Cerpen N Mursidi (Suara Merdeka,12 Agustus 2012)




BERTAHUN-TAHUN, laki-laki itu menunggu Ramadhan (tahun ini) cepat datang. Ramadhan yang akan menggenapi usianya tepat enam puluh tiga tahun dan dia merasa yakin, jika Ramadhan tahun ini, suatu peristiwa yang sudah ditunggu-tunggu lama itu akan tiba. Dia menemui ajal, selepas shalat tarawih tepat di malam Lailatul Qadar.
Di malam yang ditunggu-tunggu itu, ia akan menunaikan shalat tawarih di tengah malam yang hening. Malam yang membuat laki-laki itu harus rela meninggalkan semua yang dimiliki dan tidak lagi memikirkan dunia. Malam yang membuatnya harus khusuk bersujud dalam hening waktu yang bisu, sunyi dan sepi—seakan-akan malam tak pernah beranjak menjadi pagi atau siang. Malam yang tak pernah dia rasakan lantaran tak ada angin berembus. Dan malam itu, ia benar-benar merasakan ajal yang ditunggu-tunggu itu akan tiba; maka ia menunaikan shalat tarawih tepat di malam yang hening—yang menurutnya malam Lailatul Qadar.
Tepat pada malam itulah, sebagaimana yang pernah dia rasakan dalam mimpinya sepuluh tahun yang lalu, ia akan beranjak tidur dengan tenang selepas menunaikan shalat tarawih dan dia berharap tak akan bangun lagi karena dia akan meninggal dengan tenang, tepat di malam Lailatul Qadar setelah ia melihat seribu kunang-kunang.
***
RAMADHAN hari pertama, sepulang dari menunaikan shalat subuh di masjid, laki-laki itu tidak kembali tidur. Dia pulang tergesa, meraih sepeda. Dalam gelap pagi, dia menggayut pedal dengan napas tersengal menuju pasar. Dia menggenjot sepedanya diiringi derit jeruji yang hampir terlepas, dan gesekan salah satu jeruji sepeda yang terlepas itu menimbulkan suara sesak di dada.
Lelaki itu tak pernah bercerita pada anaknya, mengenai kematian yang akan menjemputnya di bulan Ramadhan ini. Tahu-tahu, lelaki itu pulang dari pasar tepat ketika mentari beranjak naik di atas kepala, dan menjinjing kain kafan yang dibungkus plastik putih. Berjalan semboyongan dilanda haus, lelaki itu menyandarkan sepeda di teras lalu memasuki rumah dengan langkah terhuyung hampir jatuh. Di ruang tengah, dia menghempaskan tubuh seraya menaruh plastik putih berisi kain kafan di atas meja.
Mahmud, anak keduanya, keluar dari kamar, menguap seraya mendapati ayahnya yang terlentang di kursi panjang melepas lelah. Tubuh ayahnya gemetar, seluruh mukanya merona merah sebab dibakar terik mentari.
“Ayah dari mana? Selepas subuh sudah mengeluarkan sepeda dan pulang seperti orang dikejar hantu?”
“Dari pasar….”
“Untuk apa ayah harus pergi ke pasar pagi-pagi sekali?”
“Beli kain untuk baju….”
Mahmud melirik bungkusan plastik di atas meja, membukanya lantas membentangkan kain kafan dalam bungkusan itu. “Mana mungkin ayah akan membuat baju lebaran dari kain seperti ini?”
“Siapa bilang kain kafan itu untuk baju lebaran ayah? Itu baju kematian ayah. Mungkin, di bulan Ramadhan ini ayahmu akan dipanggil oleh Tuhan.”
Mahmud tersentak. “Ayah jangan bercanda dengan Tuhan. Ayah masih sehat dan kuat menggayut sepeda sampai ke pasar… jangan berpikir aneh-aneh!”
Lelaki itu diam dan Mahmud melangkah ke kamar mandi.
***
BELUM cukup Mahmud dikejutkan dengan kain kafan yang dibeli ayahnya, hari kedua Ramadhan, ayahnya kembali membuat anaknya terperangah. Kali ini, ayah tiga anak itu pergi ke pemakaman.
Sesudah menunaikan shalat ashar, lelaki itu pulang dari masjid dengan langkah tergesa-gesa mengambil cangkul di belakang rumah lantas berjalan ke luar perkampungan, lalu menyusuri jalan setapak ke pemakaman umum. Setiba di sudut pemakaman, lelaki itu membersihkan rumput makam istrinya—yang sudah meninggal enam tahun lalu. Setelah rumput tak lagi menghuni gundukan makam istrinya, lelaki itu bersimpuh dan menangis. Hening senja itu semakin membuat ia larut. Tak ada kata yang terucap, kecuali hanya sebait doa dalam hati yang sendu membasahi bibirnya. Ia menghapus air mata, sebelum pulang saat matahari hampir tenggelam.
