Cerpen N Mursidi (Suara Merdeka,12 Agustus 2012)




BERTAHUN-TAHUN, laki-laki itu menunggu Ramadhan (tahun ini) cepat datang. Ramadhan yang akan menggenapi usianya tepat enam puluh tiga tahun dan dia merasa yakin, jika Ramadhan tahun ini, suatu peristiwa yang sudah ditunggu-tunggu lama itu akan tiba. Dia menemui ajal, selepas shalat tarawih tepat di malam Lailatul Qadar.
Di malam yang ditunggu-tunggu itu, ia akan menunaikan shalat tawarih di tengah malam yang hening. Malam yang membuat laki-laki itu harus rela meninggalkan semua yang dimiliki dan tidak lagi memikirkan dunia. Malam yang membuatnya harus khusuk bersujud dalam hening waktu yang bisu, sunyi dan sepi—seakan-akan malam tak pernah beranjak menjadi pagi atau siang. Malam yang tak pernah dia rasakan lantaran tak ada angin berembus. Dan malam itu, ia benar-benar merasakan ajal yang ditunggu-tunggu itu akan tiba; maka ia menunaikan shalat tarawih tepat di malam yang hening—yang menurutnya malam Lailatul Qadar.
Tepat pada malam itulah, sebagaimana yang pernah dia rasakan dalam mimpinya sepuluh tahun yang lalu, ia akan beranjak tidur dengan tenang selepas menunaikan shalat tarawih dan dia berharap tak akan bangun lagi karena dia akan meninggal dengan tenang, tepat di malam Lailatul Qadar setelah ia melihat seribu kunang-kunang.
***
RAMADHAN hari pertama, sepulang dari menunaikan shalat subuh di masjid, laki-laki itu tidak kembali tidur. Dia pulang tergesa, meraih sepeda. Dalam gelap pagi, dia menggayut pedal dengan napas tersengal menuju pasar. Dia menggenjot sepedanya diiringi derit jeruji yang hampir terlepas, dan gesekan salah satu jeruji sepeda yang terlepas itu menimbulkan suara sesak di dada.
Lelaki itu tak pernah bercerita pada anaknya, mengenai kematian yang akan menjemputnya di bulan Ramadhan ini. Tahu-tahu, lelaki itu pulang dari pasar tepat ketika mentari beranjak naik di atas kepala, dan menjinjing kain kafan yang dibungkus plastik putih. Berjalan semboyongan dilanda haus, lelaki itu menyandarkan sepeda di teras lalu memasuki rumah dengan langkah terhuyung hampir jatuh. Di ruang tengah, dia menghempaskan tubuh seraya menaruh plastik putih berisi kain kafan di atas meja.
Mahmud, anak keduanya, keluar dari kamar, menguap seraya mendapati ayahnya yang terlentang di kursi panjang melepas lelah. Tubuh ayahnya gemetar, seluruh mukanya merona merah sebab dibakar terik mentari.
“Ayah dari mana? Selepas subuh sudah mengeluarkan sepeda dan pulang seperti orang dikejar hantu?”
“Dari pasar….”
“Untuk apa ayah harus pergi ke pasar pagi-pagi sekali?”
“Beli kain untuk baju….”
Mahmud melirik bungkusan plastik di atas meja, membukanya lantas membentangkan kain kafan dalam bungkusan itu. “Mana mungkin ayah akan membuat baju lebaran dari kain seperti ini?”
“Siapa bilang kain kafan itu untuk baju lebaran ayah? Itu baju kematian ayah. Mungkin, di bulan Ramadhan ini ayahmu akan dipanggil oleh Tuhan.”
Mahmud tersentak. “Ayah jangan bercanda dengan Tuhan. Ayah masih sehat dan kuat menggayut sepeda sampai ke pasar… jangan berpikir aneh-aneh!”
Lelaki itu diam dan Mahmud melangkah ke kamar mandi.
***
BELUM cukup Mahmud dikejutkan dengan kain kafan yang dibeli ayahnya, hari kedua Ramadhan, ayahnya kembali membuat anaknya terperangah. Kali ini, ayah tiga anak itu pergi ke pemakaman.
Sesudah menunaikan shalat ashar, lelaki itu pulang dari masjid dengan langkah tergesa-gesa mengambil cangkul di belakang rumah lantas berjalan ke luar perkampungan, lalu menyusuri jalan setapak ke pemakaman umum. Setiba di sudut pemakaman, lelaki itu membersihkan rumput makam istrinya—yang sudah meninggal enam tahun lalu. Setelah rumput tak lagi menghuni gundukan makam istrinya, lelaki itu bersimpuh dan menangis. Hening senja itu semakin membuat ia larut. Tak ada kata yang terucap, kecuali hanya sebait doa dalam hati yang sendu membasahi bibirnya. Ia menghapus air mata, sebelum pulang saat matahari hampir tenggelam.
Tapi, sesampai di rumah, lelaki itu seperti tidak dapat mengelak tatkala Romdon, anak ketiganya pulang kerja dan menemukan ayahnya pulang dari pemakaman dengan sebuah cangkul di pundak. “Banyak kuburan tak terurus, termasuk kuburan ibumu. Jadi, apa salahnya jika aku pergi ke pemakaman untuk membersihkannya?”
“Tapi, kenapa ayah sendiri yang harus melakukan? Tidak bisakah ayah meminta bantuan orang lain dengan memberinya upah?”
“Ada satu hal yang kita tak bisa minta bantuan orang lain. Ayahmu tahu kematian tak dapat digantikan. Ayahmu sudah tua. Jadi, tak mungkin ayahmu mengupah orang untuk menggantikan kematian ayah yang sebantar lagi akan datang….”
Romdon termangu menatap wajah ayahnya yang mulai menua di makan usia. Tetapi, Romdon sama sekali tak menemukan garis putih di dahi ayahnya yang bisa memberinya tanda jika ajal ayahnya tak lama lagi akan tiba.
***
TIDAK hanya hari kedua di bulan Ramadhan tahun ini, lelaki tua itu pergi ke pemamakan dan baru pulang saat senja tenggelam. Tetapi di hari ketiga, keempat, dan seterusnya lelaki itu masih tetap pergi ke pemakaman. Laki-laki itu pergi ke pemakanan seakan ia sudah merindukan tempat yang akan dihuni kelak, tepat usai shalat tarawih di malam Lailatul Qadar.
Dan malam ini laki-laki itu sudah menjalani puasa selama dua puluh hari.
Bulan di langit tak lagi penuh, mirip buah semangka dibelah dua. Di bilik kamar, lelaki itu berdiri melongok jendela. Tak diduga, tiba-tiba ia melihat seribu kunang-kunang berterbangan di langit dengan memancar kelap-kelip aneka warna. Cakrawala tidak lagi gelap, dan langit seperti tersepuh warna seribu kunang-kunang. Lelaki itu tidak ragu, bahwa malam ini adalah malam Ramadhan yang ditunggu-tunggu. Malam penuh berkah, dan dia merasakan ada secercah kedamaian yang menelusup dalam dadanya….
Tak ingin ia kehilangan suasana yang tak pernah ia rasakan sepanjang hidup, memandang ke angkasa dengan diam. Adzan isya’ sudah lama berlalu, tetapi suara langkah kaki orang-orang yang pergi ke masjid untuk shalat tawarih tidak menggoyahkan kakinya beranjak pergi ke masjid. Ia sudah merasa ajalnya sudah dekat. Langit yang dipenuhi dengan seribu kunang-kunang seperti mengabarkan akan berita duka tersebut.
Kini, malam yang ditunggu-tunggu itu, sudah tiba dan dia harus menunaikan shalat tawarih di tengah malam yang hening. Malam yang membuatnya harus rela meninggalkan semua yang dia miliki. Malam yang membuatnya harus khusuk bersujud dalam hening waktu, seakan-akan malam tidak beranjak menjadi pagi atau siang. Malam yang tidak pernah ia rasakan, lantaran tidak ada angin. Dan, malam ini, ia merasakan ajal yang ditunggu-tunggu akan tiba.
Ia melangkah mengambil air wudhu, kemudian kembali ke kamar, dan berdiri lagi di balik jendela. Seribu kunang-kunang yang barusan dilihatnya tak lagi terlihat. Dia mengedarkan pandangan mencarinya di segala penjuru langit. Tapi seribu kunang-kunang itu sudah hilang, tidak ia temukan lagi. Angin berhembus, menyelimuti sekujur tubuhnya dalam balutan rasa tentram yang tak pernah ia temui sepanjang hidup.
Malam seakan lama beringsut. Suara orang-orang yang menunaikan shalat Tarawih di masjid, terdengar di telinganya. Ia tahu, malam belum sepenuhnya hening. Maka, ia mengambil kitab suci di atas meja lalu membacanya dengan suara lirih. Tatkala anak-anaknya tiba dari masjid, tak menaruh curiga; kenapa ayahnya malam itu tidak shalat tarawih di masjid.
Malam merambat menjadi hening. Ia tahu anak-anaknya sudah beranjak tidur. Tepat di malam itu, ia berdiri menunaikan shalat terawih di tengah malam yang hening. Malam yang membuat lelaki itu harus rela meninggalkan semua yang dimiliki, tak lagi memikirkan dunia. Malam yang membuatnya harus khusuk bersujud dalam hening waktu yang bisu, seakan-akan malam tak pernah beranjak menjadi pagi atau siang. Malam yang tidak pernah ia rasakan, lantaran tak ada angin berhembus. Dan malam ini ia benar-benar merasakan ajal yang ditunggu-tunggu itu akan tiba dan ia pun segera menunaikan shalat tarawih.
Malam benar-benar hening.
Angin seperti diam, dan membisu.
Ia khusuk dalam sujud, dan tidak memikirkan dunia.
Usai shalat tarawih, pelan-pelan ia beranjak ke ranjang untuk tidur dan berharap di malam yang sudah beranjak menjadi pagi itu, ia tidak akan bangun lagi lantaran ia akan meninggal dengan tenang selepas shalat tarawih, tepat di malam Lailatul Qadar.
Tapi betapa terkejutnya lelaki itu tatkala waktu sahur tiba…, ia merasakan tangan kekar menyentuh tubuhnya. Abdul, anak pertamanya menggoyang-goyang tubuhnya. “Ayah…, bangun! Sudah waktunya makan sahur! Dan ada kabar sedih yang melingkupi kampung kita. Haji Salim, imam masjid di kampung kita barusan meninggal dunia.”
Lelaki itu membuka matanya, dan dilihatnya sosok anak pertamanya berdiri di tepi ranjang. Ia terperanjak karena Haji Salim meninggal dunia. Dalam hati, ia merenung: kenapa Haji Salim yang justru meninggal pada malam yang ia tunggu-tunggu itu?
Ia beranjak dari ranjang, membuka jendela, dan melongok keluar dengan mata masih setengah terpejam. Tidak ada seribu kunang-kunang di langit. Hanya ada bulan separoh bulat mirip buah semangka yang dibelah menjadi dua…. (*)
.
 .
Ciputat, Ramadhan 1431
N Mursidi, cerpenis kelahiran Lasem, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya telah dimuat di sejumlah media massa seperti Kompas,The Jakarta PostSuara PembaruanRepublikaJurnal Nasional,Sinar HarapanSeputar Indonesia, Tabloid NovaSuara Karya, Majalah AnggunKedaulatan RakyatMinggu PagiTribun Jabar,Surabaya PostSuryaRadar SurabayaBatam PosLampung Post,Bengawan Pos, Tabloid Cempaka, dan Solo Post. Selain menulis cerpen dia juga bekerja menjadi wartawan sebuah majalah di Jakarta. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit “Dua Janji” (2010).




