Cerpen S Prasetyo Utomo (Kompas, 7 April 2011)

Penjaga Kubur Nyai Laras ilustrasiMade Uuk Paramartha

SIAPA berani membongkar kubur Nyai Laras di atas bukit yang diratakan dengan jalan raya? Di puncak senyap bukit gersang tiada henti gemuruh begu mengeruk tanah berbongkah-bongkah, truk-truk menderu menuruni jalan aspal. Tercecer-cecer guguran tanah sepanjang pinggang bukit. Mandor Karso berkacak pinggang. Mengepulkan asap rokok. Mengawasi sopir-sopir truk mengangkut bongkahan-bongkahan tanah, menyusuri jalan raya. Mereka, sopir-sopir itu, sesekali mengomel, melontarkan perasaan tak suka pada Mandor Karso yang berperangai congkak. Tapi mereka tak bisa mengelak dari perintah lelaki setengah baya itu.
Pepohonan di atas bukit gersang ditebang, dipotong-potong. Kayu-kayu diangkut truk pembeli, yang ditentukan Mandor Karso. Batu-batu dipecah, bertumpuk-tumpuk. Mandor Karso pula yang menjualnya. Binatang-binatang liar penghuni bukit yang masih tersisa, seperti luwak, berlari menghindar, mencari tanah berbukit dan belukar yang tak terenggut tangan manusia.
Tinggal puncak bukit, gubuk aus makam Nyai Laras, yang belum terbongkar begu. Dibiarkan makam terpencil di puncak bukit itu tetap berada di tempatnya. Mandor Karso sudah memanggil seorang penggali kubur muda untuk memindahkan makam Nyai Laras, perempuan pengembara yang menjadi nenek moyang orang-orang di perkampungan sekitar bukit.
“Kuberi kau ongkos dua kali lipat untuk memindahkan makam ini,” kata Mandor Karso pada penggali kubur muda.
Penggali kubur muda itu menggeleng. Wajahnya tanpa cahaya. “Saya tak berani.”
“Coba, cari penggali kubur yang berani memindahkan kubur Nyai Laras,” pinta Mandor Karso. Penggali kubur muda itu menampakkan kebimbangan. Mandor Karso memandangnya dengan tajam.
Penggali kubur muda mengangguk. Tampak ia tak yakin dengan anggukan kepalanya: sangsi akan kesanggupan penggali kubur lain untuk memindah makam Nyai Laras.
***
Lelaki setengah baya penggali kubur dari desa tetangga menemui Mandor Karso. Sepasang mata lelaki setengah baya penggali kubur itu bimbang. Mandor Karso tersenyum meyakinkan penggali kubur. Ia ingin lelaki setengah baya itu menemukan kekuatan hati untuk memindah makam Nyai Laras.
“Kau berani menggali kubur Nyai Laras?”
“Akan kulihat dulu makam itu,” tukas penggali kubur setengah baya. Ia mengangguk setengah hati, mengikuti langkah Mandor Karso, menyeberangi hamparan tanah gersang kecoklatan, mendaki bukit, pohon-pohon tumbang, bongkahan batu dihancurkan, truk pengangkut tanah dan begu yang siap meruntuhkan makam Nyai Laras di puncak bukit. Gubuk kecil tua itu masih kokoh di atas makam tak terawat. Mandor Karso merasa pasti bakal meruntuhkan ketakutan orang untuk membongkar makam.
Penggali kubur setengah baya yang memanggul linggis dan cangkul, terhenti melangkah sebelum mencapai makam Nyai Laras. Tubuhnya kaku. Mengejang. Tak lagi bisa melangkahkan kaki. Mandor Karso seperti ingin mempengaruhi penggali kubur setengah baya, dengan kemarahan yang terpendam dan seperti ingin menarik tubuh kaku itu. Penggali kubur setengah baya itu memancarkan rasa takut. Memucat wajahnya.
“Kalau kau tak berani membongkar makam ini,” kata Mandor Karso, “temani saja aku di sini. Akan kugali sendiri.”
Mandor Karso mengambil cangkul, membongkar makam, dengan tenaga dan ayunan yang kencang. Tubuhnya gemetar. Terus mencangkul. Tak berhenti mencangkul. Sesekali cangkulnya terantuk batu. Ia menggunakan linggis. Penggali kubur setengah baya hanya termangu. Berdiri memandangi Mandor Karso yang bercucuran peluh menggali kubur Nyai Laras.
Sebuah peti jenazah sudah disiapkan di atas mobil bak terbuka: untuk diisi tulang belulang dan tanah di dalam kubur. Ayunan cangkul Mandor Karso tinggal sejenggal lagi mencapai tulang-belulang Nyai Laras. Ia tersentak ketika ujung cangkulnya bersentuhan dengan tulang-belulang manusia. Peti jenazah diisi tanah dan tulang-belulang itu. Tercium bau harum yang lembut, seperti yang terhirup orang pada tiap tengah malam di lembah bukit.
Tanah dan tulang-belulang dalam peti jenazah hendak diangkut mobil bak terbuka, dan dimakamkan ke kuburan kampung. Seseorang lelaki setengah baya datang dari kota yang jauh, mencegah kehendak Mandor Karso.
“Jangan kubur leluhur kami ke makam kampung. Biar beliau dimakamkan di belakang rumah, dekat surau kami,” kata lelaki setengah baya santun itu.
“Kami tak akan membayar penggali kubur untuk memakamkan Nyai Laras ke sana!” Mandor Karso menentang. Sorot matanya tajam. Tatapannya memberangus lelaki setengah baya santun di hadapannya. Tapi lelaki setengah baya dari kota yang jauh itu tersenyum, mengangguk-angguk, meruntuhkan keangkuhan Mandor Karso.
“Biar kami yang membayar pemakaman Nyai Laras. Ini leluhur kami, dan aku keturunannya. Takkan kutelantarkan makamnya,” tukas lelaki setengah baya dari kota yang jauh. Peti berisi tulang-belulang dan tanah Nyai Laras diangkut mobil terbuka ke rumah tua di tepi kota, yang telah bertahun-tahun dikosongkan, berlumut, lembab, dengan kelelawar beterbangan. Sebuah surau rapuh di depan rumah tua juga dibiarkan kotor, lapuk, tak seorang pun merawatnya. Surau itu tak digunakan orang-orang untuk sembahyang. Tak pernah terdengar suara azan berkumandang dari dalamnya.
Penggali kubur setengah baya membuat liang lahat di halaman belakang rumah tua, dan orang-orang kampung, sungguh menakjubkan, berdatangan, membantu pemakaman Nyai Laras. Mereka berdoa di sekitar makam yang baru dipindahkan. Membersihkan pekarangan di sekitar rumah tua kosong. Duduk bersama di bawah pohon-pohon di sekitar makam Nyai Laras. Mengelilingi lelaki setengah baya santun dari kota yang jauh—dulu, keluarganya menempati rumah kosong itu.
Seseorang membawa makanan. Orang lain membawa minuman, nasi tumpeng, dan buah-buahan untuk dimakan bersama. Mereka sangat menghormati lelaki setengah baya santun dari kota yang jauh itu. Betapa hormat orang-orang pada keturunan Nyai Laras, yang selalu berbicara lembut pada orang-orang kampung. Mandor Karso tersingkir dari perbincangan. Orang- orang kampung tak menampakkan kebencian pada Mandor Karso. Tapi tak seorang pun mendekat dan menyapanya.
***
Tertidur malam hari setelah memindahkan makam Nyai Laras, dalam gelisah, Mandor Karso mengigau. Dalam tidurnya, ia bermimpi, Nyai Laras datang mengetuk pintu. Istrinya membukakan pintu. Tersenyum lembut Nyai Laras. Belum tua benar. Berkain, berkebaya, dengan dandanan priyayi. Istri Mandor Karso terperanjat. Dalam mimpi Mandor Karso, istrinya membawa Nyai Laras ke kamar.
“Jangan malas, Karso! Bangun, ikut aku!” kata Nyai Laras.
Mandor Karso tergeragap. Tatapannya kabur. Tubuhnya lemas. Ia tak berani menatap sepasang mata Nyai Laras, yang memancarkan penaklukan. Sepasang mata yang meminta kesetiaan.
“Kau harus menjagaku!”
Dalam mimpi, Mandor Karso tak sanggup menukas. Tak sanggup bertanya. Ia bangkit. Mengikuti langkah Nyai Laras. Meninggalkan kamar. Tanpa menoleh. Langkahnya beberapa jengkal di belakang pantat Nyai Laras. Di ambang pintu istri Mandor Karso terus memandangi punggung suaminya yang menjauh. Menghilang dalam gelap malam. Mandor Karso tak pernah bertanya, ke mana ia dibawa Nyai Laras. Ia seperti tak punya kesadaran untuk bertanya.
Malam sangat pekat. Tapi terasa menenteramkan hati Mandor Karso. Ia mencapai rumah kosong, surau tua dan makam Nyai Laras. Rumah tua itu sangat sunyi. Telah bertahun-tahun ditinggalkan penghuninya. Ini rumah lelaki setengah baya santun, keturunan Nyai Laras, yang kini bertugas di kota yang jauh.
“Kau mau tidur di mana?”
“Saya akan menjaga surau, Nyai.”
“Jangan lupa. Kau harus menjaga rumah besar itu pula!”
Mandor Karso memilih tidur di sebuah kamar kosong di surau. Ia tenteram. Surau itu tak digunakan orang-orang untuk sembahyang. Surau yang remang-remang. Lampu menyala terus-menerus sepanjang hari, siang-malam. Orang-orang lebih suka datang ke masjid yang megah. Tersekap dingin, Mandor Karso menyungkup tubuhnya dengan kain sarung. Ia memejamkan mata.
Nyai Laras meninggalkan lelaki setengah baya yang terlelap itu. Memendam senyum.
***
Tengah malam itu istri Mandor Karso tergeragap dari tidur di sisi suaminya. Ia mendengar ketukan pintu berkali-kali. Ia tergeragap ketika pintu dibukanya, yang datang seorang perempuan belum tua benar, berkain, berkebaya, dengan dandanan priyayi. Meminta bertemu suaminya. Istri Mandor Karso seperti tak kuasa menolak. Ia mengiringi langkah perempuan asing itu—dengan tubuh harum, seperti datang dari masa silam—untuk memasuki kamarnya. Membangunkan suaminya.
Perempuan berkain dan berkebaya itu membawa pergi Mandor Karso. Tersihir, istri Mandor Karso tak sanggup mencegah kepergian suaminya. Ia menatap kepergian mereka di pintu depan. Memandang lama hingga punggung mereka lenyap dalam gelap malam. Ia percaya suaminya tak akan pergi lama. Mungkin ini urusan bukit gersang yang diratakan dengan tanah. Tentu Mandor Karso akan segera kembali.
Istri Mandor Karso menunggu di ruang tamu. Dalam kantuk, sebelum dini hari, ia berharap suaminya mengetuk pintu. Tiba-tiba ia sangat rindu asap tembakau yang senantiasa mengepul setiap kali suaminya berada di rumah.
Istri mandor itu menyeduh kopi panas. Menggoreng pisang. Sebungkus rokok kesukaan suami diletakkan tak jauh dari asbak yang dipenuhi puntung dan abu. Ia menunggu. Azan subuh sudah memancar ke langit dini hari, suaminya belum pulang. Ia menanti di depan pintu. Tetangga yang melihat istri Mandor Karso berdiri termangu di pelataran, menyapanya heran, “Kenapa kau berdiri di situ?”
“Menunggu suami pulang.”
Tak seorang pun menaruh rasa curiga. Tak seorang pun tahu bila Mandor Karso telah pergi bersama seorang perempuan berkain berkebaya dengan dandanan priyayi, dan belum juga kembali sampai saat ini. Istri Mandor Karso terus menunggu. Matahari mulai menghangat di pucuk-pucuk pepohonan. Tapi Mandor Karso tak kembali.
Istri Mandor Karso melihat seorang tetangga, lelaki tua, berjalan tergopoh-gopoh. Menghampirinya. “Kulihat suamimu membersihkan makam Nyai Laras. Tinggal di surau kosong. Sejak pagi ia berada di sana.”