Tapi, sesampai di rumah, lelaki itu seperti tidak dapat mengelak tatkala Romdon, anak ketiganya pulang kerja dan menemukan ayahnya pulang dari pemakaman dengan sebuah cangkul di pundak. “Banyak kuburan tak terurus, termasuk kuburan ibumu. Jadi, apa salahnya jika aku pergi ke pemakaman untuk membersihkannya?”
“Tapi, kenapa ayah sendiri yang harus melakukan? Tidak bisakah ayah meminta bantuan orang lain dengan memberinya upah?”
“Ada satu hal yang kita tak bisa minta bantuan orang lain. Ayahmu tahu kematian tak dapat digantikan. Ayahmu sudah tua. Jadi, tak mungkin ayahmu mengupah orang untuk menggantikan kematian ayah yang sebantar lagi akan datang….”
Romdon termangu menatap wajah ayahnya yang mulai menua di makan usia. Tetapi, Romdon sama sekali tak menemukan garis putih di dahi ayahnya yang bisa memberinya tanda jika ajal ayahnya tak lama lagi akan tiba.
***
TIDAK hanya hari kedua di bulan Ramadhan tahun ini, lelaki tua itu pergi ke pemamakan dan baru pulang saat senja tenggelam. Tetapi di hari ketiga, keempat, dan seterusnya lelaki itu masih tetap pergi ke pemakaman. Laki-laki itu pergi ke pemakanan seakan ia sudah merindukan tempat yang akan dihuni kelak, tepat usai shalat tarawih di malam Lailatul Qadar.
Dan malam ini laki-laki itu sudah menjalani puasa selama dua puluh hari.
Bulan di langit tak lagi penuh, mirip buah semangka dibelah dua. Di bilik kamar, lelaki itu berdiri melongok jendela. Tak diduga, tiba-tiba ia melihat seribu kunang-kunang berterbangan di langit dengan memancar kelap-kelip aneka warna. Cakrawala tidak lagi gelap, dan langit seperti tersepuh warna seribu kunang-kunang. Lelaki itu tidak ragu, bahwa malam ini adalah malam Ramadhan yang ditunggu-tunggu. Malam penuh berkah, dan dia merasakan ada secercah kedamaian yang menelusup dalam dadanya….
Tak ingin ia kehilangan suasana yang tak pernah ia rasakan sepanjang hidup, memandang ke angkasa dengan diam. Adzan isya’ sudah lama berlalu, tetapi suara langkah kaki orang-orang yang pergi ke masjid untuk shalat tawarih tidak menggoyahkan kakinya beranjak pergi ke masjid. Ia sudah merasa ajalnya sudah dekat. Langit yang dipenuhi dengan seribu kunang-kunang seperti mengabarkan akan berita duka tersebut.
Kini, malam yang ditunggu-tunggu itu, sudah tiba dan dia harus menunaikan shalat tawarih di tengah malam yang hening. Malam yang membuatnya harus rela meninggalkan semua yang dia miliki. Malam yang membuatnya harus khusuk bersujud dalam hening waktu, seakan-akan malam tidak beranjak menjadi pagi atau siang. Malam yang tidak pernah ia rasakan, lantaran tidak ada angin. Dan, malam ini, ia merasakan ajal yang ditunggu-tunggu akan tiba.
Ia melangkah mengambil air wudhu, kemudian kembali ke kamar, dan berdiri lagi di balik jendela. Seribu kunang-kunang yang barusan dilihatnya tak lagi terlihat. Dia mengedarkan pandangan mencarinya di segala penjuru langit. Tapi seribu kunang-kunang itu sudah hilang, tidak ia temukan lagi. Angin berhembus, menyelimuti sekujur tubuhnya dalam balutan rasa tentram yang tak pernah ia temui sepanjang hidup.
Malam seakan lama beringsut. Suara orang-orang yang menunaikan shalat Tarawih di masjid, terdengar di telinganya. Ia tahu, malam belum sepenuhnya hening. Maka, ia mengambil kitab suci di atas meja lalu membacanya dengan suara lirih. Tatkala anak-anaknya tiba dari masjid, tak menaruh curiga; kenapa ayahnya malam itu tidak shalat tarawih di masjid.
