Cerpen Aris Kurniawan (Suara Merdeka, 16 September 2012)



BANYAK sekali jenis pekerjaan di dunia ini. Tapi, orang dengan pekerjaan sebagai pencabut uban mungkin hanya dapat kau temui di desa kami. Dialah Inay, perempuan lajang berusia lima puluhan. Perempuan yang membuat desa kami jadi ikut disebut-sebut dalam perbincangan di warung-warung kopi. Hampir seluruh warga desa kami pernah menikmati ketangkasan jari-jari tangan Inay mencabuti uban warga desa kami. Kepiawaiannya mencabut uban memberi kami hiburan sangat berharga, yang membuat kami mampu melupakan sejenak beban hidup kami sebagai buruh tani yang makin berat saat kekeringan melanda seperti saat sekarang.
Saban hari, sejak pagi sampai menjelang magrib, Inay berkeliling dari rumah ke rumah menawarkan jasanya mencabut uban. Telapak kakinya yang tebal karena tak pernah bersandal dengan tekun menapaki jalanan desa kami yang berdebu kala kemarau dan berlumpur kala hujan. Namun tak akan pernah kau temui kesedihan pada parasnya yang hitam. Bibirnya yang tebal selalu menyunggingkan senyum jenaka. Rambutnya yang selalu dipotong sangat pendek serta badannya yang kukuh, sepintas membuat sosoknya terlihat seperti laki-laki.
Dia berjalan melewati persawahan dan perkuburan desa yang sepi untuk mencapai rumah-rumah kami. Rumah yang hampir tak pernah absen didatanginya adalah rumah Lurah Kurdi. Begitu saja Inay menyelinap melalui pintu gerbang yang memang tidak dikunci. Lalu duduk menggelosoh di teras keramik rumah paling megah di tengah rumah-rumah warga desa kami yang berdinding anyaman bambu. Inay tak perlu mengetuk pintu atau mengucap salam. Si empunya rumah, kadang Bu Lurah, kadang Lurah Kurdi, bahkan anak-anak mereka yang masih muda-muda, akan muncul dan langsung menarik jok plastik berkaki pendek untuk diberikan kepada Inay. Dengan sigap Inay menyambut jok itu untuk didudukinya, sementara empunya rumah langsung duduk menyerahkan kepalanya kepada Inay.
“Akhirnya datang juga kamu, Nay. Sudah gatal sekali kepala ini rasanya. Jangan ke mana-mana kamu, Nay. Seharian kamu cabuti uban saya, satu helai uban seribu perak,” itulah sapaan rutin Lurah Kurdi untuk Inay. Lurah Kurdi selalu menepati ucapannya meski Inay tidak pandai menghitung uang dengan benar.
Itulah sebabnya rumah Lurah Kurdi boleh dibilang pelanggan utama Inay. Meski saban hari Inay datang ke rumah itu, selalu saja ada penghuni rumah yang minta dicabuti ubannya. Malah tak jarang seluruh penghuni rumah berebut ingin lebih dulu dilayani Inay. Seakan-akan uban di kepala mereka tumbuh dengan cepat dalam semalam hanya untuk dicabuti Inay keesokan harinya. Namun, karena tak mungkin Inay mencabuti uban di kepala mereka secara bersamaan, terpaksa mereka harus antre. Siapa yang muncul dan menyodorkan jok lebih dulu, dialah yang mendapat giliran pertama.
Meski diantre, Inay tetap menangani setiap kepala dengan lembut dan telaten yang kadang bikin gemas orang yang mengantre. Sebaliknya bagi yang sedang dicabuti ubannya akan makin merasakan kenikmatan yang luar biasa. Inay memang tidak hanya mencabuti uban, tapi juga helai-helai rambut yang berukuran lebih tebal yang konon biang pembawa gatal di kulit kepala, tapi juga memijat dan menggaruk-garuk kulit kepala yang berketombe. Jari-jarinya yang besar-besar mampu mencabut uban sampai ke akarnya sekalipun panjang uban hanya satu senti.
Di rumah pelanggan satu ini, selain menerima upah lebih besar, Inay kerap dihidangi makanan dengan lauk yang lezat-lezat usai menyelesaikan pekerjaannya. Bagi Lurah Kurdi dan keluarganya upah yang mereka berikan cukup setimpal dengan pekerjaan Inay. Selain mendapatkan kenikmatan dicabuti ubannya, mereka mendapat bonus tambahan berupa gosip-gosip menggelitik yang dicerocoskan Inay saat jari-jari tangannya lincah beraksi mencabuti uban. Seraya terkantuk-kantuk mereka menyimak berbagai gosip yang tuturkan Inay penuh semangat.
“Jadi, Si Kapid diusir istrinya?”
“Duitnya sudah ludas, mana ada perempuan bersuami pengangguran? Mau pulang ke mana lagi sekarang dia,” cerocos Inay.
“Lo si Kapid kan masih punya banyak saudara,” begitulah cara Bu Lurah terus memancing-mancing gosip lebih lanjut, sambil menunggu giliran digarap ubannya.
“Saudara-saudaranya mana ada yang mau menerima dia. Warisan dari Wak Kaji semua dia yang habiskan untuk kawin cerai. Rasain. Pemalas dia itu. Tak bisa cari duit. Rokok saja minta. Tak sudi aku ngasih rokok ke dia. Enak saja.” Inay makin bersemangat. Orang yang dicabuti ubannya kadang sampai tertidur bagai anak kecil dibuai dongeng ibunya.
Lain waktu Inay mencerocoskan Daripah, tetangga sebelah rumahnya, yang dia bilang memelihara monyet siluman untuk pesugihan. “Lihat saja mukanya mirip monyet!”
“Kamu pernah lihat monyet siluman itu, Nay?”
“Semua orang juga tahu. Ingat kematian Mang Kurjan? Itu kan tumbal pesugihannya,” tukas Inay.
Inay pun dengan cepat jadi tersohor ke seantero desa. Mulut para pelanggannya menjadi iklan paling ampuh mengukuhkan dia sebagai pencabut uban jempolan yang kehadirannya selalu dinanti setiap keluarga di desa kami. Bahkan, kini pelanggannya terus meluas sampai ke desa-desa sebelah. Kalau sehari saja Inay absen, orang-orang di desa kami merasa seperti ada yang hilang. Hambar. Berbagai acara gosip di televisi maupun tukang salon keliling tak dapat menggantikan tempat Inay di hati mereka.
Maka, saban hari Inay tak pernah punya waktu berdiam di rumah. Ia terus berkeliling mencabuti uban para pelanggannya seraya menyebar gosip paling asyik di telinga warga desa kami. Hari ke hari dompetnya pun makin menggembung penuh berisi uang.
“Banyak pesanan, Mak,” sergah Inay dengan bangga setiap Emak menasihatinya supaya beristirahat di rumah barang sehari. “Uangmu kan sudah banyak, Nay,” seru Emak. Tapi bukan Inay namanya kalau dapat dicegah. Bagi Inay bekerja mencabuti uban orang-orang bukan hanya untuk mendapatkan upah, tapi lebih dari itu, sebagai cara untuk mencari kesenangan dengan membuat pelanggannya terkantuk-kantuk sambil menyimak gosip-gosip yang entah bagaimana caranya ia dapatkan. Bagi orang yang tahu mengambil hati Inay, yaitu dengan cara menyanjung-nyanjung dirinya, Inay kadang tak menagih upah.
***
KONON, menjadi pencabut uban bermula sejak Inay sembuh dari sakit yang hampir merenggut nyawanya saat ia masih duduk di kelas V SD. Seorang yang masih kerabat dengan Emak yang dikabarkan punya pesugihan hendak menjadikan Inay tumbal. Namun, setelah sembuh dari sakitnya ingatan Inay tak lagi utuh. Ia kerap melamun dan cengengesan sendiri. Tak jarang ia mengamuk tanpa sebab. Lalu jatuh kejang-kejang dengan mulut meneteskan liur yang menjijikkan. Kemampuannya membaca huruf dan menghitung angka-angka lenyap dari tempurung kepalanya. Perkembangan otak dan emosinya mundur 10 tahun ke belakang dan berhenti di sana tanpa bisa ditarik lagi ke depan. Emak sudah habis-habisan membawanya berobat ke orang pintar. Hasilnya tak ada. Orang bilang sebagian rohnya sudah jadi tumbal.
Kebiasaan ngamuk tanpa sebabnya lama-lama memang berkurang, tapi berganti jadi gemar keluyuran ke rumah-rumah tetangga. Meminta uang kepada mereka. Sekali waktu entah siapa mau memberinya uang tapi dengan syarat harus mencabuti uban di kepala orang tersebut.
Inay tinggal bersama Emak dan seorang adiknya telah bersuami di rumah mereka di pinggir persawahan tenggara desa. Rumah tangga adiknya ini kadang pula Inay gosipkan ke mana-mana.
“Adik saya itu pemalas, gak mau kerja, bisanya bikin anak saja,” dia bilang.
“Kan ada suaminya yang cari duit.”
“Alah kerja apaan nebang tebu, upahnya kecil. Anak-anaknya kalau pengin jajan mintanya ke aku.”
***
TIGA hari ini Inay tidak berkeliling ke rumah kami. Kami pun mulai bertanyatanya cemas. Uban di kepala kami seakan tumbuh makin cepat dan gatalnya bukan kepalang. Tak ada lagi gosip-gosip menggelitik yang menghibur kami. Hidup jadi terasa makin berat. Ketika pada hari kelima Inay tak kunjung muncul, beberapa orang di antara kami mulai bergerak mendatangi rumahnya. Tapi kami tak mendapati Inay di rumahnya. Emaknya yang makin terlihat renta bilang, Inay pergi ke kota mencari kerja. Tentu saja kabar ini membuat kami merasa sangat sedih dan terpukul. Seakan harapan satu-satunya kini hilang pula.
“Kenapa tidak kaularang, Emak,” ujar kami menyesalkan kepergian Inay sambil membayangkan kerja apa Inay di kota. Kami pun pulang membawa perasaan hampa, sehampa hasil panen lantaran pertanian kami diserang hama dan kekeringan yang melengkapi kesedihan kami.
Kepergian Inay dari desa kami diikuti peristiwa yang baru kali itu terjadi di desa kami. Warga desa berunjuk rasa di depan balai desa lantas berarak ke rumah Lurah Kurdi lantaran lurah kami itu mengorupsi dana bantuan dari pusat. Kami menuntut Lurah Kurdi dipecat dan dipenjarakan. Sejumlah polisi dan pejabat kabupaten turun ke desa kami dan mengamankan Lurah Kurdi dan keluarganya. Lurah Kurdi akhirnya dibawa dan ditahan di kantor polisi.
Namun, beberapa bulan kemudian, orang-orang desa kami yang pulang dari kota bercerita, Lurah Kurdi membuka salon khusus mencabut uban dengan Inay sebagai pegawainya.
“Pelanggannya orang-orang bermobil bagus,” demikian kabar yang dibawa orang-orang desa kami yang pulang dari kota. (*)


