Cerpen Riza Multazam Luthfy (Suara Merdeka, 19 Mei 2013)
Maling Amnesia ilustrasi Toto

PAGI-PAGI benar, perpustakaan kami sudah digaduhkan dengan kabar menyengat. Tari, perawan lapuk yang lebih dari tujuh tahun mengkhidmatkan diri demi kokohnya perpustakaan, berkoar bahwa telah terjadi pencurian besar-besaran terhadap barang berharga yang selama ini senantiasa kami bangga-banggakan: buku.
Kami benar-benar syok mendengar kabar tersebut. Terutama Pak Munandar, lelaki yang jika boleh diibaratkan adalah ponsel butut karena fungsi pendengarannya nyaris hilang, yang pada awal berdirinya perpustakaan rela menggadaikan motor kesayangan, yang pulang larut malam setelah mencari sumbangan buku dari beberapa dermawan sebab kecintaannya terhadap loka penampung ilmu pengetahuan. Ya, ya, kurang tahu harus bagaimana kami menggambarkan perasaan lelaki bermisai abu-abu itu. Pasalnya, lantaran ditinggal kabur sang istri yang tak sanggup mewariskan keturunan, Pak Mun, begitu kami memanggil, melampiaskan kegalauan dengan menyulap garasinya menjadi perpustakaan mungil. Berpikir, paling tidak dengan membuka perpustakaan di rumahnya, setiap hari masih ada satu dua orang berkunjung, guna menyumpal hasrat mengetam beragam wawasan. (Maklum, waktu itu, di kampung kami, perpustakaan adalah tempat langka seperti juga bioskop). Dengan demikian, ia berharap, kesunyian yang ia rasakan tidak begitu mendalam dibanding apabila harus menduda dengan cara nongkrong di perempatan, mengekor bokong perempuan yang berlalu-lalang sambil mengeremus dua bungkus kretek murah.
Gairah menumbuhkembangkan perpustakaan dipupuk dalam-dalam oleh Pak Mun. Atas dasar itulah, selain melengkapi koleksi perpustakaan dengan membeli bahan bacaan di luar kota dan mengajukan proposal ke sejumlah penerbit, ia pun merekrut dua karyawan guna membantu menarik minat pengunjung. Pilihan pertama jatuh pada Tari, lengkapnya Wina Suntari, bukan atas kecakapan yang dipunyai, akan tetapi lebih karena rasa iba Pak Mun kepadanya. Bagaimana tidak, perempuan yang sudah berulang tahun ketigapuluh dua itu dari dulu berangan agar tahun depan seorang lelaki, entah jejaka maupun duda, mau meminangnya. Nyatanya, kucing pun enggan mendekat. Guna meringankan penderitaan batin Tari, Pak Mun menawarinya bergabung. Dan, perempuan berwajah awut-awutan yang mendapat sebutan Mak Lampir dari para tetangga itu mengangguk, tanda setuju. Adapun pilihan kedua jatuh pada saya, Milan Kundera.
Bohong!
Tentu, bukan nama sebenarnya. Siapa mau percaya bahwa saya adalah sastrawan Cekoslovakia, yang pernah didaulat sebagai salah satu novelis besar Eropa pasca-Perang Dunia II. Terdapat selusin alasan mengapa saya memakai nama samaran. Di antara yang paling penting yaitu saya merasa malu, apabila ada penjaga perpustakaan bernama Sutaji. Nama yang lebih tepat dan lebih cocok bertugas memelihara keamanan gudang tembakau ketimbang gudang ilmu. Kriteria Pak Mun jelas: saya adalah pemuda pengangguran setelah sekian lama mengantongi ijazah SMA.
Emmm…. Tunggu! Tunggu! Fokus pembicaraan kami bukanlah pada sejarah berdirinya perpustakaan. Sungguh. Bukan, bukan. Sebagaimana pada paragraf pertama cerita ini, kami tengah dikejutkan dengan kabar menggemparkan. Kabar mengenai pencurian berencana yang barangkali bertujuan menghina atau menyalakan api curiga atau menggelorakan siasat adu domba atau sama sekali tanpa maksud yang ringan dikunyah logika.