Malam merambat menjadi hening. Ia tahu anak-anaknya sudah beranjak tidur. Tepat di malam itu, ia berdiri menunaikan shalat terawih di tengah malam yang hening. Malam yang membuat lelaki itu harus rela meninggalkan semua yang dimiliki, tak lagi memikirkan dunia. Malam yang membuatnya harus khusuk bersujud dalam hening waktu yang bisu, seakan-akan malam tak pernah beranjak menjadi pagi atau siang. Malam yang tidak pernah ia rasakan, lantaran tak ada angin berhembus. Dan malam ini ia benar-benar merasakan ajal yang ditunggu-tunggu itu akan tiba dan ia pun segera menunaikan shalat tarawih.
Malam benar-benar hening.
Angin seperti diam, dan membisu.
Ia khusuk dalam sujud, dan tidak memikirkan dunia.
Usai shalat tarawih, pelan-pelan ia beranjak ke ranjang untuk tidur dan berharap di malam yang sudah beranjak menjadi pagi itu, ia tidak akan bangun lagi lantaran ia akan meninggal dengan tenang selepas shalat tarawih, tepat di malam Lailatul Qadar.
Tapi betapa terkejutnya lelaki itu tatkala waktu sahur tiba…, ia merasakan tangan kekar menyentuh tubuhnya. Abdul, anak pertamanya menggoyang-goyang tubuhnya. “Ayah…, bangun! Sudah waktunya makan sahur! Dan ada kabar sedih yang melingkupi kampung kita. Haji Salim, imam masjid di kampung kita barusan meninggal dunia.”
Lelaki itu membuka matanya, dan dilihatnya sosok anak pertamanya berdiri di tepi ranjang. Ia terperanjak karena Haji Salim meninggal dunia. Dalam hati, ia merenung: kenapa Haji Salim yang justru meninggal pada malam yang ia tunggu-tunggu itu?
Ia beranjak dari ranjang, membuka jendela, dan melongok keluar dengan mata masih setengah terpejam. Tidak ada seribu kunang-kunang di langit. Hanya ada bulan separoh bulat mirip buah semangka yang dibelah menjadi dua…. (*)
.
 .
Ciputat, Ramadhan 1431
N Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa seperti Kompas,The Jakarta PostSuara PembaruanRepublikaJurnal Nasional,Sinar HarapanSeputar Indonesia, Tabloid NovaSuara Karya, Majalah AnggunKedaulatan RakyatMinggu PagiTribun Jabar,Surabaya PostSuryaRadar SurabayaBatam PosLampung Post,Bengawan Pos, Tabloid Cempaka, dan Solo Post. Selain menulis cerpen dia juga bekerja menjadi wartawan sebuah majalah di Jakarta. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit “Dua Janji” (2010).




Cerpen Sam Edy Yuswanto (Republika, 26 Agustus 2012)


SETIAP makhluk yang bernyawa pasti kelak mati. Ya. Mati. Siapa yang telanjur hidup di dunia, siapa pun dia, pasti akan bersua ajal. Semua orang pasti tahu hal ini. Termasuk Kalimun. Sungguh, lelaki baya itu sepenuhnya menyadari, bahwa setiap orang kelak akan mati. Tidak bisa tidak.  
Tapi, entah mengapa, beberapa bulan terakhir ini, kujur raga Kalimun selalu bergigil ria acap teringat bahwa kelak ia akan bersua ajal alias mati. Kemudian dimandikan. Kemudian dikafani. Kemudian dishalatkan. Kemudian dikubur. Terlebih, usianya kini telah melewati angka 62 (dua bulan sebelas hari lagi genap 63 tahun), tentu peluang untuk lekas mati jauh lebih besar dibanding mereka yang masih remaja atau yang baru terlahir dari rahim ibu-ibu mereka. Meski Kalimun menyadari bahwa kematian itu tak kenal pandang usia, tetap saja ia diranjam takut tak berkesudah, menghadapi lecut maut malaikat pencabut nyawa yang tentunya tak kenal kata kompromi dan tak bisa ditawar lagi. Ah, seandainya saja ada tempat bersembunyi dari mati, pasti Kalimun akan lari ke sana. Bersembunyi dari kejaran malaikat maut.
