Cerpen Erni Aladjai (Media Indonesia, 21 April 2013)

Mariantje dan Pasangan Tua ilustrasi Pata Areadi

RABU pagi yang bercahaya, mereka terbangun dalam satu selimut. Laura dan Don masih bersama. Tak ada yang pergi lebih dahulu. Tuhan masih ingin melihat mereka melewati hari-hari baru.
Setiap malam, menjelang kelopak mata mengatup, Laura akan memasukkan jemarinya ke sela-sela jemari Don. Ritual rahasia mereka, yang hanya diketahui oleh Mariantje.
Perlahan-lahan Laura bangkit dari ranjang, mengamati rambut yang setiap helainya telah kelabu. Mengamati pipi dan dagunya yang sudah kisut.
Tiga tahun lalu, dia masih sering duduk di depan meja rias ini, menyemir rambutnya sembari bersenandung lagu jazz kuno. Dia dan Don penyuka jazz. Mereka menikmati jazz sejak pertama kali jazzmasuk Batavia.
Dia masih ingat, suatu malam Batavia begitu ramai, beberapa musikus Filipina datang untuk mencari kerja. Di lobi hotel dan jalan-jalan, mereka memperkenalkan instrumen angin. Trompet. Saksofon. Boleros. Rumba. Ah, kenangan itu selalu bagai hembusan angin sore yang menenangkan.
Ingatan pada irama jazz pertama kali di kota ini selalu abadi di kepalanya, sebab pada hari itu pula, sesuatu yang membuatnya bahagia telah terjadi.
Mula-mula Don membeli dua buah tiket untuk menonton pertunjukan jazz di Hotel Des Indes. Waktu itu, umur Don 18 tahun. Masih muda dan senang memakai topi bowler—serupa topi yang sering dikenakan Charlie Chaplin—celana pantalon, dan jas.
Adapun Laura berumur 16 tahun, mengenakan gaun shifon bertabur bunga lotus, dia naik trem bersama Don. Keberangkatan mereka ke Hotel Des Indes bersamaan dengan elektrifikasi pertama kali pada jalur kereta api rute Batavia-Buitenzorg.
Dia mendengar hal itu dari pembicaraan dua meneer dalam satu gerbong. Dan pada saat suara saksofon Soleano, musikus Filipina, terburai di langit-langit Hotel Des Indes, Don memasangkan sebuah cincin parlop di jari manis Laura.
***
Laura menyukai pagi. Dia tak pernah mau melewatkan momentum matahari keluar dari peraduannya. Dan pagi ini, dia tak lagi menyemir rambut. Laura Tua seolah-olah telah berjanji pada setiap helai rambutnya bahwa mulai hari ini hingga di kemudian hari, rambutnya tak akan lagi ‘sesak napas’ dengan baluran pewarna rambut yang kaku.
Tak ada lagi sarung tangan. Tak ada lagi bubuk semir Tancho di meja riasnya. Rambutnya akan dibiarkan kelabu. Wanita tua itu kemudian melangkah ke jendela kamar. Jendela itu selalu dia umpamakan serupa layar bioskop. Di sana, di balik kacanya, ada dua pohon kersen dengan batang yang saling silang. Sangkar burung nuri peliharaan Don tergantung di salah satu tunggulnya.
Setiap pagi, si nuri akan menyapa ketika Laura membuka tirai. “Selamat pagi sayangku,” itulah yang dikatakan si nuri. Don yang mengajari burung itu menyapa Laura saban pagi.
Seolah ketika itu, Don sudah tahu suatu hari dia hanya bisa berbaring dengan selang di hidung. Stroke telah mematikan sebelah tubuhnya. Laura Tua mengangguk, menertawai burung nuri yang menggoyang-goyangkan pantatnya.
Lalu ucapan yang sama juga selalu dia dengar dari mulut Mariantje.
“Selamat pagi, Nyonya, hari ini kau tampak sehat dan bercahaya,” Laura tertawa.
Mariantje perempuan tinggi besar, berkulit kelam dengan rambut yang diikat sapu tangan itu riang memasuki kamar Laura dengan tongkat pel. Mariantje baru saja selesai merebus kentang untuk sarapan pagi Laura.
Ia membantu segala hal di rumah Laura. Memasak. Mencuci pakaian. Menyetrika. Menyapu pekarangan dan berbelanja.
Sudah lima tahun perempuan asal Sanger, Manado, itu bekerja pada Laura. Setiap Sabtu pagi, ada tambahan belanja yang ditugaskan Laura padanya. Laura memintanya pergi ke toko buku. Membeli novel bagus terkini dan dia akan membaca dengan kaca pembesar, untuk Don.
Laura menyukai cara Mariantje bekerja. Mariantje menyukai rumah Laura. Wangi lemon, sederhana, dan senantiasa terdengar alunanjazz. Setiap pagi, Mariantje akan mengengkol gramofon kuno milik Laura, memasang piringan hitam lagu jazz yang dipesannya.
“Pagi ini Natalie Cole, Mariantje.”
Bagi Mariantje, ada banyak keharuan di rumah Laura, seperti dua malam lalu. Saat dia datang mengecek kondisi Laura. Dia lihat wanita tua itu duduk di sisi Don. Membacakan Don sebuah novel bersampul merah hati.
Meski Don tak bisa bergerak lagi, Laura percaya Don masih mendengar. Seperti biasa, suara Laura terdengar gemetar meski sebenarnya dia tak bermaksud gemetar. Usia tua membuat suaranya serupa itu.
“Don sayang, ada petikan yang bagus dalam novel ini, dengar baik-baik ya, sebab saya tak suka membaca dua kali,” kata Laura.
Nun di sana menderau air sungai yang suci,  di sana kita menyelam di bawah naungan palma. Mimpikan impian yang serba bahagia. “Jadi, bahagialah, sayang!”
Di bingkai pintu kamar Laura, Mariantje melihat pemandangan itu dengan haru. Laura memang seorang pembaca novel yang baik.
Itu Max Havelaar, yang ia beli di jalan Kwitang. Penjualnya membujuk Mariantje, “Ini buku bagus, Pram dan Kartini membacanya, kau harus punya,” katanya.
***
Setelah ritual membaca novel, Laura menemui Mariantje. Mereka bercakap-cakap di dapur. Kali ini Laura melakukan pembicaraan serius dengannya.
“Mariantje, saya minta maaf tak bisa membayar gajimu beberapa bulan ini. Saya sedih karena kau tak pernah mengeluhkan itu.”
“Oh, Nyonya jangan berkata begitu. Membolehkan saya tinggal di sini sudah lebih dari cukup,” Mariantje menggenggam tangan Laura.
“Jika suatu hari saya tiba-tiba pergi, kunci rumah saya selamanya milikmu. Itulah yang mampu saya wariskan padamu. Tolong rawat burung nuri Don. Kelak, jika ada museum jazz di kota ini, sumbangkanlah piringan hitam kami.”
“Terima kasih telah mengurus saya dan Don,” tambah Laura setengah berbisik.
“Tak perlu mengulang-ulang terima kasih, Nyonya. Sayalah yang berterima kasih.”
Sudah empat bulan memang, Mariantje tak lagi dibayar oleh Laura. Uang pensiun Don dan Laura bahkan hanya cukup untuk biaya perawatan Don, makan seadanya, dan membeli novel setiap pekan.
Mariantje tak mengeluh. Mengenal Laura bagi dia adalah kebahagiaan. Mariantje ingat pertama kali dia bertemu Laura, wajahnya lebam, bibirnya pecah. Mereka bertemu di swalayan.
Laura datang membeli mayones dan susu kedelai. Mariantje datang membeli sebungkus mi instan yang akan dia makan tanpa diseduh.
Tak ada yang peduli dengan wajah lebam dan bibirnya yang pecah. Semua orang hanya memperhatikan rak belanja. Satu-satunya perempuan yang bertanya kondisinya hanya Laura.
“Kenapa wajahmu? Kau jatuh?” Tanya Laura mendekat. Tanpa menunggu jawaban, Laura menggandeng tangan Mariantje ke rumahnya. Di sana, Laura mengompres dahi, pipi, dan bibir Mariantje dengan es batu.
“Kenapa Nyonya mau membawa saya masuk?”
“Kau terluka,” itu saja jawaban Laura. Laura memberi Mariantje pakaian, daster bergambar kembang sepatu. Memberinya selimut dan mengantar Mariantje ke kamar tamu.
Bertemu Laura membuat Mariantje yakin untuk berpisah dari Tigor. Dia tak tahan dengan segala hal yang ada pada Tigor. Bau bir. Membanting telepon. Menyembunyikan uang. Menggebrak meja. Merontokkan kaca jendela. Mariantje lari pada tengah malam ke rumah Laura.
***
Minggu pagi, Mariantje berangkat ke gereja. Hari itu ia ingin berdoa agar Don dan Laura tetap sehat. Mariantje sangat takut jika Tuhan memanggil kedua orang itu.
Jika boleh memilih, Mariantje berharap dia yang mati lebih dulu. Dia tak punya siapa-siapa di Pulau Jawa, selain Laura. Mariantje menghitung, besok tepat 170 hari, Don terbaring di tempat tidur. Sungguh waktu yang sabar untuk Laura.
Dalam perjalanan pulang dari gereja, Mariantje singgah membeli bunga. Dia membeli dua tangkai bunga iris dan empat tangkai mawar putih. Mariantje pernah membaca sebuah majalah wanita tahun 80-an di rumah Laura. Kata artikel itu, bunga iris dan mawar putih adalah bunga yang tepat untuk diberikan pada sahabat yang kita cintai.
Bunga iris bermakna “Saya selalu di sini, siap sedia kapan pun kau membutuhkan.” Sementara mawar putih bermakna “Saya akan selalu bersamamu, selalu menyayangimu.”
***
Mariantje melangkah pelan-pelan ke kamar Laura dengan bunga iris dan mawar putih di dadanya. Kamar begitu sunyi. Di sana, di atas ranjang berseprai putih. Laura terbaring miring, tangan kanannya melingkari tubuh Don yang tertelentang dengan mulut terbuka.
Mariantje mendekat ke wajah Laura. Perutnya bergolak. Perlahan-lahan jari telunjuknya menyentuh lubang hidung Laura. Tak ada embusan. Mariantje meraba tangan Laura. Begitu dingin.
Tanpa sadar air matanya mulai menetes. Tiga jari kanannya kemudian menyentuh pergelangan tangan Don, denyut itu juga sudah tak ada. Don sudah bebas.
“Mungkin memang sudah saatnya mereka pergi,” batin Mariantje. Ia terisak. Teringat pembicaraan dia dan Laura dua malam lalu: Mariantje, sudah lama saya ingin pergi bersama dengan Don. Pergi selama-lamanya. Kata orang, di dunia sana, orang-orang yang telah mati akan kembali muda. Bukankah itu indah, Mariantje? (*)