Dan, ketahuilah! Sesungguhnya letak kegeraman kami bukan pada keberingasan pencuri yang nekat menyikat dua puluh buku sekaligus. Selama ini kami berslogan, “buku hilang, tersebar pengetahuan”, sehingga kami pastilah ikhlas seikhlas-ikhlasnya apabila ada beberapa buku raib. Kami berani bertaruh, jikalau bahan bacaan tidak kembali, itu berarti si pencuri memanfaatkan apa yang disikatnya untuk kebaikan. Toh, semua pembaca mengerti, Chairil Anwar mengembat buku demi membungkam nafsu kepenyairannya yang meraung-raung.
***
KALIAN tahu? Kebencian yang telanjur kami tancapkan di ubun-ubun lebih mengarah pada aksi bejat yang mengoyak buku-buku kami. Benar. Pagi itu, pagi dengan udara berlesatan ke sana kemari itu, Tari menemukan sobekan kertas memadati tempat sampah yang teronggok di depan pintu masuk perpustakaan.
Mendekat.
Terperanjat.
Menyadari bahwa sobekan tersebut adalah buku. Lebih terperanjat lagi, saat mendapati beberapa sampulnya dibiarkan utuh, sehingga Tari mengetahui, yang menjadi korban kekerasan tersebut adalah “warga” perpustakaan. Apalagi, semua yang dicelakai adalah “anak-anak kesayangan” pak Mun, semisal: Penyambung Lidah Rakyat, Di Bawah Bendera Revolusi, Madilog, Catatan Seorang Demonstran, Hujan Bulan Juni, dan lain-lain, yang setiap hari ditimang dan dirawat oleh Pak Mun seraya berkata, “Dalam diri mereka tersimpan secuplik memori tentang belahan jiwa saya.”
Sengaja melumat buku tanpa perlu membumihanguskan dengan cara membakar misalnya, pencuri menghendaki penyesalan berlarut-larut dalam diri kami, khususnya Pak Mun, yang genap memperlakukan buku seperti anak kandung sendiri.
Serampung rembuk bersama, mulailah kami menduga-duga otak siapa yang mereka-reka tindakan busuk ini. Sebagaimana Lombroso yang menggolongkan penjahat berlandaskan anatomi tubuh, kami pun bersyakwa-sangka berdasarkan ciri-ciri fisik tiga orang yang kiranya pantas disebut pelaku nista, keji dan terkutuk dalam mayapada aksara.
Pertama, lelaki bongkok bermata juling. Hingga cerita ini diabadikan, namanya belum sempat terdaftar sebagai anggota perpustakaan. Tiga hari yang lalu, ia datang sekoteng tanpa menyapa seorang pun di antara kami. Perilakunya mencurigakan. Sebentar-sebentar memperhatikan sekeliling lalu memperbaiki posisi duduknya yang agak miring. Di punggungnya tergantung kantong putih kumal yang, rasa-rasanya cukup longgar untuk menampung tiga buah televisi sekalipun.
Sambil mencatat beberapa buku yang keluar, saya menguntit gerak-geriknya. Tingkah laku ganjil, membikin beda dengan yang lain. Didukung pula pakaian serba tambal di sana-sini. Tampang kumuh, amburadul. Bertelanjang kaki. Baunya mirip ikan tengiri membusuk berhari-hari.