Dan, Kalimun akan merasa sedikit lega saat ia teringat petuah Haji Amir; bisa saja usia muda yang lebih dulu dicerabut paksa nyawanya. Sebagaimana putra semata wayang Tusini, tetangga yang baru melahirkan sebulan lalu, yang tiba-tiba saja mati tak bermusabab. Gita, gadis kelas satu tsanawiyah yang lagi ceria-cerianya menikmati masa remaja bersama teman-teman sebaya pun mengalami nasib serupa. Malah lebih naas bin tragis; mati tertabrak mobil yang sopirnya ugal-ugalan. Maklum, sopir wanita bertubuh gempal itu sedang setengah mabuk usai berpora minuman keras di sebuah diskotik bersama kawan-kawannya semalaman. Darto, lelaki 25 tahun yang belum menikah dan juga tetangga dekat Kalimun, belum lama ini juga tewas mengenaskan, terjatuh dari pohon kelapa saat sedang memetiki kelapa yang sudah masanya dijual ke pasar. Dan masih ada sederet kisah tentang orang-orang yang mati di usia kencur yang teramat panjang jika kembali diceritakan ulang di sini.
Sungguh, betapa Kalimun merasa, saat ini belum siap untuk mati meski usianya telah mendekati standar kematian. Kata Haji Amir, Rasulullah SAW saja wafat pada usia 63. Sementara usianya kian mendekati usia wafatnya Nabi. Tuh kan, kuduk Kalimun kembali meremang hingga berpinak-pinak jika kembali memikir ucapan Haji Amir, tetua sekaligus imam masjid shalat lima waktu di masjid kampungnya.
Maka, tak usah heran, jika akhir-akhir ini kalian melihat Kalimun rajin nian menyambangi masjid untuk shalat berjamaah bersama Haji Amir yang tak pernah absen (kecuali jika sedang sakit) memimpin shalat lima waktu. Ketika Kalimun tak sempat berjamaah di masjid pun, ia selalu mendirikan shalat berjamaah di rumah, meski hanya berdua dengan Tugirah, istrinya, yang tiga tahun lebih muda dari usianya kini. Sejak menikah dengan Tugirah, 34 tahun silam, Kalimun memang tak dikaruniai anak. Sehingga ia hanya hidup berdua dengan istri di rumah kayunya yang sederhana. Keseharian Kalimun sejak berumah tangga dulu, hingga sekarang, hanya menadah rezeki melalui wasilah sawahnya yang meski tak begitu luas tapi hasil panenannya setiap setengah tahun sekali, bisa mencukupi hajat hidup sehari-harinya bersama istri.
Hei, coba kalian tengoklah, perubahan demi perubahan yang terjadi pada diri Kalimun. Dari hari ke hari, Kalimun kian rajin menyambangi masjid untuk berjamaah, tepatnya sejak ia mendengar cerita Haji Amir saat pengajian di serambi masjid beberapa hari lalu.
“Umar bin Khattab adalah sahabat yang sangat dikasihi Nabi karena ia termasuk pemimpin yang sederhana pada rakyatnya. Selain itu, Umar juga terkenal sangat gigih membela agama Allah. Namun sayang, ia tewas mengenaskan dibunuh oleh Abu Lukluk ketika akan memimpin shalat. Para jamaah pengajian yang dimuliakan Allah, itulah yang disebut kematian husnul khatimah. Umar bin Khattab termasuk golongan orang-orang yang mati syahid karena ia mati ketika akan mendirikan shalat.”
Keterangan itulah yang membikin Kalimun langsung memasung ikrar dalam hati: akan rajin menyambangi masjid, untuk berjaga-jaga, siapa tahu pas nyawanya dicabut Izrail, ia sedang dalam keadaan bersujud, sebagaimana sayyidina Umar bin Khattab yang wafat ketika hendak memimpin shalat. Seketika, kuduk Kalimun langsung meremang, saat ia kembali teringat, dulu ia sering bolong-bolong shalatnya karena berlampau sibuk mengurusi sawahnya. Jika sudah berada di sawah untuk menanam padi atau pas panen, bisa seharian ia di sana. Shalat Zhuhur dan Ashar pun bablas. Terlewat begitu saja seiring lenyapnya sayup-sayup suara azan yang mengalun dari corong masjid di sudut kampungnya.
Namun, entah mengapa, meski Kalimun sekarang ini terlihat kian giat berjamaah, ia tetap dihantam rasa was-was serta takut yang kian berkecambah dalam palung hatinya. Ia benar-benar belum siap mati saat ini. Bahkan, di sela-sela doa sehabis shalat, ia selalu memohon agar Allah memanjangkan usianya, kalau bisa hingga seribu tahun lagi.