Rumah kebun, Depok 2013
Penulis lahir di Banggai, Sulteng. Novelnya, Kei, terpilih sebagai salah satu pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel, DKJ 2012.


Cerpen Afika Awwaliyah Rozzaq (Republika, 21 April 2013)

Desa Nasi Basi ilustrasi Rendra Purnama

BEBERAPA hari ini aku merasakan beberapa kali napas berat menghantuiku. Rasanya, sungguh tidak mengenakkan. Pahit. Aku melongok keluar jendela dan melihat langit. Aku tersenyum. Seandainya langit seirama dengan suasana hati penduduk desa ini, tentu saja tidak akan ada matahari, awan, dan langit biru. Terkadang, ada yang ingin aku tanyakan kepada Dia, kenapa Dia sampai hati mendamparkanku ke desa aneh ini?
Suara pintu terbuka.
“Sudah pulang, Bang?” tanyaku sambil menemani duduk di sampingnya.
Bang Isa tidak menjawab. Air wajahnya benar-benar tidak menandakan bahwa ia bahagia. Ya, paling tidak ini adalah pemandangan yang selalu aku lihat dalam dua bulan terakhir.
“Bagaimana nasi yang kau masak?” tanya Bang Isa bernada putus asa.
Aku terdiam sejenak. Jujur, aku malas membalas pertanyaannya. Tapi, akhirnya aku tersenyum juga. Akhirnya aku menjawab juga. “Bagus. Tidak basi.”
Bang Isa menarik napas panjangnya. Senyumnya mengembang sedikit.
“Sepertinya, tidak akan ada kejadian hari ini.”
Aku hanya mengamini.
***
Apa yang dapat kukatakan. Pada awalnya ini bukanlah desaku. Aku berada di desa ini baru setengah tahun ketika aku menikah dengan Bang Isa. Siapa sangka, desa ini berbeda dengan apa yang aku terka saat pertama kali menginjak tanahnya. Desa ini asri dengan perkebunan-perkebunan milik penduduk desa yang rajin tersenyum. Benar. Mereka juga sering mengirimiku dan Bang Isa buah dan sayuran dari hasil perkebunan mereka. Kala itu, Bang Isa juga masih dapat tertawa ramah. Rajin tersenyum pula seperti mereka.
Desa benar-benar berubah sejak ada nasi basi dan kematian seorang guru yang dikenal baik hati. Aku memang pernah mendengar bahwa ketika ada seseorang yang menanak nasi, kemudian nasi yang dimasaknya tiba-tiba menjadi basi. Maka, akan ada orang dekat yang meninggal. Namun, untuk kasus di desa ini, setiap ada nasi basi maka akan ada orang baik yang meninggal.
“Apa itu?”
Aku menengok spontan ke arah salah satu pedagang buah.
“Kau mengurangi takarannya, Mang!” seru seorang ibu sambil membentak seorang pedagang buah yang terlihat seperti mengurangi takaran timbangan buahnya.
Aku memandang pedagang buahnya. Luar biasa. Tidak ada urat menyesal atau takut sedikitpun di wajahnya. “Mau beli atau tidak? Saya hanya sedikit tidak baik kepadamu,”
Aku melangkah pergi dari mereka berdua. Aku tidak ingin mengetahui bagaimana kelanjutannya. Beginilah. Bukannya berlomba-lomba menjadi orang baik, tapi justru sebaliknya. Mereka tidak ingin menjadi tanda dari nasi basi berikutnya.
Kemudian, aku berhenti pada pedagang buah yang lain. Ia adalah seorang nenek yang tua renta.
“Nek, beli jeruk sekilo.”
Nenek tua itu langsung menimbangnya. Aku diam-diam memperhatikan. Tidak ada tanda-tanda kecurangan pada takaran timbangannya.
“Ada lagi, Cu?”
Aku menggeleng singkat.
“Ini untukmu,” kata nenek itu sambil menyerahkan setandan pisang.
“Untuk saya, Nek?” tanyaku ragu.
Setelah ia mengangguk, tidak ada pilihan selain menerimanya dan berterima kasih. “Nenek sangat baik. Sekali lagi terima kasih.”
Ucapanku kali ini membuatnya hening.
“Apa menurutmu Nenek baik, Cu?” Nenek itu menata susunan jeruk-jeruknya. “Tidak seperti yang lain, Nenek tidak takut mati. Umur Nenek sudah hampir delapan puluh tahun. Sudah pantas mati. Setiap kali ada penduduk yang nasinya basi, berharap itu tanda untuk Nenek, tapi ternyata bukan.”
Aku terdiam. Ada juga orang yang seperti dirinya.
“Setiap orang pasti mati dengan atau tanpa pertanda nasi basi. Jika Nenek bertahan seperti ini, Dia akan menganggap Nenek sebagai orang baik,”
Nenek itu tersenyum. “Kau sepertinya tidak takut menjadi orang baik. Apa kau juga ingin menjadi tanda nasi basi?”
Aku terkejut dengan perkataan nenek itu. Sekali lagi, aku tidak menamatkan bagian ini. Aku hanya tersenyum lalu pulang dengan membawa tomat dan setandan pisang.
Aku tidak terpengaruh dengan nasi basi itu. Sungguh?
***
Bang Isa pulang setelah melayat ke rumah penduduk desa yang meninggal yang sebelumnya didahului adanya nasi basi oleh penduduk desa yang lain. Ia menatapku gundah. Bang Isa seperti memikul beban berton-ton di atas pundaknya. Itu karena ia merasa bertanggung jawab sebagai kepala desa. Tapi, sekali lagi, itu bukanlah kewenangannya mengatur permainan-Nya. Kekuasaan-Nya lebih hebat. Hanya saja, kenapa Dia mempermainkan pikiran dan perasaan setiap orang seperti ini terhadap kematian dan kehidupan?
“Apa desa ini harus dijual? Desa ini sudah dikutuk.”
Aku tidak berkomentar.
Ya. Aku tidak tahu. Tidak ada yang lebih tepat dari diam. Ini permainan-Nya dan doaku adalah agar Dia menghentikan permainan-Nya. Ketika semuanya berhenti, Bang Isa akan menjadi orang yang dahulu aku kagumi yang rajin melantunkan ayat suci, yang wajah purnamanya bersinar karena rajin berwudhu.
***
Seminggu berlalu, tidak ada nasi penduduk yang dimasak kemudian menjadi basi. Namun, mereka percaya bahwa hal itu terjadi karena sudah tidak ada orang baik di desa ini. Iya. Penduduk desa menjadi orang-orang berwatak keras dan kasar. Pencurian hasil kebun penduduk menjadi marak dilakukan oleh orang-orang desa ini sendiri. Sebab itu, banyak penduduk desa tenggelam dalam kelaparan dan kemiskinan. Sedangkan Bang Isa, ia justru bertambah bingung karena desanya menjadi desa kriminal dan miskin.
“Kau mau ke mana, Ni? Di luar berbahaya.”
“Kemarin. kebun tetangga kita kecurian, Bang. Mereka mungkin sedang kesusahan.”
Bang Isa menggeleng.
“Mereka pernah memberi kita jagung rebus yang manis, Bang. Aku ingat, kau sangat menyukainya.”
Bang Isa terdiam dan terpaku di tempatnya.
“Bang, nasi basi itu, kenapa tidak menjadi tanda bagiku? Apa aku tidak cukup baik?”
“Apa maksudmu? Jangan bicara yang aneh-aneh.”
Aku tersenyum simpul. “Bang, sejak ada kasus nasi basi itu, semuanya sedikit demi sedikit melepaskan jubah kebaikan. Mereka lupa jika suatu saat semuanya pasti mati. Dan, yang bersama-Nya justru hanyalah orang-orang yang baik. Nasi basi yang bergulir sambung-menyambung seakan-akan mempermainkan kematian kita. Tapi, itu tidak lain hanyalah terapi untuk menguji kita, Bang.”
Bang Isa menggenggam tanganku. Erat. Seperti anak yang ketakutan.
“Lalu. Lalu, apa yang harus aku lakukan, Ni?”
***
Kemudian, di saat banyak penduduk desa mengikuti permainan-Nya, aku dan Bang Isa mulai melawan alur permainan. Kami mulai membangun kembali keramahan desa ini dengan membantu tetangga dan orang-orang yang hasil kebunnya dicuri. Kami tidak membuat mereka agar kembali ramah dan tersenyum seperti dulu. Tapi, mereka melakukan itu atas kemauan sendiri karena melihat kami ramah dan tersenyum. Jelas, setiap orang di desa ini merindukan untuk tersenyum dan berbuat baik seperti dulu. Sebelum kasus nasi basi memuncaki iman mereka.
Jubah kebaikan orang-orang desa ini mulai dipakai lagi setahap demi setahap. Uluran tangan yang satu ke tangan yang membutuhkan yang lain, begitu seterusnya, membuat kebaikan merebak dengan mudah, seperti teralirkan angin. Pencurian pun memudar dengan sendirinya karena terkalahkan oleh kebaikan penduduk desa yang lain. Atau, karena mereka yang melakukan pencurian lelah untuk menyakiti penduduk desa yang tinggal bersama mereka. Mungkin juga karena mereka adalah orang baik. Hanya, karena tidak ingin menjadi tanda bagi nasi basi, mereka menghindar dengan tidak menjadi orang baik. Lama-lama, mereka lelah dengan tidak menjadi diri mereka.
Begitu juga dengan Bang Isa. Ia kembali.
“Alhamdulillah. Desa ini, kembali seperti dulu Ni,” ucap Bang Isa semringah.
Aku mengangguk singkat sambil menyiapkan lauk pauk untuk sarapan.
“Tapi Ni, ketika semua orang kembali menjadi orang baik, kalau ada pertanda lagi. Bagaimana?”
Aku membuka tutup penanak nasi. Aku terdiam sesaat. Lalu aku tersenyum simpul.
“Berarti, kita harus terus dan lebih menjadi orang yang baik. Waktu sebagai manusia memang terbatas dan Dia memberi pertanda. Tidak ada yang salah, Bang.”
Aku menengok ke arah Bang Isa yang membalas pernyataanku dengan senyumnya. Aku kembali menarik napas panjang. Bagaimana tidak, aku melihat nasi basi di hadapanku.
Lagi-lagi, aku tidak menamatkan bagian ini. (*)


