Cerpen Adi Zamzam (Jawa Pos, 27 November 2011)


NYALANG mata Wo Rikan acapkali melihat derum benda itu. Meraung-raung seperti tengah mentertawakan dirinya yang kini jadi sering menganggur karena tak ada lagi pekerjaan. Padahal telah lama musim penghujan menjadi mimpi indah dalam kepala lelaki gaek itu.
Ia mematung di pinggiran sawah dengan mulut mengerucut, menahan amarah yang telah berhari-hari bersarang dalam dada. Telah hampir satu jam lelaki berperawakan sedikit bungkuk itu menunggu di situ. Tak dipedulikannya orang-orang yang lewat seraya bertanya, “Sedang apa, Wo?” Tak ada yang dikerjakannya selain hanya mengamati benda itu dengan penuh kebencian.
“Aku mau yang cepat, Wo. Kalau pakai sapi kan lama? Mahal sedikit tak apa, asal kerjanya bagus,” kalimat Haji Ali terus terngiang dalam telinganya.
Saat itu Wo Rikan tak mengerti. Berselang hari kemudian barulah ia paham bahwa makhluk berisik itulah penyebabnya.
Tak cuma Haji Ali, semua orang yang semula pelanggan tetap Wo Rikan kini beralih pula darinya. Hanya dalam seminggu, semua pekerjaan yang telah enam bulan ditunggu habis tak bersisa!
“Kalau dengan traktor, dua kotak cuma butuh setengah hari. Biaya per kotaknya pun cuma seratus ribu. Coba bandingkan jika aku menyewa bajaknya Wo Rikan. Sehari cuma mampu menyelesaikan satu kotak, itu pun lebih mahal dua puluh ribu. Jadi ya…,” begitu kata mereka. Membuat Wo Rikan merasa dikhianati.
Kini ia telah melihat dengan mata kepalanya sendiri, hanya dalam waktu satu jam, separuh pekerjaan hampir selesai. Tanah terbajak sempurna, sementara sang pengemudinya hanya terlihat duduk manis di sadel belakang. Terlihat amat santai. Beda dengan dirinya ketika harus duduk di tuas belakang sapi, yang disamping menjadi pengendali arah juga harus berusaha menjadi pemberat agar mata bajak bisa lebih dalam menghujam tanah.
Kata orang-orang benda itu bahkan mulai merambah ke desa-desa lain. Sungguh sebuah ancaman besar.
Kini tak ada pekerjaan yang tersisa selain mencangkul galengan [1] sawah. Sayangnya Wo Rikan bukanlah tukang cangkul yang ulung. Lagipula tubuhnya sudah ringkih. Habis mencangkul seharian, tiga hari berikutnya tubuh tuanya serasa remuk dihajar pegal-pegal. Tak seperti ketika ia masih muda dulu.
Wo Rikan benar-benar galau dengan masa depannya. Sepertinya ia akan mati sampai di sini.
***
Malam merangkak pelan. Kedua mata Wo Rikan masih juga nyalang menemani separuh rembulan yang terlihat di genting kaca di atas pembaringan. Tadi istrinya baru saja meributkan dirinya yang menganggur dan cuma hilir-mudik ke sana ke mari, tak mau cari-cari pekerjaan. Meskipun tak punya anak, bukan berarti hidup bisa dibuat bersantai-santai saja. Justru di masa tua begini harus rajin-rajin bekerja karena tak ada anak tempat bergantung. Apalagi jika tubuh sering sakit-sakitan.
Wo Rikan hanya bisa menggerutu menanggapi kemarahan istrinya. Perempuan itu tak tahu bahwa sebenarnya ia sedang sibuk memikirkan sesuatu. Dan akhirnya ia telah menemukan sebuah rencana. Rencana itu akan dikerjakannya malam ini juga.
Ia bangkit sambil terus mengawasi istrinya. Dibukanya pintu dengan pelan. Ia tak mau perempuannya terbangun. Jika sampai itu terjadi, pasti perempuan itu takkan pernah berhenti bertanya yang macam-macam.
Dalam gelap Wo Rikan mengendap-endap. Terang betul matanya mengamati keadaan sekeliling. Hening. Tak ada siapa pun. Dan memang inilah yang diingininya. Tak ada seorang pun yang melihatnya ketika menuju sebuah rumah yang belakangan ini sering diawasinya. Benda yang tengah diincarnya itu ditambatkan di samping rumah layaknya peliharaan.
Namun sesampainya di tempat tujuan, Wo Rikan malah kebingungan. Ia tak tahu bagaimana caranya menyakiti atau melumpuhkan benda keras itu. Ia berputar-putar mencari titik lemah yang kiranya bisa menciderai musuhnya itu.
***
Berhari-hari Wo Rikan menjadi orang bingung yang seringnya hanya duduk-duduk melamun di blabak teras rumahnya. Mendengarkan radio menjadi pekerjaan utama yang paling digandrungi. Lagu campursari dan cerita pewayangan adalah acara yang paling ia cari. Meski Mbok Tu—istrinya, sering marah-marah melampiaskan kejengkelannya. Wo Rikan terlihat tak peduli.
Namun yang sebenarnya terjadi adalah Wo Rikan ingin melupakan kebenciannya terhadap benda bernama traktor itu, karena ia tahu hal semacam ini memang tak bisa dihindari. Ia ingat betul sebelum ada televisi, radionya terbilang benda mahal yang kala itu tak semua orang bisa memiliki. Tapi kini, radio telah menjadi sampah. Mungkin juga dirinya nanti, tak ada harganya lagi. Zaman yang terus bergerak akan menyingkirkan mereka yang sudah tua.
Hal itu susah betul diterimanya secara penuh. Setiap berpapasan dengan Dikin dan traktor piaraannya, kemarahan dalam dada Wo Rikan melonjak-lonjak. Derum traktor terdengar bagai riuh kaum kala [2] ketika merusak ketentraman kahyangan. Aneka rencana langsung berhamburan masuk tanpa permisi ke dalam kepala, berebut untuk meraih persetujuannya.
Tak ada lagi pekerjaan yang bisa membuat Wo Rikan makan enak. Maka ia pun tak balas marah-marah kepada pendamping hidupnya yang setia itu. Ia biarkan perempuannya mengumpat-umpat dirinya sepuas hati saat melihat Wo Rikan yang malas-malasan membantu pekerjaannya mengumpulkan daun waru dan jati, berburu keong besusul, memanen genjer liar, juga mengambil petet cina yang tumbuh liar di sepanjang pematang sungai pinggiran sawah. Istrinya tak pernah tahu karena Wo Rikan memang tak pernah memberitahu bahwa kemalasannya adalah tersebab malam-malamnya yang selalu sulit tidur dan selalu dipenuhi dengan aneka rencana.
Tak pernah ada yang tahu pula kenapa Wo Rikan tiba-tiba suka tersenyum sendiri, terlebih ketika melihat Dikin yang selalu meributkan piaraannya. Ketika Pak Madi, Pak Kandar, ataupun Haji Ali menegur kebiasaan aneh itu, Wo Rikan hanya menjawab, “ Tadi malam Gatotkaca telah melumpuhkan Kala Pracona!”
Pun ketika istrinya menegur karena teramat jengkel, Wo Rikan masih juga menjawab, “Tadi malam Gatotkaca telah melumpuhkan Kala Pracona!” tak peduli perempuannya semakin jengkel sampai pernah menyembunyikan radio tua itu, hingga Wo Rikan meradang dan tak mau lagi bantu-bantu pekerjaannya.
Wo Rikan tak peduli meski ia tak dipedulikan lagi. Oleh istrinya, oleh pemilik sawah langganannya, bahkan oleh dunia sekalipun. Baginya, ketika Kala Pracona berhasil dilumpuhkan berkali-kali oleh Gatotkaca—meski hanya sementara—itu sudah sedikit mengurangi sakit hatinya.
***
“Kalau aku mati nanti, apa kau akan cari suami lagi?” tanya Wo Rikan sebelum istrinya terlelap.
“Kalau aku tak ada lagi, apa yang akan kamu lakukan?” bertanya lagi karena diacuhkan.
Wo Rikan menoleh. Ternyata istrinya telah benar-benar terlelap. Ia mencoba memaklumi hal ini. Perempuannya memang selalu begini bila marah. Terutama semenjak ia merelakan Ngatimah—keponakan yang pernah ia ambil dari adik ipar semenjak masih umur tujuh—untuk kembali ke sisi orang tuanya karena dua saudaranya telah menetap di kota jauh.
Mbok Tu sering tak peduli dengan apa yang dilakukan dan dipikirkan Wo Rikan selain ketika lelaki itu membantunya mencari kebutuhan makan. Maka ketika shubuh itu lelakinya telah raib dari sisinya, ia pun lebih peduli dengan pesanan daun, bothok keong dan bothok petet dari para tetangganya ketimbang mencari tahu ke manakah gerangan suaminya pergi.
Hingga siang menjelang, dan seorang tetangganya terlihat tergopoh-gopoh mendekatinya, “Wo Rikan ditangkap polisi, Mbok!”
***
“Kalau ingin Wo Rikan bebas, Mbok Tu harus mau mengganti rugi semua biaya perbaikan traktor saya selama ini,” wajah Dikin terlihat memerah saat menyebutkan satu per satu kerusakan yang pernah dibengkelkannya.
Mbok Tu melangkah ke arah teralis suaminya. Menggerutu pendek, lalu mengakhirinya dengan kalimat, “Akan kujual salah satu sapimu.”
Wo Rikan tersenyum. Akhirnya dunia mengakui dan menghargai keberadaannya juga! (*)
 .
 .
                                               Kalinyamatan – Jepara, September 2011


Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Arif Hidayat (Suara Merdeka, 20 November 2011)
 