***
   Selain berjamaah di masjid, Kalimun juga rajin menolong tetangga yang membutuhkan. Jika ada tetangga butuh uang, kalau ia sedang punya sejumlah uang yang dibutuhkan tetangga, maka ia pun akan langsung bergegas pulang, lantas menyerahkan uang itu. Bukan. Bukan untuk dipinjamkan. Tapi ia berikan secara cuma-cuma. Tak ayal, Tugirah sering geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya yang dulu terkenal lumayan pelit dan sering lupa membayar zakat padinya, kini berubah jadi sosok dermawan. Tapi di sisi lain, diam-diam Tugirah bersyukur, melihat perubahan yang terjadi pada suaminya yang akhir-akhir ini lebih mendekatkan diri pada Sang Khaliq.
“Tumben, biasanya kalau ada orang minta bantuan, pasti bilangnya lagi nggak punya uang,” kata Tugirah suatu hari, ketika rumahnya baru saja kedatangan dua pemuda dari kampung sebelah yang meminta sumbangan buat pembangunan masjid, lantas dengan wajah ramah Kalimun menyambut dan memberikan uang duapuluh lima ribu rupiah.
Kalimun hanya tersenyum menanggapi sindiran istri. Sebenarnya ia ingin menjelaskan bahwa apa yang ia lakukan adalah untuk menambal dosa-dosa masa lalunya. Kata Haji Amir, dulu Rasulullah Saw. pernah berpesan pada para sahabatnya, agar mengiringi tiap kejelekan dengan amal kebaikan, karena amal kebaikan itu bisa menghapus kejelekan yang pernah kita lakukan.
Pun ketika ada tetangga yang sedang menghelat hajatan, kalian pasti akan terheran-heran melihat begitu bersemangatnya Kalimun membantu memasang tenda, membersihkan pekarangan, menata kursi-kursi plastik, tanpa mengharap imbalan. Benar-benar tanpa pamrih. Ya, itu semua Kalimun lakukan karena ia ingin ketika Izrail tiba-tiba mencabut nyawanya, ia sedang bersibuk menolong orang. Sebagaimana ucapan Haji Amir yang pernah ia simak dengan raut serius beberapa minggu lalu.
“Sedekah itu bisa dengan cara apa saja, sesuai kadar kemampuan kita. Dengan harta, kalau kita punya. Dan bisa pula dengan tenaga, jika kita tak ada harta.”
“Maaf, Pak Haji, saya mau tanya, apakah juga termasuk husnul khatimah jika seseorang mati ketika sedang menolong orang?” Tanya Kalimun di sela-sela pengajian. Tak ia pedulikan bebisik serta sorot aneh yang terpancar dari beberapa jamaah yang duduk di kanan kirinya.
“Ya, selama ia menolong di jalan kebaikan, maka termasuk husnul khatimah, Pak Kalimun,” keterangan Haji Amir seiring kulum senyum membuat Kalimun kembali memasung ikrar; akan selalu menolong orang lain semampu ia bisa. Kapan pun. Di mana pun.
Entah mengapa, meski ibadahnya kian rajin, rasa cemas dan takut mati tetap belum bisa enyah dari benak Kalimun. Justru semakin hari semakin berkelindan dan memilin-milin hatinya. Sungguh, betapa Kalimun tak pernah lelah berbisik lirih dalam batin; duh, Gusti, aku belum siap mati saat ini.
***
Pagi itu, Tugirah merasa sekujur tubuhnya panas dingin. Sesekali tubuhnya terlihat bergigil. Rupanya angin kencang yang bertiup di musim kemarau akhir-akhir ini mulai tak bersahabat dan justru mengantarkan rerupa penyakit, terlebih bagi wanita baya macam dirinya.
“Pak, kayaknya Ibu masuk angin. Tolong, belikan Ibu obat masuk angin dan sebotol madu ya, Pak,” pinta Tugirah pada Kalimun yang baru saja selesai melaksanakan shalat Dhuha di lantai ruang tamu beralaskan sajadah merah yang agak kusam. Sejak tiga tahun terakhir, istri Kalimun memang gemar mengonsumsi madu untuk menjaga stamina tubuhnya.
Mendengar pinta istri, Kalimun sontak kepikiran macam-macam. Hei, jangan-jangan usia istrinya tak lama lagi. Jangan-jangan sakitnya kali ini menjadi pertanda bahwa sebentar lagi ia akan tutup usia. Tiba-tiba ada sesuatu yang menggelitiki kuduknya. Selain takut mati, Kalimun juga selalu merasa ngeri menyaksikan orang-orang yang sepertinya telah dekat ajalnya. Tanpa banyak kata, bahkan tanpa menjawab permintaan istri, Kalimun lekas melukar sarungnya dengan celana katun panjang untuk membelikan obat tolak angin dan sebotol madu di toko sebelah pasar wage, dekat kecamatan, jaraknya sekitar 2 kilometeran dari arah kampungnya. Biasanya, tanpa diminta pun, ia selalu membelikan madu buat istrinya di toko tersebut.
