Cerpen Afika Awwaliyah Rozzaq (Republika, 21 April 2013)

Desa Nasi Basi ilustrasi Rendra Purnama

BEBERAPA hari ini aku merasakan beberapa kali napas berat menghantuiku. Rasanya, sungguh tidak mengenakkan. Pahit. Aku melongok keluar jendela dan melihat langit. Aku tersenyum. Seandainya langit seirama dengan suasana hati penduduk desa ini, tentu saja tidak akan ada matahari, awan, dan langit biru. Terkadang, ada yang ingin aku tanyakan kepada Dia, kenapa Dia sampai hati mendamparkanku ke desa aneh ini?
Suara pintu terbuka.
“Sudah pulang, Bang?” tanyaku sambil menemani duduk di sampingnya.
Bang Isa tidak menjawab. Air wajahnya benar-benar tidak menandakan bahwa ia bahagia. Ya, paling tidak ini adalah pemandangan yang selalu aku lihat dalam dua bulan terakhir.
“Bagaimana nasi yang kau masak?” tanya Bang Isa bernada putus asa.
Aku terdiam sejenak. Jujur, aku malas membalas pertanyaannya. Tapi, akhirnya aku tersenyum juga. Akhirnya aku menjawab juga. “Bagus. Tidak basi.”
Bang Isa menarik napas panjangnya. Senyumnya mengembang sedikit.
“Sepertinya, tidak akan ada kejadian hari ini.”
Aku hanya mengamini.
***
Apa yang dapat kukatakan. Pada awalnya ini bukanlah desaku. Aku berada di desa ini baru setengah tahun ketika aku menikah dengan Bang Isa. Siapa sangka, desa ini berbeda dengan apa yang aku terka saat pertama kali menginjak tanahnya. Desa ini asri dengan perkebunan-perkebunan milik penduduk desa yang rajin tersenyum. Benar. Mereka juga sering mengirimiku dan Bang Isa buah dan sayuran dari hasil perkebunan mereka. Kala itu, Bang Isa juga masih dapat tertawa ramah. Rajin tersenyum pula seperti mereka.
Desa benar-benar berubah sejak ada nasi basi dan kematian seorang guru yang dikenal baik hati. Aku memang pernah mendengar bahwa ketika ada seseorang yang menanak nasi, kemudian nasi yang dimasaknya tiba-tiba menjadi basi. Maka, akan ada orang dekat yang meninggal. Namun, untuk kasus di desa ini, setiap ada nasi basi maka akan ada orang baik yang meninggal.
“Apa itu?”
Aku menengok spontan ke arah salah satu pedagang buah.
“Kau mengurangi takarannya, Mang!” seru seorang ibu sambil membentak seorang pedagang buah yang terlihat seperti mengurangi takaran timbangan buahnya.
Aku memandang pedagang buahnya. Luar biasa. Tidak ada urat menyesal atau takut sedikitpun di wajahnya. “Mau beli atau tidak? Saya hanya sedikit tidak baik kepadamu,”
Aku melangkah pergi dari mereka berdua. Aku tidak ingin mengetahui bagaimana kelanjutannya. Beginilah. Bukannya berlomba-lomba menjadi orang baik, tapi justru sebaliknya. Mereka tidak ingin menjadi tanda dari nasi basi berikutnya.
Kemudian, aku berhenti pada pedagang buah yang lain. Ia adalah seorang nenek yang tua renta.
“Nek, beli jeruk sekilo.”
Nenek tua itu langsung menimbangnya. Aku diam-diam memperhatikan. Tidak ada tanda-tanda kecurangan pada takaran timbangannya.
“Ada lagi, Cu?”
Aku menggeleng singkat.
“Ini untukmu,” kata nenek itu sambil menyerahkan setandan pisang.
“Untuk saya, Nek?” tanyaku ragu.
Setelah ia mengangguk, tidak ada pilihan selain menerimanya dan berterima kasih. “Nenek sangat baik. Sekali lagi terima kasih.”
Ucapanku kali ini membuatnya hening.
“Apa menurutmu Nenek baik, Cu?” Nenek itu menata susunan jeruk-jeruknya. “Tidak seperti yang lain, Nenek tidak takut mati. Umur Nenek sudah hampir delapan puluh tahun. Sudah pantas mati. Setiap kali ada penduduk yang nasinya basi, berharap itu tanda untuk Nenek, tapi ternyata bukan.”