KADANG-KADANG sering terbayang juga masa tua. Masa saat aku mungkin mengenang yang telah kulewati sambil menanti ajal, sambil kubayangkan juga ruhku akan terbang seperti kupu-kupu.
Ini mungkin karena aku sering melihat kakek-nenek itu melintas menyapa sambil menundukkan kepala dan tersenyum. Nenek itu matanya agak sipit. Walau kerutan-kerutan itu membekas, namun aku tahu bahwa nenek itu semasa muda memiliki kulit yang putih. Dia menyapa dengan huruf-huruf yang tak fasih, namun aku masih mengerti dan paham. Ia selalu pergi bersama seorang kakek yang tak terlalu ada keistimewaan apa pun pada tubuhnya, selain bibir yang berusaha memberikan senyum.
Mungkin usia nenek itu setara dengan pohon jati yang berada di pekarangan rumahnya. Dari rumahku, aku menatap pohon jati yang mulai meninggi kembali, walau dalam beberapa kali dipangkas ranting-rantingnya dengan alasan angin bakal merobohkan. Batang bawahnya, dua pelukanku tak cukup. Akar-akarnya seperti tulang raksasa yang dibaringkan. Kuat mencengkeram bumi. Dan dari sebuah pintu teralis, seorang pembantu berlari-lari kecil sambil bergegas dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia keluar dari sana dan menghampiriku. Wajahnya seputih awan yang mendung. Tangannya agak gemetar. Ada yang ingin disampaikan dari mata yang menatapku dengan serius, tapi sopan.
“Sudah tiga hari ini, majikanku tak di rumah,” katanya.
Aku tahu dia sedang cemas, dan biasanya kecemasanku akan hilang dengan senda gurau oleh kawan-kawanku.
“Dia sudah jadi kupu-kupu, tadi menyapaku. Sekarang hilang di antara pohon jati dan bambu,” jawabku sambil tersenyum, tapi pembantu itu tidak bicara apa-apa.
Matanya menjadi melotot. Pipinya yang putih jadi agak merah. Ototnya mengeras. Aduh, aku jadi gemetar.
Aku mencoba menenangkan bahwa tidak terjadi apa-apa. Segenap kemampuan berpikir kukerahkan untuk memberi keyakinan agar percaya dengan kata-kataku. Kini aku tidak bercanda lagi. Aku tahu, konon majikannya punya anak di Jakarta atau Surabaya yang tak pernah menjenguk. Pastinya mereka pergi menemui anaknya, atau justru anaknya yang menyuruh pindah. Biarpun, dalam cerita yang kuingat dari ibuku juga para tetangga bahwa mereka berdua tak ingin beranjak ke mana pun sampai ajal menjemput. Bahkan, mati pun ingin dikubur di pekarangan rumah, bagian belakang.
Ah, rumah yang sendiri, dengan pekarangan yang cukup luas. Ada pohon jati dan bambu kecil berbaris yang merindangi bagian belakang. Di halaman samping tampak bunga-bunga, yang ketika kau melihatnya di agak pagi akan banyak kupu-kupu berhinggapan. Kupu-kupu yang entah datang dari mana sebab tak ada kepompong maupun ulat di sekitarnya. Kupu-kupu yang bermain dengan matahari dan tak terlihat di malam hari. Matahari yang biasanya menyengat, namun di halaman itu udara terasa sejuk, maka kau akan merasakan berada di taman hutan atau seperti berada dalam dongeng tentang rumah peri atau semacamnya.
Kalau kau berkunjung di pagi, kau juga akan menemukan seorang nenek yang menyapu daun-daun kering sambil meneteskan air mata di dekat pohon jati dan beberapa bambu kecil berbaris. Ia akan merenung di situ, bergumam sendiri, kemudian tersenyum dan berbalik sambil menaburkan percikan air yang harum ke segala penjuru arah. Ciumlah aromanya. Benarlah seperti berada dalam cerita musim semi, di mana segala kebajikan doa akan tumbuh dan membuat hati merasa senang karena kesejukan pohon-pohon dari daun, juga sisa embun yang tetap bertahan di situ.
Nenek itu bersama seorang kakek yang sudah tidak bisa berjalan lagi dan seorang pembantu. Kakek itu hanya duduk di kursi roda. Bila nenek itu menyapu, maka kekek akan berada di antara kupu-kupu sambil menengadahkan tangan. Sedang pembantu akan sibuk masak dan mengurusi seisi rumah, menyapu lantai, mengepel, membersihkan debu, mengelap kaca, juga memasak. Pernah pembantu itu menyapu halaman dan menyirami tanaman ketika kemarau tiba, tapi nenek dan kekek itu marah. Pembantu dimaki-maki, tak lama mereka berdua meminta maaf dan berpesan untuk pembantu itu agar tidak mengulangi lagi. Dan pembantu itu mengangguk dengan sambil terus menunduk cukup lama.
***
SEMINGGU sekali, mereka berdua akan pergi jalan-jalan yang jaraknya tidak jauh dari rumah mereka. Di pagi yang benar-benar pagi. Nenek akan mendorong kursi roda sambil menyapa tetangga atau pun orang yang dikenal. Mereka berjalan pelan. Aku sering menatap mereka dari jendela rumah. Kemudian meledek mereka. Lama-kelaman menjadi akrab. Ketika aku kecil, mereka sering membelikan jajan pasar. Membelai rambutku dengan tersenyum. Kemudian pergi setelah dari pohon jati dan bambu turun beberapa ekor kupu-kupu.
Ibuku marah kalau aku menerima jajan pasar yang mereka berikan. Takut untuk tumbal. Takut ada racunnya. Takut ini dan itu. Yang jelas tidak boleh. Dan aku akan serba bingung. Dalam marah, ibu pernah bercerita jika mereka berdua bukanlah warga asli dari sini. Mereka datang dari kota yang jauh karena melakukan hubungan di luar nikah, orang tuanya marah kemudian mengusir, namun sudah terlanjur punya anak. Dan mereka tak boleh mengasuh anaknya.
“Nenek Ming dan suaminya itu memang kaya, tidak ada yang tahu pasti dari mana berasal. Lha, tidak kerja saja bisa bayar pembantu. Punya rumah bagus. Aku tidak ingin kamu nanti jadi tumbal.”
Ibu membanting seplastik cenil yang belum sempat kucicipi.
Nenek Ming dan suaminya datang ketika masih muda, kemudian membeli rumah bekas kawedanan yang dipakai oleh Landa. Mereka tertarik rumah itu bukan karena bagusnya, tapi karena ada pohon jati dan bambu kecil berbaris yang merindangi bagian belakang. Itu selalu mengingatkan pada tempat tinggalnya dulu, di mana leluhurnya dimakamkan dengan diberi asap dari semacam lidi, kemudian ditaburi oleh minyak wangi.
Nenek Ming dan suaminya hidup dengan sederhana. Hingga aku besar sampai sekarang ini tidak ada yang berubah padanya. Hanya cara berjalannya yang mulai makin membungkuk dan mulai sering batuk-batuk. Mereka tidak berobat, tapi membuat ramuan dari tanaman-tanaman yang ada di pekarangan rumah. Ada kunyit, jahe, kencur, dan semacamnya. Mereka rajin meminum semacam jamu dari tanaman, bahkan rajin makan daun yang masih hijau. Sesekali mereka membeli madu asli dari pasar. Aku pernah dibuatkan obat batuk dari semacam akar-akar yang penuh dengan serbuk, kuminum setelah itu bumi terasa di bolak-balik dan pandangan gelap hingga benar-benar tak berdaya. Aku bermimpi sepasang kupu-kupu di antara pohon jati dan bambu mengitariku kemudian pergi, bahkan kemudian aku merasa punggungku ditumbuhi sayap dan pergi meninggalkan ibuku. Kata Ibu, dalam itu, aku tertidur seharian, dan setelah terbangun aku benar-benar sembuh dari batuk.
“Segala yang sakit, segala yang sehat itu ada pada alam dirimu. Kau akan melihat pengetahuan sejati bersama bumi sebagai tubuhmu, dan yang lainnya mengisi,” jawabnya ketika aku bertanya tentang rahasia obat yang diberikan padaku. Aku sendiri sampai sekarang tidak paham maksudnya. Aku malah pusing sendiri memikirkannya. Jangan dipikirkanlah.
“Lihatlah yang terbang.” Aku mencari-cari yang terbang, walau tak ada apa-apa selain desir angin di daun bambu.
“Kau dengan pohon apa bedanya, jadi kau harus merawat karena telah menanam, sebagaimana ia memberikan buah untukmu.” Aku makin bingung saja. Ini lebih membingungkan dari ujian pelajaran di sekolah.
Tanpa sepengetahuan Ibu, aku sering sembunyi-sembunyi menemui nenek Ming dan suaminya. Aku tidak melihat diri yang jahat pada mereka. Toh, pembantu rumah itu pun tetap selamat. Setidaknya sampai sekarang. Tak ada teriakan apa pun dari rumahnya. Tak ada keanehan.
“Nenek Ming dan suaminya itu menyembah pohon. Apanya yang tidak aneh.” Ibu menghardikku. Aku merinding. Bingung mau bicara apa. Terbayanglah aku pada film kartun tentang nenek sihir yang hidup di dalam kastil yang besar. Terbayang pula aku pada….
***
“HEI, hei, kenapa bengong.” Pembantu itu membangunkan lamunanku. Mengajak buru-buru untuk masuk ke rumah nenek Ming.
Aku menurut saja mencoba mengikuti pembantu itu, menelusuri rumahnya tanpa peduli ibu akan marah. Ada banyak jendela yang terbuat dari kayu jati. Jendela lama yang tetap utuh. Dari situ cahaya matahari samar-samar menembus ruangan. Aku berjalan dalam terpaan bayanganku sendiri. Sedikit merinding. Ada sunyi yang hangat berhembus. Pelan dan hati-hati sambil melihat atap dengan gapit bambu yang cukup rapi, aku terkesima pada lukisan seribu kupu-kupu dalam terpaan cahaya. Semuanya bersih, bahkan almari yang kuraba tak kutemukan debu. Dan, ternyata sebagian rumah ini tersusun atas pohon jati dan bambu yang utuh tanpa tersentuh rayap.
Di dalam kamar tak ada siapa-siapa. Hanya ada bulu-bulu halus yang bertaburan di lantai dan dinding. Aku mencium ramuan obat batuk dari Nenek Ming, yang cukup membuat pusing dan mengaburkan pandangan menjadi gelap kemudian melihat diriku menjadi keriput, berjalan dengan terbungkuk dengan ada bulu-bulu halus yang rontok dan tumbuh. Perutku gendut. Bumi serasa terbalik. Dalam begitu, aku pulang ke rumah dengan sisa tenaga yang kukerahkan untuk merambat di jalan, ibu tak mengenali, malah membuang tubuhku ke kebun dengan jijik. (*)
 .
.
Arif Hidayat, lahir di Purbalingga 7 Januari 1988. Tulisan alumnus Universitas Muhammadiyah Purwokerto ini pernah dipublikasikan di beberapa media massa. Buku antologi puisinya Syair-syair Fajar, Pendapa 5: Temu Penyair Antar Kota, Anak-anak Peti, Puisi Menolak Lupa, Rendezvous dan Catatan Perjalanan. Buku esainya: The Spirit of Love, Kekuasaan dan Agama, Manusia = Puisi, dan Dari Zaman Citra ke Metafiksi.


Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Ayi Jufridar (Jawa Pos, 30 Oktober 2011)



LIMA belas tahun sudah Merlyn Getty tidur bersama Gunawan di ranjang rumah dan beberapa ranjang hotel yang pernah mereka singgahi. Sudah tidak terhitung percintaan yang pernah mereka nikmati tidak hanya di ranjang, tetapi di ruang mana pun yang menurut mereka aman dan nyaman untuk melakukannya. Sebegitu dekatnya Merlyn dengan Gunawan sehingga ia hapal terhadap setiap jengkal tubuh lelaki itu sehapal pada tubuhnya sendiri. Ia mengetahui setiap perubahan apa pun yang terjadi di tubuh Gunawan, mulai dari yang kecil lebih-lebih perubahan besar. Kantung di bawah mata yang kian nyata kendati Gunawan pernah rajin meredamnya dengan potongan mentimun atas permintaan Merlyn, perut yang kian buncit, sampai beberapa helai bulu hidung Gunawan yang sudah memutih menjadi perhatian Merlyn ketika lelaki itu tertidur pulas setelah lelah bercinta.
Kalau bulu hidung yang pendek dan tersembunyi dalam liang kecil dan gelap masih terlihat Merlyn Getty, tentulah mengherankan bila ia abai terhadap beberapa helai uban yang mulai menghiasi kepala Gunawan. Merlyn tidak pernah melihatnya dalam setiap kebersamaan mereka yang paling intim sekalipun, konon lagi ketika menemani Gunawan sarapan atau sekadar mengantar Gunawan sampai teras depan ketika lelaki itu berangkat kerja. Perhatiannya tidak tertuju ke atas kepala Gunawan, tetapi ke hati lelaki itu. Sedangkan ketika mereka bercinta, pikiran Merlyn mengembara entah ke mana.
Merlyn tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang berlebihan atau tidak masuk akal dengan beberapa helai uban yang luput dari perhatiannya. Ia jadi ingat pengakuan beberapa teman sebelum ini. Seorang temannya baru menyadari suaminya memiliki pusar di atas dahi setelah 11 tahun mereka berumahtangga. Temannya yang lain tidak mengetahui ada tahi lalat tersembunyi di bagian paling intim suaminya. Yang terakhir ini menurut Merlyn keterlaluan karena ia menganggap perempuan itu tidak melakukan apa pun untuk menyenangkan suaminya sebelum mereka menyatu dalam sebuah kebersamaan yang penuh desah.
Kedua kasus di atas, menurut Merlyn, berbeda dengan uban karena rambut putih itu tidak muncul sejak Gunawan lahir sebagaimana pusar di puncak dahi.
Merlyn tidak menemukan uban itu, melainkan uban itulah yang menemukannya tadi pagi ketika ia masuk ke kamar mandi dan Gunawan ada di sana dengan handuk putih yang melilit di pinggang. “Ternyata aku sudah tua,” katanya seperti kepada diri sendiri karena ia berdiri di depan cermin yang berkabut sambil menyibak rambutnya yang tebal lurus sampai sedikit menutup daun telinga. Merlyn masih tidak peduli dengan pengakuan itu karena Gunawan sudah berusia 46 tahun. Justru keterlaluan bila ia tidak menyadari ketuaannya sehingga bertingkah seperti pemuda belasan tahun ketika melihat gadis-gadis belia di luar sana. Ketika Gunawan memutar tubuhnya dan menundukkan kepala di depan wajah Merlyn sambil meminta dicabuti ubannya, seketika itulah Merlyn terkejut. Tanpa sadar ia mundur beberapa langkah hingga punggungnya membentur dinding. Wajahnya pucat pasi serupa air muka orang yang baru saja berjumpa dengan sesuatu yang paling menakutkan seumur hidupnya.
Bagi Merlyn, sesuatu yang menakutkan itu bukanlah hantu karena ia tidak pernah melihatnya meski sangat percaya makhluk itu ada. Ia pernah melewati masa-masa yang penuh hantu, tetapi tidak pernah satu kali pun melihat meski bisa jadi justru hantu itu sedang melihatnya. Hantu sungai, hantu kuda, hantu api, hantu emas, segala jenis hantu ada pada masa itu, tetapi Merlyn hanya mendengar nama mereka saja. Ketika papanya pergi dan mama mulai sering memukulnya, ia selalu berharap berjumpa dengan hantu apa pun yang akan mengajak dirinya dan dua adiknya pergi. Mereka bertiga sering mandi di alur Kapuas ketika air sedang pasang dengan kayu gelondongan sebagai perahu. Orang dewasa yang menggunduli hutan di sana menakuti dengan kisah hantu buaya yang memangsa anak kecil agar mereka segera menyingkir. Merlyn dan kedua adiknya justru bermain di sana sampai malam menjelang agar hantu buaya datang dan membawa mereka ke dalam dunia buaya. Namun, hantu buaya tidak pernah datang, yang datang justru air bah bercampur lumpur yang membuat ia dan kedua adiknya nyaris mati tenggelam. Sampai beberapa tahun setelah kejadian itu, ia harus rutin memeriksakan diri ke dokter karena paru-parunya tercemar lumpur.
Merlyn Getty bukannya menyesali keputusannya bermain di Kapuas ketika air sedang pasang, melainkan menyesali kenapa tidak mati saja. Dua kali sudah ia mengundang kematian, tetapi kematian tidak menghampirinya ketika diharapkan. Setelah kematian yang gagal di Kapuas, kehidupannya menjadi lebih sulit. Papanya tidak pernah pulang lagi, yang belakangan ternyata sudah kabur dengan anak gadis orang setelah menghamili perempuan muda itu. Mamanya bekerja di sebuah pabrik tripleks sebagai buruh kasar. Ia pergi pagi dan pulang menjelang malam dengan tubuh yang kelelahan. Semakin lelah mamanya bekerja, semakin sering ia memukuli Merlyn dan kedua adiknya. Sampai kemudian Merlyn dikirim ke tantenya di Cilacap. Tantenya itu adalah adik mama, tetapi mereka beda ayah. Suami tantenya bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan perminyakan nasional, dan cukup sukses sehingga dua tahun berturut-turut menjadi karyawan teladan. Mereka mempunyai dua anak lelaki, tetapi tidak satu pun lahir dari rahim tante. Merlyn mengira nerakanya sudah berakhir ketika ia dikirim ke Cilalap, tapi ternyata di sanalah ia menemukan neraka yang sesungguhnya dari perilaku dua anak tante yang seharusnya menjadi saudara sepupunya, juga dari perilaku tante dan lebih-lebih dari suaminya.
Kedua sepupunya itu sering menjamahi tubuhnya yang sedang tumbuh ketika orang tua mereka tidak ada di rumah. Seorang di antaranya kemudian diterima sebuah perguruan tinggi terkemuka di Yogya dan itu amat disyukuri Merlyn. Namun, nerakanya belum berakhir karena sepupunya yang lain merasa sudah menguasai Merlyn seorang diri. Ketika Merlyn Getty memberanikan diri untuk melawan, hanya satu kali perlawanan secara fisik dan ancaman akan mengadukan ke polisi, sepupunya itu berhenti untuk selamanya. “Satu kali saja kamu berani menyentuhku lagi, kita akan berjumpa di pengadilan!”
Merlyn kelas dua SMA ketika itu. Sedang mekar-mekarnya dengan darah Banjar dan China yang mengalir dalam tubuhnya yang semampai dan proporsional. Kelebihan itulah yang menggoda pamannya untuk mulai menyentuhnya justru setelah kedua anaknya berhenti. Mulanya hanya di tangan ketika ia meminta bantuan Merlyn. Setelah itu dianggap biasa, naik ke pipi lalu turun lagi ke pinggul dan mulai berani naik lagi ke dada. Ketakutan Merlyn bahwa sentuhan itu akan turun lagi ke bagian lain, menjadi kenyataan. Setiap pagi, pamannya bangun lebih subuh dan menyelinap ke kamarnya. Dia melarang Merlyn mengunci pintu. “Jangan pernah bilang ke siapa pun, terutama tantemu!”
Merlyn tidak berani membalas ancaman itu sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap sepupunya. Mengadu ke malaikat pun tidak akan dipercayai kalau lelaki yang menjadi tokoh masyarakat itu melakukan perbuatan tak senonoh. Paman menggunakan pengaruhnya agar bebas melakukan apa pun terhadap dirinya. Orang-orang sekitar sangat menghormatinya. Merlyn bisa melihat pada hari-hari besar seperti Idul Fitri, pejabat kepolisian di Cilacap, jaksa, dan hakim, sering bertamu ke rumah. Ancaman “kita akan berjumpa di pengadilan” seolah tak berlaku untuk membalas kekurangajaran pamannya.
Salah satu kebiasaan lelaki itu adalah meminta bantuan Merlyn untuk mencabuti ubannya, ada atau tidak ada istrinya di rumah. Bila tantenya di rumah, pekerjaan itu tak terlalu menakutkan. Begitu tantenya di luar, itulah kesempatan paman untuk menggerayangi tubuhnya ketika tangannya sibuk mencari uban. Dua tangan bekerja bersamaan, satu mencari uban dan yang lain mencari kenikmatan. Puncaknya, ketika tante tak ada di rumah, paman memerkosanya. Itulah hari paling buruk dalam hidup Merlyn sehingga ia nekat mengiris nadi dengan pecahan botol.
Ketika tante pulang dan melihatnya bermandikan darah, paman mengaku baru saja memarahinya karena kedapatan berada di tempat bilyar bersama teman-teman cowoknya. Pamannya benar, sehari sebelumnya ia kedapatan di meja bilyar selama jam belajar dengan sejumlah teman sekolahnya. Mereka sering bolos sekolah dan baru kali itu kedapatan. Di rumah Merlyn memang anak pendiam, tapi di sekolah ia bandel. “Mungkin karena itu dia bunuh diri,” kata paman tanpa panik sedikit pun. Bahkan ketika ia membawa Merlyn ke rumah sakit, ia sempat berbisik di telinga, “Dasar bodoh. Sudah kuberikan surga dunia, kau malah ingin ke neraka. Bunuh diri itu dosa besar, tahu!” Pamannya tidak berkata tentang hukum menzinahi keponakan sendiri.
Uban itulah yang menjadi pintu neraka bagi Merlyn. Setelah mendapat pengobatan, dia kabur dari rumah dan menjadi istri simpanan seorang bangsawan di Malaysia. Mereka berpisah dua tahun kemudian dan Merlyn bertemu dengan statusnya sebagai janda kembang serta Gunawan sebagai duda beranak satu. Sebelum menikah, ia sudah menceritakan semua masa lalunya kepada lelaki itu, kecuali soal uban pamannya. Tak disangkanya uban di kepala Gunawan telah membuka kembali rahasia masa lalu yang sudah dikuburnya dalam-dalam.
“Aku tidak ingin lagi melihat uban di kepalamu!” cetus Merlyn sambil memutar tubuhnya dan keluar dari kamar mandi.
“Aku sudah tua, sudah pantas beruban. Kamu tidak bisa menolak kodrat.”
Masih sempat didengar ucapan Gunawan itu sebelum ia benar-benar lenyap dari kamar mandi. Merlyn tidak menolak Gunawan menjadi tua, tidak menolak rambut putih tumbuh di lubang hidungnya atau di tempat lain. Namun, Merlyn tidak ingin melihat uban di atas kepala Gunawan. Dia ingin uban itu berubah hitam atau ia akan kabur dari rumah bila Gunawan memaksa untuk mencabutinya. (*)
 .
.
Ayi Jufridar adalah jurnalis dan penulis fiksi. Tiga novelnya yang sudah diterbitkan Alon BuluekGelombang Laut yang Dahsyat(Grasindo, 2005) dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Belanda. Kemudian Kabut Perang (Universal Nikko, 2010), dan Putroe Neng(Grasindo, 2011).