Bandung, 14 Februari 2013





Cerpen Yetti A.KA (Kompas, 21 April 2013)

Ia yang Menyimpan Api di Hatinya ilustrasi Lucia Hartini 

MAURA membiarkan kancing bajunya tetap terbuka, meski ini bulan Agustus yang dingin. Angin badai berembus di luar. Beringas. Mematahkan beberapa cangkah dahan belimbing atau batang ubi kayu di belakang rumah. Terdengar suara seng yang seakan mau lepas. Meneror. Menusuk-nusuk pendengaran Maura yang terus waspada. Terus berpikir kemungkinan seseorang tengah mendekat ke arah rumah, menggedor pintu keras-keras sambil meneriakkan namanya dengan suara yang kasar.
“Kau tidak mungkin berani pulang. Tidak mungkin.” Maura memandang nyalang pada gorden yang bergerak-gerak tiap kali angin menembus celah kecil jendela, “Sebaiknya kau memang tidak pulang. Kau tidak tahu bagaimana aku menyimpan marah bertahun-tahun. Sesak. Kau tidak mengerti bagaimana cara aku melewatinya, dan berulang-ulang memaafkanmu. Sesak sekali. Sungguh, aku bisa saja mencekikmu jika saja kau ada di depanku sekarang.”
Angin badai terus saja berisik sepanjang malam. Maura merasa kedinginan. Tapi ia tetap bersikeras tidak akan menutup dadanya. Dada yang siang tadi diremas pemilik laundry tempat ia bekerja satu bulan ini—tempat kerja barunya setelah ia memilih berhenti di toko roti. Dada yang kemudian disulut rokok di beberapa bagian—tentu sesudah ia diperkosa secara brutal dan tubuhnya dibikin babak belur oleh suaminya yang memaksa ia menceritakan kejadian pelecehan yang membuat ia menangis pelan dan membuka semua kancing baju setiba di rumah sore tadi dengan sangat marah.
“Kau memalukan.”
“Dia lelaki keparat.”
“Kau menjijikkan.”
“Dia bajingan.”
“Kau murahan.”
“Dia binatang.”
Mata Maura bertatap sengit dengan suaminya. Mata teduh itu telah berubah merah. Ia bukan lagi Maura yang biasanya menangis diam-diam di atas tempat tidur setiap kali lelaki itu habis memukuli, menuduh, dan menghakiminya.
“Kau jalang!” umpat suaminya geram saat keluar pintu. Lelaki itu masih mengumpat-umpat sepanjang jalan. Ia ingin mengeluarkan semua serapah yang masih tersisa. Mau menunjukkan betapa ia lelaki yang terpukul karena ulah pemilik laundry itu, dan lupa kalau Maura justru yang paling terluka.
Sekarang sudah larut malam, lelaki brengsek itu tidak mungkin pulang di tengah serangan angin badai yang mungkin saja menumbangkan pohon-pohon di pinggir jalan. Badai yang membuat siapa pun tidak mungkin nekat berada di luar kecuali seorang pemabuk yang sedang teler dan ingin merayakan hidupnya sambil bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan. Lelaki itu bisa jadi sedang mabuk berat di kedai minuman. Namun ia bukan jenis orang yang suka merayakan hidup dengan cara seperti itu. Ia hanya akan berada di kedai. Bermain-main dengan gadis muda si pelayan kedai hingga akhirnya tertidur di atas bangku atau lantai.
Maura merasa lega saat ia mulai memikirkan lelaki itu tidak mungkin pulang. Ia kelelahan, lalu tidur dengan kancing baju yang tetap terbuka—sebab ia marah.
***
Dan dalam tidurnya itu Maura melihat dirinya berumur lima belas tahun menangis ketakutan di samping rumah dengan dinding-dinding lembab berlumut tipis. Ia sedang sembunyi dari kejaran ibu yang ingin memukulinya dengan tangkai sapu. Seluruh tubuh Maura gemetar, seolah-olah ia akan segera pecah berkeping-keping. Bola matanya berkeliling liar, mirip pencuri yang waswas tertangkap tangan. Tidak. Ibunya tidak mencarinya hingga keluar rumah. Maura menyandarkan badan di dinding dengan mata melihat ke langit sambil menyesali kenapa ia mesti memecahkan mangkuk kesayangan ibu. Ibu menyayangi semua perabot dapur melebihi apa atau siapa pun di rumah. Maura tahu itu cara ibu mengatasi ketidakbahagiaannya. Cara ibu menjalani hari-harinya agar ia tidak terus- menerus menyumpahi bapak yang sering bermalam di rumah pelacuran. Cara ibu mengalihkan cinta yang menghancurkan harga dirinya.
Cara ibu itu lalu membuat Maura sering gugup dalam situasi apa pun, di mana pun. Maura yang menjadi penakut. Maura yang terus-menerus merapatkan kedua tangan di dada sembari menundukkan muka dalam-dalam bahkan saat seharusnya ia tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa. Maura yang setiap saat selalu merasa akan dipukuli ibu, dipukuli bapak, dipukuli kakak, dipukuli teman-teman kakak, dipukuli teman-temannya.
Maura yang kemudian begitu ketakutan pada teman kakak yang menciuminya ketika ia sendirian di rumah. Maura yang takut payudaranya dipegang kakak karena ia begitu tidak berdaya. Maura yang hampir diperkosa, entah oleh siapa, pada malam sepi di kamar mandi dekat dapur, dan itu membuatnya menggigil berhari-hari, dan ia tidak berani mengatakan apa pun pada ibu yang bila marah suka memorak-porandakan apa pun yang ada di dekatnya. Maura yang teramat pengecut—yang sesungguhnya sangat ingin ia lupakan!
Tidak. Tidak. Maura bukan sedang mengarang cerita. Tubuhnya memang sering digerayangi kakak bersama teman-temannya. Kakak yang tertawa-tawa. Teman-teman kakak yang terbahak mirip orang sinting. Bapak juga begitu bila mabuk dan pulang tengah malam, berteriak kasar memanggil nama ibu. Karena ibu sudah tertidur (atau pura-pura tidur?) Maura yang membukakan pintu. Di depan pintu itu bapak sering mendekap tubuh Maura. Maura meronta-ronta, membuat ibu terbangun. Ibu selalu mengira Maura mengalami mimpi buruk atau terserang penyakit yang membuat orang berjalan ketika tidur.
“Kau mulai gila,” tuduh ibu.
Maura menciut, ngeri.
“Semua orang di rumah ini mulai gila,” kembali ibu berkata. Maura makin tersudut.
“Seharusnya kau tidak membuat keributan malam-malam begini!” bentak ibu, gusar. “Kau tahu, kita sungguh-sungguh bisa mati dalam kegilaan,” ceracau ibu disambung dengan tangisan histeris yang lebih menyeramkan dari cerita hantu di kuburan. Kemudian cepat sekali ibu telah berlari ke dapur, mengambil sapu, dan memukuli Maura dengan tangkai sapu itu. Keributan itu berakhir ketika ibu kehabisan tenaga, terduduk lemas; menangis sepanjang sisa malam di sisi bapak yang sudah mendengkur di lantai yang, sekali atau dua kali, menyebut nama pelacur yang begitu ia cintai.
Dalam tidur yang gelisah itu, Maura terus melihat dirinya tumbuh membawa hati yang tidak sempurna. Hatinya yang terlanjur sumbing. Retak di mana-mana. Suatu kali ketika ia genap berumur delapan belas tahun, ia menjenguk ke dalam hatinya itu di kamar yang gelap, namun anehnya ia mampu melihat apa pun, maka ia terpekik menemukan bayi-bayi api berdesak-desakan di sana. Mereka sedang belajar mendesis. Lidah mereka yang kecil menjulur-julur, berkilat merah. Cepat-cepat Maura menutup rapat hatinya. Itu rahasia yang tidak bisa ia sampaikan pada siapa pun. Rahasia.
***
Maura terbangun dengan rasa tawar. Kulit tubuhnya dingin, sementara kepala terasa penuh dan berat. Bayi-bayi api masih berkelebatan di pikirannya. Ia melihat ke dadanya yang masih terbuka. Ia ingin sekali menjenguk ke dalam hatinya setelah sekian lama nyaris lupa kalau ia punya rahasia. Bisa jadi bayi-bayi api yang dulu itu sudah menjelma lidah api yang besar dan mengancam. Maura curiga api itulah yang membakar dirinya, sejak semalam.
Maura menyeringai, dan mengurungkan niatnya. Kesadaran membuat ia kembali merasakan seluruh tubuh yang nyeri. Ia meraba pipi, punggung, siku, kaki. Mulutnya mendesis tidak jelas. Semacam ekspresi sakit yang coba ia tahan. Ia lawan. Akh, betapa tidak mudah melawan sesuatu yang mendekam dalam diri. Ia mendengus geram, berkali-kali.
Sedikit tenang, ia mulai memandangi pintu, gorden jendela, meja, kursi, televisi. Tidak ada yang berubah. Diam dan kaku. Sesaat ia terpikir tentang halaman belakang yang pasti berantakan setelah serangan angin badai kemarin malam. Batang ubi dan cangkah belimbing yang berserakan. Sekali lagi ia menyeringai, “Angin badai yang ganas, dia benar-benar tidak pulang.”
Maura melihat jam di atas meja. Pukul delapan. Seharusnya pukul sembilan ia berangkat ke tempat laundry. Bersama rekan kerja mereka bergantian menjaga meja, menerima pakaian kotor yang diantar pelanggan, menimbang, mencatat, memberikan tanda bukti dan melepas kepergian orang itu dengan sedikit senyuman, memisah-misahkan jenis pakaian, memberi tanda tertentu pada berkeranjang-keranjang pakaian kotor, memasukkan cucian ke dalam mesin untuk kemudian dibilas, dijemur, disetrika.
Disetrika.
Maura mendadak berdiri. Ia hiraukan ngilu pada sekujur tubuh. Ia biarkan saja kancing bajunya tetap terbuka. Tergesa ia masuk ke kamar. Mengambil setrika dan sekeranjang baju. Dengan cekatan juga ia sambungkan setrika pada kontak listrik.
Setrika menyala. Api di dada Maura ikut menyala.
Ia ambil salah satu blus hitam kesayangannya. Ia mulai menyetrika, pelan-pelan. Sepelan ia mengingat kembali masa-masa buruk yang ia lalui; ketika ia dipukuli ibu, dipukuli bapak, digerayangi kakak yang terbahak-bahak bersama teman-temannya, dipukuli suaminya yang sering mabuk seperti bapak, dilecehkan pemilik laundry bertubuh tambun menjijikkan.
“Iblis,” desisnya geram.
Maura menekan setrika di atas blus dengan gerakan yang semakin berat. Seberat perasaan yang coba ia tahan bertahun-tahun, ia pendam bersama rahasia bayi-bayi api di Mauranya. Perasaan berat yang sekarang ingin ia lepaskan, dan karena itu ia berteriak keras-keras, “Kalian iblis!” Kalimat itu menggema, mengembang mirip bunga cahaya.
Diambilnya lagi pakaian dalam keranjang, kemeja lengan pendek motif garis vertikal milik suami. Saat menyetrika kemeja itu Maura membayangkan tengah menyetrika dada kakak dan teman-temannya yang kurang ajar, dada ibu yang sering memukulinya dan membuatnya ketakutan, dada bapak yang pemabuk dan lebih mencintai pelacur daripada ibu, dada suaminya yang pemalas juga keparat, dada pemilik laundry yang sungguh bajingan—yang membuat ia membiarkan kancing bajunya terus terbuka hingga kini karena ia terlalu marah. Begitu juga ketika ia menyetrika kaus oblong atau celana pendek. Ia terus membayangkan tengah menyetrika dada kakak dan teman-temannya, dada ibu, dada bapak, dada suaminya, dada pemilik laundry. Mata Maura merah. Semakin merah. Ia terus menyetrika dengan mata yang merah, dengan tubuh yang marah, hingga seseorang menggedor pintu keras-keras, meneriakkan namanya dengan suara teramat kasar pada pagi di pengujung Agustus sehabis diterjang angin badai. (*)