***
Kalimun memacu sepeda onthel-nya dengan kecepatan di atas rata-rata saat menuju pasar wage. Beberapa ratus meter sebelum tiba, tepatnya ketika Kalimun sedang berada di ladang tebu, ia mendengar suara teriak perempuan minta tolong. Seketika, Kalimun menghentikan sepedanya. Dipasangnya cuping keriputnya baik-baik. Suara itu sepertinya bersumber dari ladang tebu.
Baru saja Kalimun men-standar sepedanya, seorang perempuan usia 20-an tiba-tiba menyeruak, keluar dari semak pepohon tebu di sebelah kirinya.
“Pak, to… tolong saya, saya mau diperkosa orang…,” megap-megap perempuan berwajah cantik itu menjelaskan pada Kalimun. Belum sempat Kalimun berucap sepatah kata, dua pemuda berwajah setan menyeruak dari semak pepohon tebu itu dengan nafas memburu.
“Heh, orangtua! Sebaiknya kau tidak usah ikut campur urusan kami!” ucap kasar salah satu pemuda yang mulutnya berbau minuman kerasmerk murahan. Pemuda yang satunya nampak mengacungkan parang ke arah Kalimun. Tapi, hei, entah mengapa, tak sedikit pun Kalimun merasa gentar digertak seperti itu. Justru ada yang menggelegak dalam dadanya. Ia masih ingat petuah Haji Amir, bahwa menolong orang itu termasuk ibadah yang pahalanya berlipat ganda.
“Sebaiknya kalian yang cepat pergi dari sini!” Kalimun tak bisa menontrol emosi bicaranya. Sementara perempuan itu menggigil di belakangnya seraya membenahi pakaiannya yang sedikit terbuka.
Namun, baru saja Kalimun hendak pasang kuda-kuda, salah seorang pemuda yang membawa parang telah terlebih dulu menebas pundak dan menyambar lehernya. Kalimun pun roboh. Sementara pemuda yang tengah dirasuki iblis jahanam itu terus membabi buta menghajar Kalimun yang kian tak berdaya. Anehnya, justru Kalimun tak merasai sakit sedikit pun di kujur tubuhnya. Ia hanya menggumam takbir berkali-kali saat parang itu berkali menyambar tubuhnya. Sungguh, ia merasa parang itu hanya memantul-mantul di kulitnya. Tapi, begitu Kalimun melihat sekujur tubuhnya dipenuhi luka dan genangan darah segar, kedua matanya membeliak, meski tetap saja tak ia rasai sedikit pun rasa sakit.
Berselang menit, pandangan Kalimun terasa mengunang dan sekelilingnya tiba-tiba berubah kekuningan, lalu putih cerlang, hitam, dan… lap! Tiba-tiba serasa ada yang terlolos dari raganya, pelan, lembut, seperti sebatang jarum yang ditarik dari gundukan tepung. Ia hanya mampu mendengar suara jerit perempuan yang hendak ditolongnya barusan, sebelum ia merasa dibawa terbang oleh entah siapa. (*)


  Puring Kebumen, Juli 2012
Penulis lahir dan berdomisili di Kebumen, Jateng. Cerpen-cerpennya banyak dimuat di berbagai media, lokal hingga nasional. Beberapa di antaranya memenangi lomba penulisan. Ia sudah menerbitkan sejumlah buku yang menampilkan karya-karya cerpennya.





Cerpen Andrea Hirata (Kompas, 25 Juli 2010)


BARANGKALI karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar sempit yang dimuati tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin cerewet karena gerah. Barangkali karena musim kemarau telanjur berkepanjangan, kampung kami menjadi sangat tidak enak setelah bulan Maret sampai September.
Tak ada yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada hiburan di luar. Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk-liuk seperti belut sawah di atas panggung berhias pelepah kelapa di pinggir pantai, lebih menyanyikan maksiat daripada lagu. Tapi itu hanya lama-lama sekali, pun kalau harga timah sedang bagus—yang amat jarang bagus.
Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau pusat perbelanjaan untuk dikunjungi. Yang sedikit menarik perhatian hanya sebuah jam besar di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum pendeknya ngerem mendadak di angka lima. Jarum panjangnya mengembuskan napas yang terakhir di pelukan angka dua belas. Jarum detik telah minggat dengan perempuan lain, tak tahu ke mana. Melihat jam itu sejak kecil aku punya firasat, bahwa jika nanti dunia kiamat, kejadiannya akan tepat pukul lima.