Soure: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Muna Masyari (Republika, 23 Oktober 2011)
SUDAH menginjak lima bulan lamanya matahari berpesta. Merayakan kemenangan atas pohon-pohon, tanah, kali, dan sungai. Daun-daun meranggas. Berguguran. Retak-retak tanah mengular. Pohon-pohon tembakau di sawah yang belum sempat dirobohkan berdiri kaku. Pohon kapuk berjajar gundul di sisi jalan kampung. Tinggal kapuknya yang berjatuhan dan bergelantungan dengan kulit mengering. Terkuak. Isinya menyembul, sebagian mulai tertiup angin. Bebatuan di dasar sungai teronggok diam menyaksikan pesta kemarau yang tak kunjung usai.
Sumur-sumur warga sudah kekeringan sejak sebulan yang lalu. Air bersih menjadi barang paling langka, sementara kebutuhan tidak bisa ditunda. Hanya sumur tua milik Bu Muniah yang menjadi rebutan warga kampung untuk memenuhi kebutuhan memasak, mandi, dan mencuci setiap hari.
Sumur yang dikelilingi rerimbun bambu duri itu terletak di belakang dapur Bu Muniah, berdekatan dengan kali pembatas antara dua kampung yang sama-sama dilanda krisis air bersih. Warga kampung sebelah harus melintasi area pemakaman dan melangkahi kali selebar satu setengah meter untuk mengambil air di sumur Bu Muniah. Rakitan bambu melintang di atas kali guna memudahkan penyeberangan.
Sepanjang hari sumur Bu Muniah tak pernah sepi. Sebelum subuh, ibu-ibu sudah berdatangan menjinjing dan menyunggi tembah [1]. Rambutnya digelung sembarangan. Meski tanpa penerang, tidak lantas membuat mereka takut kakinya dililiti ular. Padahal, jalan setapak menuju sumur dipenuhi reruntuhan daun bambu kering yang berserak setinggi mata kaki.
Langkah mereka bersegera sebelum air habis. Ada yang bolak-balik hingga empat kali untuk mengisi gentong dapur sebagai bahan menanak dan minum.
Begitu azan selesai berkumandang di masjid dan berlanjut ke bacaan shalawat dari muazin yang menunggu makmum rampung, giliran bapak-bapak yang mendatangi sumur. Sarung diselempangkan di bahu. Baju dan pecinya ditenteng. Mereka mengambil wudhu bergantian. Sementara baju dan pecinya disandangkan ke carang [2]. Pinggir sumur yang terdiri atas susunan bata berlumut dikelilingi para penimba. Ada yang menunggu giliran sambil duduk-duduk menghisap rokok. Hanya satu-dua kata mereka berbincang, saling tegur sapa. Selebihnya, justru dipenuhi kecipak dan suara jatuhnya air memecah pagi. Begitu selesai, mereka langsung menuju satu-satunya masjid tua di tengah kampung.
Setelah fajar merayap dan selesai memasak, para ibu kembali bergegas mendatangi sumur dengan membawa setumpuk baju kotor. Takut keduluan yang lain. Khawatir tidak kebagian air. Maklum, menjelang Zhuhur, biasanya air akan terkuras habis. Maka, mau tidak mau, yang belum kebagian harus sabar mengantre.
Anak-anak kecil bertelanjang dada membuntuti ibunya dengan menenteng timba yang sudah berikat tambang. Sambil mencuci, para ibu itu tak henti berbincang mengenai segala hal. Mulai dari murahnya harga garam, hingga mahalnya harga tembakau tahun ini.
“Tembakaunya Pak Ruham terjual 50 ribu. Yang terakhir saja sebanyak 8 bal. Tidak heran ia mampu memperbaiki rumahnya dan membangun langgar.” Kata Bu Hasan sambil mengucek baju cuciannya.
“Iya. Pak Sadili kemarin juga membeli honda [3],” timpal Bu Mar, sesekali mencubit lengan anaknya yang sibuk memain-mainkan busa sabun di bak cucian.
“Tahun ini tembakau memang menguntungkan,” sela Pak Saudi yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Bu Mar. Memikul Tembah pekol [4], hendak mengambil air untuk keperluan lolo [5]. Sudah tiga hari ia bekerja di rumah Pak Ruham yang sedang merenovasi rumah.
Para ibu yang duduk rapat terdesak bak cuci, saling pandang sebentar. Tidak ada yang menggeser untuk memberi jalan pada Pak Saudi.
“Bukankah dilarang menimba air sumur ini kalau hanya digunakan sebagai bahan bangunan.” Bu Mar memberanikan diri.
“Kata siapa?” Pak Saudi balik bertanya.
“Bu Muniah kemarin yang bilang, karena waktu mau ngambil air kebetulan sumurnya sedang terkuras. Tinggal air dasar yang sangat kotor,” jawab Bu Hasan.
“Iya, kemarin Bu Muniah marah-marah. Mau mengambil air minum, yang ada malah keruh. Kenapa Pak Ruham tidak mendatangkan tangki saja sih? Air ini hanya cukup untuk masak, mandi, dan mencuci.” Sambung yang lain.
Wah, saya kurang tahu. Saya kan hanya pekerja. Ya sudah, kalau demikian, saya bilang saja pada Pak Ruham.”
Pak Saudi kembali dengan timba kosong. Baru lima belas menit dari kepergian Pak Saudi, Bu Ruham datang tergopoh-gopoh. Tubuhnya menyembul di antara pohon kamboja yang merindangi pamakaman, sambil menyingsing sarung setinggi lutut. Langkahnya lebar, tanpa sandal. Kebaya depannya hanya dijepit satu peniti, hingga kutang dan perut bagian atas sedikit terlihat.
“Siapa yang melarang mengambil air di sini?” Tanya Bu Ruham. Matanya mancelak [6]. Kerut wajahnya semakin jelas.
Ibu-ibu yang sedang mencuci menghentikan kucekannya. Tak segera menjawab. Mereka tahu betul watak Bu Ruham. Siapa pun akan berpikir sekian ulang kalau mau berurusan dengannya. Bisa runyam.
“Siapa yang melarang?” Ulang Bu Ruham, meninggikan suara.
“Bu Muniah kemarin.” Jawab Bu Hasan, bernada cemas. Ia yakin sebentar lagi akan terjadi cekcok besar.
Sambil menggerutu kesal, Bu Ruham berbalik pergi dengan langkah lebar. Menyingsing sarungnya setinggi lutut.
“Bakal rebut!” Ujar Bu Hasan. Diiyakan yang lain.
Benar saja. Di rumah Bu Muniah, perang mulut tak bisa dihindari. Bu Ruham mencak-mencak mempersoalkan larangan Bu Muniah pada pekerjanya yang hendak menimba air.
“Itu sumur umum. Ibu tidak berhak melarang siapa pun mengambil air di sana.” Telunjuk Bu Ruham ditudingkan ke wajah Bu Muniah.
“Siapa bilang itu sumur umum? Sumur itu terletak di tanahku. Sesepuhku yang menggalinya dulu. Jadi, aku berhak melarang siapa pun yang aku mau. Termasuk Ibu! Cari saja sumur di desa Ibu kalau mau bangun rumah, jangan di sini!” Balas Bu Muniah, tak kalah sengit.
“Kalau begitu, tanah di makam itu juga tanah sesepuhku. Aku berhak mengusir siapa pun yang dimakamkan di sana, termasuk keluarga Ibu atau keluarga desa ini!” Sambil menunjuk area pemakaman yang terletak di sebelah kali, masuk kawasan kampung sebelah.
Dada Bu Muniah menggemuruh. Area pemakaman itu memang tanah yang diwakafkan bangaseppo keluarga Bu Ruham. Pemakaman yang menjadi rujukan orang meninggal kedua kampung.
“Pindahkan saja makam keluargamu dari tanahku!”
“O, jadi seperti itu? Baik! Jangan ada lagi orang di kampungmu yang mengambil air ke sini!” Bu Muniah tak mau kalah.
Pagi itu juga, Bu Muniah memanggil Dulla, anak satu-satunya yang sedang mengumpulkan bunga tembakau di sawah.
“La, pulang! Kita harus memindahkan makam hari ini juga!” Teriak Bu Muniah dari jalan setapak yang menjadi pambatas dua petak sawah.
“Memindahkan makam bagaimana, Bu?” Dahi Dulla mengerut. Tangannya dimiringkan di dahi untuk menghalau serbuan panas matahari yang mengganggu ketajaman pandangannya. Matanya nyaris terpejam.
“Ya, memindahkan makam. Sudah, ayo pulang! Nanti aku jelaskan.”
Dulla menurut meski belum mengerti. Ia mengikuti langkah Bu Muniah seraya menenteng tas kresek berisi bunga tembakau kering.
***
Akhirnya, pemindahan makam massal pun terjadi. Tidak hanya makam keluarga Bu Muniah yang dipindahkan. Semua tetangga sepakat memindahkan makam keluarga mereka ke tanah milik Bu Muniah yang masih bertanam pohon singkong.
Ada yang membongkar makam. Ada yang mencabut pohon singkong, lalu digali sedalam satu setengah meter sebagai tempat pemindahan jenazah yang sudah meninggal bertahun-tahun lamanya.
Sejak peristiwa itu, Pak Ruham mendatangkan tangki untuk meneruskan pembangunan rumahnya. Karena jalan desa yang masih sempit, terpaksa air ditampung di salah satu rumah familinya yang dekat dengan jalan raya. Pak Saudi harus bolak-balik memikul air ke rumah Pak Ruham sepanjang 500 meter perjalanan.
Tidak ada lagi warga kampung sebelah yang menimba air di sumur Bu Muniah. Pun, tidak ada lagi jenazah di kampung Bu Muniah yang dimakamkan di area pemakaman Bu Ruham. Penyeberangan kali sebagai pelintas antarkampung dirusak.
Dua kampung bersitegang.
Tidak berselang lama dari peristiwa itu, sumur Bu Muniah ikut mengalami kekeringan. Warga resah. Banyak ternak mati karena kurang minum. Baju-baju kotor menumpuk di setiap rumah. Bau-bau badan menyengat kecut. Pohon-pohon semakin meranggas. Tanah-tanah terpanggang. Debu beterbangan.
Sumur Bu Muniah kembali sepi. Hanya suara pohon bambu yang menderit saling bergesekan diembuskan angin. Tumpukan reruntuhan daun bambu di seputar sumur sudah setinggi di atas mata kaki.
Tidak ada lagi ibu-ibu menyunggi timba sebelum subuh. Tak ada lagi yang berduyun-duyun membawa oncor [7] setelah Isya untuk berebut air. Sekarang, yang bisa dilakukan warga hanya menunggu Pak Lurah mendesak pemerintah agar mendatangkan air bersih ke kampung itu.
Untuk sementara waktu, Pak Lurah berupaya membantu kebutuhan air warganya sebagai bahan memasak, minum, dan berwudhu melalui pembelian tangki.
Sementara langit belum mengutus awan untuk berkabar kapan hujan akan turun. Matahari masih menyempurnakan pesta, merayakan kemenangan atas pohon-pohon, tanah, dan sungai yang sudah sekarat. (*)
.
.
Catatan:
[1] tembah: timba
[2] carang: duri-duri bambu
[3] honda: sebutan sepeda motor untuk segala merek oleh orang Madura.
[4] Tembah pekol: timba yang biasa dipakai untuk mengangkut air.
[5] lolo: campuran tanah, semen dan lumpur.
[6] mancelak: membelalak
[7] oncor: obor
 .
.
Penulis lahir di Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Karya-karyanya sempat dimuat di sejumlah media cetak. Masuk 30 besar dalam Lomba Mengarang Cerpen Ber-setting Wisata Probolinggo, FLP Probolinggo Raya. Nominator Lomba Puisi FTD-FLP Riau dan Lomba Puisi Minda Media Group, Pekanbaru. Menjadi kontributor dalam antologi puisi Sesayat Munajat Doa (2011), kumpulan novelet Lafaz Cinta di Ambang Gerhana (2011), kumpulan cerpen Merindu Matahari (2011), dan di sejumlah antologi lainnya.





Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Virgorini Dwi Fatayati (Republika, 30 Oktober 2011)
 

SEORANG lelaki sedang menjalani tes calon presiden tahun 2014. Tubuhnya yang masih gagah dan tegap meski usianya sudah memasuki kepala lima, ditambah air mukanya yang berwibawa dan bijaksana, menjadikannya layak memimpin negara dan bangsa Indonesia yang sudah karut-marut dan banyak masalah.
“Apa yang menjadikan Anda mencalonkan diri dalam Pilpres 2014 ini?” tanya salah seorang juri.
“Saya ingin memperbaiki Indonesia secara menyeluruh, nasib bangsanya, kekayaan alamnya, dan namanya di tingkat internasional. Saya ingin mengharumkan nama Indonesia dengan memperbaiki segala sistem yang sudah ada sekarang.”
“Anda yakin?”
“Yakin.”
“Apa modal Anda?”
“Keyakinan.”
“Hanya itu?”
“Ya.”
“Tidak mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi?”
“Tidak.”
“Mantap sekali Anda menjawab. Apakah Anda tidak tahu banyak mantan presiden yang mencalonkan diri lagi?”
“Saya tahu.”
“Tahukah Anda bahwa saingan-saingan Anda nanti adalah orang-orang yang sudah berpengalaman dan kuat-kuat?”
“Saya punya kekuatan uang dan koneksi.”
“Baiklah, melihat kemantapan Anda, Anda seharusnya lulus, tapi sebelum kami meluluskan Anda ikut dalam Pilpres 2014 ini, kami akan ajak Anda menaiki karpet waktu.”
“Karpet waktu?”
“Ya, tidak usah banyak bertanya, ikuti saja kami.”
“Baik.”
Pada akhirnya seorang juri yang banyak bertanya tadi membawa lelaki itu ke dalam suatu tempat. Di tempat yang tersembunyi itu terdapat sebuah karpet merah mirip sebuah permadani. Lampu yang hanya lima watt menjadikan lelaki yang bermata rabun jauh itu tidak dapat jelas melihat detail karpet itu.
“Mari kita duduk di karpet itu!” ajak sang juri. Lelaki itu menurut.
“Anda tidak usah banyak bertanya, ikut saja.” Sekali lagi juri itu mengingatkan.
Meski sebenarnya merasa aneh dan merasa takut, lelaki itu menurut saja.
Dengan sedikit ragu, lelaki itu duduk mengikuti juri yang telah lebih dulu duduk bersila.
“Pejamkan mata!”
“Baik.” Lelaki itu pun memejamkan mata. Semakin ketakutanlah hatinya, namun tak bisa berbuat apa-apa, apalagi pintu ruangan dikunci. Hanya pasrah yang bisa dilakukannya.
Beberapa saat kemudian terdengar suara bising sebuah mesin, padahal di ruangan itu hanya ada karpet. Lelaki itu terkejut, namun dia tak berani membuka mata.
Hanya sekitar satu menit suara mesin itu membisingkan ruangan, yang kini dirasakan lelaki itu dalam mata terpejamnya adalah sebuah ruangan terbuka dan semilir angin yang terasa panas.
“Bukalah mata Anda.” Perlahan, lelaki itu membuka mata. Betapa terkejutnya dia karena yang didapatinya adalah sebuah gurun pasir. Dan, tempatnya duduk adalah sebuah batu besar, bukan lagi karpet yang tadi.
“Kita berada pada masa pemerintahan Sayidina Umar bin Abdul Aziz.” Ucap sang juri menjawab keheranan lelaki itu.
“Siapa dia?”
“Beliau pemimpin negara yang adil. Setelah pemerintahan Khulafaur Rasyidin, tidak ada lagi pemimpin yang seadil beliau. Beliau sangat berhati-hati mengurus tanggung jawab yang diamanahkan padanya. Beliau amat takut kalau tidak dapat bersikap adil. Karena itulah beliau lebih mengutamakan keperluan rakyat daripada diri dan keluarga.”
“Memangnya masih ada pemimpin seperti itu setelah wafatnya Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin?”
“Sekarang kita lihat buktinya. Mari kita ke rumah beliau.” Sang juri mengajak lelaki itu berjalan.
“Salah satu kehebatan Khalifah Umar bin Abdul Azis yang luar biasa adalah beliau malah hidup miskin setelah diangkat menjadi khalifah. Anda tahu khalifah itu apa?”
“Semacam presiden di negara kita.”
Yap, Anda benar. Khalifah Umar menempati rumah yang hanya cukup untuk dirinya. Karena setelah diangkat menjadi khalifah, seluruh kekayaannya diberikannya pada baitul mal.” Papar sang juri membuat hati sang calon presiden kecut.
“Benar-benar ini rumahnya?” tanya lelaki itu tak percaya karena semula dia mengira akan melewati rumah gubuk itu dan menuju rumah yang lebih baik dari yang dilihatnya.
“Ya, ini benar-benar rumah beliau.” Sang juri memperlihatkan sebuah rumah yang teramat sangat kecil dan sederhana.
Lelaki itu mengintip dari balik jendela yang atapnya hanya terbuat dari daun kurma itu. Ternyata, di dalam rumah itu hanya terdapat sebuah cangkir, sebuah piring, dan sebuah alas lilin, tidak ada alas untuk tidur.
“Mari kita naik lagi ke karpet.” Ajak sang juri, lelaki itu menurut saja.
Tiba-tiba dua lelaki itu sudah dibawa ke tempat yang gelap.
“Di mana ini?” tanya sang calon presiden.
“Masih di tempat yang sama, tapi kita berada di malam hari.” Sahut sang juri.
Beberapa saat kemudian, terdengar seseorang mendatangi rumah Khalifah Umar.
“Siapa?” tanya Khalifah Umar dari dalam rumah.
“Saya, Ayah,” jawab orang yang datang yang ternyata putranya.
“Ada apa?”
“Ibu menyuruh saya berjumpa ayah.”
“Untuk apa?”
“Membicarakan masalah keluarga.”
“Kalau begitu tunggu sebentar.” Sang calon presiden dan sang juri mengintip dari lubang dinding. Dilihatnya khalifah Umar meniup lilin satu-satunya yang ada di ruangan itu sehingga rumahnya menjadi gelap gulita.
Kemudian, Khalifah Umar membukakan pintu untuk anaknya.
“Mengapa gelap begini, Ayah?”
“Maafkan Ayah, anakku, rumah ini bukan milik kita dan lampu ini bukan milik kita. Oleh karena Ayah adalah pemimpin rakyat, Ayah wajib menjaga uang rakyat untuk kepentingan rakyat. Ayah tidak mau gunakan untuk kepentingan keluarga sehingga merugikan negara. Ayah takut di hadapan Allah nanti akan ditanya mengapa Ayah gunakan minyak rakyat untuk kepentingan keluarga.” Papar Khalifah Umar panjang lebar.
“Jadi, kalau aku ke sini untuk membicarakan masalah negara, ayah akan tetap menyalakan lampu, tapi kalau untuk membicarakan masalah keluarga ayah mematikan lampu?”
“Ya, kau benar anakku, masalah keluarga kan masalah pribadi, ayah tidak mau menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi,” ujar Khalifah Umar lagi.
Sang calon presiden dahinya berkerut, rasa kesal menyergapnya.
“Anda dengar itu? Anda paham?” tanya sang juri.
“Ya, tapi berlebihan sekali kalau hanya uang untuk lampu saja beliau tidak mau menggunakannya, padahal rakyatnya tidak akan menuntut kalau hanya sedikit.”
“Beliau tidak berlebihan, tapi terlalu berhati-hati.”
“Ah, mana ada manusia seperti itu? Ini pasti hanya dongeng.”
“Tidak, ini nyata, kalau tidak percaya akan aku tunjukkan kepemimpinan pemimpin-pemimpin lain yang patut dicontoh.”
“Tidak perlu, aneh, aku tidak percaya!” Sengit sang calon presiden lagi. “Ngomong-ngomong, mengapa tiba-tiba aku memahami bahasa Arab?”
“Karena dengan menaiki karpet ini, kita akan memahami semua bahasa di dunia.” Bisik sang juri kepada lelaki yang akhirnya termenung-menung.
“Kita naik lagi ke karpet,” ajak sang juri lagi.
Tak lama kemudian, mereka tiba kembali di kegelapan malam, masih di tempat yang sama.
“Dengar, beliau sedang menangis di atas sajadah,” bisik sang juri.
“Mengapa Ayah menangis?” tanya istri Khalifah Umar.
“Bagaimana aku tidak menangis? Aku telah diangkat menjadi raja kaum Muslimin dan orang asing. Yang sedang aku pikirkan sekarang adalah nasib orang-orang miskin yang kelaparan. Orang yang sakit, yang tak berpakaian dan menderita, yang tertindas, orang asing yang dipenjara. Mereka yang banyak anak, tapi miskin. Serta, mereka yang berada di tempat-tempat yang jauh. Aku merasakan, pada hari kiamat tentu aku akan ditanya oleh Allah keadaan mereka yang di bawah penguasaanku. Aku takut tidak ada pembelaan yang dapat membantuku. Karena itu aku menangis.”
“Anda dengar itu? Ayo, kita kembali naik ke karpet!”
Beberapa saat kemudian, dua lelaki itu sudah berada di tempat yang sama dalam keadaan terang.
“Ini sudah pagi,” ujar sang juri.
“Lihat ada yang datang,” seru sang calon presiden menunjuk pada seorang nenek. Nenek itu mendatangi rumah Khalifah Umar dengan tergesa-gesa.
“Demi Allah aku bermimpi aneh sekali.” Ujar nenek itu.
“Ceritakanlah mimpimu.” Kata Khalifah Umar.
“Aku bermimpi melihat neraka yang berkobar apinya. Dan, ada titian siratul mustaqim di atasnya. Kemudian, Abdul Malik bin Marwan dibawa di atas titian itu lalu jatuh ke neraka jahanam. Kemudian, dibawa al-Walid bin Abdul Malik moyang Anda, setelah hampir ke ujung kemudian dia jatuh. Kemudian, dibawa Sulaiman bin Abdul Malik, nasibnya pun begitu juga.”
“Teruskan… teruskan…,” ujar Khalifah Umar gundah, suaranya bergetar, kecemasannya menjadikan tubuhnya menggigil dan ketakutannya bisa dilihat oleh sang juri dan sang calon presiden..
“Setelah itu giliran Anda… saat giliran Anda… Anda, Anda masuk….”
Bug! Belum selesai si nenek bercerita, tubuh Khalifah Umar terjatuh.
“Ya Tuhan… ya Allah, aduh, bagaimana ini? Khalifah, khalifah, mengapa Anda? Ada apa dengan Anda?” Si nenek mengguncang-guncang tubuh Khalifah Umar dengan penuh cemas, sejurus kemudian berdatanganlah orang-orang mendekati tempat itu.
“Cepat kita kembali ke karpet!” Secepat kilat pula mereka sudah tiba di ruangan kosong lagi.
“Apa yang terjadi pada Khalifah Umar?” tanya lelaki itu penuh rasa ingin tahu.
“Beliau wafat karena takut dirinya juga menerima nasib yang sama dengan pendahulu-pendahulunya. Usianya masih 36 tahun dan beliau hanya memerintah selama dua tahun. Seluruh hartanya sebelum menjabat menjadi khalifah diserahkan semua ke baitul mal dan beliau hidup seperti rakyat biasa. Ketika beliau wafat, semua berdukacita, termasuk mereka yang bukan Islam. Terasa betapa makmurnya mereka hidup di bawah pemerintahan beliau. Kambing dan serigala yang saat pemerintahan beliau berbaikan, setelah beliau wafat bermusuhan lagi.”
“Mengapa bisa begitu?”
“Karena beliau orang bertakwa, tak ada seujung rambut pun beliau punya kepentingan dunia, sekali pun sanjungan atau kehormatan, apalagi harta.”
“Maksud Anda, dia hanya punya kepentingan dengan akhirat?”
“Ya, dia merasa jadi pemimpin adalah amanat Tuhan yang harus dijalankannya dengan baik dan benar. Dengan penghormatan saja beliau merasa tersiksa, apalagi dengan harta.”
Sang calon presiden terdiam dan termenung.
“Apakah Anda siap menjadi presiden seperti beliau?” tanya sang juri.
Sang calon presiden tidak menjawab, dia malah tergugu menangis.
Lho, mengapa Anda malah menangis?”
“Ada apa saya ini? Tidak pernah terpikir sedikit pun dalam diri saya menjadi orang seperti beliau, bahkan tidak sedikit pun saya memiliki sifat seperti beliau, berani-beraninya saya mencalonkan diri.” Masih tergugu lelaki itu menjawab.
“Lantas?”
“Periode ini saya mengundurkan diri, saya ingin memperbaiki diri dulu dan juga memperbaiki niat saya mencalonkan diri jadi presiden. Atau, mungkin juga saya tidak berani-berani lagi mencalonkan diri menjadi presiden. Seumur hidup.”
“Memang seharusnya begitu,” batin sang juri dalam hati sambil tersenyum. “Kita sedang sangat membutuhkan pemimpin yang dipilih oleh Tuhan, bukan manusia.” (*)
 .
.
Sentul, 260811
Penulis adalah seorang guru. Aktif menulis sejak kelas 1 Sekolah Menengah Pertama. Puluhan karyanya dimuat di sejumlah surat kabar dan majalah. Pertama menulis, karyanya langsung dimuat di sebuah surat kabar  nasional.