Cerpen Sam Edy Yuswanto (Republika, 26 Agustus 2012)


SETIAP makhluk yang bernyawa pasti kelak mati. Ya. Mati. Siapa yang telanjur hidup di dunia, siapa pun dia, pasti akan bersua ajal. Semua orang pasti tahu hal ini. Termasuk Kalimun. Sungguh, lelaki baya itu sepenuhnya menyadari, bahwa setiap orang kelak akan mati. Tidak bisa tidak.  
Tapi, entah mengapa, beberapa bulan terakhir ini, kujur raga Kalimun selalu bergigil ria acap teringat bahwa kelak ia akan bersua ajal alias mati. Kemudian dimandikan. Kemudian dikafani. Kemudian dishalatkan. Kemudian dikubur. Terlebih, usianya kini telah melewati angka 62 (dua bulan sebelas hari lagi genap 63 tahun), tentu peluang untuk lekas mati jauh lebih besar dibanding mereka yang masih remaja atau yang baru terlahir dari rahim ibu-ibu mereka. Meski Kalimun menyadari bahwa kematian itu tak kenal pandang usia, tetap saja ia diranjam takut tak berkesudah, menghadapi lecut maut malaikat pencabut nyawa yang tentunya tak kenal kata kompromi dan tak bisa ditawar lagi. Ah, seandainya saja ada tempat bersembunyi dari mati, pasti Kalimun akan lari ke sana. Bersembunyi dari kejaran malaikat maut.
Dan, Kalimun akan merasa sedikit lega saat ia teringat petuah Haji Amir; bisa saja usia muda yang lebih dulu dicerabut paksa nyawanya. Sebagaimana putra semata wayang Tusini, tetangga yang baru melahirkan sebulan lalu, yang tiba-tiba saja mati tak bermusabab. Gita, gadis kelas satu tsanawiyah yang lagi ceria-cerianya menikmati masa remaja bersama teman-teman sebaya pun mengalami nasib serupa. Malah lebih naas bin tragis; mati tertabrak mobil yang sopirnya ugal-ugalan. Maklum, sopir wanita bertubuh gempal itu sedang setengah mabuk usai berpora minuman keras di sebuah diskotik bersama kawan-kawannya semalaman. Darto, lelaki 25 tahun yang belum menikah dan juga tetangga dekat Kalimun, belum lama ini juga tewas mengenaskan, terjatuh dari pohon kelapa saat sedang memetiki kelapa yang sudah masanya dijual ke pasar. Dan masih ada sederet kisah tentang orang-orang yang mati di usia kencur yang teramat panjang jika kembali diceritakan ulang di sini.
Sungguh, betapa Kalimun merasa, saat ini belum siap untuk mati meski usianya telah mendekati standar kematian. Kata Haji Amir, Rasulullah SAW saja wafat pada usia 63. Sementara usianya kian mendekati usia wafatnya Nabi. Tuh kan, kuduk Kalimun kembali meremang hingga berpinak-pinak jika kembali memikir ucapan Haji Amir, tetua sekaligus imam masjid shalat lima waktu di masjid kampungnya.
Maka, tak usah heran, jika akhir-akhir ini kalian melihat Kalimun rajin nian menyambangi masjid untuk shalat berjamaah bersama Haji Amir yang tak pernah absen (kecuali jika sedang sakit) memimpin shalat lima waktu. Ketika Kalimun tak sempat berjamaah di masjid pun, ia selalu mendirikan shalat berjamaah di rumah, meski hanya berdua dengan Tugirah, istrinya, yang tiga tahun lebih muda dari usianya kini. Sejak menikah dengan Tugirah, 34 tahun silam, Kalimun memang tak dikaruniai anak. Sehingga ia hanya hidup berdua dengan istri di rumah kayunya yang sederhana. Keseharian Kalimun sejak berumah tangga dulu, hingga sekarang, hanya menadah rezeki melalui wasilah sawahnya yang meski tak begitu luas tapi hasil panenannya setiap setengah tahun sekali, bisa mencukupi hajat hidup sehari-harinya bersama istri.
Hei, coba kalian tengoklah, perubahan demi perubahan yang terjadi pada diri Kalimun. Dari hari ke hari, Kalimun kian rajin menyambangi masjid untuk berjamaah, tepatnya sejak ia mendengar cerita Haji Amir saat pengajian di serambi masjid beberapa hari lalu.
“Umar bin Khattab adalah sahabat yang sangat dikasihi Nabi karena ia termasuk pemimpin yang sederhana pada rakyatnya. Selain itu, Umar juga terkenal sangat gigih membela agama Allah. Namun sayang, ia tewas mengenaskan dibunuh oleh Abu Lukluk ketika akan memimpin shalat. Para jamaah pengajian yang dimuliakan Allah, itulah yang disebut kematian husnul khatimah. Umar bin Khattab termasuk golongan orang-orang yang mati syahid karena ia mati ketika akan mendirikan shalat.”
Keterangan itulah yang membikin Kalimun langsung memasung ikrar dalam hati: akan rajin menyambangi masjid, untuk berjaga-jaga, siapa tahu pas nyawanya dicabut Izrail, ia sedang dalam keadaan bersujud, sebagaimana sayyidina Umar bin Khattab yang wafat ketika hendak memimpin shalat. Seketika, kuduk Kalimun langsung meremang, saat ia kembali teringat, dulu ia sering bolong-bolong shalatnya karena berlampau sibuk mengurusi sawahnya. Jika sudah berada di sawah untuk menanam padi atau pas panen, bisa seharian ia di sana. Shalat Zhuhur dan Ashar pun bablas. Terlewat begitu saja seiring lenyapnya sayup-sayup suara azan yang mengalun dari corong masjid di sudut kampungnya.
Namun, entah mengapa, meski Kalimun sekarang ini terlihat kian giat berjamaah, ia tetap dihantam rasa was-was serta takut yang kian berkecambah dalam palung hatinya. Ia benar-benar belum siap mati saat ini. Bahkan, di sela-sela doa sehabis shalat, ia selalu memohon agar Allah memanjangkan usianya, kalau bisa hingga seribu tahun lagi.
***
   Selain berjamaah di masjid, Kalimun juga rajin menolong tetangga yang membutuhkan. Jika ada tetangga butuh uang, kalau ia sedang punya sejumlah uang yang dibutuhkan tetangga, maka ia pun akan langsung bergegas pulang, lantas menyerahkan uang itu. Bukan. Bukan untuk dipinjamkan. Tapi ia berikan secara cuma-cuma. Tak ayal, Tugirah sering geleng-geleng kepala melihat tingkah suaminya yang dulu terkenal lumayan pelit dan sering lupa membayar zakat padinya, kini berubah jadi sosok dermawan. Tapi di sisi lain, diam-diam Tugirah bersyukur, melihat perubahan yang terjadi pada suaminya yang akhir-akhir ini lebih mendekatkan diri pada Sang Khaliq.
“Tumben, biasanya kalau ada orang minta bantuan, pasti bilangnya lagi nggak punya uang,” kata Tugirah suatu hari, ketika rumahnya baru saja kedatangan dua pemuda dari kampung sebelah yang meminta sumbangan buat pembangunan masjid, lantas dengan wajah ramah Kalimun menyambut dan memberikan uang duapuluh lima ribu rupiah.
Kalimun hanya tersenyum menanggapi sindiran istri. Sebenarnya ia ingin menjelaskan bahwa apa yang ia lakukan adalah untuk menambal dosa-dosa masa lalunya. Kata Haji Amir, dulu Rasulullah Saw. pernah berpesan pada para sahabatnya, agar mengiringi tiap kejelekan dengan amal kebaikan, karena amal kebaikan itu bisa menghapus kejelekan yang pernah kita lakukan.
Pun ketika ada tetangga yang sedang menghelat hajatan, kalian pasti akan terheran-heran melihat begitu bersemangatnya Kalimun membantu memasang tenda, membersihkan pekarangan, menata kursi-kursi plastik, tanpa mengharap imbalan. Benar-benar tanpa pamrih. Ya, itu semua Kalimun lakukan karena ia ingin ketika Izrail tiba-tiba mencabut nyawanya, ia sedang bersibuk menolong orang. Sebagaimana ucapan Haji Amir yang pernah ia simak dengan raut serius beberapa minggu lalu.
“Sedekah itu bisa dengan cara apa saja, sesuai kadar kemampuan kita. Dengan harta, kalau kita punya. Dan bisa pula dengan tenaga, jika kita tak ada harta.”
“Maaf, Pak Haji, saya mau tanya, apakah juga termasuk husnul khatimah jika seseorang mati ketika sedang menolong orang?” Tanya Kalimun di sela-sela pengajian. Tak ia pedulikan bebisik serta sorot aneh yang terpancar dari beberapa jamaah yang duduk di kanan kirinya.
“Ya, selama ia menolong di jalan kebaikan, maka termasuk husnul khatimah, Pak Kalimun,” keterangan Haji Amir seiring kulum senyum membuat Kalimun kembali memasung ikrar; akan selalu menolong orang lain semampu ia bisa. Kapan pun. Di mana pun.
Entah mengapa, meski ibadahnya kian rajin, rasa cemas dan takut mati tetap belum bisa enyah dari benak Kalimun. Justru semakin hari semakin berkelindan dan memilin-milin hatinya. Sungguh, betapa Kalimun tak pernah lelah berbisik lirih dalam batin; duh, Gusti, aku belum siap mati saat ini.
***
Pagi itu, Tugirah merasa sekujur tubuhnya panas dingin. Sesekali tubuhnya terlihat bergigil. Rupanya angin kencang yang bertiup di musim kemarau akhir-akhir ini mulai tak bersahabat dan justru mengantarkan rerupa penyakit, terlebih bagi wanita baya macam dirinya.
“Pak, kayaknya Ibu masuk angin. Tolong, belikan Ibu obat masuk angin dan sebotol madu ya, Pak,” pinta Tugirah pada Kalimun yang baru saja selesai melaksanakan shalat Dhuha di lantai ruang tamu beralaskan sajadah merah yang agak kusam. Sejak tiga tahun terakhir, istri Kalimun memang gemar mengonsumsi madu untuk menjaga stamina tubuhnya.
Mendengar pinta istri, Kalimun sontak kepikiran macam-macam. Hei, jangan-jangan usia istrinya tak lama lagi. Jangan-jangan sakitnya kali ini menjadi pertanda bahwa sebentar lagi ia akan tutup usia. Tiba-tiba ada sesuatu yang menggelitiki kuduknya. Selain takut mati, Kalimun juga selalu merasa ngeri menyaksikan orang-orang yang sepertinya telah dekat ajalnya. Tanpa banyak kata, bahkan tanpa menjawab permintaan istri, Kalimun lekas melukar sarungnya dengan celana katun panjang untuk membelikan obat tolak angin dan sebotol madu di toko sebelah pasar wage, dekat kecamatan, jaraknya sekitar 2 kilometeran dari arah kampungnya. Biasanya, tanpa diminta pun, ia selalu membelikan madu buat istrinya di toko tersebut.
***
Kalimun memacu sepeda onthel-nya dengan kecepatan di atas rata-rata saat menuju pasar wage. Beberapa ratus meter sebelum tiba, tepatnya ketika Kalimun sedang berada di ladang tebu, ia mendengar suara teriak perempuan minta tolong. Seketika, Kalimun menghentikan sepedanya. Dipasangnya cuping keriputnya baik-baik. Suara itu sepertinya bersumber dari ladang tebu.
Baru saja Kalimun men-standar sepedanya, seorang perempuan usia 20-an tiba-tiba menyeruak, keluar dari semak pepohon tebu di sebelah kirinya.
“Pak, to… tolong saya, saya mau diperkosa orang…,” megap-megap perempuan berwajah cantik itu menjelaskan pada Kalimun. Belum sempat Kalimun berucap sepatah kata, dua pemuda berwajah setan menyeruak dari semak pepohon tebu itu dengan nafas memburu.
“Heh, orangtua! Sebaiknya kau tidak usah ikut campur urusan kami!” ucap kasar salah satu pemuda yang mulutnya berbau minuman kerasmerk murahan. Pemuda yang satunya nampak mengacungkan parang ke arah Kalimun. Tapi, hei, entah mengapa, tak sedikit pun Kalimun merasa gentar digertak seperti itu. Justru ada yang menggelegak dalam dadanya. Ia masih ingat petuah Haji Amir, bahwa menolong orang itu termasuk ibadah yang pahalanya berlipat ganda.
“Sebaiknya kalian yang cepat pergi dari sini!” Kalimun tak bisa menontrol emosi bicaranya. Sementara perempuan itu menggigil di belakangnya seraya membenahi pakaiannya yang sedikit terbuka.
Namun, baru saja Kalimun hendak pasang kuda-kuda, salah seorang pemuda yang membawa parang telah terlebih dulu menebas pundak dan menyambar lehernya. Kalimun pun roboh. Sementara pemuda yang tengah dirasuki iblis jahanam itu terus membabi buta menghajar Kalimun yang kian tak berdaya. Anehnya, justru Kalimun tak merasai sakit sedikit pun di kujur tubuhnya. Ia hanya menggumam takbir berkali-kali saat parang itu berkali menyambar tubuhnya. Sungguh, ia merasa parang itu hanya memantul-mantul di kulitnya. Tapi, begitu Kalimun melihat sekujur tubuhnya dipenuhi luka dan genangan darah segar, kedua matanya membeliak, meski tetap saja tak ia rasai sedikit pun rasa sakit.
Berselang menit, pandangan Kalimun terasa mengunang dan sekelilingnya tiba-tiba berubah kekuningan, lalu putih cerlang, hitam, dan… lap! Tiba-tiba serasa ada yang terlolos dari raganya, pelan, lembut, seperti sebatang jarum yang ditarik dari gundukan tepung. Ia hanya mampu mendengar suara jerit perempuan yang hendak ditolongnya barusan, sebelum ia merasa dibawa terbang oleh entah siapa. (*)


  Puring Kebumen, Juli 2012
Penulis lahir dan berdomisili di Kebumen, Jateng. Cerpen-cerpennya banyak dimuat di berbagai media, lokal hingga nasional. Beberapa di antaranya memenangi lomba penulisan. Ia sudah menerbitkan sejumlah buku yang menampilkan karya-karya cerpennya.





Cerpen Andrea Hirata (Kompas, 25 Juli 2010)


BARANGKALI karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar sempit yang dimuati tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin cerewet karena gerah. Barangkali karena musim kemarau telanjur berkepanjangan, kampung kami menjadi sangat tidak enak setelah bulan Maret sampai September.
Tak ada yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada hiburan di luar. Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk-liuk seperti belut sawah di atas panggung berhias pelepah kelapa di pinggir pantai, lebih menyanyikan maksiat daripada lagu. Tapi itu hanya lama-lama sekali, pun kalau harga timah sedang bagus—yang amat jarang bagus.
Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau pusat perbelanjaan untuk dikunjungi. Yang sedikit menarik perhatian hanya sebuah jam besar di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum pendeknya ngerem mendadak di angka lima. Jarum panjangnya mengembuskan napas yang terakhir di pelukan angka dua belas. Jarum detik telah minggat dengan perempuan lain, tak tahu ke mana. Melihat jam itu sejak kecil aku punya firasat, bahwa jika nanti dunia kiamat, kejadiannya akan tepat pukul lima.
Penarik perhatian lainnya adalah dua buah patung, juga di tengah kota. Patung pertama berupa seekor buaya yang sedang melilit sebilah parang. Besar, tingginya mungkin enam meter. Sejak kecil pula aku telah berusaha mencerna makna filosofis patung itu, tetapi selalu gagal. Aku hanya bisa menduga-duga, buaya adalah perlambang lelaki hidung belang, maka, semua lelaki pembuat parang patutlah dicurigai.
Patung satunya lagi juga besar dan tinggi, adalah patung para pejuang kemerdekaan tahun 45. Lengkap dengan senapan dan bambu runcing. Mereka mengacungkan tinju dengan geram, siap menyikat Belanda. Juga sejak kecil aku bertanya-tanya, mengapa pematung membuat kepala patung-patung itu secara anatomis sangat besar? Baru belakangan kutahu jawabannya, yaitu di depan patung itu kini dipasang papan reklame dan di situ para politisi sering berbusa-busa membanggakan program-program mereka. Maka tampaklah kini para pejuang 45 itu seperti ingin menonjok mereka. Jika ingin tahu definisi dari visi seorang seniman, patung itu memberi contoh yang sangat pas. Jam besar, patung pejuang 45, dan papan reklame itu adakalanya bagiku tampak bak panggung parodi, adakalanya bak wangsit, dan adakalanya bak segitiga Bermuda, yang menyimpan misteri politik republik ini.
Namun, tak pernah kami risaukan semua itu sebab kami punya sebuah museum, dan museum kami adalah museum yang paling hebat di dunia ini. Tak ada yang bisa menandinginya sebab ia museum sekaligus kebun binatang.
Baiklah, mari bicara soal museum. Di sana ada sebuah ruangan yang jika dimasuki harus membuka sandal dan mengucapkanassalamualaikum demi menghormati tombak-tombak karatan, peninggalan para hulu balang antah berantah. Uang kecil yang diselipkan ke dalam kotak di samping tombak-tombak itu dapat menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng jodoh. Anak-anak yang tak sengaja menunjuk tombak itu harus mengisap telunjuknya agar tidak kualat.
Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan-hewan berkeliaran. Itulah kebun binatang kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi orang-orang yang ingin melihat kijang yang saking buduknya sudah tampak serupa kambing. Ada pula unta gaek yang menderita sakit batuk kering stadium 4. Setiap kali dia batuk, nyawanya seperti mau copot. Ada zebra jompo yang hanya memandang ke satu jurusan saja. Tak paham aku apa yang tengah berkecamuk di dalam kalbunya. Ada orangutan uzur yang sudah ompong dan tampak terang-terangan menafsui bebek-bebek gendut di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama sekali. Lalu ada singa tua kurapan bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa itu sepertinya sangat benci pada hidupnya sendiri. Mereka muak melihat orang-orang udik yang menonton mereka di dalam kandang. Konon, mereka dihibahkan ke kampung kami karena telah afkir dari sebuah kebun binatang di Jawa, di mana mereka dianggap tidak sexylagi. Namun, seperti segala sesuatu yang selalu kami terima apa adanya, seperti segala sesuatu yang tak pernah berubah di kampung kami, makhluk-makhluk hidup segan mati tak mau itu selalu punya tempat di dalam kebun binatang kami, di dalam hati kami. Hewan-hewan itu menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor saja dari jenisnya masing-masing, jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumur-umur. Sungguh mengerikan hidup ini kadang-kadang.
“Mau ke mana kau, Bujang?” sapa penjual tebu yang berteduh di bawah patung pejuang 45 itu. Malas aku menjawabnya. Karena ia selalu menanyakan hal yang sama padaku, setiap kali aku melintas di situ, dan karena aku terpana menatap propaganda yang dikoarkan para politisi di papan reklame itu, megah bertalu-talu tentang perubahan-perubahan yang akan mereka buat. Tanpa mereka sadari, mata nanar mereka yang penuh optimisme tengah menatap jam besar yang telah rusak selama 46 tahun itu. Tanpa mereka sadari, para pejuang 45 mengacungkan tinjunya pada mereka.
“Mau ke pinggir sungai,” jawabku dalam hati. Jika kemarau makin menggelegak, aku menyingkir dan duduk melamun dibelai angin di sebuah kapal keruk yang termangu-mangu di sana. Kapal itu hanya tinggal segunung besi rongsokan. Mesin besar nan digdaya, dulu selalu dikagumi anak-anak Melayu. Ketika meskapai Timah masih berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung kampung, menderu siang dan malam, mengorek isi bumi untuk meraup timah. Kini, satu-satunya yang tertinggal, tempatku melamunkan nasib ini, teronggok seperti fosil dinosaurus.
Kapal keruk pernah menjadi pendendang irama hidup kami, bagian penting dalam budaya kami. Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian selama 24 jam. Tak kan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi, truk pengangkut buruh kapal keruk menjemput ayahku. Kudengar suara klakson. Ayah keluar rumah di pagi buta itu sambil menenteng rantang bekal makanan dari ibu.
Jika melihatku terbangun, ayah kembali untuk mengusap rambutku dan tersenyum. Dari dalam rumah kudengar ayah mengucapkan salam pada kawan-kawan kerjanya yang telah berdesakan di dalam bak truk. Kawan-kawan kerjanya itu adalah ayah-ayah dari kawan-kawanku. Lalu kudengar gemerincing besi saling beradu, kemudian truk menggerung meninggalkan rumah.
Sering aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi itu. Karena aku ingin melihat ayah dengan seragam mekaniknya yang penuh wibawa, yang ada test pen di sakunya, yang berbau sangat lelaki. Ayah melangkah tangkas sambil menyandangransel berisi tang, ragum, dan sekeluarga kunci Inggris. Kunci-kunci baja putih itu jika dibariskan akan membentuk satu segitiga yang sangat hebat. Kubayangkan, tugas-tugas yang berat diemban oleh bapak kunci yang paling besar, dan tugas-tugas sepele adalah bagian anak-anaknya. Aku senang melihat ayah melompat ke dalam bak truk. Dia, pria yang gagah itu, penguasa sembilan kunci Inggris anak-beranak itu, adalah ayahku, begitu kata hatiku. Lalu aku tidur lagi, sambil tersenyum.
Sepuluh tahun telah hangus sejak terakhir aku melamun di rongsokan kapal keruk itu. Jam besar di tengah kota tepat menunjukkan pukul 5 saat kutinggalkan kampungku dulu. Musim kemarau waktu itu. Sekarang, ketika aku kembali pulang, jam besar itu masih saja menunjukkan waktu pukul 5, dan musim masih kemarau.
“Mau ke mana kau, Bujang?” sapa penjual tebu waktu aku melintas dekat patung pejuang 45. Sepuluh tahun telah lewat, apa dia tak punya pertanyaan lain? Malas aku menjawabnya. Lagi pula aku tengah terpana menatap propaganda para politisi di papan reklame itu. Silih berganti mereka telah merajai papan itu. Periode demi periode mereka telah berkuasa. Silih berganti mereka telah berkoar soal perubahan-perubahan yang akan mereka buat, namun jam besar yang berada tepat di depan hidung mereka telah rusak selama 56 tahun, tetap rusak selama 56 tahun, dan para pejuang 45, tetap mengacungkan tinjunya pada mereka.
“Mau ke pinggir sungai” jawabku dalam hati. Aku melenggang pergi. Tapi sungguh merana. Sampai di sana, yang kutemui hanya semilir angin dan riak-riak halus gelombang. Bangkai kapal keruk itu lenyap, macam telah disulap seorang illusionist. Aku kembali. Pada penjual tebu aku bertanya
“Pak Cik, ke mana perginya kapal keruk itu?”
“Sudah dipotong-potong menjadi besi kiloan,” jawabnya acuh tak acuh sambil mengunyah tebunya yang tak laku. Aku terenyak. Sirna sudah kenangan manis itu, lenyap sudah kebanggaan masa kecil itu, hapus sudah kebudayaan itu. Di kampung kami, arkeologi industri telah dilanda tsunami. Saat itu, rasanya ingin aku memanjat patung itu dan bergabung dengan para pejuang 45. Namun itu tak kulakukan, karena aku telah terlambat untuk pulang, sudah sore. Kulihat jam besar itu, sudah pukul 5.
Musim masih kemarau saat aku kembali ke Jakarta dan hidup berlangsung seperti biasa. Suatu malam aku terjaga. Pukul dua pagi waktu itu. Lalu seakan kudengar suara klakson mobil truk, dan menguar suara orang-orang mengucapkan salam. Kemudian kudengar gemerincing besi saling beradu. Kulihat ke luar jendela, seorang lelaki berkelebat dengan seragam mekaniknya yang hebat, lalu truk menggerung, pelan-pelan meninggalkan rumah. Aku termangu. Kerinduan pada ayah menjadi tak tertanggungkan. (*)


Vancouver, Mei 2010
Diadaptasi dari salah satu bab dalam novel Padang Bulan dan Kisah-Kisah dari Negeri Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata



Cerpen Aris Kurniawan (Suara Merdeka, 16 September 2012)



BANYAK sekali jenis pekerjaan di dunia ini. Tapi, orang dengan pekerjaan sebagai pencabut uban mungkin hanya dapat kau temui di desa kami. Dialah Inay, perempuan lajang berusia lima puluhan. Perempuan yang membuat desa kami jadi ikut disebut-sebut dalam perbincangan di warung-warung kopi. Hampir seluruh warga desa kami pernah menikmati ketangkasan jari-jari tangan Inay mencabuti uban warga desa kami. Kepiawaiannya mencabut uban memberi kami hiburan sangat berharga, yang membuat kami mampu melupakan sejenak beban hidup kami sebagai buruh tani yang makin berat saat kekeringan melanda seperti saat sekarang.
Saban hari, sejak pagi sampai menjelang magrib, Inay berkeliling dari rumah ke rumah menawarkan jasanya mencabut uban. Telapak kakinya yang tebal karena tak pernah bersandal dengan tekun menapaki jalanan desa kami yang berdebu kala kemarau dan berlumpur kala hujan. Namun tak akan pernah kau temui kesedihan pada parasnya yang hitam. Bibirnya yang tebal selalu menyunggingkan senyum jenaka. Rambutnya yang selalu dipotong sangat pendek serta badannya yang kukuh, sepintas membuat sosoknya terlihat seperti laki-laki.
Dia berjalan melewati persawahan dan perkuburan desa yang sepi untuk mencapai rumah-rumah kami. Rumah yang hampir tak pernah absen didatanginya adalah rumah Lurah Kurdi. Begitu saja Inay menyelinap melalui pintu gerbang yang memang tidak dikunci. Lalu duduk menggelosoh di teras keramik rumah paling megah di tengah rumah-rumah warga desa kami yang berdinding anyaman bambu. Inay tak perlu mengetuk pintu atau mengucap salam. Si empunya rumah, kadang Bu Lurah, kadang Lurah Kurdi, bahkan anak-anak mereka yang masih muda-muda, akan muncul dan langsung menarik jok plastik berkaki pendek untuk diberikan kepada Inay. Dengan sigap Inay menyambut jok itu untuk didudukinya, sementara empunya rumah langsung duduk menyerahkan kepalanya kepada Inay.
“Akhirnya datang juga kamu, Nay. Sudah gatal sekali kepala ini rasanya. Jangan ke mana-mana kamu, Nay. Seharian kamu cabuti uban saya, satu helai uban seribu perak,” itulah sapaan rutin Lurah Kurdi untuk Inay. Lurah Kurdi selalu menepati ucapannya meski Inay tidak pandai menghitung uang dengan benar.
Itulah sebabnya rumah Lurah Kurdi boleh dibilang pelanggan utama Inay. Meski saban hari Inay datang ke rumah itu, selalu saja ada penghuni rumah yang minta dicabuti ubannya. Malah tak jarang seluruh penghuni rumah berebut ingin lebih dulu dilayani Inay. Seakan-akan uban di kepala mereka tumbuh dengan cepat dalam semalam hanya untuk dicabuti Inay keesokan harinya. Namun, karena tak mungkin Inay mencabuti uban di kepala mereka secara bersamaan, terpaksa mereka harus antre. Siapa yang muncul dan menyodorkan jok lebih dulu, dialah yang mendapat giliran pertama.
Meski diantre, Inay tetap menangani setiap kepala dengan lembut dan telaten yang kadang bikin gemas orang yang mengantre. Sebaliknya bagi yang sedang dicabuti ubannya akan makin merasakan kenikmatan yang luar biasa. Inay memang tidak hanya mencabuti uban, tapi juga helai-helai rambut yang berukuran lebih tebal yang konon biang pembawa gatal di kulit kepala, tapi juga memijat dan menggaruk-garuk kulit kepala yang berketombe. Jari-jarinya yang besar-besar mampu mencabut uban sampai ke akarnya sekalipun panjang uban hanya satu senti.
Di rumah pelanggan satu ini, selain menerima upah lebih besar, Inay kerap dihidangi makanan dengan lauk yang lezat-lezat usai menyelesaikan pekerjaannya. Bagi Lurah Kurdi dan keluarganya upah yang mereka berikan cukup setimpal dengan pekerjaan Inay. Selain mendapatkan kenikmatan dicabuti ubannya, mereka mendapat bonus tambahan berupa gosip-gosip menggelitik yang dicerocoskan Inay saat jari-jari tangannya lincah beraksi mencabuti uban. Seraya terkantuk-kantuk mereka menyimak berbagai gosip yang tuturkan Inay penuh semangat.
“Jadi, Si Kapid diusir istrinya?”
“Duitnya sudah ludas, mana ada perempuan bersuami pengangguran? Mau pulang ke mana lagi sekarang dia,” cerocos Inay.
“Lo si Kapid kan masih punya banyak saudara,” begitulah cara Bu Lurah terus memancing-mancing gosip lebih lanjut, sambil menunggu giliran digarap ubannya.
“Saudara-saudaranya mana ada yang mau menerima dia. Warisan dari Wak Kaji semua dia yang habiskan untuk kawin cerai. Rasain. Pemalas dia itu. Tak bisa cari duit. Rokok saja minta. Tak sudi aku ngasih rokok ke dia. Enak saja.” Inay makin bersemangat. Orang yang dicabuti ubannya kadang sampai tertidur bagai anak kecil dibuai dongeng ibunya.
Lain waktu Inay mencerocoskan Daripah, tetangga sebelah rumahnya, yang dia bilang memelihara monyet siluman untuk pesugihan. “Lihat saja mukanya mirip monyet!”
“Kamu pernah lihat monyet siluman itu, Nay?”
“Semua orang juga tahu. Ingat kematian Mang Kurjan? Itu kan tumbal pesugihannya,” tukas Inay.
Inay pun dengan cepat jadi tersohor ke seantero desa. Mulut para pelanggannya menjadi iklan paling ampuh mengukuhkan dia sebagai pencabut uban jempolan yang kehadirannya selalu dinanti setiap keluarga di desa kami. Bahkan, kini pelanggannya terus meluas sampai ke desa-desa sebelah. Kalau sehari saja Inay absen, orang-orang di desa kami merasa seperti ada yang hilang. Hambar. Berbagai acara gosip di televisi maupun tukang salon keliling tak dapat menggantikan tempat Inay di hati mereka.
Maka, saban hari Inay tak pernah punya waktu berdiam di rumah. Ia terus berkeliling mencabuti uban para pelanggannya seraya menyebar gosip paling asyik di telinga warga desa kami. Hari ke hari dompetnya pun makin menggembung penuh berisi uang.
“Banyak pesanan, Mak,” sergah Inay dengan bangga setiap Emak menasihatinya supaya beristirahat di rumah barang sehari. “Uangmu kan sudah banyak, Nay,” seru Emak. Tapi bukan Inay namanya kalau dapat dicegah. Bagi Inay bekerja mencabuti uban orang-orang bukan hanya untuk mendapatkan upah, tapi lebih dari itu, sebagai cara untuk mencari kesenangan dengan membuat pelanggannya terkantuk-kantuk sambil menyimak gosip-gosip yang entah bagaimana caranya ia dapatkan. Bagi orang yang tahu mengambil hati Inay, yaitu dengan cara menyanjung-nyanjung dirinya, Inay kadang tak menagih upah.
***
KONON, menjadi pencabut uban bermula sejak Inay sembuh dari sakit yang hampir merenggut nyawanya saat ia masih duduk di kelas V SD. Seorang yang masih kerabat dengan Emak yang dikabarkan punya pesugihan hendak menjadikan Inay tumbal. Namun, setelah sembuh dari sakitnya ingatan Inay tak lagi utuh. Ia kerap melamun dan cengengesan sendiri. Tak jarang ia mengamuk tanpa sebab. Lalu jatuh kejang-kejang dengan mulut meneteskan liur yang menjijikkan. Kemampuannya membaca huruf dan menghitung angka-angka lenyap dari tempurung kepalanya. Perkembangan otak dan emosinya mundur 10 tahun ke belakang dan berhenti di sana tanpa bisa ditarik lagi ke depan. Emak sudah habis-habisan membawanya berobat ke orang pintar. Hasilnya tak ada. Orang bilang sebagian rohnya sudah jadi tumbal.
Kebiasaan ngamuk tanpa sebabnya lama-lama memang berkurang, tapi berganti jadi gemar keluyuran ke rumah-rumah tetangga. Meminta uang kepada mereka. Sekali waktu entah siapa mau memberinya uang tapi dengan syarat harus mencabuti uban di kepala orang tersebut.
Inay tinggal bersama Emak dan seorang adiknya telah bersuami di rumah mereka di pinggir persawahan tenggara desa. Rumah tangga adiknya ini kadang pula Inay gosipkan ke mana-mana.
“Adik saya itu pemalas, gak mau kerja, bisanya bikin anak saja,” dia bilang.
“Kan ada suaminya yang cari duit.”
“Alah kerja apaan nebang tebu, upahnya kecil. Anak-anaknya kalau pengin jajan mintanya ke aku.”
***
TIGA hari ini Inay tidak berkeliling ke rumah kami. Kami pun mulai bertanyatanya cemas. Uban di kepala kami seakan tumbuh makin cepat dan gatalnya bukan kepalang. Tak ada lagi gosip-gosip menggelitik yang menghibur kami. Hidup jadi terasa makin berat. Ketika pada hari kelima Inay tak kunjung muncul, beberapa orang di antara kami mulai bergerak mendatangi rumahnya. Tapi kami tak mendapati Inay di rumahnya. Emaknya yang makin terlihat renta bilang, Inay pergi ke kota mencari kerja. Tentu saja kabar ini membuat kami merasa sangat sedih dan terpukul. Seakan harapan satu-satunya kini hilang pula.
“Kenapa tidak kaularang, Emak,” ujar kami menyesalkan kepergian Inay sambil membayangkan kerja apa Inay di kota. Kami pun pulang membawa perasaan hampa, sehampa hasil panen lantaran pertanian kami diserang hama dan kekeringan yang melengkapi kesedihan kami.
Kepergian Inay dari desa kami diikuti peristiwa yang baru kali itu terjadi di desa kami. Warga desa berunjuk rasa di depan balai desa lantas berarak ke rumah Lurah Kurdi lantaran lurah kami itu mengorupsi dana bantuan dari pusat. Kami menuntut Lurah Kurdi dipecat dan dipenjarakan. Sejumlah polisi dan pejabat kabupaten turun ke desa kami dan mengamankan Lurah Kurdi dan keluarganya. Lurah Kurdi akhirnya dibawa dan ditahan di kantor polisi.
Namun, beberapa bulan kemudian, orang-orang desa kami yang pulang dari kota bercerita, Lurah Kurdi membuka salon khusus mencabut uban dengan Inay sebagai pegawainya.
“Pelanggannya orang-orang bermobil bagus,” demikian kabar yang dibawa orang-orang desa kami yang pulang dari kota. (*)


Gondangdia, Agustus 2012
Aris Kurniawan, lahir di Cirebon, 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, reportase, esai untuk sejumlah penerbitan. Bukunya yang telah terbit Lagu Cinta untuk Tuhan (Kumpulan cerpen, Logung Pustaka, 2005), Lari dari Persembunyian (Kumpulan Puisi, Komunitas Kampung Djiwa, 2007).


source: http://lakonhidup.wordpress.com

Cerpen Eliza Vitri Handayani (Koran Tempo, 23 September 2012)



BEBERAPA bulan sebelum Rizky lulus Sarjana Kedokteran, mahasiswa menyeruak ke jalan-jalan untuk menumbangkan presiden korup yang sudah bertahta tiga puluh dua tahun. Setelah berminggu-minggu demonstrasi massal, presiden itu akhirnya turun. Minggu-minggu berikutnya merekah dengan optimisme seperti tak pernah sebelumnya. Di tengah suasana ini, meneroboslah Julia ke dunia Rizky dengan profil separuh halaman tentang dirinya di koran Minggu, pada halaman yang dikhususkan untuk seniman dan penulis muda.
Foto-foto karya Julia menggarami artikel itu—potret pendemo memamerkan torsonya yang terselubung tato di hadapan barisan polisi; penulis membagikan fotokopi bukunya yang dilarang Orde Baru; lima perempuan menutupi wajah masing-masing dengan tanda ‘Jangan Perkosa, Pribumi Muslim’; sekelompok anak jalanan yang imut memamerkan sepatu baru buah jarahan; tukang sate menyumbangkan dagangannya kepada pendemo; penyair menerbangkan pesawat kertas bertuliskan puisi kebebasan dari atap gedung MPR/DPR; nenek keriput melompat girang dari kursi rodanya mendengar pidato pengunduran diri si presiden.
Rizky menerawang ke tiap potret—wajah-wajah yang sesaat menghentikan kegiatan mereka untuk memancarkan jiwa ke kamera. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin orang-orang yang beberapa bulan sebelum demo menyensor PR anaknya sendiri karena takut menarik perhatian kemudian menunjukkan dada mereka dengan bangga? Dari mana mereka, setelah tiga dekade bungkam dan patuh, tiba-tiba mendapat nyali untuk protes? Orang-orang yang begitu biasa tunduk pada takdir, bagaimana mereka mendapat ilham untuk mengguncang sejarah? Rizky begitu terkesan karena itulah konfirmasi pertama yang diterimanya bahwa seseorang ternyata bisa mengarak perubahan, dan ia takkan lupa bagaimana ia mendengar bisikan Tuhan di sela derap langkah ribuan mahasiswa: “Kau pun bisa mengubah hidupmu.”
Rizky mengacak-acak kamarnya mencari buku tahunan SMA, di sana ditemukannya nomor telepon rumah Julia.
Lalu orangtua Julia memberitahunya nomor ponselnya.
“Halo?” Julia kedengaran baru disambar dari mimpi.
“Hai, ini Rizky!” Bangga dan gugup bergaung dalam suaranya.
“Siapa?”
Ia tersinggung Julia tak ingat padanya, tapi segera ia kendalikan egonya. “Rizky. Teman SMA. Aku pernah datang ke rumahmu waktu kamu diskors.”
Rizky bisa dengar kecurigaan Julia dalam jeda cakap mereka.
“Mau apa?”
“Selamat, Jul, aku baru aja baca artikelnya. Hah, aku udah tahu dari dulu kamu pasti berhasil.”
“Ya ampun, terbit hari ini.”
“Kamu tinggal di mana? Ayo ketemu.”
Saat Rizky pertama melihat seorang berambut panjang datang naik ojek, duduk menyamping, memakai gaun berenda dengan potongan leher yang rendah, ia tak menyangka itu Julia. Bahkan ketika ia membebaskan kepalanya dari helm, Rizky nyaris tak mengenalinya. Ia kelihatan lebih tinggi dan cantik dengan gaun pendek dan selop tingginya. Rambutnya sebahu, jatuh berlapis-lapis membingkai wajah.
Julia yang pilih tempatnya—salah satu tenda gaul yang banyak dibuka artis ketika itu dengan dalih menyediakan lapangan kerja bagi yang kena PHK. Tenda itu ditancapkan di sepetak tanah kosong di kawasan pemukiman dekat tengah kota, mebelnya dari barang-barang bekas dan temuan yang didaur ulang. Semua permukaan meja ditutupi lukisan gaya mural yang kocak dan menyentil. Julia bilang itu salah satu tenda paling kreatif dan ia senang tenda itu tak tersentuh kerusuhan, meskipun seniman pemiliknya termasuk peranakan.
Mata lebarnya mencari dan menemukan Rizky, duduk dekat gerobak yang disulap jadi konter. Julia melenggang ke arahnya tanpa memutus kontak mata, menenteng tas kameranya di satu tangan dan helmnya di tangan lain.

KALI pertama Rizky sadar akan keberadaan Julia adalah hari Kartini, SMA kelas 2.
Hari itu, seperti biasa, cewek-cewek bercantik-cantik dengan baju tradisional, tapi Julia merasa cara lebih tepat untuk merayakan emansipasi adalah membolehkan anak perempuan mengekspresikan cita-citanya. Maka Julia muncul terbalut gaun berlumur cat, mengenakan baret, dan menyelipkan kuas di salah satu telinganya. Sebuah kamera bergelayut dari lehernya. Cewek-cewek mencibir, cowok-cowok bersiul, dan guru-guru murka. Rizky justru tertarik.
Karena hari itu Rizky dan teman-temannya yang termasuk ‘geng anak badung’ tertangkap merokok di halaman belakang sekolah, mereka pun dikuliahi bersama Julia di ruang kepala sekolah. Dia satu-satunya cewek di situ. Kemudian mereka dipulangkan. Di gerbang sekolah Julia minta salah seorang mengambil fotonya. Tak lama mereka pun berpose bersama-sama—kadang culun, kadang nakal.
Setelah itu anak-anak geng pun jadi ramah pada Julia. Ia membolehkan mereka menyontek PR-nya sebelum kelas mulai, dan sore hari mereka mengundangnya menonton band mereka latihan. Lama-kelamaan Julia jadi fotografer tak-resmi mereka, satu-satunya cewek yang boleh gaul di dekat mereka tanpa status pacar atau grepean.
Sampai suatu hari Julia menutupi mading sekolah dengan albumnya “Kenakalan Manusia”: guru Sejarah memukul murid dengan sepatu; anak-anak geng minum bir setelah latihan band; sepasang remaja berciuman sementara seorang kawan menarik lengan si cowok ke arah kerumunan remaja yang tawuran; bapak-bapak dan ibu-ibu mengantri untuk beli SDSB; uang lima puluh ribu dengan gambar presiden korup tertancap panah di papan sasaran bundar.
Sekolah menyobek foto-fotonya, orangtuanya dipanggil, dan kameranya disita. Sekolah mengancam mengeluarkannya, hanya beberapa bulan sebelum kelulusan. Tapi kemudian orangtua Julia memberi hibah yang besar pada sekolah, dibayar tunai ke guru-guru dan para pengurus. Sialnya, anak-anak geng juga terimbas masalah sebab ada foto mereka minum dan nonton video porno. Rizky masih ingat ketua geng mendekati Julia, kepalan tangannya berhenti satu senti dari hidungnya, dan berkata, “Sayang lu cewek.”
Rizky datang ke rumah Julia suatu sore ketika ia diskors. Julia sedang mengecat dinding kamarnya dengan pola tetesan darah ketika ia melihat Rizky dari jendela. Julia panik, namun Rizky buru-buru bilang ia cuma ingin ngobrol. Akhirnya mereka duduk di teras depan, merokok sambil mengudap gorengan.
“Kenapa enggak pindah sekolah aja?” tanya Rizky—mulutnya berminyak dan panas gara-gara tahu goreng dan cabai hijau.
“Orangtuaku enggak ingin saudara-saudara dengar anak mereka dikeluarkan,” kata Julia. “Biar. Aku bakal dapat nilai sempurna saat Ebtanas nanti. Guru-guru bakal kasih aku penghargaan. Lihat aja nanti.” Ia mempelajari wajah Rizky dengan matanya yang lebar dan serius.
“Itu cita-citamu, jadi fotografer?”
Dijatuhkannya pandangannya. Ia melipat lengannya di depan dada dan mengusap-usap lengan atasnya. “Fotografi itu mahal, tapi aku suka bagaimana kamera bisa… mengawetkan misteri… sehingga aku bisa terus merenungkannya…. Kalau kamu?” Lagi-lagi ia mengamatinya dengan sungguh-sungguh, tapi ketika Rizky menemui tatapannya, ia segera menunduk.
“Orangtuaku ingin aku jadi dokter. Ibuku dari kecil ingin jadi dokter, tapi ayahnya meninggal waktu ia baru lima belas tahun, dan ia harus kerja untuk bantu biayai abang-abangnya kuliah. Jadi ia kawin sama dokter. Keluarga ayahku dokter turun-temurun.” Rizky terkejut ia bisa membuka dirinya pada seorang gadis—gadis ini—yang jauh berbeda dari tipenya. Ia biasanya suka yang tinggi, berkulit langsat dengan rambut panjang terurai. Julia lumayan tinggi, juga sangat kurus dari pinggang ke atas sehingga kakinya yang berotot terlihat menggembung (Rizky duga ia banyak jalan mengambil foto), kulitnya warna karamel gosong, dan, kecuali pada hari Kartini, Rizky tak pernah melihatnya memakai selain seragam putih-kelabu yang longgar, dan hari itu, kaus oblong dan celana pendek. Tapi ia sepertinya rajin mengurus rambutnya, Rizky perhatikan, memang rambutnya wangi, tebal dan hitam mengilap, namun selalu ia sisir ke depan sehingga menutupi separuh wajahnya.
“Tapi kamu sendiri ingin jadi apa?”
“Eh… apa ya? Aku suka ngarang cerita dan manggung. Aku ketua ekskul teater, tahu kan? Aku juga coba tulis syair untuk lagu band.”
Julia semakin cepat mengusap-usap lengan atasnya. “Aku goblok betul, ya, Riz? Aku terlalu bangga akan karyaku sendiri, kupikir semua orang akan sadar kita semua punya kelemahan…. Ya ampun…. Tolong bilang anak-anak aku minta maaf, oke?”
Tapi Rizky bahkan tak pernah bilang ia mampir menemui Julia. Rizky tahu ia akan dianggap pengkhianat dan dipukuli seandainya ia bilang. Setiap Julia lewat, anak-anak geng melontarinya dengan kata-kata jorok dan, kadang-kadang, kaleng bekas minuman. Beberapa pagi mereka menghadangnya di gerbang sekolah, berjejer padat bagai pagar monster yang meludah dan mengancam. Mereka menghalang-halangi jalannya dan memerosokkannya ketika ia berusaha lewat. Bahkan mereka mungkin merenggut dadanya. Rizky berdiri di ujung barisan menyaksikan semuanya. Kali pertama Julia menangkap matanya, meminta tolong, tapi Rizky hanya menunduk. Kali berikutnya Julia memandangnya dengan kecewa dan sekilas benci, kemudian ia berhenti memandangnya sama sekali.
Tetap saja, Rizky memperhatikannya dari jauh. Sesekali ia mencoba mengirim isyarat rahasia padanya—ketika karya Julia dipilih sebagai Foto Bulan Ini oleh sebuah majalah fotografi, Rizky membalas dengan memenangkan juara pertama pada kategori aktor di Festival Teater SMA se-Jakarta; ketika seorang anak pejabat yang sombong mengatai Julia jalang, Rizky mempreteli mobil anak itu. Julia lulus dengan nilai sempurna untuk Matematika dan Bahasa Inggris, dan Rizky lulus dengan nilai sempurna untuk Bahasa Indonesia dan Sejarah. Guru-guru memberi mereka piagam di depan seisi sekolah.
“Kamu berhasil,” bisiknya pada Julia ketika mereka berbaris turun dari panggung setelah menerima ijazah. “Selamat.”
Rizky tak ingat apakah Julia menjawab.

DI JALAN menuju tenda Rizky ragu Julia sudah memaafkannya, tapi ketika melihatnya datang ia merasa Julia ingin membuatnya terkesan.
Mereka berjabat tangan. Julia duduk bersilang lutut dan meletakkan tas kameranya di peti yang beralih fungsi jadi meja mereka.
“Kamu yang pertama kasih selamat,” kata Julia.
“Aku tahu kok kamu pasti berhasil, Jul. Kamu adalah bukti orang-orang seperti kita juga bisa berhasil.”
“Kamu masih berteman dengan anak-anak dari SMA?”
“Enggak,” dustanya.
“Jadi, ‘orang-orang seperti kita’ maksudmu siapa?”
Rizky memandang sekeliling mencari inspirasi. “Maksudku ya… orang-orang seperti kita… ‘Anak-anak bermasalah’ atau apalah.”
Mata Julia berkilat seolah menertawakan Rizky. Ia merogoh ke dalam tasnya dan disebarkannya foto-fotonya di atas meja. “Jadi, gimana menurutmu?” Dicondongkannya badannya.
Rizky tahu jika ia melirik ke bawah ia bisa melihat ke dalam gaunnya. Dipenuhinya undangan itu. Dirasakannya tatapan Julia padanya dan diangkatnya matanya menemui tatapannya. “Aku suka.”
Julia kembali bersandar dan meluruskan kakinya. “Kenapa?”
“Aku suka kau memotret individu. Fotografer lain memotret bangunan terbakar, tentara, mahasiswa berbondong-bondong—mereka jadi seperti figuran dalam film kolosal. Kamu kasih lihat orang-orang di balik semua itu, seolah bilang ke dunia: ini bukan cuma soal ganti presiden, ini kesempatan kita untuk keluar dari sembunyi, untuk pegang kendali atas hidup kita!”
Julia menyilangkan lutut sekali lagi. “Kamu mau lihat lagi?”
“Kamu mau kasih lihat lagi?”
Julia menyeringai, disapunya foto-fotonya dari atas meja dan dimasukkannya ke tas. Diangkatnya tasnya, namun hanya untuk memindahkannya ke kursi di sebelahnya. “Mungkin nanti. Sibuk apa aja kamu selama ini?”
Rizky berpura-pura punggungnya pegal dan sekadar meluruskan posisi duduknya. “Aku sibuk nyiapin lulus-lulusan. Ujian dan skripsi sih udah selesai—lumayanlah IPK-ku nyaris sempurna—tapi ada tugas jaga UGD dan segudang urusan kampus. Siapa suruh jadi ketua angkatan, Riz?”
Mata Julia memancarkan kekaguman yang dipancingnya. “Pasti sibuk banget dong, banyak tanggung jawab.”
“Waktu ambil foto di kampusku, kamu pasti lihat ada panggung terbuka. Itu usulku tuh. Kami bikin mimbar bebas dan pentaskan drama satu babak.”
Semangat mereka membalon seiring bicara betapa mulai sekarang mereka bisa mengutarakan pendapat bagaimanapun kontroversial, seniman tak perlu lagi takut sensor atau diburu, dan topik-topik yang dulu terlarang kini bisa ditelusuri sepuas-puasnya. Tepat saatnya mereka berkarya, sebuah gerbang sarat kemungkinan baru diterjang untuk mereka. Julia bilang ia ingin memamerkan foto-fotonya, menerbitkannya sebagai buku, mencari bantuan dana untuk memotret di seluruh dunia. Mimpi seliar apa pun sepertinya niscaya saja. Julia penuh semangat, Rizky penuh semangat, dan semangat mereka pun berlipat ganda dengan semangat zaman.
Ketika mulai hujan, Rizky menawarkan mengantar Julia pulang. Dibiarkannya Julia berkutat sebentar dengan ponselnya, sebelum akhirnya ia setuju, dengan alasan ojek langganannya tak bisa menjemput karena hujan dan ia tak nyaman naik taksi karena belakangan banyak laporan penjarahan taksi.
Di mobil ponsel Rizky terus berbunyi-bunyi kedatangan SMS.
“Tetap populer, Riz?” tanya Julia.
“Nih, tolong balas. Aku sudah kehabisan akal bulus.” Dilontarkannya ponselnya pada Julia.
Julia melihat pesan-pesan dari Tika, Nia, Vera…. “Lagi dingin-dingin begini, enaknya yang hangat-hangat. Ada ide?” tulis Puti.
“Kamu, Jul, ada pacar?”
“Aku? Pacar?” Ia menyergah. “Tapi kalau sekadar cowok, ya….”
Rizky langsung tergelak. “Tuh kan, aku udah tahu.”
“Tahu apa?”
Ia angkat bahu. “Kalau kamu begitu.”
“Begitu apa? Nakal? Murahan?”
“Bukan! Eh, maksudku, eh, enggak menganggap harga diri tergantung…. Eh, sori, bukan maksudku—”
“Santai. Aku cuma bercanda.”
“Berat enggak memutuskan akan begitu?”
“Maksudmu pertama kali?”
Kali itu Rizky merasa dungu. “Eh, aku bukan ingin usil, tapi… aku kenal satu cewek dan dia bilang setelah itu dia ngerasa mau mati.”
“Mungkin aku memang ngerasa dosa sedikit,” katanya, “Waktu itu aku begitu marah, aku ingin putus hubungan dengan masyarakat, jadi kupikir itulah caranya.” Julia diam beberapa saat, pandangannya terserap ke dalam dirinya sendiri. “Aku merasa agak limbung sesudahnya, seolah tiba-tiba aku sendirian…. Tapi itu kemauanku kok.”
Segala risih dan kikuk yang dirasakan Rizky pun lenyap. Di luar hujan tumpah dengan derasnya, seluruh dunia seolah meleleh di sekeliling mereka, dan ia merasa nyaman dan hangat di mobil bersamanya, terlindung dari guyur kelabu di luar.
“Cewek yang kusebut tadi, dia kali pertamaku. Aku mabuk banget waktu itu, dan setelahnya aku cuma bengong menatap langit-langit. Cewek itu langsung tidur. Menurut semua yang diajarin kepadaku selama hidup, perbuatanku itu salah. Kepalaku mumet banget. Pas cewek itu bangun, dia lihat aku bengong kayak orang bego, terus kayak orang yang lebih bego lagi, aku bilang aja sama dia itu kali pertamaku. Untungnya dia bilang enggak terasa kalau aku baru pertama kali, jadi aku agak senang sedikit. Terus dia cerita soal kali pertamanya, dia ngerasa semua kesempatannya untuk berkeluarga amblas sudah, dan dia enggak bisa keluar dari tempat tidur selama seminggu. Tapi suatu hari dia bangun dan sadar, dia enggak harus hidup ngikutin aturan orang lain lagi. Dia bisa cari pasangan yang bisa menerima dia apa adanya. Terus, dia pakai baju dan pergi. Aku enggak pernah ketemu dia lagi, tapi awas kalau ada yang berani bilang pertemuan kita enggak bermakna!”
“Aku bilang trims pada cowokku kali pertama.”
“Gila! Dia tanya balik, enggak, trims buat apa? Terus kamu mau bilang apa?”
Mereka memasuki halaman rumah kos Julia—bangunan bertingkat dua dengan cat hijau pecah-pecah dan balkon separuh bulan di lantai dua. Rizky penasaran akankah Julia mengundangnya masuk.
Tapi Julia cuma bilang trims dan lari ke dalam sambil mendekap tas kameranya erat-erat. Rizky sadar ia kecewa. Kemudian ia lihat helm Julia bergoyang-goyang di kursi belakang bagai kepala tertawa.
Sambil menggeleng-geleng Rizky buru-buru menyetir pergi. Ketika Julia menelepon ia akan minta tebusan untuk helmnya: kenalkan dia pada orang-orang dari sanggar teater. Ternyata benar, pikir Rizky girang, mulai saat ini hidupnya—segalanya—akan berubah. (*)


Eliza Vitri Handayani, saat ini tinggal di Jakarta. Sedang mengupayakan sebuah pusat penerjemahan sastra di Indonesia.


source: http://lakonhidup.wordpress.com



Cerpen Triyanto Triwikromo (Jawa Pos, 16 September 2012)



APAKAH kau pernah dipenjara dan disalib di ranjang api? Tidak hanya di satu sel, tetapi di empat penjara dan satu rumah sakit jiwa pada kurun1965-1971? Jika pernah, kau pasti tidak sanggup menceritakan kepadaku sekecil apa pun peristiwa yang kau alami dengan getir dan mungkin penuh tekanan itu. Karena itu sesungguhnya aku tidak ingin membeberkan kisah konyolku kepadamu. Aku yakin siapa pun akan menganggapku membualkan dongeng nonsens. Aku juga percaya mereka, mungkin juga kau, akan menganggap apa pun yang kukatakan sebagai ceracauan orang gila.
Akan tetapi karena tidak gila, aku justru berhasrat menceritakan kegilaan para serdadu dan perawat serta dokter yang tidak pernah mau percaya pada kesehatan jiwaku. Bagaimana tidak gila jika mereka selalu memintaku menjadi orang lain? Bagaimana tidak gila jika aku dipaksa menjadi pembunuh untuk perbuatan yang tidak pernah kulakukan?
“Kau tidak akan dieksekusi hari ini jika mau mengakui ikut membunuh para jenderal dan segera minta ampun,” kata interogator cantik berkumis halus yang entah mengapa bernama Karna dan bukan Karina itu.
“Aku tidak pernah membunuh siapa pun. Aku hanya menari dan sedikit mabuk. Setelah selesai menari aku limbung tak tahu apa yang terjadi.”
“O, kau ingin mengatakan kau telah membunuh para jenderal di luar kesadaran ya?”
Karena dijawab dengan benar pun, akan selalu menganggap perkataanku salah, aku lebih memilih menceracau sesuka hati. Karna tampak terkejut ketika aku bilang, “Aku membunuh para jenderal itu sebagaimana aku membunuh tikus. Apakah kau pernah membunuh pria yang paling kau cintai?”
Karna menggeleng. Gelengan itu punya banyak makna. Mungkin dia memang tidak pernah membunuh. Mungkin dia memang tidak memiliki pria pujaan.
“Juga tak pernah mencekik kucing?”
Karna menggeleng lagi.
“Tak pernah membacok punggung anjing?”
Karna tersenyum. Senyum itu mengisyaratkan dia bukan hanya pernah membacok, tetapi mungkin menghancurkan kepala binatang menjijikkan itu dengan linggis. Akan tetapi senyuman yang semula begitu tulus itu, dengan cepat berubah jadi tawa sinis. Dengan cepat pula dia berusaha menguasaiku dengan meluncurkan pertanyaan tak terduga, “Apakah sebelum membunuh para jenderal, kalian ajak mereka bercumbu terlebih dulu?”
Tak bisa kujawab dengan cepat pertanyaan itu.
“Apakah saat itu kau bisa menikmatinya?” tanya Karna lagi dalam nada dingin, “Apakah para jenderal yang terikat kaki dan tangannya itu juga bergairah saat kalian cumbu?”
Gila! Sungguh gila pertanyaan interogator berdada lancip ini. Rupa-rupanya Karna membayangkan Tarian Harum Bunga sebagai pesta seks yang menggetarkan. Dia benar-benar menyangka saat itu aku telanjang dan dengan rakus menganggap para jenderal sebagai makanan yang layak dilahap tanpa sisa, tanpa tulang-temulang.
“Ya, aku menikmatinya…,” kataku, “Kau ingin tahu bagaimana aku menikmati percumbuan itu?”
Karna mengangguk. Napasnya memburu. Ada gairah menggelegak yang ditahan. Karena bisa menduga keinginan Karna, aku kemudian melepaskan kaus hitam merah, kutang, celana panjang hitam, dan celana dalam unguku. Berpura-pura sebagai orang yang mengidap gangguan jiwa, aku menarikan Tarian Harum Bunga dengan mata terpejam.
“Tetaplah duduk di kursimu. Bayangkan kau sebagai jenderal yang hendak menikmati keliaran percintaan. Akan kutunjukkan bagaimana aku dan para perempuan terpilih mencumbu para jenderal,” aku mendesis.
Perempuan bertubuh kekar itu tak bergerak. Dia begitu takjub melihatku menari. Tidak. Tidak. Dia tidak hanya takjub pada keindahan tubuhku atau getar yang mengalir dalam setiap tarianku. Sebagai perempuan yang begitu memahami makna setiap ledakan berahi, aku tahu Karna ingin segera merasakan sentuhan seseorang yang akan memperlakukan dia sebagai ratu. Ya, sentuhan seseorang, tidak peduli perempuan atau lelaki, tak peduli dia mirip binatang laknat atau malaikat penuh berkat.
Karena ingin mempermainkan perempuan itu, aku kemudian memeluk dia dari belakang. Kukecup tengkuknya, kubisikkan kata-kata kotor. Kukatakan kepadanya begitulah caraku dan para perempuan terpilih menjilati telinga para jenderal yang hampir sekarat.
“Aku kemudian melucuti pakaian mereka,” kataku sambil melepas seluruh pakaian Karna, “Kau ingin merasakan bagaimana para jenderal itu merasakan ciumanku?”
Sedikit pun perempuan itu tidak melawan. Mungkin Karna berpendapat untuk mendapatkan keterangan seakurat mungkin, diperlukan pengorbanan luar biasa, termasuk membiarkan tubuhnya diperlakukan sebagai jenderal yang terhina di hadapan para pembunuh di Lubang Buaya.
Akan tetapi bisa saja—sebagaimana kabar yang beredar—dia memang perempuan yang senantiasa berhasrat bercumbu dengan perempuan dari kalangan mana pun yang diinterogasi. Dan karena memang ingin mempermainkan perempuan konyol yang sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang Gerwani, aku memang menyesatkan Karna dengan keterangan-keterangan palsu dan dengan cumbuan yang juga palsu.
Akan tetapi sungguh keliru menganggap Karna sebagai perempuan bodoh. Dia tahu aku tak sungguh-sungguh mencium dan menggigit bibirnya yang ranum itu. Dia tahu aku sesungguhnya sedang mengkhayalkan bercinta dengan orang lain. Dia tahu aku sedang mengangap dia sebagai seseorang yang memaksaku bercumbu di taman di bawah separuh bulan di antara dengus pasangan lain yang telah bercinta tanpa memedulikan orang lain. Dia tahu saat itu justru aku yang memiliki hasrat besar untuk memekik menikmati ledakan-ledakan berahi yang tak tertahankan.
Aku memang kemudian terkulai dengan keringat yang terus mengucur, sementara dia dengan sangat tenang mengenakan kembali pakaian yang sebelumnya kubuka dengan paksa. Dan sungguh tidak kuduga, dia memanggil beberapa penjaga tahanan dan meminta mereka membawaku ke sel.
“Pindahkan dia ke penjara lain. Perempuan ini mulai tidak waras,” kata Karna yang dalam setiap tindakannya mengingatkan aku pada tentara-tentara bengis yang menangkapku.
Para penjaga pun kemudian memborgolku. Aku meronta. Mereka membentangkan dan mengikat tangan dan kakiku.  Mereka menyalibku di ranjang. Tentu saja aku terus meronta. Aku tak ingin para sipir memperlakukan aku sebagaimana para serdadu Romawi menyalib Yesus di tiang penyaliban.
Tak ingin lebih tersiksa, aku meprotes tindakan sipir. Aku teriakan kata-kata kotor kepada mereka.
“Jangan berisik. Kalau kau terus berisik, ranjangmu akan kubakar!”
***
RANJANGKU belum dibakar. Akan tetapi, mereka memindahkan aku ke penjara lain. Dipindah ke penjara lain, jelas merupakan berkah. Pertama aku bisa terhindar dari Karna yang tak kenal waktu—tak malam, tak pagi, tak siang—menginterogasi dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh dan dekapan kuat yang menyesakkan dada setiap aku menjawab secara ngawur keterlibatanku dalam pembunuhan para jenderal. Kedua, aku bisa terhindar dari ancaman eksekusi yang mengakibatkan perut seperti diaduk-aduk dan jantung berdebar lebih kencang. Ketiga, aku bisa memiliki kemungkinan untuk mewartakan kesewenang-wenangan serdadu kepada siapa pun.
Apalagi bukan hanya aku yang dipindah dari penjara ke penjara. Kelak saat bersama perempuan lain ditahan di kamp, aku tahu ada dokter yang harus berpindah dari rumah tahanan di Sukabumi, ke Bandung, Kebayoran Baru, Pesing, Gunung Sahari, Lapangan Banteng Selatan, dan Bukit Duri. Juga ada istri pelukis setelah dibawa dengan truk tentara ke Sleman, dia juga dipindahkan ke Benteng Vredeburg, Penjara Wirogunan, hingga ke Penjara Bulu Semarang.
Dibanding mereka, jelas aku lebih beruntung. Aku memang dipindah ke tiga penjara, tetapi semua berada di Alas. Mula-mula mereka memindahkan aku di sebuah tempat yang memungkinkan aku mendengar sapi-sapi mengerang-erang kesakitan.
“Tempat apa ini?” aku bertanya kepada sipir.
“Neraka,” kata sipir dingin.
“Neraka?”
“Ya, ini tempat penyembelihan. Tak jauh berbeda dari Lubang Buaya bukan? Tidak perlu merasa ngeri. Kau toh sudah terbiasa dengan darah. Kau toh sudah terbiasa dengan erangan kesakitan?”
“Tetapi mengapa Sampean katakan tempat ini sebagai sebuah neraka?”
“Karena tempat ini sebentar lagi akan dibakar dan kalian akan hangus,” kata sipir itu dingin.
Hmm, aku tahu ini cara para serdadu rahasia Soeharto membuat kami depresi. Mereka sungguh piawai menciptakan kepanikan. Mereka lebih tampil sebagai dokter-dokter rumah sakit jiwa yang mengerti seluruh ceruk kejiwaan kami ketimbang sebagai tentara.
“Mengapa harus dibakar?” aku bertanya tanpa kepanikan agar tak terlihat sisi depresiku.
“Karena kalian berbahaya dan tidak mau mengaku telah membunuh para jenderal,” jawab sipir sesuka hati.
Tak kuteruskan pertanyaanku. Aku sudah hafal segala pertanyaan akan dijawab secara mekanis dan selalu berakhir pada keinginan mereka untuk meminta kami mengaku telah membunuh para jenderal dengan berbagai sayatan silet di tubuh, dengan berbagai pukulan mematikan di kepala.
Sejak itu aku memang lebih memilih diam. Dan sejak saat itu pula dalam percakapan mereka kudengar aku akan dipindah ke penjara lain.
“Percuma kita kurung perempuan ini di sini. Dia sudah gila. Dia lebih suka berbicara sendiri ketimbang bercakap-cakap dengan kita. Menghadapi perempuan ini, bisa-bisa kita justru ketularan gila.”
Tidak menunggu lama untuk berpindah penjara. Kali ini mereka membawaku ke rumah tua dekat permakaman serdadu Belanda. Ada banyak kelelawar beterbangan dari ruang tamu, toilet, hingga kamar. Entah sejak kapan kelelawar-kelelawar yang suka menabrak-nabrak dinding itu tinggal di rumah bercat serbaputih ini. Entah sejak kapan pula rumah ini ditinggalkan para penghuni sehingga siapa pun tidak bisa membaui keringat atau apa pun yang senantiasa melekat pada manusia.
Mula-mula tentu aku tidak terbiasa di kurung di sebuah kamar dan hanya bisa melihat nisan-nisan para serdadu Belanda dari jendela berjeruji. Mula-mula aku merasa ketakutan ketika melihat bulan seakan-akan jatuh di makam itu saat purnama tiba. Mula-mula aku bosan hanya mendengarkan kepak kelelawar dan berbagai suara aneh pada malam-malam yang panjang dan sedikit mencekam. Akan tetapi lama-lama kuabaikan siksaan-siksaan tak bermutu para serdadu gendheng ini.
“Kau tetap tidak mau mengaku telah turut membunuh para jenderal? Ayolah ceritakan saja menurut versimu,” kata seorang interogator yang tampak jijik mengunjungi kamarku.
Aku terdiam. Tidak ada gunanya menjawab pertanyaan yang itu-itu saja.
“Aku akan mengeluarkanmu dari sini asal kau akui segala hal yang akan kulaporkan kepada Komandan,” tandas interogator itu tak sabar.
Aku masih terdiam. Kupikir lebih baik aku menghabiskan waktuku di tempat ini daripada mengakui hal-hal yang tidak kulakukan untuk pada akhirnya ditembak oleh para serdadu di sembarang tempat.
Mungkin karena putus asa, serdadu yang sebenarnya murah senyum ini memanggil dua orang sipir yang selama ini menjagaku.
“Perempuan ini kian gila. Apakah tidak sebaiknya kita pindahkan saja di penjara khusus untuk para perempuan sableng?”
Dua sipir itu mengangguk.
“Apakah dia sudah sering bicara sendiri di kamar?”
Dua sipir itu mengangguk lagi.
“Apakah dia juga suka berteriak-teriak tak keruan?”
“Ya. Dan itu dia lakukan sepanjang waktu,” kata salah seorang sipir.
“Kalau begitu besok kita pindah dia!”
Pindah lagi? Ini jelas ancaman. Karib dengan kelelawar membuatku kerasan dipenjara di tempat ini. Karena itu begitu dua sipir hendak meringkusku, aku memberontak. Kali ini perlawananku dianggap membahayakan. Seorang sipir memukul tengkukku dengan kayu.
Sayup-sayup kudengar suara interogator memberi perintah kepada sipir-sipir itu, “Kalau rewel, bakar saja perempuan sialan ini.”
Hmm, lagi-lagi ancaman pembakaran….
Tidak adakah gertakan lain?
***
KETIKA kubuka mataku, aku telah berada di ruang serbacermin yang ditata sedemikian rupa sehingga memantulkan begitu banyak tubuh. Kulihat 15 tubuhku di balik cermin itu. Mula-mula kusangka kepalaku sudah bocor dan mataku kian lamur sehingga tidak bisa melihat mana tubuhku yang sebenarnya. Ketika kurentangkan tanganku, semua bayangan di cermin juga bertingkah mirip orang-orang yang disalib di Bukit Golgota. Ketika aku meniru Yesus berdoa di Taman Getsmani, cermin juga menampilkan sosok tubuh yang tertunduk pasrah, menangis tak kunjung henti. Dan karena aku suka menari, kuletupkan sembarang tarian dengan gerakan yang sangat cepat menurukan gerak-gerak lucu Anoman, sehingga aku merasa dikepung puluhan kera cantik yang melompat-lompat tak keruan.
Apa maksud mereka menghukumku dengan cermin pantul pembingung itu? Mereka ingin membuatku gila? Mereka ingin menerorku dengan seakan-akan memunculkan begitu banyak orang yang menguntitku? Atau jangan-jangan mereka sengaja menakuti-nakuti aku dengan puluhan hantu dari balik cermin agar aku segera mengaku telah terlibat dalam pembunuhan yang tidak pernah kulakukan? Entahlah. Yang jelas mula-mula kubiarkan mereka mempermainkanku dengan cermin yang sangat menyebalkan itu. Akan tetapi ketika kepanikan mulai muncul, aku ingin menghancurkan cermin itu. Kulemparkan segala benda agar cermin pecah, tetapi pantulan bayangan aneka benda itu justru memusingkanku. Sedikit pun cermin tak tergores dan yang menjengkelkan benda-benda itu—kursi, asbak, piring, sendok, garpu, dan gelas—seakan-akan justru menguburku. Sayang tak ada palu di ruangan itu. Andai ada palu, cermin akan pecah dan berakhirlah nasib 15 bayangan tubuhku yang senantiasa mengganggu.
Pada puncak kepanikan, seorang perempuan berpakaian serbaputih dan dua sipir berambut cepak masuk. Mungkin karena sudah terbiasa dengan cermin pantul pembingung, mereka sama sekali tidak terganggu oleh bayangan lain di cermin.
“Kalian ingin membuatku gila?” aku langsung memprotes.
“Kamu sudah gila, mengapa harus kami bikin gila?” perempuan itu tertawa.
“Aku tidak gila. Aku hanya bingung,” aku kian memprotes.
“Kalau hanya bingung, kamu tidak akan diperlakukan seperti ini,” perempuan itu memberi isyarat kepada sipir agar meringkusku.
Tentu saja aku memberontak. Aku meronta-ronta berusaha menendang mereka. Akan tetapi karena tanpa kusadari aku melihat begitu banyak bayangan di cermin, rasa pusing yang luar biasa menyerangku. Aku mual. Aku merasakan dikerubut puluhan orang.
Dalam situasi tubuh yang kian lemah, kurasakan sebuah jarum suntik menancap di lenganku. Suntikan itu kian membuat pandanganku kabur. Lama-lama aku seperti diserang kantuk yang luar biasa. Lalu kudengar mereka berbisik tak keruan tetapi masih bisa kutangkap maknanya.
“Perempuan ini tak menyadari jika dirinya berbahaya…,” kata yang perempuan.
“Kalau berbahaya, mengapa tidak dibunuh saja?” kata sipir.
“Perempuan ini punya banyak rahasia yang harus dikorek dulu sebelum dibinasakan. Tugas kita bukan mengorek rahasia itu. Tugas kita hanya membawa perempuan ini ke rumah sakit jiwa agar dia sembuh, agar dia segera membeberkan rahasia pembunuhan para jenderal itu?”
Hmm, rahasia? Rahasia apa? Sok tahu perempuan sialan itu….
Tetapi peduli amat dengan mereka. Aku toh sangat mengantuk. Aku toh harus tidur. Aku toh lebih baik melupakan apa pun yang membingungkanku….
***
MUNGKIN satu atau dua jamaku tertidur, tetapi rasanya telah berbulan-bulan. Begitu bangun aku melihat kaki dan tanganku diikat di ranjang. Di kanan-kiriku juga ada ranjang-ranjang dan tubuh-tubuh lain. Rupa-rupanya sekarang aku dikurung di bangsal.
Permainan apa lagi ini? Penjara apa lagi?
Tak ada yang menjawab pertanyaanku. Mengharapkan jawaban dari sipir atau dokter, aku justru mendengar suara-suara aneh dari ranjang-ranjang lain. Ada suara orang mendengkur. Ada suara orang menceracau. Ada yang berteriak keras-keras. Ada yang menyanyi lagu-lagu sumbang. Ada mengaum. Ada yang menggonggong. Ada yang menguik.
Ini pasti mimpi. Di kebun binatangkah aku? Mereka mengirimku ke sini karena menganggap aku sebagai hewan yang layak dibantai atau dipermainkan?
Karena penasaran, aku mencoba melepaskan ikatan sambil kulontarkan kata-kata yang memprotes kesewenang-wenangan para serdadu Soeharto. Tentu saja teriakanku yang tak keruan itu menimbulkan kegaduhan. Orang-orang lain yang semula tidur pun terbangun. Mereka mengerubutiku. Mereka—yang entah karena apa berpakaian sama—sangat ribut dan mengancamku.
“Perempuan yang selalu mengaku memiliki sayap ini akhirnya bangun juga….”
“Memiliki sayap? Malaikat maksudmu? Jangan bicara seperti orang gila…. Dia itu cuma anggota Gerwani….”
Edan! Siapa mereka ini? Mengapa mereka juga dikurung bersamaku di sini? Apakah mereka juga menari bersamaku di Lubang Buaya? Tetap tak ada yang menjawab pertanyaanku. Mungkin mereka memang tidak mendengar pertanyaanku. Mungkin mereka mengabaikan pertanyaanku.
Karena aku terus berteriak-teriak, seorang berpakaian necis membubarkan orang-orang yang mengepungku. Pria tampan ini dengan lembut kemudian membisikkan kata-kata yang juga lembut di telingaku, “Aku dokter yang akan merawatmu. Kau jangan sekali-kali melarikan diri dari rumah sakit jiwa ini….”
“Kalau aku melarikan diri?” kugoda dokter tampan itu.
“Kau akan terus diikat dan disalib di ranjang ini.”
“Tak ada yang akan membebaskan aku?” aku kian menggoda.
“Kalau Tuhan ada, Dia yang akan membebaskanmu,” dokter itu ganti menggodaku.
“Menurutmu Tuhan itu ada?”
Dokter itu tidak menjawab, “Tidurlah lagi. Patuhilah semua peraturan. Minumlah obatmu. Kau harus sembuh.”
“Sembuh? Sembuh dari apa? Aku tidak sakit.”
Dokter itu tertawa, “Kalau tidak sakit, kau tidak akan dibawa ke sini!”
Kini ganti aku yang tertawa, “Jangan bergurau. Aku hanya pusing dan aku ingin tidur….”
“Karena itu tidurlah…,” dokter itu berbisik, lembut sekali.
Aku memang tertidur. Aku tidak tahu kapan akan bangun lagi. Aku hanya merasakan ancaman penyaliban dan pembakaran tubuhku tak akan terhindarkan. Tentu saja aku tak peduli. Saat ini aku hanya ingin tidur. Tidur. Tidur. Tidur… dan tak bangun lagi.... (*)



Triyanto Triwikromo, pemeroleh Penghargaan Sastra Pusat Bahasa untuk Kumpulan Cerpen Ular di Mangkuk Nabi.