Penarik perhatian lainnya adalah dua buah patung, juga di tengah kota. Patung pertama berupa seekor buaya yang sedang melilit sebilah parang. Besar, tingginya mungkin enam meter. Sejak kecil pula aku telah berusaha mencerna makna filosofis patung itu, tetapi selalu gagal. Aku hanya bisa menduga-duga, buaya adalah perlambang lelaki hidung belang, maka, semua lelaki pembuat parang patutlah dicurigai.
Patung satunya lagi juga besar dan tinggi, adalah patung para pejuang kemerdekaan tahun 45. Lengkap dengan senapan dan bambu runcing. Mereka mengacungkan tinju dengan geram, siap menyikat Belanda. Juga sejak kecil aku bertanya-tanya, mengapa pematung membuat kepala patung-patung itu secara anatomis sangat besar? Baru belakangan kutahu jawabannya, yaitu di depan patung itu kini dipasang papan reklame dan di situ para politisi sering berbusa-busa membanggakan program-program mereka. Maka tampaklah kini para pejuang 45 itu seperti ingin menonjok mereka. Jika ingin tahu definisi dari visi seorang seniman, patung itu memberi contoh yang sangat pas. Jam besar, patung pejuang 45, dan papan reklame itu adakalanya bagiku tampak bak panggung parodi, adakalanya bak wangsit, dan adakalanya bak segitiga Bermuda, yang menyimpan misteri politik republik ini.
Namun, tak pernah kami risaukan semua itu sebab kami punya sebuah museum, dan museum kami adalah museum yang paling hebat di dunia ini. Tak ada yang bisa menandinginya sebab ia museum sekaligus kebun binatang.
Baiklah, mari bicara soal museum. Di sana ada sebuah ruangan yang jika dimasuki harus membuka sandal dan mengucapkanassalamualaikum demi menghormati tombak-tombak karatan, peninggalan para hulu balang antah berantah. Uang kecil yang diselipkan ke dalam kotak di samping tombak-tombak itu dapat menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng jodoh. Anak-anak yang tak sengaja menunjuk tombak itu harus mengisap telunjuknya agar tidak kualat.
Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan-hewan berkeliaran. Itulah kebun binatang kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi orang-orang yang ingin melihat kijang yang saking buduknya sudah tampak serupa kambing. Ada pula unta gaek yang menderita sakit batuk kering stadium 4. Setiap kali dia batuk, nyawanya seperti mau copot. Ada zebra jompo yang hanya memandang ke satu jurusan saja. Tak paham aku apa yang tengah berkecamuk di dalam kalbunya. Ada orangutan uzur yang sudah ompong dan tampak terang-terangan menafsui bebek-bebek gendut di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama sekali. Lalu ada singa tua kurapan bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa itu sepertinya sangat benci pada hidupnya sendiri. Mereka muak melihat orang-orang udik yang menonton mereka di dalam kandang. Konon, mereka dihibahkan ke kampung kami karena telah afkir dari sebuah kebun binatang di Jawa, di mana mereka dianggap tidak sexylagi. Namun, seperti segala sesuatu yang selalu kami terima apa adanya, seperti segala sesuatu yang tak pernah berubah di kampung kami, makhluk-makhluk hidup segan mati tak mau itu selalu punya tempat di dalam kebun binatang kami, di dalam hati kami. Hewan-hewan itu menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor saja dari jenisnya masing-masing, jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumur-umur. Sungguh mengerikan hidup ini kadang-kadang.
“Mau ke mana kau, Bujang?” sapa penjual tebu yang berteduh di bawah patung pejuang 45 itu. Malas aku menjawabnya. Karena ia selalu menanyakan hal yang sama padaku, setiap kali aku melintas di situ, dan karena aku terpana menatap propaganda yang dikoarkan para politisi di papan reklame itu, megah bertalu-talu tentang perubahan-perubahan yang akan mereka buat. Tanpa mereka sadari, mata nanar mereka yang penuh optimisme tengah menatap jam besar yang telah rusak selama 46 tahun itu. Tanpa mereka sadari, para pejuang 45 mengacungkan tinjunya pada mereka.
“Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Jika kemarau makin menggelegak, aku menyingkir dan duduk melamun dibelai angin di sebuah kapal keruk yang termangu-mangu di sana. Kapal itu hanya tinggal segunung besi rongsokan. Mesin besar nan digdaya, dulu selalu dikagumi anak-anak Melayu. Ketika meskapai Timah masih berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung kampung, menderu siang dan malam, mengorek isi bumi untuk meraup timah. Kini, satu-satunya yang tertinggal, tempatku melamunkan nasib ini, teronggok seperti fosil dinosaurus.