Cerpen Ayi Jufridar (Media Indonesia, 14 April 2013)


Perempuan Beraroma Garam ilustrasi Pata Arendi


PEREMPUAN itu berdiri di sana, di depan pintu yang senantiasa terbuka setelah subuh agar rezeki menyerbu ke dalam bersama udara segar, meski justru nyamuk yang paling banyak masuk. Tubuhnya tinggi menjulang, dengan sebuah keranjang rotan berisi garam bertengger diam di atas kepalanya. Dia tidak pernah memegang keranjang tersebut bahkan saat berjalan dari kampung ke kampung. Tubuhnya bergerak berirama ketika kaki terayun, tapi keranjang rotan itu tetap diam, seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari kepalanya.
Dari tempatku duduk di atas lantai semen, dia terlihat bagaikan seorang raksasa yang kelaparan. Tubuhnya tambun dengan kulit gelap serupa kain hitam yang digunakan sebagai alat di kepalanya yang ujung-ujungnya menutup kedua telinga. Hidungnya seperti buah jambu dengan dua lubang besar dan gelap. Kata kakak, dia tidak menelan anak-anak melalui mulutnya yang berbibir tebal dan hitam seperti lintah, melainkan memasukkan langsung melalui kedua lubang hidungnya. Dia melakukan  itu bila keranjang di kepalanya tidak cukup lagi menyimpan anak-anak yang tidak menghabiskan nasinya di piring.
Sering aku berpikir bagaimana dia melakukan semua itu. Lubang hidungnya memang besar, lebih besar dari lubang hidung kakek yang berbulu putih dan mencuat keluar. Namun, jangankan memasukkan kepalaku, kepalan tanganku pun rasanya tidak akan muat ke lubang itu. Kakak mengatakan lubang hidung sangat elastis, dia bisa melar seperti karet. Semua lubang hidung demikian adanya, tapi lubang hidung perempuan itu akan menelan apa saja yang dijejaki tuannya, termasuk anak-anak. Kakak mengajariku memasukkan seluruh jemari—mulai kelingking yang kecil sampai jempol yang besar—ke lubang hidung dan semuanya masuk dengan mudah. “Begitulah dia memasukkan anak kecil ke lubang hidungnya.”
Aku percaya karena bisa saja seorang perempuan mempunyai kelebihan seperti itu. Kakak mengingatkanku agar tidak perlu takut sejauh tidak ada sebutir nasi pun yang tertinggal di piring. Meski demikian aku selalu gemetar bila perempuan itu berdiri di sana dan bertanya ummi ada di rumah atau tidak. Dengan didera perasaan takut, aku menjawab pertanyaannya dengan mengatakan bahwa tadi pagi tidak ada nasi yang tersisa di piringku.
“Baguslah, kalau tidak kamu akan diseruduk kerbau,” sahutnya dengan air muka dingin.
Merasa sudah aman setelah mengabarkan piring sarapan yang kosong, aku berlari ke dalam memanggil ummi. Bukan untuk memberitahukan kedatangan perempuan itu, melainkan untuk menanyakan mengapa kita akan diserubuk kerbau kalau tidak menghabiskan nasi. Sahut ummi, kerbau marah karena setelah lelah membajak sawah, tubuhnya perih kena pecut, tetapi nasi tidak dihabiskan. “Kita harus menghargai kerja keras semua makhluk, meski hanya seekor kerbau.”
Ummi yang sudah tahu kedatangan perempuan itu dari suaranya yang khas seperti lelaki, bergegas ke depan dan aku mengikuti dengan bergelayutan pada kainnya sehingga menyulitkan langkahnya yang tersuruk. Perempuan itu sudah menurunkan keranjangnya di tanah, dan aku selalu ingin melihat isinya apakah benar-benar anak-anak. Ketika memastikan isi keranjang hanya garam seputih kertas plastik yang membungkusnya, kakak belum berhenti menakutiku. Menurutnya, anak-anak yang tidak menghabiskan isi piring atau makan berserakan atau menolak makan sayur, akan dimasukkan ke dalam keranjang dan kemudian menjelma menjadi garam yang dijual perempuan berlubang hidung besar dari kampung ke kampung.
Aku tidak percaya lagi dengan semua bualan kakak. Aku tahu perempuan itu hanya menjajakan garam ke setiap kampung. Dan garam itu mereka buat dari air laut, bukan dari tubuh anak-anak. Mereka datang dari sebuah kampung di tepian pantai. Orang-orang di kampungnya membuat garam dengan cara menjemur air laut di tempat yang tak jauh dari tepi pantai. Beberapa perempuan di kampung itu menjual garam ke kampung lain berjalan dengan kaki telanjang sampai puluhan kilometer. Mereka berangkat berkelompok, kemudian berpencar, dan pulangnya kembali berkelompok. Garam tidak harus dibeli dengan uang, lebih banyak penduduk menukarkan dengan makanan dan barang lain. Para penjaja garam lebih senang dengan beras karena di kampung mereka tidak ada sawah. Mereka juga mau menukarkan dengan panci, sendok, gelas, atau peralatan dapur lain yang masih baru meski sudah pernah digunakan. Mereka juga bersedia menukar dengan pakaian bekas tetapi masih layak pakai. Kriteria layak pakai menurut penjaja garam itu sangat berbeda dengan pemahaman kami. Pakaian yang telah puluhan kali dipakai dan disikat sehingga di bagian kerah mulai aus atau warnanya sudah luntur, dalam pandangan penjaja garam masih sangat layak. Tentu kita akan mendapatkan garam yang lebih banyak dengan pakaian yang lebih baru, apalagi dengan label yang masih menggantung.
Bagi masyarakat kampung kami—dan kampung lain—garam tidak hanya digunakan untuk mengasinkan makanan. Garam juga digunakan sebagai lauk ketika tidak ada menu lain sebagai teman nasi. Tinggal menaburi garam dan mengaduknya dengan minyak bekas gorengan ikan, nasi sudah bisa dilahap dengan nikmat. Garam juga kami gunakan untuk membunuh lintah. Kakak pernah menjerit-jerit sepulang dari sawah ada seekor lintah bertengger di betisnya. Ummi dengan tenang menaburi garam di atas tubuh lintah yang kemudian terjatuh dan menciut mati. Yang belum dapat kupahami adalah garam juga dipakai untuk mengusir roh jahat. Aku melihat sendiri ketika bayi tetangga kami meraung-raung tanpa sebab jelas, seorang perempuan tua menaburkan garam di depan rumah sambil membaca mantra. Ajaibnya, bayi itu pun diam tak lama kemudian.
Sampai sekarang aku masih belum mengerti bagaimana itu bisa terjadi. Sama tidak mengertinya mengapa perempuan berhidung besar itu yang harus datang ke rumah kami. Kadang ada beberapa perempuan penjaja garam yang melintasi rumah, tapi yang lain langsung melewati rumahku dan dia yang masuk. Menanyakan ummi kalau aku ada di luar, atau langsung berbicara dengan ummi kalau kebetulan sedang berada di atas gazebo atau di teras. Pernah aku meminta ummi agar melarang perempuan itu masuk dan digantikan dengan penjaja garam lain. Ummi mengatakan tidak ada alasan melarangnya karena dia orang yang baik, jujur, dan taat beragama. Beberapa kali dia memang menumpang salat di rumah kami.
Pada saat itulah aku mencium aroma garam menguar dari tubuhnya meski keranjang rotan sudah disimpan di luar rumah, di atas gazebo. Entah aroma itu muncul dari tangannya yang selalu bersentuhan dengan garam, atau garam itu tercipta dari seluruh tubuhnya yang dibakar matahari.
Aroma itu terasa demikian kuat sehingga aku seperti bisa melihat bentuknya. Sampai bertahun-tahun kemudian, bahkan sampai aku meninggalkan kampung halaman untuk kuliah, aroma itu masih melekat di puncak hidung. Ketika pulang kampung pada momen tertentu seperti liburan semester atau libur Idul Fitri dan Idul Adha, aku merasakan kerinduan teramat dalam terhadap aroma garam itu.
Kerinduan yang tumbuh justru di saat tak ada lagi seorang penjaja garam pun di kampung kami dan kampung-kampung lain. Masyarakat tidak lagi membutuhkan mereka. Garam bisa dibeli di pasaran, bahkan di supermarket yang mulai hadir di kota. Dibeli dengan uang atau dengan kartu kredit, tidak perlu ditukar dengan beras, makanan, pakaian, atau peralatan dapur.
Kakak, yang sudah menikah dan punya dua anak, sudah punya dua kartu kredit. Kemajuan menyerbu demikian cepat dan ganas sampai ke dapur dan isi dompet kami.
Saat duduk di lantai rumah yang sudah berkeramik dan menatap pintu yang terbuka, aku sering menarik napas panjang dan berharap aroma garam itu memenuhi paru-paru. Kadang yang tercium malah polusi udara yang keluar dari knalpot motor anak baru gede di jalanan depan rumah.
Aku tidak pernah membicarakan tentang perempuan penjual garam dengan ummi setelah beranjak dewasa. Namun ketika merindukan aroma khas yang menyengat hidung, aku bertanya kepada ummi tentang mereka, terutama perempuan berhidung besar yang sering datang ke rumah kami.
“Ummi pernah bertemu di pasar. Sekarang mereka bekerja serabutan. Ada yang jadi penyapu jalan, pemulung, bahkan ada yang jadi pengemis dan beberapa yang lain sudah meninggal. Zaman sudah berubah. Mereka tak bisa lagi hidup dengan menjual garam.”
“Ummi pernah jumpa Wak Mah?” aku mengetahui perempuan itu bernama Fatimah setelah dewasa, tapi semua orang termasuk ummi memanggilnya Wak Mah.
“Dia sudah meninggal.”
“Karena tsunami?”
Ummi menggeleng. “Ditembak. Ada yang menuduhnya menyimpan senjata api di dalam tumpukan garam. Saat diperiksa tentara, memang ditemukan pistol di dalam keranjang rotannya. Tapi itu pistol mainan hasil penukaran dengan garam. Dia bersedia menukar karena ingin memberikan mainan untuk cucunya.”
“Kalau pistol mainan kenapa harus ditembak?” tatapku panik.
“Tentara baru tahu itu pistol mainan setelah Wak Mah terluka di dadanya. Tentara kita ‘kan selalu begitu, tembak dulu periksa kemudian. Komandannya hanya minta maaf, tentara itu tak pernah dihukum. Katanya kematian Wak Mah diberitakan di koran, fotonya juga ada di sana. Ummi tidak baca, cuma dengar dari kakakmu.”
Hatiku serasa diiris-iris. Begitu lama tercenung sehingga tatkala tersadar, ummi sudah tidak berada lagi di sampingku. Mataku nanar menatap ke luar, ke halaman yang panas dibakar matahari yang masih garang meski sudah condong ke barat. Dalam cuaca seperti ini, biasanya aroma garam terasa lebih tajam bila perempuan itu datang. Namun, sore itu hidungku mengendus aroma harum serupa misik yang tidak pernah kucium seumur hidupku.  (*)


Ayi Jufridar, karya-karyanya dimuat di berbagai media nasional. Aktif di Balai Sastra Samudra Pasai, sebuah lembaga yang dibentuk sejumlah penulis di Aceh. Tiga novelnya yang sudah terbit, Alon Buluek Gelombang Laut  yang Dahsyat (Grasindo, 2005) yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Belanda dengan judul Alon Buluek (de Verschrikkelijke Zeegolf)Kabut Perang (Universal Nikko, 2010), dan Putroe Neng (Grasindo, 2011). Akhir 2012 lalu, Ayi diundang ke Ubud Writers and Readers Festival di Bali serta ke Amerika Serikat untuk kegiatan kepenulisan.