Source:http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Toni Lesmana (Koran Tempo, 30 Oktober 2011)
 

LELAP sekali dirimu terbaring di lantai. Tak ada yang bergerak selain isyarat lemah napasmu. Mimpi apa yang tumbuh dalam tidurmu? Aku hanya bisa memandangmu. Tubuhmu nyaris telanjang. Aku terus memandangimu sambil perlahan merayap di tembok, memanjat kaca jendela dan meloloskan diri pada lubang angin.
Tak tahan melihatmu terus tertidur, aku ingin pergi sebentar melihat negerimu. Barangkali aku akan menemukan sesuatu yang dapat membunuh seluruh rinduku padamu. Atau mungkin pergi darimu selamanya. Tidak, aku tak mungkin sanggup. Tapi aku harus lepas dan bertualang. Masih sempat kulirik tumpukan buku dan kertas yang berserak di lantai. Tulisan yang belum tamat di layar komputer. Sama seperti dirimu, mereka juga pulas dan lelap. Dari kamarmu, kutangkap tubuh istrimu yang meringkuk, seperti memeluk. Ada gerak-gerik di sana. Namun aku tak tahan lagi. Betapa aku sakit menatapmu terus tertidur.
Pekarangan yang dingin, kabut merubung lampu-lampu. Aku menyusupinya. Rumah-rumah kelabu. Gang yang lembab. Ada suara yang cukup nyaring di ujung gang. Aku melayang perlahan di tanah basah. Dan melesat menuju suara itu. Seorang pedagang nasi goreng nampak sedang sibuk mendorong gerobak sambil memukul-mukul wajannya. Dua orang pemuda mabuk menghampirinya, tawar-menawar. Akhirnya dengan muka sedikit marah penjual nasi goreng itu meluluskan keinginan sang pembeli. Kedua pemuda itu duduk di trotoar. Meracau tak tentu. Mata mereka rapat terpejam. Begitu pula mata sang pedagang. Bagaimana mereka bisa mabuk dan berdagang dalam keadaan tertidur? Keparat. Aku teringat dirimu. Dirimu yang melulu tidur. Dirimu yang sering kukutuk karena tak juga membuka mata barang sekejap. Ternyata tak hanya dirimu. Negeri apa sebenarnya yang kau tinggali dan tak pernah usai kau cintai ini?
Lepas dari mulut gang, aku cepat-cepat meninggalkan pemandangan suram yang tadi kukejar dengan penuh pengharapan. Berlari dalam kabut menuju pusat kota. Orang gila berteriak-teriak di jembatan. Gelandangan memeluk kardus di trotoar. Sepasang manusia berciuman di bawah lampu jalan. Seorang fotografer asyik memotret sebuah bangunan kuno. Serombongan anak punk bernyanyi-nyanyi sambil berjalan. Satpam sebuah rumah repot mengejar pencuri. Tapi mata mereka semuanya terpejam. Mereka semua tidur. Itulah kehidupan dalam tidur. Aku terus berlari. Berlari dalam penasaran. Kususuri seluruh pelosok kota. Memasuki gedung demi gedung. Melewati perempatan demi perempatan. Melesat ke alun-alun. Berdiam di terminal. Menyaksikan pasar. Mengaduh di stasiun. Apa yang kudapati adalah orang-orang yang tertidur. Semuanya berjalan sambil tidur. Tak ada mata yang terbuka. Tak seorang pun terjaga. Tubuh-tubuh itu bergerak dengan mata tertutup.
Malam sebentar lagi usai. Orang-orang dan kendaraan mulai memenuhi jalanan. Lampu-lampu mati dan kabut menyusut entah ke mana. Aku menyaksikan matahari pagi terbit di sebuah pelataran gedung pemerintahan. Orang-orang dengan pakaian rapih dan berseragam nampak mulai sibuk menyiapkan segala sesuatu. Sepertinya bakal ada acara. Ada panggung lumayan besar dengan peralatan band dan tata suara lengkap. Kursi-kursi tertata rapih. Hajatan di gedung yang paling besar dan megah. Perlahan semakin banyak yang datang. Para pejabat, pengisi acara, juga masyarakat, datang sebagai penonton. Puluhan bahkan ribuan orang mulai memadati pelataran gedung yang luas. Acara yang meriah. Pidato-pidato dengan suara yang lantang dan bersemangat, tangan yang terkepal, dan riuh sorak masyarakat. Doa-doa dipanjatkan. Puisi, lagu, dan tarian dipentaskan. Mereka mengerjakan itu dengan mata terpejam. Padahal matahari nyaris mencapai puncak ketinggian di langit.
Aku pun mengikuti anak-anak sekolah yang berjalan riang menuju sekolah mereka. Tak berapa lama kemudian di dalam kelas kulihat guru mengajar sambil tidur dan anak-anak sekolah belajar sambil bermimpi. Dan kecewa membawaku melayang dari satu kantor ke kantor yang lain. Tak berbeda adanya. Orang-orang bekerja sambil tidur. Mereka mengerjakan dan menyaksikan korupsi tanpa membuka mata. Di pengadilan, hakim menjatuhkan vonis dengan mata tertutup. Sipir penjara menjaga narapidana juga tanpa membuka mata. Semua berjalan dengan tenang tanpa gejolak. Dan aku berlari lagi ke pabrik-pabrik yang riuh dan gaduh. Para buruh berpeluh dalam tidurnya. Sang majikan menghitung uang sambil tidur pulas.
Aku ingin pergi sejauh-jauhnya, barangkali masih ada kehidupan yang terjaga dan waspada. Sepasang mata yang terbuka. Namun, di jalanan aku menemukan sekelompok demonstran yang meneriak yel-yel berani juga dengan mata yang tidur. Beberapa melakukan perusakan dan terjadi bentrokan sambil bermimpi. Dengan sedikit malu-malu aku singgah di beberapa rumah ibadat, mengikuti sejumlah ritual yang khusyuk. Hanya seperti khusyuk, nyatanya mereka juga beribadah dalam tidur.
 .
PERJALANAN segera saja membosankan. Siang hari saja sudah begini. Apalagi malam hari. Tak ada seorang pun yang membuka mata. Semuanya hidup dalam tidur. Kesadaran seperti sebuah kondisi yang tak lagi diperlukan. Sementara ketidaksadaran menjadi sebuah kehidupan. Barangkali aku sedikit bisa memahami apa yang terjadi pada dirimu, setelah selama ini aku menganggap dirimu gila. Kini tak dapat disangkal, bahwa kau adalah bagian dari sebuah negeri yang memang lelap dan tak pernah bangun. Sepanjang perjalanan pulang aku mulai belajar menutup mata sambil melayang. Namun berkali-kali aku tersesat. Dan semakin jauh dari rumahmu, dari dirimu. Alih-alih semakin dekat, ini malah semakin menjauh. Aku muncul di pasar yang terbakar, di samping sebuah bom yang meledak, di sekolah yang runtuh, juga di sebuah rumah ibadat yang dilempari batu. Betapa susah menggenapi perjalanan sambil menutup mata.
Tiba-tiba aku berada di perempatan bersama pengamen dan anak-anak kecil penjual cobek batu, malah tak sengaja masuk ke kamar hotel dan menyaksikan seorang pejabat memeluk tubuh perempuan muda yang pasti bukan istrinya. Aku melayang-layang tak tentu arah. Heran sungguh aku, bagaimana dirimu dan penghuni negeri ini bisa melakukan semuanya dengan kelopak mata yang terkunci. Akhirnya kubuka kembali mataku lebar-lebar, lantas melayang cepat di atas kota. Senja hampir habis. Dan aku ingin segera kembali ke rumahmu. Ke tubuhmu. Cukup sudah perjalanan ini. Setidaknya dapat kupahami apa yang terjadi pada dirimu.
Hinggap di atap rumahmu, aku memasuki celah-celah genting. Meluncur turun ke lubang di langit-langit rumahmu. Aku melihat dirimu masih terbaring di lantai. Sementara istrimu seperti sedang menyusui.
Kau tertidur dengan telentang. Wajahmu begitu damai. Dadamu bergerak halus. Napasmu lemah. Tubuh yang sering kucaci kini nampak sangat indah. Indah dalam tidurnya yang lelap. Tubuhmu. Aku cepat meluncur kembali. Namun aku tak dapat menjejak lantai. Aku hanya melayang-layang mengitari tubuhmu. Tanganku menggapai-gapai namun tak dapat menyentuh. Tanganku tak dapat menyentuh apa pun. Semuanya. Rambutmu. Hidungmu. Bibirmu. Tanganmu. Dadamu. Kakimu. Semuanya tak dapat kusentuh. Tanganku hanya menembus semuanya.
 .
TIBA-TIBA aku menjadi begitu takut. Aku lupa bagaimana aku meninggalkanmu. Meninggalkan tubuhmu. Aku lupa. Kini aku begitu merindukan memasuki kembali tubuhmu. Tubuhku. Namun aku tak tahu bagimana caranya. Aku mulai berteriak-teriak. Namun tentu kau tak akan mendengarku. Tak akan ada yang mendengarku. Aku melayang-layang dalam rumah. Aku tabrak semua barang. Namun tak satu pun yang bergerak.
Tubuhmu nampak semakin indah.
Tubuhmu. Tapi kini tubuhmu tak lagi telanjang, tapi mengenakan kemeja dan celana jeans. Berarti tubuhmu telah bergerak selama aku pergi. Bagaimana mungkin? Bagaimana kau bergerak sementara aku pergi meninggalkanmu. Tubuhmu adalah tubuhku.
Itu tubuhku! Aku berteriak tiba-tiba entah pada siapa. Ketakutan semakin merajalela. Aku tak dapat memasuki tubuhku sendiri. Aku hanya melayang berputar-putar seperti layangan putus. Ketika aku melihatmu terbangun. Berdiri. Berjalan menuju kamar. Lantas berbalik, mengarah ke dapur. Memanaskan air. Menyeduh teh. Dan membawanya ke ruang tengah. Tubuhmu menyalakan komputer. Menyalakan sebatang rokok. Aku menghalang-halangi. Namun aku, tubuhku, kau tembus begitu saja. Ah, matamu yang terus terpejam itu, membuatku seperti gila.
Itu tubuhku! Aku berteriak berulangkali. Kini dengan tangisan dan jeritan.
Tubuhmu mulai menulis di komputer. Asyik sendiri.
Aku melihatmu. Hanya dapat melihatmu. Aku ingin memasukimu. Tubuhmu adalah tubuhku. Tubuhku. Aku melayang kesepian di sudut ruangan. Tak tahu hendak bagaimana. Sungguh, mulai dapat kupahami kau hidup sambil tertidur. Namun kini, aku tak dapat mengerti bagaimana dapat kau hidup tanpa nurani, tanpa hati. Barangkali seluruh penghuni negeri penidur ini tak hanya hidup dalam tidur, barangkali mereka juga hidup tanpa hati, tanpa ruh. Seperti jarum detik. Seperti mesin. Seperti robot. Seperti tubuhmu kini. Tubuhku, tubuhku. Alangkah malang tubuhku.
Aku terus mengingat cara untuk dapat memasukimu. Aku ingin menceritakan perjalananku. Aku ingin mengajakmu untuk menulis dengan mata terbuka. Namun aku hanya dapat melayang-layang. Tersesat sendiri tanpa tubuh. (*)
 .
.
Kedungpanjang, 2011
Toni Lesmana lahir di Sumedang 25 November 1976. Menetap di Ciamis, Jawa Barat. Ia juga menulis puisi dan cerita dalam bahasa Sunda.