Kapal keruk pernah menjadi pendendang irama hidup kami, bagian penting dalam budaya kami. Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian selama 24 jam. Tak kan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi, truk pengangkut buruh kapal keruk menjemput ayahku. Kudengar suara klakson. Ayah keluar rumah di pagi buta itu sambil menenteng rantang bekal makanan dari ibu.
Jika melihatku terbangun, ayah kembali untuk mengusap rambutku dan tersenyum. Dari dalam rumah kudengar ayah mengucapkan salam pada kawan-kawan kerjanya yang telah berdesakan di dalam bak truk. Kawan-kawan kerjanya itu adalah ayah-ayah dari kawan-kawanku. Lalu kudengar gemerincing besi saling beradu, kemudian truk menggerung meninggalkan rumah.
Sering aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi itu. Karena aku ingin melihat ayah dengan seragam mekaniknya yang penuh wibawa, yang ada test pen di sakunya, yang berbau sangat lelaki. Ayah melangkah tangkas sambil menyandangransel berisi tang, ragum, dan sekeluarga kunci Inggris. Kunci-kunci baja putih itu jika dibariskan akan membentuk satu segitiga yang sangat hebat. Kubayangkan, tugas-tugas yang berat diemban oleh bapak kunci yang paling besar, dan tugas-tugas sepele adalah bagian anak-anaknya. Aku senang melihat ayah melompat ke dalam bak truk. Dia, pria yang gagah itu, penguasa sembilan kunci Inggris anak-beranak itu, adalah ayahku, begitu kata hatiku. Lalu aku tidur lagi, sambil tersenyum.
Sepuluh tahun telah hangus sejak terakhir aku melamun di rongsokan kapal keruk itu. Jam besar di tengah kota tepat menunjukkan pukul 5 saat kutinggalkan kampungku dulu. Musim kemarau waktu itu. Sekarang, ketika aku kembali pulang, jam besar itu masih saja menunjukkan waktu pukul 5, dan musim masih kemarau.
“Mau ke mana kau, Bujang?” sapa penjual tebu waktu aku melintas dekat patung pejuang 45. Sepuluh tahun telah lewat, apa dia tak punya pertanyaan lain? Malas aku menjawabnya. Lagi pula aku tengah terpana menatap propaganda para politisi di papan reklame itu. Silih berganti mereka telah merajai papan itu. Periode demi periode mereka telah berkuasa. Silih berganti mereka telah berkoar soal perubahan-perubahan yang akan mereka buat, namun jam besar yang berada tepat di depan hidung mereka telah rusak selama 56 tahun, tetap rusak selama 56 tahun, dan para pejuang 45, tetap mengacungkan tinjunya pada mereka.
“Mau ke pinggir sungai” jawabku dalam hati. Aku melenggang pergi. Tapi sungguh merana. Sampai di sana, yang kutemui hanya semilir angin dan riak-riak halus gelombang. Bangkai kapal keruk itu lenyap, macam telah disulap seorang illusionist. Aku kembali. Pada penjual tebu aku bertanya
“Pak Cik, ke mana perginya kapal keruk itu?”
“Sudah dipotong-potong menjadi besi kiloan,” jawabnya acuh tak acuh sambil mengunyah tebunya yang tak laku. Aku terenyak. Sirna sudah kenangan manis itu, lenyap sudah kebanggaan masa kecil itu, hapus sudah kebudayaan itu. Di kampung kami, arkeologi industri telah dilanda tsunami. Saat itu, rasanya ingin aku memanjat patung itu dan bergabung dengan para pejuang 45. Namun itu tak kulakukan, karena aku telah terlambat untuk pulang, sudah sore. Kulihat jam besar itu, sudah pukul 5.
Musim masih kemarau saat aku kembali ke Jakarta dan hidup berlangsung seperti biasa. Suatu malam aku terjaga. Pukul dua pagi waktu itu. Lalu seakan kudengar suara klakson mobil truk, dan menguar suara orang-orang mengucapkan salam. Kemudian kudengar gemerincing besi saling beradu. Kulihat ke luar jendela, seorang lelaki berkelebat dengan seragam mekaniknya yang hebat, lalu truk menggerung, pelan-pelan meninggalkan rumah. Aku termangu. Kerinduan pada ayah menjadi tak tertanggungkan. (*)


Vancouver, Mei 2010
Diadaptasi dari salah satu bab dalam novel Padang Bulan dan Kisah-Kisah dari Negeri Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata