pencariannya. Kamu terperangkap dengan dia.
Kemudian tanpa persetujuanku, puisiku telah mendapatkan nada, ia telah mendapatkan jiwanya. Dan temanku itu membuatnya berputar di radio, di televisi, di pikiran kita. Puisiku itu mencair masuk ke dalam mimpi kalian, mencair menjadi lelehan permen di telinga kalian. Dasar buruk rupa bodoh temanku itu! Dan aku melihat akibat buruknya hingga hari ini.
Kereta yang dia tunggu sudah berangkat. Aku memandang kosong pada kereta yang baru dilansir dari stasiun ini. Kalian berdesakan. Apakah akan seperti ini hari pengadilan nanti? Aku tidak terharu, atau merasa sedih, aku hanya ingin kembali melihatmu berjalan bersama dia dalam diam. Aku ingin melihat jalur yang mati di stasiun ini hidup kembali, jalur untuk pulang. Sungguh memuakkan melihat stasiun yang hanya memiliki satu jalur rel.
Karena lama tidak ada kereta yang datang, hanya ada satu jalur rel dari kota kita ke stasiun terdekat yang berfungsi. Aku mendengar lagu temanku berputar di pengeras suara. Bisakah dua kereta yang berlawanan berada dalam satu jalur yang sama? Aku diam di balik kaca loket, memandangi dia yang memandang jauh ke rel yang menjauh.
Selimut tipis kita tidak kurasakan lagi di dalam sini. Apakah barusan kau datang dan mengambilnya dariku? Dan akhirnya lagu itu berhenti, terpotong oleh sebuah pengumuman tanpa bel. (*)
.
Jakarta, Maret 2011
Catatan:
[1] Satu kalimat dari lagu berjudul “Ne Me Quitte Pas” yang dinyanyikan oleh Jacques Brel. Beberapa narasi di cerpen ini juga terpinspirasi dan menukil dari lirik lagu tersebut.

Source: http://lakonhidup.wordpress.com