Inilah pelakunya, saya berkeyakinan dalam hati. Namun, untuk lekas menghakimi, sepertinya bukanlah hal bijak. Ketika ratusan pertanyaan berdesakan di kepala, barulah saya mengorek keterangan dari Jono, pengunjung setia dari kampung sebelah. Jono mengernyit. Rentetan gelombang berenang di dahinya. Rupanya aku salah. Sekali lagi, salah. Lelaki yang belum terdeteksi namanya itu adalah gembala yang berniat mencari pangan buat kerbaunya. Mampir sebentar, sekadar memastikan gerangan apakah yang kerap dirubung manusia. Makanya, geleng-geleng kepala ia ketika sepasang kakinya mulai menjauh dari perpustakaan. Kurang percaya, jika di dunia yang bising ini, buku justru menjadi magnet tersendiri. Dan, bukannya rumput yang rajin ia buru bersama para gembala lainnya, demi menghidupi nasib binatang asuhan.
Kedua, perempuan berbadan tambun dengan tujuh gelang melingkar di lengan. Senin, dua hari sebelum cerita ini singgah di telinga kalian, ketika ia menginjakkan kaki di perpustakaan, beberapa perempuan di dekatnya langsung menghindar, layaknya pembeli tiket kereta api kelas eksekutif yang direcoki calo bermuka garang dengan bekas bacokan di leher. Mulanya, Tari menyambutnya ramah dengan bertanya buku apa yang sedang dicari. Aneh. Perempuan itu malah berkacak pinggang, melengos, seraya menunjukkan tampang bersungut-sungut.
Dengan ciri-ciri demikian, akhirnya Tari menyimpulkan bahwa perempuan itulah pencurinya. Bersandar pada logika dan alur peristiwa, Tari menganggap, menyingkirnya para pengunjung disulut oleh kebencian begitu mendalam. Kebencian terhadap perempuan yang diam-diam telah mengutil perhiasan, celana dalam, bahkan harga diri mereka, sehingga para suami terlihat dingin ketika beradu paha melawan dingin malam. Tak ayal, apabila kebiasan buruk inilah yang mengantarkannya rentan tertuduh melakukan hal serupa, jika suatu saat terjadi pencurian, termasuk buku, misalnya.
Namun, nyatanya dugaan Tari meleset. Sepenuhnya meleset. Perempuan yang pada daftar pengunjung menggoreskan nama Yatmi tersebut adalah pasien rumah sakit jiwa yang kabur dua bulan terakhir dan berkeliaran di kampung sekitar sebab ditinggal mati kekasihnya, padahal ia tengah bunting. Terbukti dengan munculnya tiga petugas kesehatan yang tanpa permisi tiba-tiba bertanya tentang perempuan berbadan tambun dengan tujuh gelang melingkar di lengan. Terang saja Tari terpingkal-pingkal. Bukan meladeni pertanyaan yang disodorkan dengan cara membabi-buta itu, akan tetapi, tawanya meledak lantaran kengawurannya dalam berprasangka terhadap orang setengah waras.
Ketiga, pemuda tanggung bermata sipit yang gemar menjemur liur di sudut bibir. Melihat tampangnya yang kerap memelas, kurang tega saya dan Tari menuduhnya pencuri. Namun, lain dengan Pak Mun. Penuh percaya diri dengan gaya bicara yang khas, ia bersikeras bahwa pemuda itulah penjahatnya. Sesuai pengakuannya, kemarin sore ia melihat pemuda bernama Toni tersebut mencongkel pintu perpustakaan memakai linggis.
Hampir saja saya dan Tari terkecoh, jika saja tidak ada ralat. Benar. Belum genap sepuluh menit, Pak Mun menarik kembali kata-katanya. Baru ingat, sebenarnya ialah yang memerintahkan Toni untuk membuka paksa perpustakaan, lantaran kuncinya hilang atau tercebur sumur atau tertinggal di kuburan saat mengantarkan kambingnya yang mati ditabrak tronton atau sebab lain yang luput dari otak Pak Mun. Kami didera khawatir, jika orang yang sering menadah pujian atas perjuangannya memerangi buta aksara tersebut mulai mengidap amnesia.
Kekhawatiran kami menebal, ketika Pak Mun nampak bingung mencari foto-foto Yunahar, mantan istrinya, yang dulu ia simpan di dalam buku-buku favoritnya. Tentulah kami tergeragap. Kami tahu, akhir-akhir ini, ingin sekali ia melenyapkan seluruh kenangan bersama sang istri. Hal ini mengindikasikan bahwa biang keladi di balik kejahatan terbesar yang melanda mayapada aksara adalah Pak Mun, si maling yang amnesia. (*)


Yogyakarta, 2013

Catatan:
Cesare Lombroso (1836-1903) adalah pakar kriminologi Italia yang pada 1875 menuangkan gagasannya dalam L’Uomo Delinquente (manusia kriminal). Teori Lombroso yang terkenal yaitu born criminal, insane criminal, dan criminoloid.

Riza Multazam Luthfy, penulis cerpen, sajak, dan esai, tinggal di Yogyakarta.


 source: http://lakonhidup.wordpress.com

Cerpen Sungging Raga (Media Indonesia, 19 Mei 2013)

Cartesia ilustrasi Pata Areadi

SIAPAKAH yang berani mengganggu hantu terbang Flying Britishman di Stasiun Kingscote yang sudah tak digunakan sejak puluhan tahun lalu itu?
Suasana remang selalu tampak setiap kali Stasiun Kingscote dipandang dari arah perbukitan Turners Hill. Konon, sudah lama stasiun itu menjadi tempat persemayaman makhluk halus. Dalam radius 2 kilometer dari stasiun, selalu terdengar suara dengung kereta api, hiruk-pikuk penumpang, gelak tawa, obrolan-obrolan dengan bahasa yang tak dimengerti.
Namun ketika kau mendatanginya, tentu saja kau tak akan melihat keramaian penumpang sebagaimana hiruk-pikuk suara yang kau dengar dari kejauhan. Di sana kau hanya akan mendapati sesosok makhluk hitam melayang di langit-langit stasiun. Sosok itu laki-laki, dan ia akan menyambutmu dengan suara menggelegar, “Selamat datang di Kingscote, apakah kau membawa Cartesia padaku?”
***
Sejak diresmikan pada tahun 1882, tepatnya di masa Ratu Victoria, Stasiun Kingscote telah memberikan cerita yang lebih beragam dari stasiun lainnya. Di stasiun itulah terjadi perpisahan Cartesia dan Horde, sepasang kekasih yang kisah cintanya menjadi panutan anak-anak muda daerah Inggris Selatan di akhir tahun 1800-an.
Cartesia adalah gadis tercantik yang kulitnya terbentuk dari aliran air, senyumnya terbalut salju dari Mediterania, dan gaunnya adalah balutan pelangi dengan ornamen daun-daun mapel merah dan kuning yang berguguran pada musim gugur di perbukitan Rusia. Sementara Horde adalah seorang lelaki pendekar pedang, perwira muda di distrik Birmingham, yang kala itu diakui sebagai daerah dengan pertahanan terkuat di wilayah kerajaan Inggris.
Dari ketenaran dan kegagahannya itu, maka tak bisa dimungkiri ketika suatu hari diketahui Horde dan Cartesia menjalin kasih, tak ada lagi pasangan manusia yang lebih sempurna dari mereka berdua.
Namun semuanya berubah ketika ledakan revolusi industri menghasilkan benda bernama kereta, yang dengannya komunikasi dan kehidupan sosial masyarakat Inggris berubah drastis. Rel-rel dipancangkan, lokomotif diperkenalkan, dan stasiun demi stasiun dibangun.
Masyarakat mulai menyenangi perjalanan dengan benda besi itu, termasuk pula Horde, yang asalnya memang memiliki jiwa petualang untuk menjelajahi kota demi kota. Dan sejak Stasiun Kingscote dibangun, keduanya sering berpisah. Cartesia yang masih takut dengan kereta, akhirnya rela membiarkan Horde untuk pergi demi menuruti hobinya berpetualang.
“Aku tak menyangka bisa melakukan perjalanan jauh dengan kendaraan besi,” ucap Horde suatu hari sepulang dari London Utara, melihat gudang senjata terbesar di Inggris.
“Ya. Asalkan perjalanan itu membuatmu semakin merindukanku,” balas Cartesia dengan manja. Awalnya Horde memang hanya pergi tiga hari sampai satu minggu, kemudian kembali lagi pada Cartesia.
Namun selalu tiba saat di mana seseorang tak kembali. Semua itu terjadi saat Horde berkata ingin berkunjung di kota pelabuhan Portsmouth, yang kala itu dikenal sebagai pusat perdagangan.
Satu hari. Empat hari. Enam puluh tiga hari. Lima belas tahun…
Ya. Lima belas tahun sejak kepergian Horde ke Portsmouth, Cartesia mulai cemas akan cintanya. Ia selalu duduk berjam-jam di Stasiun Kingscote sambil menyanyikan kidung-kidung kesunyian, kadang ia lantunkan lagu-lagu tradisional Inggris yang lirik-liriknya magis.
Lama-kelamaan Cartesia pun divonis gila, ia sempat dibawa ke rumah sakit dan diketahui bahwa saraf-saraf otaknya sudah tak bisa kembali seperti semula. Namun kedudukan Cartesia sebagai putri dengan kekayaan orangtua yang melimpah membuatnya mudah untuk kembali ke stasiun, duduk menyendiri di sana, menunggu cintanya.
Sejak saat itu, orang-orang mulai ketakutan untuk naik kereta dari Kingscote, setiap kali terdengar pengumuman kedatangan kereta, Cartesia selalu menjerit-jerit, berharap kereta itu mengembalikan kekasihnya.
Sementara di tempat lain, Horde mengalami jalan hidup berbeda. Ia berkenalan dengan Putri Nalea Mendieta, anak gadis seorang gubernur yang baru diangkat di kota pelabuhan Portsmouth. Horde lalu menikahi gadis itu, gadis yang usianya jauh lebih muda darinya, namun punya kematangan wanita yang sempurna.
Horde tentu tak sadar bahwa sesungguhnya ia sedang diliputi ilmu hitam. Ya, Putri Nalea telah bekerja sama dengan seorang dukun yang tinggal di dekat pelabuhan untuk membuat Horde takluk kepadanya. Sudah lama ia tahu kisah fenomenal percintaan Horde dan Cartesia, karena itu, ia pun meminta dukun itu untuk menghukum Cartesia.
“Buatlah gadis itu sengsara, kirimkanlah sihir ke Stasiun Kingscote. Akan kubayar kau dengan sebuah rumah di Fratton Park.”
Si dukun gembira dan setuju. Maka terjadilah pertarungan puluhan tahun antara cinta yang dibalut ilmu hitam milik Putri Nalea, dengan penantian suci yang rentan kerinduan milik Cartesia. Sejak saat itu, selalu ada kabut berwarna pekat menyelimuti Stasiun Kingscote, yang bagi para penduduk setempat adalah kutukan untuk Cartesia.
Gadis itu pun mulai ditimpa penyakit aneh, kulitnya tiba-tiba melepuh, muncul sisik dan benjolan bernanah di sekujur tubuhnya. Cartesia seperti kehilangan bahasanya, tinggal lengkingannya yang selalu terdengar menyedihkan.
Hanya satu orang yang masih berani mendekati Cartesia, seorang lelaki yang selalu datang ketika pagi dan senja untuk membawakan gadis itu makanan. Konon, ketika Cartesia masih jelita, ia adalah lelaki yang mencintainya namun telah seribu kali ditolaknya. Ia pun pasrah ketika Cartesia lebih memilih Horde. Namun kali ini, lelaki itu membuktikan bahwa cintanya lebih kekal dari ujian sihir yang menyelimuti stasiun tua itu.
Dengan sabar ia belai rambut Cartesia yang mulai kusut, memutih, mengering, dan kemudian rontok satu demi satu. Ia bahkan tetap menyisir sisa rambut gadis itu, tapi ia sendiri merasa buntu dengan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
“Cartesia, tak bisa kau lupakan Horde? Aku akan tetap mencintaimu meski kau dalam keadaan begini.” Begitu yang biasa ia bisikkan, tapi yang keluar dari mulut gadis itu hanya lengkingan aneh yang bahkan tak bisa dicatat bentuk kalimatnya.
Karena merasa sia-sia menunggu kesembuhan Cartesia, ditambah ia mendengar desas-desus tentang sihir, lelaki itu pun mencari dukun terbaik di Birmingham. Dan tahulah ia bahwa Cartesia serta bangunan stasiun telah dikuasai sihir pekat dari semenanjung Portsmouth.
“Satu-satunya jalan untuk mengembalikan Cartesia adalah melawan sihir itu dengan sihir pula,” kata sang dukun pada lelaki itu.
“Bagaimana caranya?”
“Hmm, cukup berat, Nak.”
“Bagaimana, katakan saja.”
“Begini. Kau sendirilah yang harus menjadi sihir itu. Kau harus merelakan jiwamu bersemayam di stasiun itu, untuk menolong gadis pujaanmu dari ilmu hitam yang menguasainya.”
Lelaki yang dalam cerita pendek ini tak mau disebutkan namanya pun berpikir sejenak.
“Apa kalau aku bersemayam di Stasiun Kingscote, Cartesia bisa sembuh?”
“Tentu saja bisa, Nak. Gadis itu akan sadar.”
“Ah. Baiklah, aku setuju.”
Maka, sebulan setelah transaksi sihir itu, tepatnya pada suatu senja yang ramah, tiba-tiba Cartesia mulai menemukan kesadarannya. Bahkan suaranya pun kembali. Cartesia bangkit dari duduknya, ia menghadap cermin yang buram di salah stu bekas loket, ia temukan dirinya begitu kurus, kulitnya penuh benjolan hitam bekas luka, wajahnya begitu pucat.
“Apa yang terjadi?” tanyanya sendiri, tetapi ia tak sempat memandangi sosok hantu lelaki yang melayang-layang di atas kepalanya. Gadis itu justru melangkah keluar stasiun, terdengar ketipak kereta kuda yang kemudinya berhiaskan emas berhenti di depan gerbang.
“Horde?”
“Cartesia!”
“Oh, Horde. Aku merindukanmu.”
“Maafkan aku Cartesia, bertahun-tahun aku larut dalam kelalaian akan dirimu. Seorang wanita dari Portsmouth telah menyihirku. Apakah kau masih menerimaku?”
“Tentu saja Horde, aku tahu, ini adalah jalan takdir kita untuk bersatu.”
Maka gadis itu segera menaiki kereta kuda yang disiapkan, mereka pun pergi, melakukan perjalanan sehari semalam ke sebuah bukit asri bernama Old Cleeve.
Cartesia mulai menemukan lagi kecantikannya. Dan akhirnya mereka pun menikah, tinggal di sebuah rumah kecil yang menghadap bukit, hidup bahagia di sana, melanjutkan romansa yang pernah ada.
Sementara itu, Stasiun Kingscote tetap dilindungi kabut pekat, suasana remang dan sayup-sayup terdengar suara peluit kereta serta hiruk-pikuk penumpang yang menakutkan. Semua itu ulah The Flying Britishman, seorang lelaki yang telah merelakan jiwanya bersemayam di sana sambil terus menunggu Cartesia kembali ke stasiun itu.
Namun, sampai kabar wafatnya Cartesia di musim gugur 1959, sekali pun Cartesia tak pernah berkunjung ke stasiun itu lagi. (*)


Sungging Raga, tinggal di Situbondo, Jawa Timur. Banyak menulis fiksi.



source: http://lakonhidup.wordpress.com