source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Setta SS (Sumatera Ekspres, 8 Mei 2011)

Ada sebuah kolam ikan tak jauh dari sekolahku. Kolam ikan itu milik Wak Jasim. Aku selalu melewatinya ketika berangkat atau pulang ke rumah dari sekolah. Di kolam ikan itu ada ikan mujahir, nila, lele, dan ikan emas. Aku suka melihat ikan-ikan itu berebut makanan ketika Wak Jasim memberi mereka pakan.  Mereka selalu makan bersama-sama dengan ceria. Jujur, terkadang aku iri melihat keakraban mereka. Aku sangat berharap, aku pun bisa lebih dekat dengan keluargaku seperti keakraban ikan-ikan di kolam Wak Jasim itu….
MALAM semakin beranjak matang. Lelaki muda itu semakin hening. Tetapi sepasang matanya tak jua redup meski sedari tadi sudah diserang jarum kantuk bertubi-tubi. Tiba-tiba perasaan ganjil menyelinap lindap. Ia seperti meridukan sesuatu yang entah. Sesuatu yang tak wujud, tak terdefinisikan. Mungkin, seperti keceriaan ikan-ikan di kolam Wak Jasim kah?
***
Kanvas raksasa berpigura horizon diperciki jelaga pekat berhiaskan sepotong bulan pias yang bergantung malas di batas cakrawala dilingkupi awan nimbostratus lebih tampak segerombolan bulu domba. Kesenyapan adalah melodi paling harmoni yang telah disepakati bersama untuk disenandungkan sekelompok orkestra alam. Nadanya yang dingin tak berkawan melenting ke pori-pori udara lembab, terpantul tak hanya di pucuk-pucuk dedaun basah dan ceruk-ceruk bah aspal jalanan yang tak lagi mulus karena hujan sepanjang sore, namun sanggup menembus ke balik dinding-dinding batu kamar kontrakan di salah satu gang kompleks perumahan padat sebuah kota satelit; menelusup lewat ventilasi udara, bagian bawah pintu yang tak rapat sempurna, dan kisi-kisi jendela yang beku. Seperti mantra sihir menghiptonis, murajab mengatupkan mata-mata lelah seluruh penghuninya setelah merentang otot seharian. Oh, tidak, kamar di paling ujung ternyata masih menyiratkan tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
Sebuah kamar maskulin? Sebuah beker antik terduduk pasrah di pojok meja kecil berkaki pendek, hampir menempel ke dinding, di tengah ruangan. Putaran jarum merah yang mengatrol pergerakan dua jarum lainnya terdengar khas. Di dekatnya sebuah wadah berbentuk balok berdiri dari potongan kaca yang direkatkan lem berisi penggaris mika dua puluh senti, dua buah pensil gambar, sebuah bolpen berisi tinta empat warna, dan sisir mini setia menemani. Ambal coklat tebal dan dua kasur lipat yang menutup lantai keramik kamar itu sempurna menyerap gebyar cahaya neon yang menempel di kanopi asbes. Sebuah cermin besar di dinding memotret bayangan di sebrangnya; sepotong span hitam, kemeja lengan pendek biru, sehelai koko baru, peci shalat dari rajutan nilon abu-abu biru, dan singlet putih tergantung rapi di sebalik pintu.
Di sudut lain, di antara lemari kayu kuning gading dan rak buku raksasa yang menutup lebih separoh dinding timur kamar, sebuah papan agenda harian dari karton licin terpasang elegan. Cardboard  berlapis gabus setebal satu senti itu hanya ditulisi dua kalimat pendek tulisan tangan spidol merah darah: Winners don’t do different things. They do things differently. Ungkapan Shiv Khera yang dikutip dari You Can Win, buku pertama sosok Indian yang meledak di pasar lintas kontinental itu. Apakah penghuni kamar itu mengidolakan motivational speaker pencipta metode Blueprint for Success yang mencakup point-point berikut ini: motivasi, sikap, ambisi, kepemimpinan, teamwork dan harga diri? Sejatinya ia tak pernah mengidolakan siapa pun, ia hanya terpenjara pada selarik rangkaian huruf-huruf yang ditulis-ulangnya itu. Tak lebih. Dan memang begitulah faktanya. Ia cukup bangga mengidolakan dirinya sendiri.
Tak ada perabot lain di ruangan tiga kali empat meter itu. Selain galon air mineral dan gelas bening berlengan menangkup di mulut galon. Tak ada asbak berjubel abu kuntung atau sobekan bungkus kopi instan. Karena penghuninya tak pernah merengek minta ditemani keduanya saat harus melek hingga larut sekalipun. Ia, seorang lelaki muda berkaos oblong dan bersarung, sedang duduk khusyu di tengah ruangan menghadapi sebuah meja kecil berkaki pendek.
PERCAYAKAH ANDA BAHWA SAYA ADALAH ORANG TERHEBAT SEDUNIA?
Kamu dapat membaca dengan jelas kata-kata itu tertera pada bagian pungggung kaos oblong yang dikenakannya, menggunakan huruf balok dengan warna kontras.
99% responden menjawab YA dan 1% menjawab TIDAK. Survey telah dilakukan pada 100.000.000 orang dan Anda adalah orang yang terakhir.
Kelanjutan kalimat itu, agak jauh letaknya ke bawah hampir mendekat ke pinggangnya.
Hmm… kamu tak sepenuhnya keliru jika menerka ia tipikal robot kapitalis yang lebih sering lupa waktu, kadang lupa diri, dan tak pernah sudi diganggu. Hampir setiap malam, di saat semua penghuni kontrakannya lelap dijerat mimpi, ia masih akrab berkutat dengan sederetan bahasa pemograman. Tahukah kamu, deret bahasa sandi itu cinta matinya selama beberapa tahun belakangan ini. Simbol-simbol latin itu tak lain nyawanya yang sesungguhnya. Hatinya seolah telah beku, tak tersentuh, tak menyisakan ruang bagi sosok gemulai—di matamu, namun kadung terpatri dalam benaknya sebagai pencipta horror. Ia pun setia menjadi diri sendiri di usia yang semakin matang dan mandiri.
Tepat pukul dua puluh tiga lewat tiga belas menit sembilan belas detik. Keruwetan program yang sedari dua jam sebelumnya sudah ia pelototi ternyata membuatnya jengah juga kali ini. Saat vakum itulah tiba-tiba sebuah pesan singkat dari nomer Ayahnya membuyarkan konsentrasi lelaki muda itu pada monitor 12 inci di hadapannya. Special message alert tone ponsel mungilnya purna merobek keheningan yang berdentang akut di dasar palung hatinya.
O ya, sebaiknya aku perkenalkan terlebih dahulu nama lelaki muda itu padamu: Satria—ya, kamu panggil sajalah dia Satria. Nama lengkapnya sangat panjang. Tapi ingat, jangan dibaca “Satrio”, dia sangat tidak suka itu. Karena ia merasa bukan Jawa, alibinya ketika aku tanyakan hal itu padanya.
“Pa, aku ado PR English. Disuruh buat karangan tentang lingkungan alam sekitar sekolah yang aku lihat. Minimal satu paragraf. Contohnya, I see landscape. Aku dak biso cara nyusun kalimat dan kata-katanyo. Kato guru aku, yang dinilai tu cara penyusunan kalimatnyo. Tolong carikan, Pa, aku dak biso. Besok ngumpulnyo!”
Bibir tipis Satria hanya sedikit merekah; namun tampang kecutnya membongkar pasang sebuah program berbasis bahasa C++ untuk simulasi aliran supersonic—sebenarnya ia hanya sedang mencoba-coba saja karena bukan bidang pemograman keahlian utamanya, tak sempat berganti rona. Pesan singkat itu forward-an dari SMS adik perempuannya. Ayahnya ternyata sedang di perjalanan dinas dan tak sempat menyusun sebuah karangan pendek dalam bahasa Inggris untuk memenuhi permintaan bungsunya, gadis kelas tujuh di sekolah menengah.
Ia memilih acuh dan kembali menatap himpunan kode-kode numerik pada layar monitor. Ada kehampaan merayap seketika di lembar-lembar membran otaknya tanpa bersuara. Ya, meski kamu lihat matanya menancap lekat di deret angka-angka buta.
Ia beralih ke pesan singkat itu lagi.
Inilah kesempatan yang kau tunggu-tunggu itu! Sebuah hardikan menghentak alam bawah sadarnya.
Ia ragu.
Terpaku.
Bisu.
Dan hardikan itu sekali lagi mencibirnya, menghempaskannya pada sebuah ruang kosong dalam lipatan waktu.
Maka, kini ia hendak membuka kembali laci memori paling bawah di lemari otaknya yang sudah sekian lama diabaikan. Kawan, jika kamu penasaran coba tengoklah sendiri apakah tampak debu lekat menempel di sekujur permukaan laci memorinya itu? Aha! Beruntunglah ia masih menyimpan kunci gembok kecilnya, tergantung di satu sudut nuraninya. Pengembaraan menembus belantara kelam masa silam pun dimulai.
Ia teringat sketsa sebuah bangunan permanen di sebuah desa satu jam dari pusat keramaian ibu kota kabupaten, tersempil di satu ruang kecil di bagian selatan luasnya bongkahan tanah Andalas. Sketsa itu kini semakin jelas di pelupuk matanya. Mula-mula sebuah gerbang kokoh dari jalinan batang besi setinggi dua meter warna hijau lumut. Kemudian beranda depan rumah bercat putih dengan besi-besi seukuran telunjuk sisa coran yang mencuat tepat di atasnya. Sebuah meja antik, dua kursi plastik, dan sebuah kursi rotan yang anyamannya bolong tepat di tengah dudukan pantat untuk duduk santai dulu teronggok di sana. Namun ia sudah lupa detail bagian-bagian di dalam bagunan itu. Tentu saja, ia pun tak ingat lagi setiap sudut di bagian luar yang dulu berhalaman sangat luas itu. Yang masih terekam jelas hanya serumpun pohon jeruk nipis di pinggir pagar jeruji besi yang buahnya sangat lebat dan tak bosan ia buatkan minuman segar di siang terik. Genap delapan tahun ia tak menginjakkan kaki di lantai keramik putih bangunan permanen itu. Keramik putih? Itu dulu, entah sekarang, mungkinkah sudah berganti keramik merah delima?
“Teras depan rumah sudah diperluas sekarang. Banyak pot bunga kesayangan Mamamu di sana. Mirip toko bunga.”
Ayahnya berseloroh setengah bercanda, beberapa waktu sebelumnya, berpromosi meyakinkan saat memintanya pulang barang beberapa hari saja. Saat itu ayahnya menyempatkan mampir selagi tugas ke ibu kota.
Ia bergeming.
“Di samping kiri bagian belakang rumah, yang dulu tumbuh rindang pohon pelem itu, kini sudah disulap menjelma garasi mobil,” Ayahnya tak jera, terus saja bercerita tentang kediaman mereka terkini.
“Garasi mobil dinas?” gumamnya retoris, sekadar memastikan.
Apa kabar pohon salak dan durian di belakang rumah?
“Kolam 2 x 4 m di pinggir tembok jalan belakang rumah itu untuk induk gurame. Di pinggir tembok Wak Jasim, sepanjang tiga puluh meter, kandang entog. Rencana untuk kandang bebek kapasitas 500 ekor,” kata Ayahnya lagi.
Seketika ia teringat tingkah konyol bersama ketiga adiknya tak jauh di pinggir kolam ikan berair jernih yang sekarang ternyata sudah dibeton semua itu. Kolam ikan itu dulu bertabur pawai ikan mas dan nila. Suatu ketika, kepala adik bungsunya nyaris tertimpa sebutir kelapa tua yang jatuh tanpa permisi dari pohonnya di pinggir kolam itu.
Namun lagi-lagi kehampaan seolah tak lelah mencibirnya sempurna. Kekonyolan itu sudah jauh digerus waktu yang terus gegas melaju tak hirau jeritan pilu dan rintik sendu yang diam-diam menyatroni hatinya kini. Waktu yang tetap diam dan terus berjalan tanpa memihak pada siapa pun, tanpa membantu siapa pun; tak pernah kalah, tak akan usang, selalu baru, selalu tegar dan segar. *
Ke mana masa-masa penuh senyum itu sirna?
Satria menelan ludah serta merta. Tenggorokannya tiba-tiba seperti kram. Tak ingin ia mengingat kembali saat-saat keputusan paling sulit itu menjelma satu-satunya opsi yang paling diamini neutron syaraf di otaknya. Tak sudi ia terseret arus kembali ke pusaran sebuah episode kelabu. Tentang ide-ide yang selalu bersebrangan dan tak pernah menemukan titik temu. Tentang mufakat yang tak lebih indah dari slogan demokrasi, seekor makhluk asing di planet antah-berantah. Kecuali titah tak terbantah. Wanita itu diktator setara Hitler di hadapan goliath pada sosok hijaunya kala itu. Ya, dan ayahnya tak pernah benar-benar terlibat atau sengaja melibatkan diri dalam perseteruan antara ia dan wanita yang seharusnya dijunjung setinggi langit sepenuh bumi itu.
Sesungguhnya perasaan terbuang adalah bencana paling kronik. Seolah wanita itu hanya menanam janin di perutnya dan lantas membuangnya ribuan mil ke tanah sebrang. Membuang? Jika tidak, adakah seorang yang mempunyai naluri Hawa sanggup berpisah dari buah hatinya hanya sesaat berselang setelah kehadirannya? Dan dua puluh tahun terasing sebelum kembali dengan penolakan tersembunyi. Hanya itu yang dimahfumkannya selama ini.
Dirinya adalah alien yang sempat tersasar di hunian berlantai keramik putih itu dulu. Hingga pada akhirnya ia memilih tak pernah kembali. Hanya sesekali saja menengok sepasang lelaki tua dan nenek renta yang sangat bersahaja telah merawatnya sejak bayi merah di sela aktivitas perkuliahannya yang padat—ia sengaja memadatkannya dengan aktif di berbagai forum kampus, di sebuah universitas negeri tertua di Jawa. Dan, hampir satu dasawarsa bisu menihilkan sapaan kedua anak beranak itu.
“Hidup adalah sebuah misteri dini hari yang sangat pekat. Akan naas jika sudi tenggelam dan hanyut dalam lautan sentimentil berlebih. Ada kalanya kita harus legawa,” suatu waktu kata ayahnya, seolah ditujukan pada dirinya sendiri yang tak pernah sanggup mendinginkan konflik dua belahan jiwanya. Sosok yang mulai beranjak sepuh itu menatap dalam ceruk matanya bersahabat, tak pernah ada kesan menghakimi terdeteksi olehnya. Selalu begitu, bertahun-tahun, tak pernah berubah, tak mengenal lelah.
Ia mencoba tersenyum tulus menghormati. Tetapi bayangan seorang pemuda lugu yang sedang duduk mencangkung di ruang tengah rumah berlantai keramik putih itu, lebih sepuluh tahun silam, akan selalu hadir menghantui. Hujan deras, petir menggelegar, listrik mati, perut lapar, pemuda lugu itu terisak, tak mengerti kenapa ia ditinggalkan sendiri, tiga hari berturut. Pemuda lugu itu tak lain adalah dirinya yang baru tiba dari Jawa untuk menghabiskan liburan sekolah. Ayahnya tak tahu apa-apa tentang perlakuan itu karena sedang bertugas ke luar kota sejak beberapa hari sebelum kedatangannya. Adiknya yang paling besar tinggal di asrama sekolah, sedang dua yang paling kecil belum tahu apa-apa untuk dilibatkan dalam sebuah rahasia pelik itu. Wanita itu memboyong kedua adiknya meninggalkan rumah mereka ke kontrakan salah seorang famili tanpa permisi.
“Kau orang berilmu, Nak. Masa lalu akan menjadi catatan usang yang teronggok di lemari buku penuh kecoa,” lirih Ayahnya, kali ini lewat mimpi yang memaksa kedua matanya kembali terbuka tak lama berselang setelah terpejam pada suatu dini hari yang menggigilkan tulang.
Hingga pada akhirnya ia luluh, tersedu sendiri. Ego diri yang selama bilangan tahun diagungkannya melumer di hadapan lelaki pengasih itu. Kamu harus percaya, sesungguhnya ia tak sudi menyerah begitu saja. Namun mata elangnya tak kuasa melawan arus tatapan sepasang mata teduh itu setiap kali ia memberanikan diri menatapnya saat bersua. Sepasang ceruk beretina coklat tua yang menceburkannya pada sebuah kolam yang sangat dalam tak berombak tak beriak. Ia pun takluk dengan penghormatan tertinggi di dalamnya.
Tapi boleh jadi bukan itu penyebab sesungguhnya. Ia hanya sudah lelah dengan kesendiriannya. Mungkin. Ia memang merasa terbuang, namun ia yakin lelaki sepuh yang ia panggil Ayah itu tak pernah membuangnya. Ia pun hanya mengiris dendam pada seseorang yang tak ingin disebutnya lagi. Dendam? Entahlah kini. Ia hanya ingin memulai. Tak ada salahnya untuk memulai sebuah episode baru bukan? Ya, mungkin saja saatnya baru saja tiba.
Setelah membaca sekali lagi pesan singkat itu, memori otaknya kembali terlempar ke suatu lipatan masa, pada Wak Jasim, tetangga belakang rumahnya yang bertani ikan di lahan Ayahnya. Dulu ia beberapa kali menemaninya memberi pakan ikan-ikan lincah itu di kolamnya.
Satria mulai menggurat untaian kata di ponsel mungilnya dalam bahasa Inggris sesuai permintaan di SMS itu….
….
Beberapa kali jarum detik jam beker tak jauh darinya bersender ke dinding kamar mengitar sempurna tiga ratus enam puluh derajat. Pesan terkirim. Ia termangu. Kesendirian yang melabirin. Seperti menggerogoti nadi keakuannya.
Malam semakin beranjak matang. Lelaki muda itu semakin hening. Tetapi sepasang matanya tak jua redup meski sedari tadi sudah diserang jarum kantuk bertubi-tubi. Tiba-tiba perasaan ganjil menyelinap lindap. Ia seperti meridukan sesuatu yang entah. Sesuatu yang tak wujud, tak terdefinisikan. Mungkin, seperti keceriaan ikan-ikan di kolam Wak Jasim kah? (*)
 .
.
Yogyakarta, 15 April 2010 – Jakarta, 7 April 2011 22:12 WIB
Setta SS, lahir pada penghujung 1981 di Lubuklinggau. Penikmat sastra, alumni Jurusan Mesin FT UGM, berkarya sebagai Analis Industri di Ditjen IKM Kementerian Perindustrian.
 .
Catatan:
* Kata-kata inspiratif Andrie Wongso tentang waktu.

Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Sitok Srengenge (Kompas, 8 Mei 2011)

MESKI sedang liburan di rumah neneknya di Desa Bangunjiwa, Amir tetap bangun pagi. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari. Kalau sedang tidak libur, Amir bangun pagi untuk bersiap ke sekolah. Amir selalu ingat nasehat Nenek, “Orang yang rajin bangun pagi akan lebih mudah mendapat rezeki.”
Di mata Amir, Nenek adalah sosok perempuan tua yang bijak dan pintar. Amir tak tahu apa makna nasehat Nenek itu, tapi ia merasa ada benarnya. Bangun pagi membuatnya tidak terlambat tiba di sekolah dan tidak ketinggalan pelajaran. Selain itu, bangun pagi sungguh menyenangkan. Hanya pada waktu pagi kita bisa menikmati suasana alam yang paling nyaman. Cahaya matahari masih hangat, udara masih bersih, tumbuhan pun tampak segar, seolah semua lebih bugar setelah bangun tidur.
Pagi itu Amir mendapati Nenek duduk sendirian di beranda depan. Rupanya, Nenek sedang menyulam bendera. Amir menyapa dan bertanya, “Selamat pagi, Nek. Benderanya kenapa?”
“Oh, cucuku yang ganteng sudah bangun!” sahut Nenek pura-pura kaget. “Bendera ini sedikit robek karena sudah tua.”
“Kenapa tidak beli yang baru saja?”
Nenek tersenyum. “Belum perlu,” katanya. “Ini masih bisa diperbaiki. Tidak baik memboroskan uang. Lebih untung ditabung, siapa tahu akan ada kebutuhan yang lebih penting.”
“Bendera tidak penting ya, Nek?”
“O, penting sekali. Justru karena sangat penting, Nenek tidak akan membuangnya.” Nenek berhenti sejenak dan menatap cucunya. “Kelak, ketika kamu dewasa, Nenek harap kamu juga menjadi penting seperti bendera ini.”
Amir mengamati bendera itu. Selembar sambungan kain merah dan putih. Tidak ada yang istimewa. “Apa pentingnya, Nek? Apa bedanya dengan kain yang lain?”
Pertanyaan Amir membuat Nenek berhenti menyulam. Nenek diam. Pintar sekali anak ini, kata Nenek dalam hati. Nenek merasa perlu memberi jawaban terbaik untuk setiap pertanyaannya. Untunglah, Nenek teringat Eyang Coelho, seorang lelaki gaek yang cengeng dan sedikit manja, yang membayangkan dirinya bersimpuh dan tersedu di tepi Sungai Paedra. Eyang Coelho pernah menulis sebuah cerita tentang pensil. Nah, Nenek akan meniru cara tokoh perempuan tua dalam cerita itu ketika memberikan penjelasan kepada sang cucu.
“Penting atau tidak, tergantung bagaimana kita menilainya,” akhirnya Nenek berkata. Bendera ini, lanjutnya, bukan kain biasa. Ia punya beberapa keistimewaan yang membedakannya dengan kain-kain lain. Keistimewaan itu yang patut kita tiru.
Pertama: semula ini memang kain biasa. Tapi, setelah dipadukan dengan urutan dan ukuran seperti ini, ia berubah jadi bendera, menjadi lambang negara. Merah-putih ini lambang negara kita, Indonesia. Setiap negara punya bendera yang berbeda. Dan semua warga negara menghormati bendera negaranya. Tapi, jangan lupa, kain ini menjadi bendera bukan karena dirinya sendiri, melainkan ada manusia yang membuatnya. Begitu pula kita bisa menjadi apa saja, tapi jangan lupa ada kehendak Sang Mahapencipta.
Kedua: Pada waktu kain ini dijahit, tentu ia merasa sakit. Tapi sesudahnya, ia punya wujud baru yang indah dan bermakna. Kita, manusia, hendaknya begitu juga. Sabar dan tabah menghadapi sakit dan derita, karena daya tahan itulah yang membuat kita menjadi pribadi yang kuat, tidak mudah menyerah.
Ketiga: Bendera akan tampak perkasa jika ada tiang yang membuatnya menjulang, ada angin yang membuatnya berkibar. Artinya, seseorang bisa mencapai sukses dan berguna karena ada dukungan dari pihak-pihak lain. Kita tak boleh melupakan jasa mereka.
Keempat: Makna bendera ini tidak ditentukan oleh tempat di mana ia dibeli, berapa harganya, atau siapa yang mengibarkannya. Ia bermakna karena di balik bentuk dan susunan warnanya ada gagasan dan pandangan yang diwakili. Begitulah, kita pun harus memperhatikan diri dan menjaganya agar tetap selaras dengan cita-cita dan tujuan hidup kita.
Kelima: Seutas benang menjadi kain, lalu kain menjadi bendera, dan bendera punya makna; karena diperjuangkan dan akhirnya dihormati. Kita juga seperti itu. Harus selalu berusaha agar apa yang kita lakukan bisa bermakna. Jadikan dirimu bermakna bagi orang lain, jika dirimu ingin dihormati.
“Begitulah, cucuku yang ganteng, sekarang kau mengerti?” ujar Nenek mengakhiri penjelasannya.
Amir mengangguk. Meski belum bisa memahami semua, ia menangkap inti dan garis besarnya: betapa penting arti sebuah bendera.
“Sudah, sana mandi dulu. Nenek akan menyiapkan gudeg manggar lengkap dengan telor dan daging ayam kampung empuk kesukaanmu.”
Amir menuruti saran Nenek. Ia masuk ke rumah sambil membayangkan kesegaran air sumur pedesaan.
***
Pada kesempatan lain, Amir mendapat tugas sebagai pengibar bendera pada upacara di sekolahnya. Seiring dengan lagu “Indonesia Raya” yang dinyanyikan serentak oleh para guru dan teman-temannya, ia menarik tali pengikat bendera agar Sang Saka Merah-Putih berkibar di angkasa.
Ketika bendera mencapai puncak tiang, semua peserta upacara khusyuk memberikan penghormatan. Saat itu Amir berpikir bahwa setiap orang di lapangan itu tak ubahnya sehelai benang. Sekolah tempat mereka belajar ibarat alat pemintal, tempat benang-benang itu menganyam dan meluaskan diri agar menjadi lembaran kain.
Kelak setiap lembar kain akan berguna. Ada yang menjadi baju, celana, selimut, atau taplak meja. Menjadi lap piring juga berjasa, meski tidak pernah dibanggakan dan murah harganya. Sebaliknya, jika menjadi pakaian, sering dipamerkan dalam acara-acara gemerlapan dan harganya bisa mencapai ratusan juta.
Di dalam hati Amir bertekad, ingin menjadi kain yang istimewa. Ia ingin menjadi lambang, seperti bendera. (*)

Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Wendoko (Koran Tempo, 8 Mei 2011)