***
“Apa kau tak ingin pulang?” pinta istri Mandor Karso.
“Rumahku di sini. Aku penjaga surau dan kubur Nyai Laras.”
Istri Mandor Karso merasakan sesuatu yang aneh menimpa diri suaminya. Laki-laki itu tak lagi merokok. Ia membersihkan makam seharian itu. Membersihkan surau. Membersihkan rumah kosong. Seperti tak merasa lapar, haus, dan lelah. Lelaki setengah baya itu juga seperti tak membutuhkan apa pun. Ia makan sekadarnya. Tak lahap seperti semula. Tak suka merokok.
“Pulanglah. Aku akan tinggal di sini, selamanya,” kata Mandor Karso. Istri Mandor Karso terlunta-lunta. Langkahnya pelan-pelan, limbung, menahan goncangan dada, serupa dahan-dahan rapuh terhembus angin.
Mandor Karso masih membersihkan surau yang lama ditinggalkan orang-orang. Ia tak peduli lagi dengan bukit yang digempur begu, diangkut tanah-tanahnya, hingga terhampar dataran tandus, rata dengan jalan raya, dengan suara truk-truk yang terus menderu. Mandor Karso menemukan dunianya yang berbeda sama sekali dari hari kemarin dan sebelum ini. Ia merasakan angin sejuk, matahari tak lagi menyengat, dan pergeseran waktu yang temaram.
Orang-orang di dekat surau kosong itu mendengar derit timba sumur, air yang mengucur mengisi tempat wudu. Ketika matahari tepat di atas puncak pohon mangga, dan tak lagi membangkitkan bayang-bayang, dari surau itu terdengar suara azan, parau, tetapi alangkah menyejukkan hati orang-orang. Telah bertahun-tahun semenjak lelaki setengah baya santun memboyong keluarganya ke kota yang jauh, dan rumah tua itu dikosongkan, dari surau tak pernah terdengar azan, gemericik air wudu, suara orang sembahyang dan anak-anak mengaji. (*)




Cerpen Ilham Mahendra (Republika, 14 April 2013)

Obrolan Kematian ilustrasi Rendra Purnama

SORE masih sangatlah terang, namun gerimis turun mengetuk genting-genting rumah warga. Ibu-ibu berlarian keluar rumah dengan dasternya yang terangkat setinggi lutut. Bergegas mengangkat kemeja, kaos, celana, pakaian dalam, seprei, dan kain-kain yang terjemur di depan rumah.
“Ada-ada saja, terang begini kok turun hujan?” gundah para ibu saat melihat langit. Pakaian yang diangkat dipikul dipundak.
“Ini hujan orang mati, Bu, biasanya sebentar,” celetuk seorang ibu yang rambutnya digulung seperti konde.
“Nambah kerjaan saja,” geraknya gelisah mengangkat pakaian, mungkin dia takut masakannya gosong karena ditinggal.
Sementara para istri sibuk dengan jemuran, sebagian suami mereka yang sudah pulang kerja, mendirikan tenda dan menjajarkan kursi di depan rumah yang berada di deretan ketiga dari mulut kampung. Pelantang suara di mushala mengumumkan kabar kematian Pak Matilah. Istri dan anak semata wayangnya yang berumur 12 tahun masih belum percaya setelah mendapat kabar dari warga yang menemukan jenazah di sekitaran tambak lele.
Warga mulai sibuk menyiapkan segala sesuatunya untuk prosesi pemakaman. Di bawah pohon jambu air samping rumah duka, dua orang sibuk membuat bendera kuning sebagai tanda kabar kematian.
“Memang umur siapa yang bisa tahu ya, Jang?” seorang pria berbicara dengan orang yang di sebelahnya.
“Kalau masalah umur ada yang tahu, banyak orang yang berlomba-lomba untuk bertaubat, No,” mukanya menyolot, terlihat rokok kretek menyala di mulutnya yang hitam.
Jajang dan Marno ditugaskan untuk memasang bendera kuning di tempat yang mudah dilihat. Misalnya di mulut kampung, jalan raya dekat mushala, tiang listrik, pepohonan, dan di depan kantor kelurahan yang mengarah ke rumah Pak Matilah.
***
Kampung terlihat lengang. Pohon mahoni bergoyang diembus angin, jangkrik dan orong-orong telah bersuara. Tikus-tikus berkeliaran mencari makan. Lampu rumah-rumah yang berjajar berjarak mulai menyala dengan orang yang entah sibuk apa di dalamnya. Suasana kampung tak seramai biasanya, sangat senyap. Termasuk dua rumah yang bersampingan di kampung itu yang kadang terdengar begitu gaduh. Mungkin warga masih takut untuk keluar semenjak kematian Pak Matilah yang tiba-tiba dan masih hangat. Hanya dari rumah Pak Matilah terdengar sayup suara orang-orang sedang tahlilan.
La ilaha illallah… La ilaha illallah…
Jajang berdiri di beranda rumahnya yang berselang beberapa rumah dengan rumah Pak Matilah. Tangannya merogoh kantong celana yang berwarna krem, mengambil sebungkus rokok dan geretan api. Kemudian menyulut rokok di bibirnya yang hitam. Jajang duduk di bangku kayu, tepatnya di bawah atap rumbia rumahnya. Rambut pendeknya terangkat tersapu angin. Ia melamun sembari mengisap rokok yang makin pendek berabu.
Di samping rumah Jajang terdengar suara pintu terbuka. Lalu terdengar langkah kaki terseok di tanah. Sosok kepala melongok dari dinding beranda yang memisahkan rumahnya dengan rumah tetangganya.
“Jaang,” suaranya panjang.
Perlahan Jajang menoleh ke sumber suara. Jajang tersentak kaget, melihat bayangan hantu kepala buntung. Bulu kuduknya meremang. Tangan dan kakinya bergetar.
“Jajaang.”
Suara itu muncul lagi dengan tawa terkekeh. Jajang memberanikan diri. Kepalanya kembali menoleh. Seketika takutnya hilang karena ia tahu siapa yang menjahilinya.
“Setan kau, No!”
“Haha. Lucu kau, Jang. Masa, tukang batu takut?”
“Memangnya tukang batu tak boleh takut?!”
“Boleh saja, jangankan tukang batu, tukang kayu, guru, dan hansip juga boleh takut.”
Jajang diam sambil mengisap rokok dalam-dalam, begitu cepat. Tak ada lagi tanggapan darinya. Marno membuka pagar rumah lalu menuju bangku kayu di depan rumah Jajang. Mereka duduk berdampingan. Udara makin mendingin.
“Kira-kira Pak Matilah setelah meninggal menjadi apa, ya?” Marno membuka obrolan.
“Apa maksudmu?”
“Kau tahu tentang reinkarnasi, Jang? Misalnya orang yang suka mengedor burung, saat ia meninggal ia akan terlahir kembali menjadi burung.”
“Kalau begitu orang semacammu jika mati akan menjadi kerbau?” ketusnya datar.
“Kenapa kau bicara seperti itu?”
“Kau kan tunduk dengan istrimu.”
“Berarti juga kalau kau mati nanti, kau akan menjadi ayam karena kau takut dengan istrimu,” Marno membela diri.
Tempo obrolan mulai agak meninggi. Angin dingin tak mereka hiraukan. Jajang mengambil sebatang rokok lagi dan menyulutnya. Marno mengangkat kaki kirinya seperti orang yang santai makan di warung nasi. Terlihat sandal jepit yang ia pakai begitu kotor.
“Tahu dari mana aku ini takut pada istri? Asal kau tahu, No, aku ini lelaki sejati yang tak akan takut pada istri.”
“Kemarin lusa rumahmu begitu ribut. Aku dengar kau merengek minta ampun pada istrimu. Apa itu yang namanya tak takut? Kau tak dapat mengelak lagi.”
“Sok tahu kau, No! Sebenarnya, itu suara istriku yang meminta ampun padaku setelah aku caci habis-habisan,” Jajang terlihat gelisah, geraknya mulai gugup.
Muka Jajang merah padam, begitu cepat dia isap rokoknya. Di belakangnya tirai tersingkap. Rupanya istri Jajang menguping pembicaraan itu. Matanya melotot dari balik kaca, tangannya mengepal. Memang, kemarin lusa Jajang dan istrinya betengkar hebat. Penyebabnya sepele, hanya masalah Jajang yang telat pulang ke rumah. Istrinya mengamuk bagai gorila yang terusik tidurnya. Jajang merengek minta ampun karena terus dilempari nampan, gelas, piring, dan barang yang dekat dengan istrinya.
“Apa yang salah? Sangat jelas itu suaramu, Jang. Sama istri kok takut. Contoh aku, Jang, aku bisa menjadi penguasa di rumah. Jadi, saat bereinkarnasi, aku akan menjadi singa karena aku bisa menguasai istriku,” cakapnya bangga.
“Apa katamu? Dasar pembual! Kemarin aku juga dengar, istrimu membentakmu. Kau disuruh beli sayur oleh istrimu yang katanya nurut denganmu. Apa itu yang namanya penguasa di rumah?”
“Memang kau dengar seperti itu, tetapi setelah itu aku memarahinya. Masa, laki-laki disuruh beli sayur? Jadi, aku tetap menjadi singa, kau akan menjadi ayam!” tukasnya sambil memukul-mukul dada.
Napas Marno tersengal, di rumahnya terdengar suara mendehem dari istrinya. Sebenarnya, kemarin ia habis-habisan dimarahi istrinya karena tak mau membeli sayur. Setelah mendapat jeweran, diam-diam Marno membeli sayur. Jika ia tak menurut pada istrinya, kuping Marno akan terus dijewer hingga melar. Istrinya adalah orang yang terkenal galak di kampung itu. Badannya gemuk, rambutnya pendek, mukanya seperti singa betina yang sesungguhnya.
Udara yang semakin dingin tetap tak mereka hiraukan. Suara jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan makin jelas terdengar. Di rumah Pak Matilah tak terdengar lagi suara orang bertahlil. Orang-orang sudah membubarkan diri, menenteng sebuah kantong kresek hitam. Terlihat seseorang muda berjalan ke arah Jajang dan Marno yang sedang berdebat.
“Pak Marno, Pak Jajang, akrab sekali kelihatannya. Tak ikut tahlilan, Pak?” pemuda itu bertanya sambil melemparkan senyum.
Bukannya menjawab, Jajang dan Marno malah memelototi pemuda itu. Karena terus dipelototi, pemuda itu semakin mempercepat langkahnya. Setelah pemuda itu hilang dalam gelap, Marno dan Jajang kembali berhadapan. Mereka melanjutkan perdebatan yang sempat terputus.
“Sudah, terima saja jika nanti kau menjadi kerbau!”
“Tak mungkin aku menjadi kerbau, kaulah yang akan menjadi ayam, Jang.”
“Kau tetap menjadi kerbau. Masa, orang yang tunduk dengan istri menjadi singa?! Cepat pulang sana, mungkin istrimu sudah mengasah golok dan akan membacok mulutmu yang banyak omong!” emosi Jajang memuncak.
“Kau saja yang pulang, istrimu di rumah sudah siap menghajarmu dengan panci!” Marno makin tak tahan, kedua tangannya mengepal kencang.
Obrolan makin memanas seperti air bergolak dalam panci. Sebagian lampu rumah-rumah warga sudah padam. Di kejauhan terdengar suara kentungan diketuk hansip. Di kampung itu hanya mereka berdua yang masih di luar rumah. Mukanya sama-sama memerah, dengus napasnya saling beradu.
“Jang, kau sama saja dengan bapakmu.”
“Kenapa kau bawa-bawa bapakku yang sudah almarhum?!” tanyanya kesal.
“Iya. Kau sama dengan bapakmu, sama-sama takut istri. Kau tahu bapakmu sudah menjadi ayam? Mungkin ayam yang tadi aku makan,” Marno meledek.
“Kau menghina almarhum bapakku, aku bunuh kau!” Jajang makin geram. Tangannya siap melayangkan tinju, namun ia urungkan.
“Haha, sebelum kau tikam perutku, lehermu akan aku tebas!”
Emosi Jajang dan Marno sudah sampai ke ubun-ubun kepala. Suara mereka semakin ribut, masih mendebatkan masalah pengecut dan penakut, reinkarnasi, singa, ayam dan kerbau, ditambah masalah saling bunuh. Muka yang merah makin terlihat merah. Mereka yang sedari tadi duduk, sudah berdiri dengan tangan kiri yang mengepal dan telunjuk tangan kanan yang saling tunjuk. Begitu dekat muka mereka. Saling berhadapan, saling melotot, dan beradu mulut. Nampak ludah-ludah bermentalan.
“Diam kau pengecut!” bentak Marno sambil menempeleng kepala Jajang.
“Berani-beraninya kau menempeleng kepalaku!” Jajang balas menempeleng kepala Marno, lebih kencang dua kali lipat.
“Berisik!” terdengar suara bagai letusan pistol dari dalam rumah mereka masing-masing. Rupanya istri mereka makin geram melihat pertengkaran suaminya. Rumah-rumah tetangga sangat senyap. Apa para warga tak mengetahui keributan itu atau mereka tak peduli pada keributan itu? Para warga memang tak peduli, karena malas menghadapi istri Marno dan Jajang. Sifat kedua istri mereka tak jauh beda. Terlebih lagi istri Jajang yang mukanya begitu sangar, mulutnya tak mau diam saat mencerocos, ia juga begitu ringan tangan. Para warga kampung sudah begitu khatam melihat kehidupan keluarga yang rumahnya berdempetan itu. Hampir seminggu tiga kali kedua keluarga itu bertengkar hebat. Warga yang ikut campur akan mendapatkan omelan pedas dari para istri mereka.
“Sudah, jangan mengurusi masalah keluarga orang lain, mengurus keluarga sendiri saja belum becus,” begitulah kalimat yang akan didapatkan warga yang ikut campur.
“Cepat masuk! Sudah malam masih terak-teriak. Masuk cepat!!” suara istri Jajang dan Marno lantang, satu komando.
“Dengar ya, No, aku yang menjadi singa.”
“Kau salah, Jang, akulah yang menjadi singa.”
Muka mereka yang sedari tadi sangat berdekatan mulai merenggang. Mereka membubarkan diri. Obrolan tentang kematian dan reinkarnasi terpaksa disudahi. Kampung mulai tenang kembali, sebab tak terdengar lagi suara obrolan yang memakai urat. Marno dan Jajang melangkah perlahan menuju rumah. Muka mereka pucat karena ketakutan, kepalanya yang saling menunduk. Mereka membuka pintu rumah dengan sangat hati-hati, lalu menutupnya kembali. Sontak terdengar suara sambutan yang sangat ribut, seperti tiupan sangkakala tanda awal peperangan. Jajang dan Marno habis dicaci istri, dilempari piring, gelas, panci, juga pukuli sapu.
Tak lama, kampung kembali senyap. Suara jangkrik makin nyaring. Kedua pintu rumah terbuka kembali, dua bayangan orang terlihat keluar dari rumah.
***
Di mulut kampung terlihat dua orang sedang memasang dua bendera kuning. Kini, di sana ada tiga bendera kuning yang berkibar tertiup angin.
“Kira-kira masalah apa ya, kok mereka saling bunuh? Padahal semalam aku lihat mereka sangat akrab,” tanya seorang muda, kepalanya memakai peci hitam.
“Apa urusanmu?” jawab singkat seorang muda yang memakai kaos hitam.
“Mereka bereinkarnasi menjadi apa, ya?”
“Mana aku tahu,” masih singkat jawabannya.
“Kalau kau nanti mati, kau mau bereinkarnasi menjadi apa?” tanyanya dengan muka penasaran. (*)


Bandung, 4 Desember 2012
Penulis lahir di Jakarta pada 6 juni 1992. Tercatat sebagai mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Kini bergiat dalam komunitas sastra Cengos Si, CD Teater, dan sedang belajar menulis puisi mbeling, serta pendatang baru dalam dunia sastra Indonesia