Gondangdia, Agustus 2012
Aris Kurniawan, lahir di Cirebon, 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, reportase, esai untuk sejumlah penerbitan. Bukunya yang telah terbit Lagu Cinta untuk Tuhan (Kumpulan cerpen, Logung Pustaka, 2005), Lari dari Persembunyian (Kumpulan Puisi, Komunitas Kampung Djiwa, 2007).


source: http://lakonhidup.wordpress.com

Cerpen Eliza Vitri Handayani (Koran Tempo, 23 September 2012)



BEBERAPA bulan sebelum Rizky lulus Sarjana Kedokteran, mahasiswa menyeruak ke jalan-jalan untuk menumbangkan presiden korup yang sudah bertahta tiga puluh dua tahun. Setelah berminggu-minggu demonstrasi massal, presiden itu akhirnya turun. Minggu-minggu berikutnya merekah dengan optimisme seperti tak pernah sebelumnya. Di tengah suasana ini, meneroboslah Julia ke dunia Rizky dengan profil separuh halaman tentang dirinya di koran Minggu, pada halaman yang dikhususkan untuk seniman dan penulis muda.
Foto-foto karya Julia menggarami artikel itu—potret pendemo memamerkan torsonya yang terselubung tato di hadapan barisan polisi; penulis membagikan fotokopi bukunya yang dilarang Orde Baru; lima perempuan menutupi wajah masing-masing dengan tanda ‘Jangan Perkosa, Pribumi Muslim’; sekelompok anak jalanan yang imut memamerkan sepatu baru buah jarahan; tukang sate menyumbangkan dagangannya kepada pendemo; penyair menerbangkan pesawat kertas bertuliskan puisi kebebasan dari atap gedung MPR/DPR; nenek keriput melompat girang dari kursi rodanya mendengar pidato pengunduran diri si presiden.
Rizky menerawang ke tiap potret—wajah-wajah yang sesaat menghentikan kegiatan mereka untuk memancarkan jiwa ke kamera. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin orang-orang yang beberapa bulan sebelum demo menyensor PR anaknya sendiri karena takut menarik perhatian kemudian menunjukkan dada mereka dengan bangga? Dari mana mereka, setelah tiga dekade bungkam dan patuh, tiba-tiba mendapat nyali untuk protes? Orang-orang yang begitu biasa tunduk pada takdir, bagaimana mereka mendapat ilham untuk mengguncang sejarah? Rizky begitu terkesan karena itulah konfirmasi pertama yang diterimanya bahwa seseorang ternyata bisa mengarak perubahan, dan ia takkan lupa bagaimana ia mendengar bisikan Tuhan di sela derap langkah ribuan mahasiswa: “Kau pun bisa mengubah hidupmu.”
Rizky mengacak-acak kamarnya mencari buku tahunan SMA, di sana ditemukannya nomor telepon rumah Julia.
Lalu orangtua Julia memberitahunya nomor ponselnya.
“Halo?” Julia kedengaran baru disambar dari mimpi.
“Hai, ini Rizky!” Bangga dan gugup bergaung dalam suaranya.
“Siapa?”
Ia tersinggung Julia tak ingat padanya, tapi segera ia kendalikan egonya. “Rizky. Teman SMA. Aku pernah datang ke rumahmu waktu kamu diskors.”
Rizky bisa dengar kecurigaan Julia dalam jeda cakap mereka.
“Mau apa?”
“Selamat, Jul, aku baru aja baca artikelnya. Hah, aku udah tahu dari dulu kamu pasti berhasil.”
“Ya ampun, terbit hari ini.”
“Kamu tinggal di mana? Ayo ketemu.”
Saat Rizky pertama melihat seorang berambut panjang datang naik ojek, duduk menyamping, memakai gaun berenda dengan potongan leher yang rendah, ia tak menyangka itu Julia. Bahkan ketika ia membebaskan kepalanya dari helm, Rizky nyaris tak mengenalinya. Ia kelihatan lebih tinggi dan cantik dengan gaun pendek dan selop tingginya. Rambutnya sebahu, jatuh berlapis-lapis membingkai wajah.
Julia yang pilih tempatnya—salah satu tenda gaul yang banyak dibuka artis ketika itu dengan dalih menyediakan lapangan kerja bagi yang kena PHK. Tenda itu ditancapkan di sepetak tanah kosong di kawasan pemukiman dekat tengah kota, mebelnya dari barang-barang bekas dan temuan yang didaur ulang. Semua permukaan meja ditutupi lukisan gaya mural yang kocak dan menyentil. Julia bilang itu salah satu tenda paling kreatif dan ia senang tenda itu tak tersentuh kerusuhan, meskipun seniman pemiliknya termasuk peranakan.
Mata lebarnya mencari dan menemukan Rizky, duduk dekat gerobak yang disulap jadi konter. Julia melenggang ke arahnya tanpa memutus kontak mata, menenteng tas kameranya di satu tangan dan helmnya di tangan lain.

KALI pertama Rizky sadar akan keberadaan Julia adalah hari Kartini, SMA kelas 2.
Hari itu, seperti biasa, cewek-cewek bercantik-cantik dengan baju tradisional, tapi Julia merasa cara lebih tepat untuk merayakan emansipasi adalah membolehkan anak perempuan mengekspresikan cita-citanya. Maka Julia muncul terbalut gaun berlumur cat, mengenakan baret, dan menyelipkan kuas di salah satu telinganya. Sebuah kamera bergelayut dari lehernya. Cewek-cewek mencibir, cowok-cowok bersiul, dan guru-guru murka. Rizky justru tertarik.
Karena hari itu Rizky dan teman-temannya yang termasuk ‘geng anak badung’ tertangkap merokok di halaman belakang sekolah, mereka pun dikuliahi bersama Julia di ruang kepala sekolah. Dia satu-satunya cewek di situ. Kemudian mereka dipulangkan. Di gerbang sekolah Julia minta salah seorang mengambil fotonya. Tak lama mereka pun berpose bersama-sama—kadang culun, kadang nakal.
Setelah itu anak-anak geng pun jadi ramah pada Julia. Ia membolehkan mereka menyontek PR-nya sebelum kelas mulai, dan sore hari mereka mengundangnya menonton band mereka latihan. Lama-kelamaan Julia jadi fotografer tak-resmi mereka, satu-satunya cewek yang boleh gaul di dekat mereka tanpa status pacar atau grepean.
Sampai suatu hari Julia menutupi mading sekolah dengan albumnya “Kenakalan Manusia”: guru Sejarah memukul murid dengan sepatu; anak-anak geng minum bir setelah latihan band; sepasang remaja berciuman sementara seorang kawan menarik lengan si cowok ke arah kerumunan remaja yang tawuran; bapak-bapak dan ibu-ibu mengantri untuk beli SDSB; uang lima puluh ribu dengan gambar presiden korup tertancap panah di papan sasaran bundar.
Sekolah menyobek foto-fotonya, orangtuanya dipanggil, dan kameranya disita. Sekolah mengancam mengeluarkannya, hanya beberapa bulan sebelum kelulusan. Tapi kemudian orangtua Julia memberi hibah yang besar pada sekolah, dibayar tunai ke guru-guru dan para pengurus. Sialnya, anak-anak geng juga terimbas masalah sebab ada foto mereka minum dan nonton video porno. Rizky masih ingat ketua geng mendekati Julia, kepalan tangannya berhenti satu senti dari hidungnya, dan berkata, “Sayang lu cewek.”
Rizky datang ke rumah Julia suatu sore ketika ia diskors. Julia sedang mengecat dinding kamarnya dengan pola tetesan darah ketika ia melihat Rizky dari jendela. Julia panik, namun Rizky buru-buru bilang ia cuma ingin ngobrol. Akhirnya mereka duduk di teras depan, merokok sambil mengudap gorengan.
“Kenapa enggak pindah sekolah aja?” tanya Rizky—mulutnya berminyak dan panas gara-gara tahu goreng dan cabai hijau.
“Orangtuaku enggak ingin saudara-saudara dengar anak mereka dikeluarkan,” kata Julia. “Biar. Aku bakal dapat nilai sempurna saat Ebtanas nanti. Guru-guru bakal kasih aku penghargaan. Lihat aja nanti.” Ia mempelajari wajah Rizky dengan matanya yang lebar dan serius.
“Itu cita-citamu, jadi fotografer?”
Dijatuhkannya pandangannya. Ia melipat lengannya di depan dada dan mengusap-usap lengan atasnya. “Fotografi itu mahal, tapi aku suka bagaimana kamera bisa… mengawetkan misteri… sehingga aku bisa terus merenungkannya…. Kalau kamu?” Lagi-lagi ia mengamatinya dengan sungguh-sungguh, tapi ketika Rizky menemui tatapannya, ia segera menunduk.
“Orangtuaku ingin aku jadi dokter. Ibuku dari kecil ingin jadi dokter, tapi ayahnya meninggal waktu ia baru lima belas tahun, dan ia harus kerja untuk bantu biayai abang-abangnya kuliah. Jadi ia kawin sama dokter. Keluarga ayahku dokter turun-temurun.” Rizky terkejut ia bisa membuka dirinya pada seorang gadis—gadis ini—yang jauh berbeda dari tipenya. Ia biasanya suka yang tinggi, berkulit langsat dengan rambut panjang terurai. Julia lumayan tinggi, juga sangat kurus dari pinggang ke atas sehingga kakinya yang berotot terlihat menggembung (Rizky duga ia banyak jalan mengambil foto), kulitnya warna karamel gosong, dan, kecuali pada hari Kartini, Rizky tak pernah melihatnya memakai selain seragam putih-kelabu yang longgar, dan hari itu, kaus oblong dan celana pendek. Tapi ia sepertinya rajin mengurus rambutnya, Rizky perhatikan, memang rambutnya wangi, tebal dan hitam mengilap, namun selalu ia sisir ke depan sehingga menutupi separuh wajahnya.
“Tapi kamu sendiri ingin jadi apa?”
“Eh… apa ya? Aku suka ngarang cerita dan manggung. Aku ketua ekskul teater, tahu kan? Aku juga coba tulis syair untuk lagu band.”
Julia semakin cepat mengusap-usap lengan atasnya. “Aku goblok betul, ya, Riz? Aku terlalu bangga akan karyaku sendiri, kupikir semua orang akan sadar kita semua punya kelemahan…. Ya ampun…. Tolong bilang anak-anak aku minta maaf, oke?”
Tapi Rizky bahkan tak pernah bilang ia mampir menemui Julia. Rizky tahu ia akan dianggap pengkhianat dan dipukuli seandainya ia bilang. Setiap Julia lewat, anak-anak geng melontarinya dengan kata-kata jorok dan, kadang-kadang, kaleng bekas minuman. Beberapa pagi mereka menghadangnya di gerbang sekolah, berjejer padat bagai pagar monster yang meludah dan mengancam. Mereka menghalang-halangi jalannya dan memerosokkannya ketika ia berusaha lewat. Bahkan mereka mungkin merenggut dadanya. Rizky berdiri di ujung barisan menyaksikan semuanya. Kali pertama Julia menangkap matanya, meminta tolong, tapi Rizky hanya menunduk. Kali berikutnya Julia memandangnya dengan kecewa dan sekilas benci, kemudian ia berhenti memandangnya sama sekali.
Tetap saja, Rizky memperhatikannya dari jauh. Sesekali ia mencoba mengirim isyarat rahasia padanya—ketika karya Julia dipilih sebagai Foto Bulan Ini oleh sebuah majalah fotografi, Rizky membalas dengan memenangkan juara pertama pada kategori aktor di Festival Teater SMA se-Jakarta; ketika seorang anak pejabat yang sombong mengatai Julia jalang, Rizky mempreteli mobil anak itu. Julia lulus dengan nilai sempurna untuk Matematika dan Bahasa Inggris, dan Rizky lulus dengan nilai sempurna untuk Bahasa Indonesia dan Sejarah. Guru-guru memberi mereka piagam di depan seisi sekolah.
“Kamu berhasil,” bisiknya pada Julia ketika mereka berbaris turun dari panggung setelah menerima ijazah. “Selamat.”
Rizky tak ingat apakah Julia menjawab.

DI JALAN menuju tenda Rizky ragu Julia sudah memaafkannya, tapi ketika melihatnya datang ia merasa Julia ingin membuatnya terkesan.
Mereka berjabat tangan. Julia duduk bersilang lutut dan meletakkan tas kameranya di peti yang beralih fungsi jadi meja mereka.
“Kamu yang pertama kasih selamat,” kata Julia.
“Aku tahu kok kamu pasti berhasil, Jul. Kamu adalah bukti orang-orang seperti kita juga bisa berhasil.”
“Kamu masih berteman dengan anak-anak dari SMA?”
“Enggak,” dustanya.
“Jadi, ‘orang-orang seperti kita’ maksudmu siapa?”
Rizky memandang sekeliling mencari inspirasi. “Maksudku ya… orang-orang seperti kita… ‘Anak-anak bermasalah’ atau apalah.”
Mata Julia berkilat seolah menertawakan Rizky. Ia merogoh ke dalam tasnya dan disebarkannya foto-fotonya di atas meja. “Jadi, gimana menurutmu?” Dicondongkannya badannya.
Rizky tahu jika ia melirik ke bawah ia bisa melihat ke dalam gaunnya. Dipenuhinya undangan itu. Dirasakannya tatapan Julia padanya dan diangkatnya matanya menemui tatapannya. “Aku suka.”
Julia kembali bersandar dan meluruskan kakinya. “Kenapa?”
“Aku suka kau memotret individu. Fotografer lain memotret bangunan terbakar, tentara, mahasiswa berbondong-bondong—mereka jadi seperti figuran dalam film kolosal. Kamu kasih lihat orang-orang di balik semua itu, seolah bilang ke dunia: ini bukan cuma soal ganti presiden, ini kesempatan kita untuk keluar dari sembunyi, untuk pegang kendali atas hidup kita!”
Julia menyilangkan lutut sekali lagi. “Kamu mau lihat lagi?”
“Kamu mau kasih lihat lagi?”
Julia menyeringai, disapunya foto-fotonya dari atas meja dan dimasukkannya ke tas. Diangkatnya tasnya, namun hanya untuk memindahkannya ke kursi di sebelahnya. “Mungkin nanti. Sibuk apa aja kamu selama ini?”
Rizky berpura-pura punggungnya pegal dan sekadar meluruskan posisi duduknya. “Aku sibuk nyiapin lulus-lulusan. Ujian dan skripsi sih udah selesai—lumayanlah IPK-ku nyaris sempurna—tapi ada tugas jaga UGD dan segudang urusan kampus. Siapa suruh jadi ketua angkatan, Riz?”
Mata Julia memancarkan kekaguman yang dipancingnya. “Pasti sibuk banget dong, banyak tanggung jawab.”
“Waktu ambil foto di kampusku, kamu pasti lihat ada panggung terbuka. Itu usulku tuh. Kami bikin mimbar bebas dan pentaskan drama satu babak.”
Semangat mereka membalon seiring bicara betapa mulai sekarang mereka bisa mengutarakan pendapat bagaimanapun kontroversial, seniman tak perlu lagi takut sensor atau diburu, dan topik-topik yang dulu terlarang kini bisa ditelusuri sepuas-puasnya. Tepat saatnya mereka berkarya, sebuah gerbang sarat kemungkinan baru diterjang untuk mereka. Julia bilang ia ingin memamerkan foto-fotonya, menerbitkannya sebagai buku, mencari bantuan dana untuk memotret di seluruh dunia. Mimpi seliar apa pun sepertinya niscaya saja. Julia penuh semangat, Rizky penuh semangat, dan semangat mereka pun berlipat ganda dengan semangat zaman.
Ketika mulai hujan, Rizky menawarkan mengantar Julia pulang. Dibiarkannya Julia berkutat sebentar dengan ponselnya, sebelum akhirnya ia setuju, dengan alasan ojek langganannya tak bisa menjemput karena hujan dan ia tak nyaman naik taksi karena belakangan banyak laporan penjarahan taksi.
Di mobil ponsel Rizky terus berbunyi-bunyi kedatangan SMS.
“Tetap populer, Riz?” tanya Julia.
“Nih, tolong balas. Aku sudah kehabisan akal bulus.” Dilontarkannya ponselnya pada Julia.
Julia melihat pesan-pesan dari Tika, Nia, Vera…. “Lagi dingin-dingin begini, enaknya yang hangat-hangat. Ada ide?” tulis Puti.
“Kamu, Jul, ada pacar?”
“Aku? Pacar?” Ia menyergah. “Tapi kalau sekadar cowok, ya….”
Rizky langsung tergelak. “Tuh kan, aku udah tahu.”
“Tahu apa?”
Ia angkat bahu. “Kalau kamu begitu.”
“Begitu apa? Nakal? Murahan?”
“Bukan! Eh, maksudku, eh, enggak menganggap harga diri tergantung…. Eh, sori, bukan maksudku—”
“Santai. Aku cuma bercanda.”
“Berat enggak memutuskan akan begitu?”
“Maksudmu pertama kali?”
Kali itu Rizky merasa dungu. “Eh, aku bukan ingin usil, tapi… aku kenal satu cewek dan dia bilang setelah itu dia ngerasa mau mati.”
“Mungkin aku memang ngerasa dosa sedikit,” katanya, “Waktu itu aku begitu marah, aku ingin putus hubungan dengan masyarakat, jadi kupikir itulah caranya.” Julia diam beberapa saat, pandangannya terserap ke dalam dirinya sendiri. “Aku merasa agak limbung sesudahnya, seolah tiba-tiba aku sendirian…. Tapi itu kemauanku kok.”
Segala risih dan kikuk yang dirasakan Rizky pun lenyap. Di luar hujan tumpah dengan derasnya, seluruh dunia seolah meleleh di sekeliling mereka, dan ia merasa nyaman dan hangat di mobil bersamanya, terlindung dari guyur kelabu di luar.
“Cewek yang kusebut tadi, dia kali pertamaku. Aku mabuk banget waktu itu, dan setelahnya aku cuma bengong menatap langit-langit. Cewek itu langsung tidur. Menurut semua yang diajarin kepadaku selama hidup, perbuatanku itu salah. Kepalaku mumet banget. Pas cewek itu bangun, dia lihat aku bengong kayak orang bego, terus kayak orang yang lebih bego lagi, aku bilang aja sama dia itu kali pertamaku. Untungnya dia bilang enggak terasa kalau aku baru pertama kali, jadi aku agak senang sedikit. Terus dia cerita soal kali pertamanya, dia ngerasa semua kesempatannya untuk berkeluarga amblas sudah, dan dia enggak bisa keluar dari tempat tidur selama seminggu. Tapi suatu hari dia bangun dan sadar, dia enggak harus hidup ngikutin aturan orang lain lagi. Dia bisa cari pasangan yang bisa menerima dia apa adanya. Terus, dia pakai baju dan pergi. Aku enggak pernah ketemu dia lagi, tapi awas kalau ada yang berani bilang pertemuan kita enggak bermakna!”
“Aku bilang trims pada cowokku kali pertama.”
“Gila! Dia tanya balik, enggak, trims buat apa? Terus kamu mau bilang apa?”
Mereka memasuki halaman rumah kos Julia—bangunan bertingkat dua dengan cat hijau pecah-pecah dan balkon separuh bulan di lantai dua. Rizky penasaran akankah Julia mengundangnya masuk.
Tapi Julia cuma bilang trims dan lari ke dalam sambil mendekap tas kameranya erat-erat. Rizky sadar ia kecewa. Kemudian ia lihat helm Julia bergoyang-goyang di kursi belakang bagai kepala tertawa.
Sambil menggeleng-geleng Rizky buru-buru menyetir pergi. Ketika Julia menelepon ia akan minta tebusan untuk helmnya: kenalkan dia pada orang-orang dari sanggar teater. Ternyata benar, pikir Rizky girang, mulai saat ini hidupnya—segalanya—akan berubah. (*)


Eliza Vitri Handayani, saat ini tinggal di Jakarta. Sedang mengupayakan sebuah pusat penerjemahan sastra di Indonesia.


source: http://lakonhidup.wordpress.com



Cerpen Triyanto Triwikromo (Jawa Pos, 16 September 2012)



APAKAH kau pernah dipenjara dan disalib di ranjang api? Tidak hanya di satu sel, tetapi di empat penjara dan satu rumah sakit jiwa pada kurun1965-1971? Jika pernah, kau pasti tidak sanggup menceritakan kepadaku sekecil apa pun peristiwa yang kau alami dengan getir dan mungkin penuh tekanan itu. Karena itu sesungguhnya aku tidak ingin membeberkan kisah konyolku kepadamu. Aku yakin siapa pun akan menganggapku membualkan dongeng nonsens. Aku juga percaya mereka, mungkin juga kau, akan menganggap apa pun yang kukatakan sebagai ceracauan orang gila.
Akan tetapi karena tidak gila, aku justru berhasrat menceritakan kegilaan para serdadu dan perawat serta dokter yang tidak pernah mau percaya pada kesehatan jiwaku. Bagaimana tidak gila jika mereka selalu memintaku menjadi orang lain? Bagaimana tidak gila jika aku dipaksa menjadi pembunuh untuk perbuatan yang tidak pernah kulakukan?
“Kau tidak akan dieksekusi hari ini jika mau mengakui ikut membunuh para jenderal dan segera minta ampun,” kata interogator cantik berkumis halus yang entah mengapa bernama Karna dan bukan Karina itu.
“Aku tidak pernah membunuh siapa pun. Aku hanya menari dan sedikit mabuk. Setelah selesai menari aku limbung tak tahu apa yang terjadi.”
“O, kau ingin mengatakan kau telah membunuh para jenderal di luar kesadaran ya?”
Karena dijawab dengan benar pun, akan selalu menganggap perkataanku salah, aku lebih memilih menceracau sesuka hati. Karna tampak terkejut ketika aku bilang, “Aku membunuh para jenderal itu sebagaimana aku membunuh tikus. Apakah kau pernah membunuh pria yang paling kau cintai?”
Karna menggeleng. Gelengan itu punya banyak makna. Mungkin dia memang tidak pernah membunuh. Mungkin dia memang tidak memiliki pria pujaan.
“Juga tak pernah mencekik kucing?”
Karna menggeleng lagi.
“Tak pernah membacok punggung anjing?”
Karna tersenyum. Senyum itu mengisyaratkan dia bukan hanya pernah membacok, tetapi mungkin menghancurkan kepala binatang menjijikkan itu dengan linggis. Akan tetapi senyuman yang semula begitu tulus itu, dengan cepat berubah jadi tawa sinis. Dengan cepat pula dia berusaha menguasaiku dengan meluncurkan pertanyaan tak terduga, “Apakah sebelum membunuh para jenderal, kalian ajak mereka bercumbu terlebih dulu?”
Tak bisa kujawab dengan cepat pertanyaan itu.
“Apakah saat itu kau bisa menikmatinya?” tanya Karna lagi dalam nada dingin, “Apakah para jenderal yang terikat kaki dan tangannya itu juga bergairah saat kalian cumbu?”
Gila! Sungguh gila pertanyaan interogator berdada lancip ini. Rupa-rupanya Karna membayangkan Tarian Harum Bunga sebagai pesta seks yang menggetarkan. Dia benar-benar menyangka saat itu aku telanjang dan dengan rakus menganggap para jenderal sebagai makanan yang layak dilahap tanpa sisa, tanpa tulang-temulang.
“Ya, aku menikmatinya…,” kataku, “Kau ingin tahu bagaimana aku menikmati percumbuan itu?”
Karna mengangguk. Napasnya memburu. Ada gairah menggelegak yang ditahan. Karena bisa menduga keinginan Karna, aku kemudian melepaskan kaus hitam merah, kutang, celana panjang hitam, dan celana dalam unguku. Berpura-pura sebagai orang yang mengidap gangguan jiwa, aku menarikan Tarian Harum Bunga dengan mata terpejam.
“Tetaplah duduk di kursimu. Bayangkan kau sebagai jenderal yang hendak menikmati keliaran percintaan. Akan kutunjukkan bagaimana aku dan para perempuan terpilih mencumbu para jenderal,” aku mendesis.
Perempuan bertubuh kekar itu tak bergerak. Dia begitu takjub melihatku menari. Tidak. Tidak. Dia tidak hanya takjub pada keindahan tubuhku atau getar yang mengalir dalam setiap tarianku. Sebagai perempuan yang begitu memahami makna setiap ledakan berahi, aku tahu Karna ingin segera merasakan sentuhan seseorang yang akan memperlakukan dia sebagai ratu. Ya, sentuhan seseorang, tidak peduli perempuan atau lelaki, tak peduli dia mirip binatang laknat atau malaikat penuh berkat.
Karena ingin mempermainkan perempuan itu, aku kemudian memeluk dia dari belakang. Kukecup tengkuknya, kubisikkan kata-kata kotor. Kukatakan kepadanya begitulah caraku dan para perempuan terpilih menjilati telinga para jenderal yang hampir sekarat.
“Aku kemudian melucuti pakaian mereka,” kataku sambil melepas seluruh pakaian Karna, “Kau ingin merasakan bagaimana para jenderal itu merasakan ciumanku?”
Sedikit pun perempuan itu tidak melawan. Mungkin Karna berpendapat untuk mendapatkan keterangan seakurat mungkin, diperlukan pengorbanan luar biasa, termasuk membiarkan tubuhnya diperlakukan sebagai jenderal yang terhina di hadapan para pembunuh di Lubang Buaya.
Akan tetapi bisa saja—sebagaimana kabar yang beredar—dia memang perempuan yang senantiasa berhasrat bercumbu dengan perempuan dari kalangan mana pun yang diinterogasi. Dan karena memang ingin mempermainkan perempuan konyol yang sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang Gerwani, aku memang menyesatkan Karna dengan keterangan-keterangan palsu dan dengan cumbuan yang juga palsu.
Akan tetapi sungguh keliru menganggap Karna sebagai perempuan bodoh. Dia tahu aku tak sungguh-sungguh mencium dan menggigit bibirnya yang ranum itu. Dia tahu aku sesungguhnya sedang mengkhayalkan bercinta dengan orang lain. Dia tahu aku sedang mengangap dia sebagai seseorang yang memaksaku bercumbu di taman di bawah separuh bulan di antara dengus pasangan lain yang telah bercinta tanpa memedulikan orang lain. Dia tahu saat itu justru aku yang memiliki hasrat besar untuk memekik menikmati ledakan-ledakan berahi yang tak tertahankan.
Aku memang kemudian terkulai dengan keringat yang terus mengucur, sementara dia dengan sangat tenang mengenakan kembali pakaian yang sebelumnya kubuka dengan paksa. Dan sungguh tidak kuduga, dia memanggil beberapa penjaga tahanan dan meminta mereka membawaku ke sel.
“Pindahkan dia ke penjara lain. Perempuan ini mulai tidak waras,” kata Karna yang dalam setiap tindakannya mengingatkan aku pada tentara-tentara bengis yang menangkapku.
Para penjaga pun kemudian memborgolku. Aku meronta. Mereka membentangkan dan mengikat tangan dan kakiku.  Mereka menyalibku di ranjang. Tentu saja aku terus meronta. Aku tak ingin para sipir memperlakukan aku sebagaimana para serdadu Romawi menyalib Yesus di tiang penyaliban.
Tak ingin lebih tersiksa, aku meprotes tindakan sipir. Aku teriakan kata-kata kotor kepada mereka.
“Jangan berisik. Kalau kau terus berisik, ranjangmu akan kubakar!”
***
RANJANGKU belum dibakar. Akan tetapi, mereka memindahkan aku ke penjara lain. Dipindah ke penjara lain, jelas merupakan berkah. Pertama aku bisa terhindar dari Karna yang tak kenal waktu—tak malam, tak pagi, tak siang—menginterogasi dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh dan dekapan kuat yang menyesakkan dada setiap aku menjawab secara ngawur keterlibatanku dalam pembunuhan para jenderal. Kedua, aku bisa terhindar dari ancaman eksekusi yang mengakibatkan perut seperti diaduk-aduk dan jantung berdebar lebih kencang. Ketiga, aku bisa memiliki kemungkinan untuk mewartakan kesewenang-wenangan serdadu kepada siapa pun.
Apalagi bukan hanya aku yang dipindah dari penjara ke penjara. Kelak saat bersama perempuan lain ditahan di kamp, aku tahu ada dokter yang harus berpindah dari rumah tahanan di Sukabumi, ke Bandung, Kebayoran Baru, Pesing, Gunung Sahari, Lapangan Banteng Selatan, dan Bukit Duri. Juga ada istri pelukis setelah dibawa dengan truk tentara ke Sleman, dia juga dipindahkan ke Benteng Vredeburg, Penjara Wirogunan, hingga ke Penjara Bulu Semarang.
Dibanding mereka, jelas aku lebih beruntung. Aku memang dipindah ke tiga penjara, tetapi semua berada di Alas. Mula-mula mereka memindahkan aku di sebuah tempat yang memungkinkan aku mendengar sapi-sapi mengerang-erang kesakitan.
“Tempat apa ini?” aku bertanya kepada sipir.
“Neraka,” kata sipir dingin.
“Neraka?”
“Ya, ini tempat penyembelihan. Tak jauh berbeda dari Lubang Buaya bukan? Tidak perlu merasa ngeri. Kau toh sudah terbiasa dengan darah. Kau toh sudah terbiasa dengan erangan kesakitan?”
“Tetapi mengapa Sampean katakan tempat ini sebagai sebuah neraka?”
“Karena tempat ini sebentar lagi akan dibakar dan kalian akan hangus,” kata sipir itu dingin.
Hmm, aku tahu ini cara para serdadu rahasia Soeharto membuat kami depresi. Mereka sungguh piawai menciptakan kepanikan. Mereka lebih tampil sebagai dokter-dokter rumah sakit jiwa yang mengerti seluruh ceruk kejiwaan kami ketimbang sebagai tentara.
“Mengapa harus dibakar?” aku bertanya tanpa kepanikan agar tak terlihat sisi depresiku.
“Karena kalian berbahaya dan tidak mau mengaku telah membunuh para jenderal,” jawab sipir sesuka hati.
Tak kuteruskan pertanyaanku. Aku sudah hafal segala pertanyaan akan dijawab secara mekanis dan selalu berakhir pada keinginan mereka untuk meminta kami mengaku telah membunuh para jenderal dengan berbagai sayatan silet di tubuh, dengan berbagai pukulan mematikan di kepala.
Sejak itu aku memang lebih memilih diam. Dan sejak saat itu pula dalam percakapan mereka kudengar aku akan dipindah ke penjara lain.
“Percuma kita kurung perempuan ini di sini. Dia sudah gila. Dia lebih suka berbicara sendiri ketimbang bercakap-cakap dengan kita. Menghadapi perempuan ini, bisa-bisa kita justru ketularan gila.”
Tidak menunggu lama untuk berpindah penjara. Kali ini mereka membawaku ke rumah tua dekat permakaman serdadu Belanda. Ada banyak kelelawar beterbangan dari ruang tamu, toilet, hingga kamar. Entah sejak kapan kelelawar-kelelawar yang suka menabrak-nabrak dinding itu tinggal di rumah bercat serbaputih ini. Entah sejak kapan pula rumah ini ditinggalkan para penghuni sehingga siapa pun tidak bisa membaui keringat atau apa pun yang senantiasa melekat pada manusia.
Mula-mula tentu aku tidak terbiasa di kurung di sebuah kamar dan hanya bisa melihat nisan-nisan para serdadu Belanda dari jendela berjeruji. Mula-mula aku merasa ketakutan ketika melihat bulan seakan-akan jatuh di makam itu saat purnama tiba. Mula-mula aku bosan hanya mendengarkan kepak kelelawar dan berbagai suara aneh pada malam-malam yang panjang dan sedikit mencekam. Akan tetapi lama-lama kuabaikan siksaan-siksaan tak bermutu para serdadu gendheng ini.
“Kau tetap tidak mau mengaku telah turut membunuh para jenderal? Ayolah ceritakan saja menurut versimu,” kata seorang interogator yang tampak jijik mengunjungi kamarku.
Aku terdiam. Tidak ada gunanya menjawab pertanyaan yang itu-itu saja.
“Aku akan mengeluarkanmu dari sini asal kau akui segala hal yang akan kulaporkan kepada Komandan,” tandas interogator itu tak sabar.
Aku masih terdiam. Kupikir lebih baik aku menghabiskan waktuku di tempat ini daripada mengakui hal-hal yang tidak kulakukan untuk pada akhirnya ditembak oleh para serdadu di sembarang tempat.
Mungkin karena putus asa, serdadu yang sebenarnya murah senyum ini memanggil dua orang sipir yang selama ini menjagaku.
“Perempuan ini kian gila. Apakah tidak sebaiknya kita pindahkan saja di penjara khusus untuk para perempuan sableng?”
Dua sipir itu mengangguk.
“Apakah dia sudah sering bicara sendiri di kamar?”
Dua sipir itu mengangguk lagi.
“Apakah dia juga suka berteriak-teriak tak keruan?”
“Ya. Dan itu dia lakukan sepanjang waktu,” kata salah seorang sipir.
“Kalau begitu besok kita pindah dia!”
Pindah lagi? Ini jelas ancaman. Karib dengan kelelawar membuatku kerasan dipenjara di tempat ini. Karena itu begitu dua sipir hendak meringkusku, aku memberontak. Kali ini perlawananku dianggap membahayakan. Seorang sipir memukul tengkukku dengan kayu.
Sayup-sayup kudengar suara interogator memberi perintah kepada sipir-sipir itu, “Kalau rewel, bakar saja perempuan sialan ini.”
Hmm, lagi-lagi ancaman pembakaran….
Tidak adakah gertakan lain?
***
KETIKA kubuka mataku, aku telah berada di ruang serbacermin yang ditata sedemikian rupa sehingga memantulkan begitu banyak tubuh. Kulihat 15 tubuhku di balik cermin itu. Mula-mula kusangka kepalaku sudah bocor dan mataku kian lamur sehingga tidak bisa melihat mana tubuhku yang sebenarnya. Ketika kurentangkan tanganku, semua bayangan di cermin juga bertingkah mirip orang-orang yang disalib di Bukit Golgota. Ketika aku meniru Yesus berdoa di Taman Getsmani, cermin juga menampilkan sosok tubuh yang tertunduk pasrah, menangis tak kunjung henti. Dan karena aku suka menari, kuletupkan sembarang tarian dengan gerakan yang sangat cepat menurukan gerak-gerak lucu Anoman, sehingga aku merasa dikepung puluhan kera cantik yang melompat-lompat tak keruan.
Apa maksud mereka menghukumku dengan cermin pantul pembingung itu? Mereka ingin membuatku gila? Mereka ingin menerorku dengan seakan-akan memunculkan begitu banyak orang yang menguntitku? Atau jangan-jangan mereka sengaja menakuti-nakuti aku dengan puluhan hantu dari balik cermin agar aku segera mengaku telah terlibat dalam pembunuhan yang tidak pernah kulakukan? Entahlah. Yang jelas mula-mula kubiarkan mereka mempermainkanku dengan cermin yang sangat menyebalkan itu. Akan tetapi ketika kepanikan mulai muncul, aku ingin menghancurkan cermin itu. Kulemparkan segala benda agar cermin pecah, tetapi pantulan bayangan aneka benda itu justru memusingkanku. Sedikit pun cermin tak tergores dan yang menjengkelkan benda-benda itu—kursi, asbak, piring, sendok, garpu, dan gelas—seakan-akan justru menguburku. Sayang tak ada palu di ruangan itu. Andai ada palu, cermin akan pecah dan berakhirlah nasib 15 bayangan tubuhku yang senantiasa mengganggu.
Pada puncak kepanikan, seorang perempuan berpakaian serbaputih dan dua sipir berambut cepak masuk. Mungkin karena sudah terbiasa dengan cermin pantul pembingung, mereka sama sekali tidak terganggu oleh bayangan lain di cermin.
“Kalian ingin membuatku gila?” aku langsung memprotes.
“Kamu sudah gila, mengapa harus kami bikin gila?” perempuan itu tertawa.
“Aku tidak gila. Aku hanya bingung,” aku kian memprotes.
“Kalau hanya bingung, kamu tidak akan diperlakukan seperti ini,” perempuan itu memberi isyarat kepada sipir agar meringkusku.
Tentu saja aku memberontak. Aku meronta-ronta berusaha menendang mereka. Akan tetapi karena tanpa kusadari aku melihat begitu banyak bayangan di cermin, rasa pusing yang luar biasa menyerangku. Aku mual. Aku merasakan dikerubut puluhan orang.
Dalam situasi tubuh yang kian lemah, kurasakan sebuah jarum suntik menancap di lenganku. Suntikan itu kian membuat pandanganku kabur. Lama-lama aku seperti diserang kantuk yang luar biasa. Lalu kudengar mereka berbisik tak keruan tetapi masih bisa kutangkap maknanya.
“Perempuan ini tak menyadari jika dirinya berbahaya…,” kata yang perempuan.
“Kalau berbahaya, mengapa tidak dibunuh saja?” kata sipir.
“Perempuan ini punya banyak rahasia yang harus dikorek dulu sebelum dibinasakan. Tugas kita bukan mengorek rahasia itu. Tugas kita hanya membawa perempuan ini ke rumah sakit jiwa agar dia sembuh, agar dia segera membeberkan rahasia pembunuhan para jenderal itu?”
Hmm, rahasia? Rahasia apa? Sok tahu perempuan sialan itu….
Tetapi peduli amat dengan mereka. Aku toh sangat mengantuk. Aku toh harus tidur. Aku toh lebih baik melupakan apa pun yang membingungkanku….
***
MUNGKIN satu atau dua jamaku tertidur, tetapi rasanya telah berbulan-bulan. Begitu bangun aku melihat kaki dan tanganku diikat di ranjang. Di kanan-kiriku juga ada ranjang-ranjang dan tubuh-tubuh lain. Rupa-rupanya sekarang aku dikurung di bangsal.
Permainan apa lagi ini? Penjara apa lagi?
Tak ada yang menjawab pertanyaanku. Mengharapkan jawaban dari sipir atau dokter, aku justru mendengar suara-suara aneh dari ranjang-ranjang lain. Ada suara orang mendengkur. Ada suara orang menceracau. Ada yang berteriak keras-keras. Ada yang menyanyi lagu-lagu sumbang. Ada mengaum. Ada yang menggonggong. Ada yang menguik.
Ini pasti mimpi. Di kebun binatangkah aku? Mereka mengirimku ke sini karena menganggap aku sebagai hewan yang layak dibantai atau dipermainkan?
Karena penasaran, aku mencoba melepaskan ikatan sambil kulontarkan kata-kata yang memprotes kesewenang-wenangan para serdadu Soeharto. Tentu saja teriakanku yang tak keruan itu menimbulkan kegaduhan. Orang-orang lain yang semula tidur pun terbangun. Mereka mengerubutiku. Mereka—yang entah karena apa berpakaian sama—sangat ribut dan mengancamku.
“Perempuan yang selalu mengaku memiliki sayap ini akhirnya bangun juga….”
“Memiliki sayap? Malaikat maksudmu? Jangan bicara seperti orang gila…. Dia itu cuma anggota Gerwani….”
Edan! Siapa mereka ini? Mengapa mereka juga dikurung bersamaku di sini? Apakah mereka juga menari bersamaku di Lubang Buaya? Tetap tak ada yang menjawab pertanyaanku. Mungkin mereka memang tidak mendengar pertanyaanku. Mungkin mereka mengabaikan pertanyaanku.
Karena aku terus berteriak-teriak, seorang berpakaian necis membubarkan orang-orang yang mengepungku. Pria tampan ini dengan lembut kemudian membisikkan kata-kata yang juga lembut di telingaku, “Aku dokter yang akan merawatmu. Kau jangan sekali-kali melarikan diri dari rumah sakit jiwa ini….”
“Kalau aku melarikan diri?” kugoda dokter tampan itu.
“Kau akan terus diikat dan disalib di ranjang ini.”
“Tak ada yang akan membebaskan aku?” aku kian menggoda.
“Kalau Tuhan ada, Dia yang akan membebaskanmu,” dokter itu ganti menggodaku.
“Menurutmu Tuhan itu ada?”
Dokter itu tidak menjawab, “Tidurlah lagi. Patuhilah semua peraturan. Minumlah obatmu. Kau harus sembuh.”
“Sembuh? Sembuh dari apa? Aku tidak sakit.”
Dokter itu tertawa, “Kalau tidak sakit, kau tidak akan dibawa ke sini!”
Kini ganti aku yang tertawa, “Jangan bergurau. Aku hanya pusing dan aku ingin tidur….”
“Karena itu tidurlah…,” dokter itu berbisik, lembut sekali.
Aku memang tertidur. Aku tidak tahu kapan akan bangun lagi. Aku hanya merasakan ancaman penyaliban dan pembakaran tubuhku tak akan terhindarkan. Tentu saja aku tak peduli. Saat ini aku hanya ingin tidur. Tidur. Tidur. Tidur… dan tak bangun lagi.... (*)



Triyanto Triwikromo, pemeroleh Penghargaan Sastra Pusat Bahasa untuk Kumpulan Cerpen Ular di Mangkuk Nabi.






Cerpen Gatot Zakaria Manta (Suara Merdeka, 23 September 2012)



MARUTA mengurungkan niatnya berkunjung ke Moskow dan mengunjungi makam Chekhov ketika pada dini hari tanggal 27 Januari, dia mendapati sebuah amplop cokelat besar tergeletak di depan pintu rumahnya. Hampir roboh karena mabuk, matanya lamat-lamat menangkap deretan huruf yang tertulis di bagian depan: Dari Anton Chekov [1], tertulis dalam bahasa Inggris, alih-alih bahasa Rusia. Dia mendadak tertawa, surat yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba. Lalu dengan sempoyongan sembari mengepit amplop itu di ketiak, Maruta pergi ke kamarnya. Dikeluarkannya pakaian- pakaian yang telah tertata di koper sambil berjingkrak dan berjoget. Sementara amplop itu dia taruh di atas lemari, masih tersegel, bersanding dengan kitab suci. Namun dia tertidur sebelum selesai membereskan semuanya.
Esoknya Maruta bangun tidur sangat terlambat, hampir tengah hari, namun dengan pikiran yang lebih jernih. Dia menimang-nimang amplop itu dan beberapa kali membauinya. Cukup berat dan baunya aneh, beda dari biasanya. Dia kira sedang membaui aroma pohon frambos sekarang. Maruta membuka dan mengeluarkan isinya di ranjang: selembar surat, sebuah stetoskop, seikat jerami, sebuah peluru berdiameter besar, dan sepotong tangan mainan berjatuhan ke atas seprai yang kekuningan. Dia mengambil surat yang juga tertulis dalam bahasa Inggris dan membacanya. Kalimat pertamanya membuat Maruta tersentak: Bunuh dirilah dengan salah satunya!
Kalimat-kalimat selanjutnya sedikit membuat Maruta menyesal membongkar koper dan mengurungkan niatnya untuk pergi ke Moskow. Di surat tertulis agar dia melakukan rencana bunuh dirinya paling lambat tanggal 28 Januari di Biara Novodevichy, di depan makam Chekhov sendiri. Tapi sekarang, setelah beberapa jam terlewat dari jadwal keberangkatannya yang semestinya, mustahil bagi Maruta untuk tiba tepat waktu besok di Rusia. Apalagi dia masih harus memikirkan cara bunuh diri yang baik—kalau tak bisa dibilang mengagumkan.
Dia menduga bahwa surat ini seharusnya sampai seminggu atau paling tidak tiga hari yang lalu. Jasa pengiriman pasti kesulitan menemukan rumahnya yang kini berada di sebuah desa kecil, tepat di sebelah sebuah sawah tak terurus yang pada akhirnya juga dibelinya semata-mata agar punya alasan untuk melarang beberapa anak dan remaja bermain bola setiap sorenya. Maruta memang benci keramaian, lebih-lebih anak kecil. Itu juga salah satu alasan dia tak mempunyai anak hingga sekarang, meski telah menikah lebih dari lima tahun.
***
GAGASAN untuk pindah ke sebuah desa kecil dan meninggalkan sebuah apartemen dan istrinya di kota, datang enam bulan yang lalu, beberapa saat setelah dia membaca surat yang sama—dari Chekhov. Jelas tertulis dalam surat yang kini dia simpan dengan aman di dalam kotak sepatu di bawah ranjang: Pindahlah ke desa kecil seperti aku. Kau akan menemukan kedamaian. Dan karena keyakinannya yang begitu kuat bahwa setiap kata-kata Chekhov adalah petunjuk, Maruta mengikuti saran surat itu. Dia tak menghiraukan kemarahan istrinya yang tiba-tiba datang pada titik puncaknya setelah hampir lima tahun perempuan itu tak pernah berkata keras.
“Kenapa kau ingin melakukan hal yang tak waras seperti itu?” teriak istrinya saat itu, sebuah danau terbentuk dan meluap dalam waktu yang bersamaan di matanya.
“Aku hanya menginginkan kedamaian, Sayang. Tak lebih,” jawab Maruta tenang, seolah apa yang baru disampaikannya hanya sebuah gurauan yang sering menyelingi sajian teh di sore hari.
“Kedamaian? Kedamaian katamu? Persetan dengan kedamaian!”
“Jangan begitu, Sayang. Chekhov berniat baik dengan memberi tahu aku saran itu.”
“Chekhov? Astaga! Kau sudah gila! Orang mati itu lagi? Tak cukupkah kau bilang kalau dia memengaruhi gaya menulismu? Apa yang terjadi denganmu, Mas? Kau jadi aneh setelah pulang dari Rusia.”
“Kedamaian memang sering kali dirasakan aneh bagi yang melihat, Sayang. Seperti melihat kucing dan anjing yang tidur satu ranjang.”
Kemudian istrinya, wanita langsing dan berbulu mata lentik itu, melanjutkan pendakian puncak-puncak kemarahannya dengan kalimat-kalimat panjang dan nyaring yang sulit diingat, kecuali sebaris kalimat yang Maruta ingat hanya karena istrinya mengutip kata-kata Chekhov—sekadar untuk mengingatkan dirinya, “Kedamaian dan ketenteraman seseorang tidak berada di luar, tapi di dalam dirinya sendiri!” [2]
Namun Maruta bergeming. Dengan atau tanpa istrinya, dia sudah bertekad pergi. Dibelinya sebuah rumah di desa yang sepi, jauh dari kota tempat tinggalnya yang lama. Istrinya masih diketahuinya tinggal di apartemen itu. Mungkin dia malu untuk kembali ke rumah orang tuanya. Sementara untuk keluar dan mencari tempat tinggal lain, dia tak memiliki penghasilan kecuali dari uang yang masih dikirimkan Maruta setiap bulannya.
Bulan-bulan awal kepindahannya ke desa, Maruta segera mensyukuri keputusannya dan acap kali memuji pengarang Rusia itu di setiap kesempatan. Rumahnya terletak di ujung desa, membuatnya jarang bergaul kecuali saat pertemuan rutin yang biasa digelar di balai desa. Namun dia cukup terampil merayu Rumi, seorang janda pemilik warung tak jauh dari rumahnya, agar bersedia menjual bir kepadanya. Perempuan pendek berisi itu memang tak melayani sembarang orang untuk membeli minuman keras yang dia sembunyikan di biliknya. Pendeknya, Maruta merasakan kebebasan dan ketenteraman yang luar biasa, yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Pikirannya terang, sementara mata, telinga, hidung—segenap inderanya—seolah menjadi mesin penangkap inspirasi yang baik. Baru dua bulan di desa, dia telah menyelesaikan sebuah novel setebal 400 halaman.
Namun surat-surat dari Chekhov tak pernah datang selama Maruta tinggal di desa tersebut. Hingga suatu ketika, istrinya datang dengan tergopoh-gopoh suatu hari di bulan Mei. Melemparkan kepadanya sebuah surat dan sebuah bungkusan besar berwarna cokelat—terlihat baru saja dibuka. Istrinya seperti baru saja melihat sesuatu yang menakutkan, berbicara dengan gemetar, “Sebenarnya apa yang kau temui di Rusia? Seseorang mengirimimu senapan. ‘Cobalah senapan Chekhov!’ begitu tulisnya.”
Maruta tersenyum. Dia tak mungkin menjawab pertanyaan itu. Menceritakan orang-orang istimewa yang ditemuinya di Moskow akan menyalahi kode etik.
***
SENAPAN Chekhov itu kini terpajang di dinding kamar tidur Maruta. Dia pun tak khawatir surat-surat akan tersesat ke alamat lamanya. Dia telah mengirimkan pesan ke salah satu temannya—juga pencinta Chekhov—alamatnya yang baru. Hasilnya memang sedikit mengesalkan, suratnya kali ini datang terlambat. Tapi dia tidak punya pilihan lagi, istrinya menggugat cerai bulan lalu dan hingga sekarang masih dalam proses.
Maruta menyesal telah mabuk semalam. Dia mengutuk Rumi, perempuan penjaga warung itu berdandan sangat mencolok semalam dan mengundang berahi. Maruta yang telah berada di rumah dan meminum bir, tiba-tiba teringat lagi padanya dan memutuskan untuk kembali lagi ke warung tengah malam. Dia mengendap-endap dan menyelinap ke bilik, menunggu. Saat perempuan itu masuk hendak istirahat, Maruta segera menyergap dan menindihnya. Rumi diam saja—dia telah hafal kelakuan Maruta sejak tiba di desa dan berhasil merayunya—dan hanya berpesan agar pelan-pelan, jangan sampai ketahuan adik dan adik iparnya yang masih melayani para remaja mabuk di depan.
Setelah mustahil bagi Maruta tiba di Rusia tepat waktu, yang bisa dilakukannya kini hanya membuat rencana bunuh diri yang bisa dilakukan di rumahnya sendiri. Teman-temannya yang lain, yang dia bayangkan mulai berkumpul di Moskow, pasti membuat rencana-rencana bunuh diri yang mengagumkan demi merayakan kematian Chekhov. Dia tak ingin kalah.
Namun apa yang bisa dilakukan dengan sebuah stetoskop, seikat jerami, sebuah peluru berdiameter besar, dan sepotong tangan mainan untuk membunuh dirinya? Maruta menjangkau senapan dan melemparkannya sekalian ke ranjang. Dia bisa saja memasukkan peluru ke senapan dan mengarahkannya ke kepalanya sendiri. Dengan diameter sebesar itu, kepalanya pasti pecah berantakan. Tapi itu cara bunuh diri yang biasa. Bisa dipastikan teman-temannya—yang juga mendapat barang-barang yang sama—pasti memikirkan cara bunuh diri ini. Dia tak ingin cara mati seperti itu.
***
BIARA Novodevichy ditutup, mungkin untuk menghindari kejadian tahun lalu dimana beberapa orang nekat memecahkan nisan dan marmer kemudian mengeduk sejumput tanah, tepat saat perayaan kelahiran Anton Chekhov. Karenanya, orang-orang itu memindahkan pertemuan mereka ke sebuah bar sepi di kota Moskow. Bar kecil itu mendadak penuh ketika mereka semua masuk. Kursi-kursi ditata sedemikian rupa. Melingkar. Kemudian mereka duduk. Berbincang-bincang, umumnya menggunakan bahasa Inggris.
Beberapa orang silih berganti maju ke depan, memperagakan adegan-adegan kematian yang telah mereka rencanakan. Ada yang mencekik diri dengan stetoskop, menyumbat tenggorokan dengan jerami, dan banyak di antaranya menembak diri sendiri entah di jantung atau di kepala. Pelayan bar mengernyitkan kening, mengira mereka adalah bagian dari sebuah kelompok teater.
For Chekhov!” kata seseorang sambil mengangkat gelas, dan segera diikuti yang lain.
Seseorang yang lain, membawa ponsel, berkata nyaring ketika peraga terakhir—yang memerankan kematiannya dengan mencekik lehernya sendiri—bangkit dari lantai dan kembali ke tempat duduknya. “Ada sebuah pesan dari teman kita di Indonesia, tentang kematiannya,” katanya, “dia tak bisa datang karena surat yang terlambat tiba.”
“Bacakan! Bacakan! Bacakan!” seru semua orang, sambil menepuk-nepuk pin bertulis: Chekhov (1860-2012).
Orang yang membawa ponsel berdeham, kemudian berkata, “Sungguh menyenangkan jika kematianku, bisa diikuti oleh kematian orang lain sebanyak-banyaknya. Aku bisa menggunakan stetoskop untuk mencekik orang sebanyak-banyaknya, mungkin Rumi—gundikku, editorku, seorang penulis yang membajak karyaku, dan beberapa orang yang menyebalkan dalam hidupku. Sementara senapan itu bisa aku gunakan untuk membunuh istriku. Cukuplah dia kupukul dengan gagangnya. Dia lemah. Akan mati seketika. Lantas ketika tiba giliranku untuk membunuh diriku sendiri, aku akan membungkus kepalaku dengan sebuah amplop cokelat besar dan mengikatnya dengan jerami. Bukan apa-apa, aku hanya tak mau isi kepalaku berceceran kemana-mana ketika aku menembakkan senapan tepat di dahiku. Itu kematian yang cepat, bukan? Tak akan ada teriakan dan jerit ketakutan. Meski begitu, aku telah berjaga-jaga dengan membungkam mulutku dengan sepotong tangan itu. Kematian, bagaimanapun juga, harus dirayakan dengan sebaik-baiknya.”
Hening sejenak. Kemudian terdengar riuh tepuk tangan. Kursi-kursi bergoncang, sebuah stoples nyaris menggelinding karena guncangan yang melanda meja di tengah lingkaran. Untung seseorang menangkapnya dan menegakkannya kembali, lebih ke tengah. Sikapnya sangat hati-hati dan takzim pada stoples berisi tanah itu. Sebelum melepaskan tangannya, dia masih sempat menggosok tulisan yang tertulis di badan stoples: Anton Chekhov. (*)


Lamongan, 1 September 2012

Catatan:
[1] Anton Chekhov, salah satu sastrawan besar Rusia yang juga seorang dokter. Karya-karyanya sering berisi peristiwa-peristiwa tragis dengan latar kehidupan di kota-kota kecil atau pedesaan.
[2] Dikutip dan diartikan dari cerpen Ward No.6 karya Anton Chekhov.


Gatot Zakaria Manta, lahir di Lamongan, 30 Maret 1990. Sekarang tinggal di Semarang.