KAFE adalah tempat perhentian. Tempat orang-orang bertemu atau singgah, pada satu jeda waktu. Tetapi pernahkah kau berpikir, berapa orang di kafe yang saling mengenal? Berapa banyak yang tak mengenal? Orang-orang selalu datang ke kafe, lalu duduk—sendiri atau mengelompok—dan berceloteh, pada satu jeda waktu. Atau hanya duduk diam, menyeruput kopi, dan mengamati sebelum akhirnya pergi lagi. Begitu banyak yang terjadi. Seperti waktu dan penggal peristiwa yang datang dan pergi.
Dan di kafe aku bertemu banyak orang, setiap hari. Orang-orang yang sama, dan berbeda. Kadang waktu aku berhenti di depan barista, atau ketika mengangkat muka dan melihat seseorang melintas. Atau ketika saling menatap dengan orang di seberang meja—seolah mengenali—untuk waktu sedikit lebih lama.
Aku katakan orang-orang yang sama, dan berbeda. Kadang orang yang sama, yang pernah singgah, kembali ke kafe. Ia akan datang pada jam yang hampir sama, meminta kopi yang sama, duduk di meja yang sama lalu berkutat dengan laptop untuk waktu yang lama. Kadang ia datang dengan tatanan rambut yang baru diubah, dengan pasangan lain, memesan kopi yang lain, lalu duduk atau berceloteh—tapi selalu berlarat-larat untuk segelas kopi.
Aku katakan, orang-orang yang sama—dan berbeda. Kadang orang yang sama tak kembali ke kafe. Orang lain yang datang, yang melewati pintu kaca, satu-satunya pintu kaca. Ia akan datang pada jam yang acak, tapi selalu mengulang adegan yang sama. Memesan kopi, menunggu di konter pengambilan, duduk diam atau berceloteh, berkutat dengan laptop atau telepon genggam, lalu mengotori meja dengan tisu, kertas gula, sedotan, dan kadang tumpahan kopi….
.
14 MEI.
Pintu kaca itu selalu membuka ke dalam, ketika seseorang mendorong atau menarik—mendorong untuk masuk atau menarik waktu keluar dari kafe.
Kafe tak terlalu penuh. Ada dua anak tanggung di meja dan bangku kayu. Lelaki dan perempuan berjejer di sofa jingga-ungu, di dekat palem kerdil dan rumput plastik dalam pot kayu. Lalu, di sudut yang agak redup perempuan itu termangu. Perempuan bersetelan Chanel warna gelap tapi bukan hitam, yang sesekali menyeruput kopi, dan menyeka mulut. Wajahnya agak bulat dengan rambut legam berserat cokelat dan mata agak sipit dan sedikit menukik di ujung dekat alis.
Tetapi aku tahu, sebulan yang lalu dua lelaki duduk di meja dan bangku kayu. Bercakap dalam suara rendah—lalu diam, sampai kafe hampir tutup. Dua anak tanggung bermain kartu di sofa jingga-ungu, sampai dua anak tanggung lain muncul di kafe. Di sudut yang agak redup, ada lelaki memesan dua gelas kopi. Lelaki dengan ujung kemeja menyembul, dan berdasi miring dengan manset. Wajahnya gembung, dan ia terus menelepon, dengan hanya satu gelas kopi, sebelum bergegas keluar dari kafe.
Kadang aku berpikir, orang-orang hanya masuk ke kafe, tapi tak pernah benar-benar keluar dari kafe. Seolah ada yang tertinggal pada dinding-dinding berwarna krem-muda, plafon cokelat-hitam, lantai separuh kayu dan separuh keramik dan karpet. Atau pada fasade kaca yang membingkai lanskap kota—dengan langit yang meleleh waktu hujan, gelap dan terang bertubrukan, bintik-bintik cahaya yang diam atau melingkar. Seolah coretan di sebuah kanvas berwarna hitam.
Dan pintu kaca itu selalu membuka ke dalam….
Di depanku ada caffe latte. “Campuran 1/3 espresso dan 2/3 susu,” kata barista waktu menyorongkan kopi dengan busa tipis sampai ke bibir cangkir. Lalu ada jazz menyeruak di ruang beraroma kopi—di tengah gradasi lampu-lampu, jingga dan kuning.
.
14 JUNI.
Kafe agak penuh. Suara-suara bergaung di setiap sudut—tapi tak ada yang kudengar utuh. Hampir tak ada bangku kosong. Di dekat kaca, seorang perempuan dengan rambut berserat marun dan kaos yang terbelah di bahu. Di depannya perempuan berkawat gigi dan berambut bop. Ada perempuan dengan anting-anting seukuran gelang, yang berkedip dalam cahaya lampu. Di dekat konter, seorang lelaki dengan pipi mengendur dan rambut tipis di kening yang sedikit berkerut.
Aku terus mengaduk caramel macchiato sambil mengamati warna putih-keruh di dasar gelas. Kukira itu steamed milk, yang perlahan menjernihkan warna espresso. Di muka gelas ada taburan serbuk cokelat, di tengah busa susu. Aku terus mengaduk dengan sedotan sampai susu bercampur, dan tinggal warna cokelat yang lembut.
Aku lalu menyesap kopi itu. Manis. Lebih manis dari cappuccino es.
Di sampingku, seorang lelaki tambun berkaos Lacoste dan celana Cinos. Rambutnya sudah mundur ke ubun-ubun. Mukanya gemuk, dengan kacamata plus. Sedari tadi kepalanya menggeleng, lalu mengangguk. Kakinya mengetuk-ngetuk, sesekali mulutnya melenguh. Ada earphone di telinganya yang juga gemuk.
Tetapi di depanku, di sudut yang agak redup—kulihat perempuan itu. Eh, bukankah perempuan itu juga duduk di sudut itu sebulan yang lalu? Malam ini ia bercelana jins hitam, dengan kaos biru-pekat di balik blazer hitam. Sedari tadi ia kelihatan merenung di bawah dinding cetakan mural di balik dua camgkir keramik mungil di meja. Tapi kopi apa yang diseduhnya dalam dua cangkir itu?
Aku terus mengaduk kopi. Warna cokelat lalu memudar, tapi masih ada endapan susu di dasar gelas. Kopiku tinggal setengah, tapi perempuan itu tak juga menyesap kopinya. Waktu aku masuk, rasanya ia sudah ada di kafe—dan aku lalu mengamati wajahnya yang putih dengan hidung agak mencuat. Tapi dua cangkir di atas meja? Adakah yang ia tunggu, malam ini?
.
14 JULI.
“Ini kopi konsentrat, yang didapat dengan menyemburkan air panas. Hasilnya, cairan mirip sirop yang kental. Larutan lebih padat, dan crema, busa cokelat kemerahan yang mengambang di permukaan.”
Aku lalu mengamati espresso dalam cangkir.
“…Kadar kafein kopi ini juga sangat tinggi. Satu ons cairan setara 1/3 kafein kopi lain dalam cangkir enam ons cair. Ibaratnya kopi tapi tak diseduh dengan air atau susu. Ini hanya satu shot.”
Aku lalu menyesap kopi itu. Agak pahit, dan waktu kuteguk ada rasa atau aroma asam yang tertahan di mulut.
Terdengar Miles Davis menyodokkan Summertime dengan trompet yang melantur, tapi mendesak. Ada ketukan-ketukan drum pada latar, yang menyendat. Satu kerangka musik dalam skala yang seperti pentatonik kukira, dan bernada A minor. Ada progresi harmoni yang lambat, menyarankan blues. Ada juga anasir lagu rakyat pada suara-suara yang seolah menyelusup angin itu.
Lalu kulihat lagi perempuan itu. Perempuan yang duduk sendiri, di sudut yang agak redup. Aku teringat, sebulan yang lalu ia juga duduk di sudut itu, diam, tapi tak menyeruput kopi.
“Perempuan itu sering kemari,” kata barista waktu mengantarkan cairan gula. “Dan duduk di sudut itu. Ia tak mau bangku atau sofa lain. Selalu begitu. Ia akan datang pada jam yang sama, tanggal yang sama, dan memesan dua espresso. Tapi ia tak menunggu siapa pun. Tak menelepon atau bicara pada seorang pun. Ia hanya duduk, dan meneguk satu cangkir. Pernah sekali, waktu ia muncul, sudut itu sudah ditempati pelanggan lain. Ia berbalik, lalu pergi…. Ah, kau juga memesan espresso malam ini?”
Aku lalu memandang perempuan itu. Malam ini wajah bulatnya agak redup. Mungkin karena ia duduk tegak dalam temaram lampu. Ia memakai blazer warna gelap, dan rok yang tertarik ke lutut waktu menyilangkan kaki. Di baliknya blus dengan satu kancing terbuka, memperlihatkan kalung di lehernya yang putih. Sedari tadi ia menatap ke satu titik di kafe, ke fasad kaca yang digelayuti gelap. Di luar hujan melompat liar, memukul-mukul kaca, pecah, lalu mencair.
Aku masih mengamati perempuan itu—meneliti wajahnya di tiap sudut. Juga waktu ia mengusap mulut dengan tisu. Kata orang, sekali kau dilukai, kau akan mampu melihat luka orang lain. Dan wajah itu seperti membuka diri, lapis demi lapis.
Malam terlamunkan di cangkir kopi….
.
14 AGUSTUS.
Kopi ini agak pahit, seperti kopi hitam tapi tanpa ampas. Warnanya juga cokelat-hitam—dalam gelas kertas merah-cokelat.
Americano. Ini espresso yang diseduh dengan air panas. Satu atau dua shots dalam 16 ons air. Americano itu menghilangkan crema. Sama kuatnya dengan drip coffee, tapi berbeda rasa. Ada banyak varian. Lungo misalnya, yang mengekstraksi espresso untuk waktu lebih lama dan dengan lebih banyak air. Atau red eye, seperti drip coffee tapi tak diseduh air panas.”
“Kau tak takut aku mencuri resep-resep ini?”
Barista itu tersenyum, “Sobat, kau bisa membaca di mana saja. Tapi tiap kafe punya ramuan sendiri. Juga soal kecakapan si peramu, aku sendiri.”
Tapi malam ini ada yang berubah di kafe. Ada lemari-lemari merapat ke dinding berisi gelas dan cangkir. Lalu tumbler dan coffee press dalam aneka bentuk dan ukuran. Di dinding samping cetakan mural, ada potret hitam-putih. Juga lukisan bermotif batik.
Selebihnya hanya aneka sofa dan kursi yang ditata dalam pola lingkar baris.
Kafe agak kosong. Perempuan muda dengan kereta bayi di meja dekat pintu. Perempuan lain membaca buku di dekat partisi lengkung. Ia berkaos turtleneck warna ungu, yang terus ditarik-tariknya selagi ia membaca buku. Rambutnya digelung. Hidungnya agak bengkok, dengan pahatan tulang pipi yang menonjol. Jari-jarinya berderap di tepi cangkir, yang mengepul.
Di sampingnya seorang lelaki termangu. Lelaki berotot, berambut cepak, dan sedikit berjanggut. Lehernya menjulur di balik dasi hitam dan kemeja marun. Ia juga membaca dengan mata mengernyit di balik kacamata tanduk.
Perempuan yang membaca buku mulai menyeruput kopi. Lelaki di sampingnya lalu menggeser kursi. Tapi buku apa yang dibacanya sejak tadi? Eh, Sex and the City!
.
SEKARANG, 14 OKTOBER.
Tapi kenapa ada bau rokok di kafe?
Hampir jam 8. Lampu-lampu menyorot di fasad kaca. Juga di pilar-pilar dan dinding krem-muda yang buram. Di muka konter pengambilan, lima anak tanggung di tiga meja yang terpisah masing-masing dengan laptop di meja. Dua perempuan di sofa bundar terus menelepon, berbicara terlalu cepat atau seperti terengah.
Terdengar trompet Miles melantunkan Boplicity, di sela saksofon dan trombon. Satu kerangka musik dalam harmonisasi alat tiup. Piano hanya muncul pada 1/3 terakhir lagu, dengan latar drum yang jauh. Sebuah cool jazz yang rileks, mengalir dalam struktur yang berkelok. Agak ketinggalan pada beat, dengan suara-suara teredam, yang terpola menguatkan akor.
Tapi kenapa ada bau rokok di kafe?
Di luar kafe, malam bertambah gelap pada langit yang dipenuhi lekuk-lekuk awan, yang lebih pucat. Cahaya membercak di rumput, helai daun, dan pelataran yang basah. Tapi ada kelengangan merangkak di dinding kaca. Lewat decit rem, klakson, aliran mobil, gedung-gedung memagar langit, atau siluet orang lalu-lalang tak bersuara.
Lalu ketukan-ketukan drum. Lalu dengung organ dan suara-suara berkelindan. Ada saat drum menghilang dan organ melambat. Saksofon menyodok perlahan. Lalu trompet, dan suara-suara undur ke belakang. Piano dan drum mendedas. Organ mendengung pada nada yang datar. Irama yang kaku, bergoyang tapi tak mengayun. Miles memainkan In a Silent Way yang kental dengan warna rock. Bukan rock, tapi tidak juga jazz yang biasa. Ada elemen sonata klasik. Tapi suara-suara kadang berselisih dalam irama tak standar dan bertumpu pada ekspresi. Suara yang tumpang-tindih. Begitu banyak suara, seolah muncul dari balik kepala. Sebuah gema, dalam disonansi yang retak mengendap, seolah kau masuk ke lorong saat subuh jam 3.
Tapi kenapa ada bau rokok di kafe?
…Eh, lama aku tak melihat perempuan yang duduk di sudut yang agak redup itu.
“Sejak malam itu, waktu kau memesan espresso, ia tak kembali ke kafe,” kata barista, yang malam ini bertopi bisbol dan bercelemek cokelat-karamel.
Hampir jam 9.
“Tapi ia menitipkan kunci di konter, malam itu.”
“Kunci….”
“Ya. Katanya seorang lelaki akan mengambilnya.”
Aku lalu teringat My Blueberry Nights. Hmm, kapan sebetulnya aku pernah menonton film itu? (*)
.
.
Wendoko telah menerbitkan buku-buku puisi Oratorio (edisi kedua, 2011), Sajak-sajak Menjelang Tidur (2008), Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa (2009) dan Selected Poems (terjemahan Inggris puisinya, 2010).

Source: http://lakonhidup.wordpress.com