Cerpen S Prasetyo Utomo (Kompas, 7 April 2011)

Penjaga Kubur Nyai Laras ilustrasiMade Uuk Paramartha

SIAPA berani membongkar kubur Nyai Laras di atas bukit yang diratakan dengan jalan raya? Di puncak senyap bukit gersang tiada henti gemuruh begu mengeruk tanah berbongkah-bongkah, truk-truk menderu menuruni jalan aspal. Tercecer-cecer guguran tanah sepanjang pinggang bukit. Mandor Karso berkacak pinggang. Mengepulkan asap rokok. Mengawasi sopir-sopir truk mengangkut bongkahan-bongkahan tanah, menyusuri jalan raya. Mereka, sopir-sopir itu, sesekali mengomel, melontarkan perasaan tak suka pada Mandor Karso yang berperangai congkak. Tapi mereka tak bisa mengelak dari perintah lelaki setengah baya itu.
Pepohonan di atas bukit gersang ditebang, dipotong-potong. Kayu-kayu diangkut truk pembeli, yang ditentukan Mandor Karso. Batu-batu dipecah, bertumpuk-tumpuk. Mandor Karso pula yang menjualnya. Binatang-binatang liar penghuni bukit yang masih tersisa, seperti luwak, berlari menghindar, mencari tanah berbukit dan belukar yang tak terenggut tangan manusia.
Tinggal puncak bukit, gubuk aus makam Nyai Laras, yang belum terbongkar begu. Dibiarkan makam terpencil di puncak bukit itu tetap berada di tempatnya. Mandor Karso sudah memanggil seorang penggali kubur muda untuk memindahkan makam Nyai Laras, perempuan pengembara yang menjadi nenek moyang orang-orang di perkampungan sekitar bukit.
“Kuberi kau ongkos dua kali lipat untuk memindahkan makam ini,” kata Mandor Karso pada penggali kubur muda.
Penggali kubur muda itu menggeleng. Wajahnya tanpa cahaya. “Saya tak berani.”
“Coba, cari penggali kubur yang berani memindahkan kubur Nyai Laras,” pinta Mandor Karso. Penggali kubur muda itu menampakkan kebimbangan. Mandor Karso memandangnya dengan tajam.
Penggali kubur muda mengangguk. Tampak ia tak yakin dengan anggukan kepalanya: sangsi akan kesanggupan penggali kubur lain untuk memindah makam Nyai Laras.
***
Lelaki setengah baya penggali kubur dari desa tetangga menemui Mandor Karso. Sepasang mata lelaki setengah baya penggali kubur itu bimbang. Mandor Karso tersenyum meyakinkan penggali kubur. Ia ingin lelaki setengah baya itu menemukan kekuatan hati untuk memindah makam Nyai Laras.
“Kau berani menggali kubur Nyai Laras?”
“Akan kulihat dulu makam itu,” tukas penggali kubur setengah baya. Ia mengangguk setengah hati, mengikuti langkah Mandor Karso, menyeberangi hamparan tanah gersang kecoklatan, mendaki bukit, pohon-pohon tumbang, bongkahan batu dihancurkan, truk pengangkut tanah dan begu yang siap meruntuhkan makam Nyai Laras di puncak bukit. Gubuk kecil tua itu masih kokoh di atas makam tak terawat. Mandor Karso merasa pasti bakal meruntuhkan ketakutan orang untuk membongkar makam.
Penggali kubur setengah baya yang memanggul linggis dan cangkul, terhenti melangkah sebelum mencapai makam Nyai Laras. Tubuhnya kaku. Mengejang. Tak lagi bisa melangkahkan kaki. Mandor Karso seperti ingin mempengaruhi penggali kubur setengah baya, dengan kemarahan yang terpendam dan seperti ingin menarik tubuh kaku itu. Penggali kubur setengah baya itu memancarkan rasa takut. Memucat wajahnya.
“Kalau kau tak berani membongkar makam ini,” kata Mandor Karso, “temani saja aku di sini. Akan kugali sendiri.”
Mandor Karso mengambil cangkul, membongkar makam, dengan tenaga dan ayunan yang kencang. Tubuhnya gemetar. Terus mencangkul. Tak berhenti mencangkul. Sesekali cangkulnya terantuk batu. Ia menggunakan linggis. Penggali kubur setengah baya hanya termangu. Berdiri memandangi Mandor Karso yang bercucuran peluh menggali kubur Nyai Laras.
Sebuah peti jenazah sudah disiapkan di atas mobil bak terbuka: untuk diisi tulang belulang dan tanah di dalam kubur. Ayunan cangkul Mandor Karso tinggal sejenggal lagi mencapai tulang-belulang Nyai Laras. Ia tersentak ketika ujung cangkulnya bersentuhan dengan tulang-belulang manusia. Peti jenazah diisi tanah dan tulang-belulang itu. Tercium bau harum yang lembut, seperti yang terhirup orang pada tiap tengah malam di lembah bukit.
Tanah dan tulang-belulang dalam peti jenazah hendak diangkut mobil bak terbuka, dan dimakamkan ke kuburan kampung. Seseorang lelaki setengah baya datang dari kota yang jauh, mencegah kehendak Mandor Karso.
“Jangan kubur leluhur kami ke makam kampung. Biar beliau dimakamkan di belakang rumah, dekat surau kami,” kata lelaki setengah baya santun itu.
“Kami tak akan membayar penggali kubur untuk memakamkan Nyai Laras ke sana!” Mandor Karso menentang. Sorot matanya tajam. Tatapannya memberangus lelaki setengah baya santun di hadapannya. Tapi lelaki setengah baya dari kota yang jauh itu tersenyum, mengangguk-angguk, meruntuhkan keangkuhan Mandor Karso.
“Biar kami yang membayar pemakaman Nyai Laras. Ini leluhur kami, dan aku keturunannya. Takkan kutelantarkan makamnya,” tukas lelaki setengah baya dari kota yang jauh. Peti berisi tulang-belulang dan tanah Nyai Laras diangkut mobil terbuka ke rumah tua di tepi kota, yang telah bertahun-tahun dikosongkan, berlumut, lembab, dengan kelelawar beterbangan. Sebuah surau rapuh di depan rumah tua juga dibiarkan kotor, lapuk, tak seorang pun merawatnya. Surau itu tak digunakan orang-orang untuk sembahyang. Tak pernah terdengar suara azan berkumandang dari dalamnya.
Penggali kubur setengah baya membuat liang lahat di halaman belakang rumah tua, dan orang-orang kampung, sungguh menakjubkan, berdatangan, membantu pemakaman Nyai Laras. Mereka berdoa di sekitar makam yang baru dipindahkan. Membersihkan pekarangan di sekitar rumah tua kosong. Duduk bersama di bawah pohon-pohon di sekitar makam Nyai Laras. Mengelilingi lelaki setengah baya santun dari kota yang jauh—dulu, keluarganya menempati rumah kosong itu.