Aku terdiam. Ada juga orang yang seperti dirinya.
“Setiap orang pasti mati dengan atau tanpa pertanda nasi basi. Jika Nenek bertahan seperti ini, Dia akan menganggap Nenek sebagai orang baik,”
Nenek itu tersenyum. “Kau sepertinya tidak takut menjadi orang baik. Apa kau juga ingin menjadi tanda nasi basi?”
Aku terkejut dengan perkataan nenek itu. Sekali lagi, aku tidak menamatkan bagian ini. Aku hanya tersenyum lalu pulang dengan membawa tomat dan setandan pisang.
Aku tidak terpengaruh dengan nasi basi itu. Sungguh?
***
Bang Isa pulang setelah melayat ke rumah penduduk desa yang meninggal yang sebelumnya didahului adanya nasi basi oleh penduduk desa yang lain. Ia menatapku gundah. Bang Isa seperti memikul beban berton-ton di atas pundaknya. Itu karena ia merasa bertanggung jawab sebagai kepala desa. Tapi, sekali lagi, itu bukanlah kewenangannya mengatur permainan-Nya. Kekuasaan-Nya lebih hebat. Hanya saja, kenapa Dia mempermainkan pikiran dan perasaan setiap orang seperti ini terhadap kematian dan kehidupan?
“Apa desa ini harus dijual? Desa ini sudah dikutuk.”
Aku tidak berkomentar.
Ya. Aku tidak tahu. Tidak ada yang lebih tepat dari diam. Ini permainan-Nya dan doaku adalah agar Dia menghentikan permainan-Nya. Ketika semuanya berhenti, Bang Isa akan menjadi orang yang dahulu aku kagumi yang rajin melantunkan ayat suci, yang wajah purnamanya bersinar karena rajin berwudhu.
***
Seminggu berlalu, tidak ada nasi penduduk yang dimasak kemudian menjadi basi. Namun, mereka percaya bahwa hal itu terjadi karena sudah tidak ada orang baik di desa ini. Iya. Penduduk desa menjadi orang-orang berwatak keras dan kasar. Pencurian hasil kebun penduduk menjadi marak dilakukan oleh orang-orang desa ini sendiri. Sebab itu, banyak penduduk desa tenggelam dalam kelaparan dan kemiskinan. Sedangkan Bang Isa, ia justru bertambah bingung karena desanya menjadi desa kriminal dan miskin.
“Kau mau ke mana, Ni? Di luar berbahaya.”
“Kemarin. kebun tetangga kita kecurian, Bang. Mereka mungkin sedang kesusahan.”
Bang Isa menggeleng.
“Mereka pernah memberi kita jagung rebus yang manis, Bang. Aku ingat, kau sangat menyukainya.”
Bang Isa terdiam dan terpaku di tempatnya.
“Bang, nasi basi itu, kenapa tidak menjadi tanda bagiku? Apa aku tidak cukup baik?”
“Apa maksudmu? Jangan bicara yang aneh-aneh.”
Aku tersenyum simpul. “Bang, sejak ada kasus nasi basi itu, semuanya sedikit demi sedikit melepaskan jubah kebaikan. Mereka lupa jika suatu saat semuanya pasti mati. Dan, yang bersama-Nya justru hanyalah orang-orang yang baik. Nasi basi yang bergulir sambung-menyambung seakan-akan mempermainkan kematian kita. Tapi, itu tidak lain hanyalah terapi untuk menguji kita, Bang.”
Bang Isa menggenggam tanganku. Erat. Seperti anak yang ketakutan.
“Lalu. Lalu, apa yang harus aku lakukan, Ni?”
***
Kemudian, di saat banyak penduduk desa mengikuti permainan-Nya, aku dan Bang Isa mulai melawan alur permainan. Kami mulai membangun kembali keramahan desa ini dengan membantu tetangga dan orang-orang yang hasil kebunnya dicuri. Kami tidak membuat mereka agar kembali ramah dan tersenyum seperti dulu. Tapi, mereka melakukan itu atas kemauan sendiri karena melihat kami ramah dan tersenyum. Jelas, setiap orang di desa ini merindukan untuk tersenyum dan berbuat baik seperti dulu. Sebelum kasus nasi basi memuncaki iman mereka.
Jubah kebaikan orang-orang desa ini mulai dipakai lagi setahap demi setahap. Uluran tangan yang satu ke tangan yang membutuhkan yang lain, begitu seterusnya, membuat kebaikan merebak dengan mudah, seperti teralirkan angin. Pencurian pun memudar dengan sendirinya karena terkalahkan oleh kebaikan penduduk desa yang lain. Atau, karena mereka yang melakukan pencurian lelah untuk menyakiti penduduk desa yang tinggal bersama mereka. Mungkin juga karena mereka adalah orang baik. Hanya, karena tidak ingin menjadi tanda bagi nasi basi, mereka menghindar dengan tidak menjadi orang baik. Lama-lama, mereka lelah dengan tidak menjadi diri mereka.
Begitu juga dengan Bang Isa. Ia kembali.
“Alhamdulillah. Desa ini, kembali seperti dulu Ni,” ucap Bang Isa semringah.
Aku mengangguk singkat sambil menyiapkan lauk pauk untuk sarapan.
“Tapi Ni, ketika semua orang kembali menjadi orang baik, kalau ada pertanda lagi. Bagaimana?”
Aku membuka tutup penanak nasi. Aku terdiam sesaat. Lalu aku tersenyum simpul.
“Berarti, kita harus terus dan lebih menjadi orang yang baik. Waktu sebagai manusia memang terbatas dan Dia memberi pertanda. Tidak ada yang salah, Bang.”
Aku menengok ke arah Bang Isa yang membalas pernyataanku dengan senyumnya. Aku kembali menarik napas panjang. Bagaimana tidak, aku melihat nasi basi di hadapanku.
Lagi-lagi, aku tidak menamatkan bagian ini. (*)


Bandung, 14 Februari 2013





Cerpen Yetti A.KA (Kompas, 21 April 2013)

Ia yang Menyimpan Api di Hatinya ilustrasi Lucia Hartini 

MAURA membiarkan kancing bajunya tetap terbuka, meski ini bulan Agustus yang dingin. Angin badai berembus di luar. Beringas. Mematahkan beberapa cangkah dahan belimbing atau batang ubi kayu di belakang rumah. Terdengar suara seng yang seakan mau lepas. Meneror. Menusuk-nusuk pendengaran Maura yang terus waspada. Terus berpikir kemungkinan seseorang tengah mendekat ke arah rumah, menggedor pintu keras-keras sambil meneriakkan namanya dengan suara yang kasar.
“Kau tidak mungkin berani pulang. Tidak mungkin.” Maura memandang nyalang pada gorden yang bergerak-gerak tiap kali angin menembus celah kecil jendela, “Sebaiknya kau memang tidak pulang. Kau tidak tahu bagaimana aku menyimpan marah bertahun-tahun. Sesak. Kau tidak mengerti bagaimana cara aku melewatinya, dan berulang-ulang memaafkanmu. Sesak sekali. Sungguh, aku bisa saja mencekikmu jika saja kau ada di depanku sekarang.”
Angin badai terus saja berisik sepanjang malam. Maura merasa kedinginan. Tapi ia tetap bersikeras tidak akan menutup dadanya. Dada yang siang tadi diremas pemilik laundry tempat ia bekerja satu bulan ini—tempat kerja barunya setelah ia memilih berhenti di toko roti. Dada yang kemudian disulut rokok di beberapa bagian—tentu sesudah ia diperkosa secara brutal dan tubuhnya dibikin babak belur oleh suaminya yang memaksa ia menceritakan kejadian pelecehan yang membuat ia menangis pelan dan membuka semua kancing baju setiba di rumah sore tadi dengan sangat marah.
“Kau memalukan.”
“Dia lelaki keparat.”
“Kau menjijikkan.”
“Dia bajingan.”
“Kau murahan.”
“Dia binatang.”
Mata Maura bertatap sengit dengan suaminya. Mata teduh itu telah berubah merah. Ia bukan lagi Maura yang biasanya menangis diam-diam di atas tempat tidur setiap kali lelaki itu habis memukuli, menuduh, dan menghakiminya.
“Kau jalang!” umpat suaminya geram saat keluar pintu. Lelaki itu masih mengumpat-umpat sepanjang jalan. Ia ingin mengeluarkan semua serapah yang masih tersisa. Mau menunjukkan betapa ia lelaki yang terpukul karena ulah pemilik laundry itu, dan lupa kalau Maura justru yang paling terluka.
Sekarang sudah larut malam, lelaki brengsek itu tidak mungkin pulang di tengah serangan angin badai yang mungkin saja menumbangkan pohon-pohon di pinggir jalan. Badai yang membuat siapa pun tidak mungkin nekat berada di luar kecuali seorang pemabuk yang sedang teler dan ingin merayakan hidupnya sambil bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan. Lelaki itu bisa jadi sedang mabuk berat di kedai minuman. Namun ia bukan jenis orang yang suka merayakan hidup dengan cara seperti itu. Ia hanya akan berada di kedai. Bermain-main dengan gadis muda si pelayan kedai hingga akhirnya tertidur di atas bangku atau lantai.
Maura merasa lega saat ia mulai memikirkan lelaki itu tidak mungkin pulang. Ia kelelahan, lalu tidur dengan kancing baju yang tetap terbuka—sebab ia marah.
***
Dan dalam tidurnya itu Maura melihat dirinya berumur lima belas tahun menangis ketakutan di samping rumah dengan dinding-dinding lembab berlumut tipis. Ia sedang sembunyi dari kejaran ibu yang ingin memukulinya dengan tangkai sapu. Seluruh tubuh Maura gemetar, seolah-olah ia akan segera pecah berkeping-keping. Bola matanya berkeliling liar, mirip pencuri yang waswas tertangkap tangan. Tidak. Ibunya tidak mencarinya hingga keluar rumah. Maura menyandarkan badan di dinding dengan mata melihat ke langit sambil menyesali kenapa ia mesti memecahkan mangkuk kesayangan ibu. Ibu menyayangi semua perabot dapur melebihi apa atau siapa pun di rumah. Maura tahu itu cara ibu mengatasi ketidakbahagiaannya. Cara ibu menjalani hari-harinya agar ia tidak terus- menerus menyumpahi bapak yang sering bermalam di rumah pelacuran. Cara ibu mengalihkan cinta yang menghancurkan harga dirinya.
Cara ibu itu lalu membuat Maura sering gugup dalam situasi apa pun, di mana pun. Maura yang menjadi penakut. Maura yang terus-menerus merapatkan kedua tangan di dada sembari menundukkan muka dalam-dalam bahkan saat seharusnya ia tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa. Maura yang setiap saat selalu merasa akan dipukuli ibu, dipukuli bapak, dipukuli kakak, dipukuli teman-teman kakak, dipukuli teman-temannya.
Maura yang kemudian begitu ketakutan pada teman kakak yang menciuminya ketika ia sendirian di rumah. Maura yang takut payudaranya dipegang kakak karena ia begitu tidak berdaya. Maura yang hampir diperkosa, entah oleh siapa, pada malam sepi di kamar mandi dekat dapur, dan itu membuatnya menggigil berhari-hari, dan ia tidak berani mengatakan apa pun pada ibu yang bila marah suka memorak-porandakan apa pun yang ada di dekatnya. Maura yang teramat pengecut—yang sesungguhnya sangat ingin ia lupakan!
Tidak. Tidak. Maura bukan sedang mengarang cerita. Tubuhnya memang sering digerayangi kakak bersama teman-temannya. Kakak yang tertawa-tawa. Teman-teman kakak yang terbahak mirip orang sinting. Bapak juga begitu bila mabuk dan pulang tengah malam, berteriak kasar memanggil nama ibu. Karena ibu sudah tertidur (atau pura-pura tidur?) Maura yang membukakan pintu. Di depan pintu itu bapak sering mendekap tubuh Maura. Maura meronta-ronta, membuat ibu terbangun. Ibu selalu mengira Maura mengalami mimpi buruk atau terserang penyakit yang membuat orang berjalan ketika tidur.
“Kau mulai gila,” tuduh ibu.
Maura menciut, ngeri.
“Semua orang di rumah ini mulai gila,” kembali ibu berkata. Maura makin tersudut.
“Seharusnya kau tidak membuat keributan malam-malam begini!” bentak ibu, gusar. “Kau tahu, kita sungguh-sungguh bisa mati dalam kegilaan,” ceracau ibu disambung dengan tangisan histeris yang lebih menyeramkan dari cerita hantu di kuburan. Kemudian cepat sekali ibu telah berlari ke dapur, mengambil sapu, dan memukuli Maura dengan tangkai sapu itu. Keributan itu berakhir ketika ibu kehabisan tenaga, terduduk lemas; menangis sepanjang sisa malam di sisi bapak yang sudah mendengkur di lantai yang, sekali atau dua kali, menyebut nama pelacur yang begitu ia cintai.
Dalam tidur yang gelisah itu, Maura terus melihat dirinya tumbuh membawa hati yang tidak sempurna. Hatinya yang terlanjur sumbing. Retak di mana-mana. Suatu kali ketika ia genap berumur delapan belas tahun, ia menjenguk ke dalam hatinya itu di kamar yang gelap, namun anehnya ia mampu melihat apa pun, maka ia terpekik menemukan bayi-bayi api berdesak-desakan di sana. Mereka sedang belajar mendesis. Lidah mereka yang kecil menjulur-julur, berkilat merah. Cepat-cepat Maura menutup rapat hatinya. Itu rahasia yang tidak bisa ia sampaikan pada siapa pun. Rahasia.
***
Maura terbangun dengan rasa tawar. Kulit tubuhnya dingin, sementara kepala terasa penuh dan berat. Bayi-bayi api masih berkelebatan di pikirannya. Ia melihat ke dadanya yang masih terbuka. Ia ingin sekali menjenguk ke dalam hatinya setelah sekian lama nyaris lupa kalau ia punya rahasia. Bisa jadi bayi-bayi api yang dulu itu sudah menjelma lidah api yang besar dan mengancam. Maura curiga api itulah yang membakar dirinya, sejak semalam.
Maura menyeringai, dan mengurungkan niatnya. Kesadaran membuat ia kembali merasakan seluruh tubuh yang nyeri. Ia meraba pipi, punggung, siku, kaki. Mulutnya mendesis tidak jelas. Semacam ekspresi sakit yang coba ia tahan. Ia lawan. Akh, betapa tidak mudah melawan sesuatu yang mendekam dalam diri. Ia mendengus geram, berkali-kali.
Sedikit tenang, ia mulai memandangi pintu, gorden jendela, meja, kursi, televisi. Tidak ada yang berubah. Diam dan kaku. Sesaat ia terpikir tentang halaman belakang yang pasti berantakan setelah serangan angin badai kemarin malam. Batang ubi dan cangkah belimbing yang berserakan. Sekali lagi ia menyeringai, “Angin badai yang ganas, dia benar-benar tidak pulang.”
Maura melihat jam di atas meja. Pukul delapan. Seharusnya pukul sembilan ia berangkat ke tempat laundry. Bersama rekan kerja mereka bergantian menjaga meja, menerima pakaian kotor yang diantar pelanggan, menimbang, mencatat, memberikan tanda bukti dan melepas kepergian orang itu dengan sedikit senyuman, memisah-misahkan jenis pakaian, memberi tanda tertentu pada berkeranjang-keranjang pakaian kotor, memasukkan cucian ke dalam mesin untuk kemudian dibilas, dijemur, disetrika.
Disetrika.
Maura mendadak berdiri. Ia hiraukan ngilu pada sekujur tubuh. Ia biarkan saja kancing bajunya tetap terbuka. Tergesa ia masuk ke kamar. Mengambil setrika dan sekeranjang baju. Dengan cekatan juga ia sambungkan setrika pada kontak listrik.
Setrika menyala. Api di dada Maura ikut menyala.
Ia ambil salah satu blus hitam kesayangannya. Ia mulai menyetrika, pelan-pelan. Sepelan ia mengingat kembali masa-masa buruk yang ia lalui; ketika ia dipukuli ibu, dipukuli bapak, digerayangi kakak yang terbahak-bahak bersama teman-temannya, dipukuli suaminya yang sering mabuk seperti bapak, dilecehkan pemilik laundry bertubuh tambun menjijikkan.
“Iblis,” desisnya geram.
Maura menekan setrika di atas blus dengan gerakan yang semakin berat. Seberat perasaan yang coba ia tahan bertahun-tahun, ia pendam bersama rahasia bayi-bayi api di Mauranya. Perasaan berat yang sekarang ingin ia lepaskan, dan karena itu ia berteriak keras-keras, “Kalian iblis!” Kalimat itu menggema, mengembang mirip bunga cahaya.
Diambilnya lagi pakaian dalam keranjang, kemeja lengan pendek motif garis vertikal milik suami. Saat menyetrika kemeja itu Maura membayangkan tengah menyetrika dada kakak dan teman-temannya yang kurang ajar, dada ibu yang sering memukulinya dan membuatnya ketakutan, dada bapak yang pemabuk dan lebih mencintai pelacur daripada ibu, dada suaminya yang pemalas juga keparat, dada pemilik laundry yang sungguh bajingan—yang membuat ia membiarkan kancing bajunya terus terbuka hingga kini karena ia terlalu marah. Begitu juga ketika ia menyetrika kaus oblong atau celana pendek. Ia terus membayangkan tengah menyetrika dada kakak dan teman-temannya, dada ibu, dada bapak, dada suaminya, dada pemilik laundry. Mata Maura merah. Semakin merah. Ia terus menyetrika dengan mata yang merah, dengan tubuh yang marah, hingga seseorang menggedor pintu keras-keras, meneriakkan namanya dengan suara teramat kasar pada pagi di pengujung Agustus sehabis diterjang angin badai. (*)



Cerpen Ayi Jufridar (Media Indonesia, 14 April 2013)


Perempuan Beraroma Garam ilustrasi Pata Arendi


PEREMPUAN itu berdiri di sana, di depan pintu yang senantiasa terbuka setelah subuh agar rezeki menyerbu ke dalam bersama udara segar, meski justru nyamuk yang paling banyak masuk. Tubuhnya tinggi menjulang, dengan sebuah keranjang rotan berisi garam bertengger diam di atas kepalanya. Dia tidak pernah memegang keranjang tersebut bahkan saat berjalan dari kampung ke kampung. Tubuhnya bergerak berirama ketika kaki terayun, tapi keranjang rotan itu tetap diam, seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari kepalanya.
Dari tempatku duduk di atas lantai semen, dia terlihat bagaikan seorang raksasa yang kelaparan. Tubuhnya tambun dengan kulit gelap serupa kain hitam yang digunakan sebagai alat di kepalanya yang ujung-ujungnya menutup kedua telinga. Hidungnya seperti buah jambu dengan dua lubang besar dan gelap. Kata kakak, dia tidak menelan anak-anak melalui mulutnya yang berbibir tebal dan hitam seperti lintah, melainkan memasukkan langsung melalui kedua lubang hidungnya. Dia melakukan  itu bila keranjang di kepalanya tidak cukup lagi menyimpan anak-anak yang tidak menghabiskan nasinya di piring.
Sering aku berpikir bagaimana dia melakukan semua itu. Lubang hidungnya memang besar, lebih besar dari lubang hidung kakek yang berbulu putih dan mencuat keluar. Namun, jangankan memasukkan kepalaku, kepalan tanganku pun rasanya tidak akan muat ke lubang itu. Kakak mengatakan lubang hidung sangat elastis, dia bisa melar seperti karet. Semua lubang hidung demikian adanya, tapi lubang hidung perempuan itu akan menelan apa saja yang dijejaki tuannya, termasuk anak-anak. Kakak mengajariku memasukkan seluruh jemari—mulai kelingking yang kecil sampai jempol yang besar—ke lubang hidung dan semuanya masuk dengan mudah. “Begitulah dia memasukkan anak kecil ke lubang hidungnya.”
Aku percaya karena bisa saja seorang perempuan mempunyai kelebihan seperti itu. Kakak mengingatkanku agar tidak perlu takut sejauh tidak ada sebutir nasi pun yang tertinggal di piring. Meski demikian aku selalu gemetar bila perempuan itu berdiri di sana dan bertanya ummi ada di rumah atau tidak. Dengan didera perasaan takut, aku menjawab pertanyaannya dengan mengatakan bahwa tadi pagi tidak ada nasi yang tersisa di piringku.
“Baguslah, kalau tidak kamu akan diseruduk kerbau,” sahutnya dengan air muka dingin.
Merasa sudah aman setelah mengabarkan piring sarapan yang kosong, aku berlari ke dalam memanggil ummi. Bukan untuk memberitahukan kedatangan perempuan itu, melainkan untuk menanyakan mengapa kita akan diserubuk kerbau kalau tidak menghabiskan nasi. Sahut ummi, kerbau marah karena setelah lelah membajak sawah, tubuhnya perih kena pecut, tetapi nasi tidak dihabiskan. “Kita harus menghargai kerja keras semua makhluk, meski hanya seekor kerbau.”
Ummi yang sudah tahu kedatangan perempuan itu dari suaranya yang khas seperti lelaki, bergegas ke depan dan aku mengikuti dengan bergelayutan pada kainnya sehingga menyulitkan langkahnya yang tersuruk. Perempuan itu sudah menurunkan keranjangnya di tanah, dan aku selalu ingin melihat isinya apakah benar-benar anak-anak. Ketika memastikan isi keranjang hanya garam seputih kertas plastik yang membungkusnya, kakak belum berhenti menakutiku. Menurutnya, anak-anak yang tidak menghabiskan isi piring atau makan berserakan atau menolak makan sayur, akan dimasukkan ke dalam keranjang dan kemudian menjelma menjadi garam yang dijual perempuan berlubang hidung besar dari kampung ke kampung.
Aku tidak percaya lagi dengan semua bualan kakak. Aku tahu perempuan itu hanya menjajakan garam ke setiap kampung. Dan garam itu mereka buat dari air laut, bukan dari tubuh anak-anak. Mereka datang dari sebuah kampung di tepian pantai. Orang-orang di kampungnya membuat garam dengan cara menjemur air laut di tempat yang tak jauh dari tepi pantai. Beberapa perempuan di kampung itu menjual garam ke kampung lain berjalan dengan kaki telanjang sampai puluhan kilometer. Mereka berangkat berkelompok, kemudian berpencar, dan pulangnya kembali berkelompok. Garam tidak harus dibeli dengan uang, lebih banyak penduduk menukarkan dengan makanan dan barang lain. Para penjaja garam lebih senang dengan beras karena di kampung mereka tidak ada sawah. Mereka juga mau menukarkan dengan panci, sendok, gelas, atau peralatan dapur lain yang masih baru meski sudah pernah digunakan. Mereka juga bersedia menukar dengan pakaian bekas tetapi masih layak pakai. Kriteria layak pakai menurut penjaja garam itu sangat berbeda dengan pemahaman kami. Pakaian yang telah puluhan kali dipakai dan disikat sehingga di bagian kerah mulai aus atau warnanya sudah luntur, dalam pandangan penjaja garam masih sangat layak. Tentu kita akan mendapatkan garam yang lebih banyak dengan pakaian yang lebih baru, apalagi dengan label yang masih menggantung.
Bagi masyarakat kampung kami—dan kampung lain—garam tidak hanya digunakan untuk mengasinkan makanan. Garam juga digunakan sebagai lauk ketika tidak ada menu lain sebagai teman nasi. Tinggal menaburi garam dan mengaduknya dengan minyak bekas gorengan ikan, nasi sudah bisa dilahap dengan nikmat. Garam juga kami gunakan untuk membunuh lintah. Kakak pernah menjerit-jerit sepulang dari sawah ada seekor lintah bertengger di betisnya. Ummi dengan tenang menaburi garam di atas tubuh lintah yang kemudian terjatuh dan menciut mati. Yang belum dapat kupahami adalah garam juga dipakai untuk mengusir roh jahat. Aku melihat sendiri ketika bayi tetangga kami meraung-raung tanpa sebab jelas, seorang perempuan tua menaburkan garam di depan rumah sambil membaca mantra. Ajaibnya, bayi itu pun diam tak lama kemudian.
Sampai sekarang aku masih belum mengerti bagaimana itu bisa terjadi. Sama tidak mengertinya mengapa perempuan berhidung besar itu yang harus datang ke rumah kami. Kadang ada beberapa perempuan penjaja garam yang melintasi rumah, tapi yang lain langsung melewati rumahku dan dia yang masuk. Menanyakan ummi kalau aku ada di luar, atau langsung berbicara dengan ummi kalau kebetulan sedang berada di atas gazebo atau di teras. Pernah aku meminta ummi agar melarang perempuan itu masuk dan digantikan dengan penjaja garam lain. Ummi mengatakan tidak ada alasan melarangnya karena dia orang yang baik, jujur, dan taat beragama. Beberapa kali dia memang menumpang salat di rumah kami.
Pada saat itulah aku mencium aroma garam menguar dari tubuhnya meski keranjang rotan sudah disimpan di luar rumah, di atas gazebo. Entah aroma itu muncul dari tangannya yang selalu bersentuhan dengan garam, atau garam itu tercipta dari seluruh tubuhnya yang dibakar matahari.