Seseorang membawa makanan. Orang lain membawa minuman, nasi tumpeng, dan buah-buahan untuk dimakan bersama. Mereka sangat menghormati lelaki setengah baya santun dari kota yang jauh itu. Betapa hormat orang-orang pada keturunan Nyai Laras, yang selalu berbicara lembut pada orang-orang kampung. Mandor Karso tersingkir dari perbincangan. Orang- orang kampung tak menampakkan kebencian pada Mandor Karso. Tapi tak seorang pun mendekat dan menyapanya.
***
Tertidur malam hari setelah memindahkan makam Nyai Laras, dalam gelisah, Mandor Karso mengigau. Dalam tidurnya, ia bermimpi, Nyai Laras datang mengetuk pintu. Istrinya membukakan pintu. Tersenyum lembut Nyai Laras. Belum tua benar. Berkain, berkebaya, dengan dandanan priyayi. Istri Mandor Karso terperanjat. Dalam mimpi Mandor Karso, istrinya membawa Nyai Laras ke kamar.
“Jangan malas, Karso! Bangun, ikut aku!” kata Nyai Laras.
Mandor Karso tergeragap. Tatapannya kabur. Tubuhnya lemas. Ia tak berani menatap sepasang mata Nyai Laras, yang memancarkan penaklukan. Sepasang mata yang meminta kesetiaan.
“Kau harus menjagaku!”
Dalam mimpi, Mandor Karso tak sanggup menukas. Tak sanggup bertanya. Ia bangkit. Mengikuti langkah Nyai Laras. Meninggalkan kamar. Tanpa menoleh. Langkahnya beberapa jengkal di belakang pantat Nyai Laras. Di ambang pintu istri Mandor Karso terus memandangi punggung suaminya yang menjauh. Menghilang dalam gelap malam. Mandor Karso tak pernah bertanya, ke mana ia dibawa Nyai Laras. Ia seperti tak punya kesadaran untuk bertanya.
Malam sangat pekat. Tapi terasa menenteramkan hati Mandor Karso. Ia mencapai rumah kosong, surau tua dan makam Nyai Laras. Rumah tua itu sangat sunyi. Telah bertahun-tahun ditinggalkan penghuninya. Ini rumah lelaki setengah baya santun, keturunan Nyai Laras, yang kini bertugas di kota yang jauh.
“Kau mau tidur di mana?”
“Saya akan menjaga surau, Nyai.”
“Jangan lupa. Kau harus menjaga rumah besar itu pula!”
Mandor Karso memilih tidur di sebuah kamar kosong di surau. Ia tenteram. Surau itu tak digunakan orang-orang untuk sembahyang. Surau yang remang-remang. Lampu menyala terus-menerus sepanjang hari, siang-malam. Orang-orang lebih suka datang ke masjid yang megah. Tersekap dingin, Mandor Karso menyungkup tubuhnya dengan kain sarung. Ia memejamkan mata.
Nyai Laras meninggalkan lelaki setengah baya yang terlelap itu. Memendam senyum.
***
Tengah malam itu istri Mandor Karso tergeragap dari tidur di sisi suaminya. Ia mendengar ketukan pintu berkali-kali. Ia tergeragap ketika pintu dibukanya, yang datang seorang perempuan belum tua benar, berkain, berkebaya, dengan dandanan priyayi. Meminta bertemu suaminya. Istri Mandor Karso seperti tak kuasa menolak. Ia mengiringi langkah perempuan asing itu—dengan tubuh harum, seperti datang dari masa silam—untuk memasuki kamarnya. Membangunkan suaminya.
Perempuan berkain dan berkebaya itu membawa pergi Mandor Karso. Tersihir, istri Mandor Karso tak sanggup mencegah kepergian suaminya. Ia menatap kepergian mereka di pintu depan. Memandang lama hingga punggung mereka lenyap dalam gelap malam. Ia percaya suaminya tak akan pergi lama. Mungkin ini urusan bukit gersang yang diratakan dengan tanah. Tentu Mandor Karso akan segera kembali.
Istri Mandor Karso menunggu di ruang tamu. Dalam kantuk, sebelum dini hari, ia berharap suaminya mengetuk pintu. Tiba-tiba ia sangat rindu asap tembakau yang senantiasa mengepul setiap kali suaminya berada di rumah.
Istri mandor itu menyeduh kopi panas. Menggoreng pisang. Sebungkus rokok kesukaan suami diletakkan tak jauh dari asbak yang dipenuhi puntung dan abu. Ia menunggu. Azan subuh sudah memancar ke langit dini hari, suaminya belum pulang. Ia menanti di depan pintu. Tetangga yang melihat istri Mandor Karso berdiri termangu di pelataran, menyapanya heran, “Kenapa kau berdiri di situ?”
“Menunggu suami pulang.”
Tak seorang pun menaruh rasa curiga. Tak seorang pun tahu bila Mandor Karso telah pergi bersama seorang perempuan berkain berkebaya dengan dandanan priyayi, dan belum juga kembali sampai saat ini. Istri Mandor Karso terus menunggu. Matahari mulai menghangat di pucuk-pucuk pepohonan. Tapi Mandor Karso tak kembali.
Istri Mandor Karso melihat seorang tetangga, lelaki tua, berjalan tergopoh-gopoh. Menghampirinya. “Kulihat suamimu membersihkan makam Nyai Laras. Tinggal di surau kosong. Sejak pagi ia berada di sana.”
***
“Apa kau tak ingin pulang?” pinta istri Mandor Karso.
“Rumahku di sini. Aku penjaga surau dan kubur Nyai Laras.”
Istri Mandor Karso merasakan sesuatu yang aneh menimpa diri suaminya. Laki-laki itu tak lagi merokok. Ia membersihkan makam seharian itu. Membersihkan surau. Membersihkan rumah kosong. Seperti tak merasa lapar, haus, dan lelah. Lelaki setengah baya itu juga seperti tak membutuhkan apa pun. Ia makan sekadarnya. Tak lahap seperti semula. Tak suka merokok.
“Pulanglah. Aku akan tinggal di sini, selamanya,” kata Mandor Karso. Istri Mandor Karso terlunta-lunta. Langkahnya pelan-pelan, limbung, menahan goncangan dada, serupa dahan-dahan rapuh terhembus angin.
Mandor Karso masih membersihkan surau yang lama ditinggalkan orang-orang. Ia tak peduli lagi dengan bukit yang digempur begu, diangkut tanah-tanahnya, hingga terhampar dataran tandus, rata dengan jalan raya, dengan suara truk-truk yang terus menderu. Mandor Karso menemukan dunianya yang berbeda sama sekali dari hari kemarin dan sebelum ini. Ia merasakan angin sejuk, matahari tak lagi menyengat, dan pergeseran waktu yang temaram.
Orang-orang di dekat surau kosong itu mendengar derit timba sumur, air yang mengucur mengisi tempat wudu. Ketika matahari tepat di atas puncak pohon mangga, dan tak lagi membangkitkan bayang-bayang, dari surau itu terdengar suara azan, parau, tetapi alangkah menyejukkan hati orang-orang. Telah bertahun-tahun semenjak lelaki setengah baya santun memboyong keluarganya ke kota yang jauh, dan rumah tua itu dikosongkan, dari surau tak pernah terdengar azan, gemericik air wudu, suara orang sembahyang dan anak-anak mengaji. (*)




Cerpen Ilham Mahendra (Republika, 14 April 2013)

Obrolan Kematian ilustrasi Rendra Purnama

SORE masih sangatlah terang, namun gerimis turun mengetuk genting-genting rumah warga. Ibu-ibu berlarian keluar rumah dengan dasternya yang terangkat setinggi lutut. Bergegas mengangkat kemeja, kaos, celana, pakaian dalam, seprei, dan kain-kain yang terjemur di depan rumah.
“Ada-ada saja, terang begini kok turun hujan?” gundah para ibu saat melihat langit. Pakaian yang diangkat dipikul dipundak.
“Ini hujan orang mati, Bu, biasanya sebentar,” celetuk seorang ibu yang rambutnya digulung seperti konde.
“Nambah kerjaan saja,” geraknya gelisah mengangkat pakaian, mungkin dia takut masakannya gosong karena ditinggal.
Sementara para istri sibuk dengan jemuran, sebagian suami mereka yang sudah pulang kerja, mendirikan tenda dan menjajarkan kursi di depan rumah yang berada di deretan ketiga dari mulut kampung. Pelantang suara di mushala mengumumkan kabar kematian Pak Matilah. Istri dan anak semata wayangnya yang berumur 12 tahun masih belum percaya setelah mendapat kabar dari warga yang menemukan jenazah di sekitaran tambak lele.
Warga mulai sibuk menyiapkan segala sesuatunya untuk prosesi pemakaman. Di bawah pohon jambu air samping rumah duka, dua orang sibuk membuat bendera kuning sebagai tanda kabar kematian.
“Memang umur siapa yang bisa tahu ya, Jang?” seorang pria berbicara dengan orang yang di sebelahnya.
“Kalau masalah umur ada yang tahu, banyak orang yang berlomba-lomba untuk bertaubat, No,” mukanya menyolot, terlihat rokok kretek menyala di mulutnya yang hitam.
Jajang dan Marno ditugaskan untuk memasang bendera kuning di tempat yang mudah dilihat. Misalnya di mulut kampung, jalan raya dekat mushala, tiang listrik, pepohonan, dan di depan kantor kelurahan yang mengarah ke rumah Pak Matilah.
***
Kampung terlihat lengang. Pohon mahoni bergoyang diembus angin, jangkrik dan orong-orong telah bersuara. Tikus-tikus berkeliaran mencari makan. Lampu rumah-rumah yang berjajar berjarak mulai menyala dengan orang yang entah sibuk apa di dalamnya. Suasana kampung tak seramai biasanya, sangat senyap. Termasuk dua rumah yang bersampingan di kampung itu yang kadang terdengar begitu gaduh. Mungkin warga masih takut untuk keluar semenjak kematian Pak Matilah yang tiba-tiba dan masih hangat. Hanya dari rumah Pak Matilah terdengar sayup suara orang-orang sedang tahlilan.
La ilaha illallah… La ilaha illallah…
Jajang berdiri di beranda rumahnya yang berselang beberapa rumah dengan rumah Pak Matilah. Tangannya merogoh kantong celana yang berwarna krem, mengambil sebungkus rokok dan geretan api. Kemudian menyulut rokok di bibirnya yang hitam. Jajang duduk di bangku kayu, tepatnya di bawah atap rumbia rumahnya. Rambut pendeknya terangkat tersapu angin. Ia melamun sembari mengisap rokok yang makin pendek berabu.
Di samping rumah Jajang terdengar suara pintu terbuka. Lalu terdengar langkah kaki terseok di tanah. Sosok kepala melongok dari dinding beranda yang memisahkan rumahnya dengan rumah tetangganya.
“Jaang,” suaranya panjang.
Perlahan Jajang menoleh ke sumber suara. Jajang tersentak kaget, melihat bayangan hantu kepala buntung. Bulu kuduknya meremang. Tangan dan kakinya bergetar.
“Jajaang.”
Suara itu muncul lagi dengan tawa terkekeh. Jajang memberanikan diri. Kepalanya kembali menoleh. Seketika takutnya hilang karena ia tahu siapa yang menjahilinya.
“Setan kau, No!”
“Haha. Lucu kau, Jang. Masa, tukang batu takut?”
“Memangnya tukang batu tak boleh takut?!”
“Boleh saja, jangankan tukang batu, tukang kayu, guru, dan hansip juga boleh takut.”
Jajang diam sambil mengisap rokok dalam-dalam, begitu cepat. Tak ada lagi tanggapan darinya. Marno membuka pagar rumah lalu menuju bangku kayu di depan rumah Jajang. Mereka duduk berdampingan. Udara makin mendingin.
“Kira-kira Pak Matilah setelah meninggal menjadi apa, ya?” Marno membuka obrolan.
“Apa maksudmu?”
“Kau tahu tentang reinkarnasi, Jang? Misalnya orang yang suka mengedor burung, saat ia meninggal ia akan terlahir kembali menjadi burung.”
“Kalau begitu orang semacammu jika mati akan menjadi kerbau?” ketusnya datar.
“Kenapa kau bicara seperti itu?”
“Kau kan tunduk dengan istrimu.”
“Berarti juga kalau kau mati nanti, kau akan menjadi ayam karena kau takut dengan istrimu,” Marno membela diri.
Tempo obrolan mulai agak meninggi. Angin dingin tak mereka hiraukan. Jajang mengambil sebatang rokok lagi dan menyulutnya. Marno mengangkat kaki kirinya seperti orang yang santai makan di warung nasi. Terlihat sandal jepit yang ia pakai begitu kotor.
“Tahu dari mana aku ini takut pada istri? Asal kau tahu, No, aku ini lelaki sejati yang tak akan takut pada istri.”
“Kemarin lusa rumahmu begitu ribut. Aku dengar kau merengek minta ampun pada istrimu. Apa itu yang namanya tak takut? Kau tak dapat mengelak lagi.”
“Sok tahu kau, No! Sebenarnya, itu suara istriku yang meminta ampun padaku setelah aku caci habis-habisan,” Jajang terlihat gelisah, geraknya mulai gugup.
Muka Jajang merah padam, begitu cepat dia isap rokoknya. Di belakangnya tirai tersingkap. Rupanya istri Jajang menguping pembicaraan itu. Matanya melotot dari balik kaca, tangannya mengepal. Memang, kemarin lusa Jajang dan istrinya betengkar hebat. Penyebabnya sepele, hanya masalah Jajang yang telat pulang ke rumah. Istrinya mengamuk bagai gorila yang terusik tidurnya. Jajang merengek minta ampun karena terus dilempari nampan, gelas, piring, dan barang yang dekat dengan istrinya.
“Apa yang salah? Sangat jelas itu suaramu, Jang. Sama istri kok takut. Contoh aku, Jang, aku bisa menjadi penguasa di rumah. Jadi, saat bereinkarnasi, aku akan menjadi singa karena aku bisa menguasai istriku,” cakapnya bangga.
“Apa katamu? Dasar pembual! Kemarin aku juga dengar, istrimu membentakmu. Kau disuruh beli sayur oleh istrimu yang katanya nurut denganmu. Apa itu yang namanya penguasa di rumah?”
“Memang kau dengar seperti itu, tetapi setelah itu aku memarahinya. Masa, laki-laki disuruh beli sayur? Jadi, aku tetap menjadi singa, kau akan menjadi ayam!” tukasnya sambil memukul-mukul dada.
Napas Marno tersengal, di rumahnya terdengar suara mendehem dari istrinya. Sebenarnya, kemarin ia habis-habisan dimarahi istrinya karena tak mau membeli sayur. Setelah mendapat jeweran, diam-diam Marno membeli sayur. Jika ia tak menurut pada istrinya, kuping Marno akan terus dijewer hingga melar. Istrinya adalah orang yang terkenal galak di kampung itu. Badannya gemuk, rambutnya pendek, mukanya seperti singa betina yang sesungguhnya.
Udara yang semakin dingin tetap tak mereka hiraukan. Suara jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan makin jelas terdengar. Di rumah Pak Matilah tak terdengar lagi suara orang bertahlil. Orang-orang sudah membubarkan diri, menenteng sebuah kantong kresek hitam. Terlihat seseorang muda berjalan ke arah Jajang dan Marno yang sedang berdebat.
“Pak Marno, Pak Jajang, akrab sekali kelihatannya. Tak ikut tahlilan, Pak?” pemuda itu bertanya sambil melemparkan senyum.
Bukannya menjawab, Jajang dan Marno malah memelototi pemuda itu. Karena terus dipelototi, pemuda itu semakin mempercepat langkahnya. Setelah pemuda itu hilang dalam gelap, Marno dan Jajang kembali berhadapan. Mereka melanjutkan perdebatan yang sempat terputus.
“Sudah, terima saja jika nanti kau menjadi kerbau!”
“Tak mungkin aku menjadi kerbau, kaulah yang akan menjadi ayam, Jang.”
“Kau tetap menjadi kerbau. Masa, orang yang tunduk dengan istri menjadi singa?! Cepat pulang sana, mungkin istrimu sudah mengasah golok dan akan membacok mulutmu yang banyak omong!” emosi Jajang memuncak.
“Kau saja yang pulang, istrimu di rumah sudah siap menghajarmu dengan panci!” Marno makin tak tahan, kedua tangannya mengepal kencang.
Obrolan makin memanas seperti air bergolak dalam panci. Sebagian lampu rumah-rumah warga sudah padam. Di kejauhan terdengar suara kentungan diketuk hansip. Di kampung itu hanya mereka berdua yang masih di luar rumah. Mukanya sama-sama memerah, dengus napasnya saling beradu.
“Jang, kau sama saja dengan bapakmu.”
“Kenapa kau bawa-bawa bapakku yang sudah almarhum?!” tanyanya kesal.
“Iya. Kau sama dengan bapakmu, sama-sama takut istri. Kau tahu bapakmu sudah menjadi ayam? Mungkin ayam yang tadi aku makan,” Marno meledek.
“Kau menghina almarhum bapakku, aku bunuh kau!” Jajang makin geram. Tangannya siap melayangkan tinju, namun ia urungkan.
“Haha, sebelum kau tikam perutku, lehermu akan aku tebas!”
Emosi Jajang dan Marno sudah sampai ke ubun-ubun kepala. Suara mereka semakin ribut, masih mendebatkan masalah pengecut dan penakut, reinkarnasi, singa, ayam dan kerbau, ditambah masalah saling bunuh. Muka yang merah makin terlihat merah. Mereka yang sedari tadi duduk, sudah berdiri dengan tangan kiri yang mengepal dan telunjuk tangan kanan yang saling tunjuk. Begitu dekat muka mereka. Saling berhadapan, saling melotot, dan beradu mulut. Nampak ludah-ludah bermentalan.
“Diam kau pengecut!” bentak Marno sambil menempeleng kepala Jajang.
“Berani-beraninya kau menempeleng kepalaku!” Jajang balas menempeleng kepala Marno, lebih kencang dua kali lipat.
“Berisik!” terdengar suara bagai letusan pistol dari dalam rumah mereka masing-masing. Rupanya istri mereka makin geram melihat pertengkaran suaminya. Rumah-rumah tetangga sangat senyap. Apa para warga tak mengetahui keributan itu atau mereka tak peduli pada keributan itu? Para warga memang tak peduli, karena malas menghadapi istri Marno dan Jajang. Sifat kedua istri mereka tak jauh beda. Terlebih lagi istri Jajang yang mukanya begitu sangar, mulutnya tak mau diam saat mencerocos, ia juga begitu ringan tangan. Para warga kampung sudah begitu khatam melihat kehidupan keluarga yang rumahnya berdempetan itu. Hampir seminggu tiga kali kedua keluarga itu bertengkar hebat. Warga yang ikut campur akan mendapatkan omelan pedas dari para istri mereka.
“Sudah, jangan mengurusi masalah keluarga orang lain, mengurus keluarga sendiri saja belum becus,” begitulah kalimat yang akan didapatkan warga yang ikut campur.
“Cepat masuk! Sudah malam masih terak-teriak. Masuk cepat!!” suara istri Jajang dan Marno lantang, satu komando.
“Dengar ya, No, aku yang menjadi singa.”
“Kau salah, Jang, akulah yang menjadi singa.”
Muka mereka yang sedari tadi sangat berdekatan mulai merenggang. Mereka membubarkan diri. Obrolan tentang kematian dan reinkarnasi terpaksa disudahi. Kampung mulai tenang kembali, sebab tak terdengar lagi suara obrolan yang memakai urat. Marno dan Jajang melangkah perlahan menuju rumah. Muka mereka pucat karena ketakutan, kepalanya yang saling menunduk. Mereka membuka pintu rumah dengan sangat hati-hati, lalu menutupnya kembali. Sontak terdengar suara sambutan yang sangat ribut, seperti tiupan sangkakala tanda awal peperangan. Jajang dan Marno habis dicaci istri, dilempari piring, gelas, panci, juga pukuli sapu.
Tak lama, kampung kembali senyap. Suara jangkrik makin nyaring. Kedua pintu rumah terbuka kembali, dua bayangan orang terlihat keluar dari rumah.
***
Di mulut kampung terlihat dua orang sedang memasang dua bendera kuning. Kini, di sana ada tiga bendera kuning yang berkibar tertiup angin.
“Kira-kira masalah apa ya, kok mereka saling bunuh? Padahal semalam aku lihat mereka sangat akrab,” tanya seorang muda, kepalanya memakai peci hitam.
“Apa urusanmu?” jawab singkat seorang muda yang memakai kaos hitam.
“Mereka bereinkarnasi menjadi apa, ya?”
“Mana aku tahu,” masih singkat jawabannya.
“Kalau kau nanti mati, kau mau bereinkarnasi menjadi apa?” tanyanya dengan muka penasaran. (*)


Bandung, 4 Desember 2012
Penulis lahir di Jakarta pada 6 juni 1992. Tercatat sebagai mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Kini bergiat dalam komunitas sastra Cengos Si, CD Teater, dan sedang belajar menulis puisi mbeling, serta pendatang baru dalam dunia sastra Indonesia