Aroma itu terasa demikian kuat sehingga aku seperti bisa melihat bentuknya. Sampai bertahun-tahun kemudian, bahkan sampai aku meninggalkan kampung halaman untuk kuliah, aroma itu masih melekat di puncak hidung. Ketika pulang kampung pada momen tertentu seperti liburan semester atau libur Idul Fitri dan Idul Adha, aku merasakan kerinduan teramat dalam terhadap aroma garam itu.
Kerinduan yang tumbuh justru di saat tak ada lagi seorang penjaja garam pun di kampung kami dan kampung-kampung lain. Masyarakat tidak lagi membutuhkan mereka. Garam bisa dibeli di pasaran, bahkan di supermarket yang mulai hadir di kota. Dibeli dengan uang atau dengan kartu kredit, tidak perlu ditukar dengan beras, makanan, pakaian, atau peralatan dapur.
Kakak, yang sudah menikah dan punya dua anak, sudah punya dua kartu kredit. Kemajuan menyerbu demikian cepat dan ganas sampai ke dapur dan isi dompet kami.
Saat duduk di lantai rumah yang sudah berkeramik dan menatap pintu yang terbuka, aku sering menarik napas panjang dan berharap aroma garam itu memenuhi paru-paru. Kadang yang tercium malah polusi udara yang keluar dari knalpot motor anak baru gede di jalanan depan rumah.
Aku tidak pernah membicarakan tentang perempuan penjual garam dengan ummi setelah beranjak dewasa. Namun ketika merindukan aroma khas yang menyengat hidung, aku bertanya kepada ummi tentang mereka, terutama perempuan berhidung besar yang sering datang ke rumah kami.
“Ummi pernah bertemu di pasar. Sekarang mereka bekerja serabutan. Ada yang jadi penyapu jalan, pemulung, bahkan ada yang jadi pengemis dan beberapa yang lain sudah meninggal. Zaman sudah berubah. Mereka tak bisa lagi hidup dengan menjual garam.”
“Ummi pernah jumpa Wak Mah?” aku mengetahui perempuan itu bernama Fatimah setelah dewasa, tapi semua orang termasuk ummi memanggilnya Wak Mah.
“Dia sudah meninggal.”
“Karena tsunami?”
Ummi menggeleng. “Ditembak. Ada yang menuduhnya menyimpan senjata api di dalam tumpukan garam. Saat diperiksa tentara, memang ditemukan pistol di dalam keranjang rotannya. Tapi itu pistol mainan hasil penukaran dengan garam. Dia bersedia menukar karena ingin memberikan mainan untuk cucunya.”
“Kalau pistol mainan kenapa harus ditembak?” tatapku panik.
“Tentara baru tahu itu pistol mainan setelah Wak Mah terluka di dadanya. Tentara kita ‘kan selalu begitu, tembak dulu periksa kemudian. Komandannya hanya minta maaf, tentara itu tak pernah dihukum. Katanya kematian Wak Mah diberitakan di koran, fotonya juga ada di sana. Ummi tidak baca, cuma dengar dari kakakmu.”
Hatiku serasa diiris-iris. Begitu lama tercenung sehingga tatkala tersadar, ummi sudah tidak berada lagi di sampingku. Mataku nanar menatap ke luar, ke halaman yang panas dibakar matahari yang masih garang meski sudah condong ke barat. Dalam cuaca seperti ini, biasanya aroma garam terasa lebih tajam bila perempuan itu datang. Namun, sore itu hidungku mengendus aroma harum serupa misik yang tidak pernah kucium seumur hidupku.  (*)


Ayi Jufridar, karya-karyanya dimuat di berbagai media nasional. Aktif di Balai Sastra Samudra Pasai, sebuah lembaga yang dibentuk sejumlah penulis di Aceh. Tiga novelnya yang sudah terbit, Alon Buluek Gelombang Laut  yang Dahsyat (Grasindo, 2005) yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Belanda dengan judul Alon Buluek (de Verschrikkelijke Zeegolf)Kabut Perang (Universal Nikko, 2010), dan Putroe Neng (Grasindo, 2011). Akhir 2012 lalu, Ayi diundang ke Ubud Writers and Readers Festival di Bali serta ke Amerika Serikat untuk kegiatan kepenulisan.