Cerpen Adi Zamzam (Jawa Pos, 27 November 2011)


NYALANG mata Wo Rikan acapkali melihat derum benda itu. Meraung-raung seperti tengah mentertawakan dirinya yang kini jadi sering menganggur karena tak ada lagi pekerjaan. Padahal telah lama musim penghujan menjadi mimpi indah dalam kepala lelaki gaek itu.
Ia mematung di pinggiran sawah dengan mulut mengerucut, menahan amarah yang telah berhari-hari bersarang dalam dada. Telah hampir satu jam lelaki berperawakan sedikit bungkuk itu menunggu di situ. Tak dipedulikannya orang-orang yang lewat seraya bertanya, “Sedang apa, Wo?” Tak ada yang dikerjakannya selain hanya mengamati benda itu dengan penuh kebencian.
“Aku mau yang cepat, Wo. Kalau pakai sapi kan lama? Mahal sedikit tak apa, asal kerjanya bagus,” kalimat Haji Ali terus terngiang dalam telinganya.
Saat itu Wo Rikan tak mengerti. Berselang hari kemudian barulah ia paham bahwa makhluk berisik itulah penyebabnya.
Tak cuma Haji Ali, semua orang yang semula pelanggan tetap Wo Rikan kini beralih pula darinya. Hanya dalam seminggu, semua pekerjaan yang telah enam bulan ditunggu habis tak bersisa!
“Kalau dengan traktor, dua kotak cuma butuh setengah hari. Biaya per kotaknya pun cuma seratus ribu. Coba bandingkan jika aku menyewa bajaknya Wo Rikan. Sehari cuma mampu menyelesaikan satu kotak, itu pun lebih mahal dua puluh ribu. Jadi ya…,” begitu kata mereka. Membuat Wo Rikan merasa dikhianati.
Kini ia telah melihat dengan mata kepalanya sendiri, hanya dalam waktu satu jam, separuh pekerjaan hampir selesai. Tanah terbajak sempurna, sementara sang pengemudinya hanya terlihat duduk manis di sadel belakang. Terlihat amat santai. Beda dengan dirinya ketika harus duduk di tuas belakang sapi, yang disamping menjadi pengendali arah juga harus berusaha menjadi pemberat agar mata bajak bisa lebih dalam menghujam tanah.
Kata orang-orang benda itu bahkan mulai merambah ke desa-desa lain. Sungguh sebuah ancaman besar.
Kini tak ada pekerjaan yang tersisa selain mencangkul galengan [1] sawah. Sayangnya Wo Rikan bukanlah tukang cangkul yang ulung. Lagipula tubuhnya sudah ringkih. Habis mencangkul seharian, tiga hari berikutnya tubuh tuanya serasa remuk dihajar pegal-pegal. Tak seperti ketika ia masih muda dulu.
Wo Rikan benar-benar galau dengan masa depannya. Sepertinya ia akan mati sampai di sini.
***
Malam merangkak pelan. Kedua mata Wo Rikan masih juga nyalang menemani separuh rembulan yang terlihat di genting kaca di atas pembaringan. Tadi istrinya baru saja meributkan dirinya yang menganggur dan cuma hilir-mudik ke sana ke mari, tak mau cari-cari pekerjaan. Meskipun tak punya anak, bukan berarti hidup bisa dibuat bersantai-santai saja. Justru di masa tua begini harus rajin-rajin bekerja karena tak ada anak tempat bergantung. Apalagi jika tubuh sering sakit-sakitan.
Wo Rikan hanya bisa menggerutu menanggapi kemarahan istrinya. Perempuan itu tak tahu bahwa sebenarnya ia sedang sibuk memikirkan sesuatu. Dan akhirnya ia telah menemukan sebuah rencana. Rencana itu akan dikerjakannya malam ini juga.
Ia bangkit sambil terus mengawasi istrinya. Dibukanya pintu dengan pelan. Ia tak mau perempuannya terbangun. Jika sampai itu terjadi, pasti perempuan itu takkan pernah berhenti bertanya yang macam-macam.
Dalam gelap Wo Rikan mengendap-endap. Terang betul matanya mengamati keadaan sekeliling. Hening. Tak ada siapa pun. Dan memang inilah yang diingininya. Tak ada seorang pun yang melihatnya ketika menuju sebuah rumah yang belakangan ini sering diawasinya. Benda yang tengah diincarnya itu ditambatkan di samping rumah layaknya peliharaan.
Namun sesampainya di tempat tujuan, Wo Rikan malah kebingungan. Ia tak tahu bagaimana caranya menyakiti atau melumpuhkan benda keras itu. Ia berputar-putar mencari titik lemah yang kiranya bisa menciderai musuhnya itu.
***
Berhari-hari Wo Rikan menjadi orang bingung yang seringnya hanya duduk-duduk melamun di blabak teras rumahnya. Mendengarkan radio menjadi pekerjaan utama yang paling digandrungi. Lagu campursari dan cerita pewayangan adalah acara yang paling ia cari. Meski Mbok Tu—istrinya, sering marah-marah melampiaskan kejengkelannya. Wo Rikan terlihat tak peduli.
Namun yang sebenarnya terjadi adalah Wo Rikan ingin melupakan kebenciannya terhadap benda bernama traktor itu, karena ia tahu hal semacam ini memang tak bisa dihindari. Ia ingat betul sebelum ada televisi, radionya terbilang benda mahal yang kala itu tak semua orang bisa memiliki. Tapi kini, radio telah menjadi sampah. Mungkin juga dirinya nanti, tak ada harganya lagi. Zaman yang terus bergerak akan menyingkirkan mereka yang sudah tua.
Hal itu susah betul diterimanya secara penuh. Setiap berpapasan dengan Dikin dan traktor piaraannya, kemarahan dalam dada Wo Rikan melonjak-lonjak. Derum traktor terdengar bagai riuh kaum kala [2] ketika merusak ketentraman kahyangan. Aneka rencana langsung berhamburan masuk tanpa permisi ke dalam kepala, berebut untuk meraih persetujuannya.
Tak ada lagi pekerjaan yang bisa membuat Wo Rikan makan enak. Maka ia pun tak balas marah-marah kepada pendamping hidupnya yang setia itu. Ia biarkan perempuannya mengumpat-umpat dirinya sepuas hati saat melihat Wo Rikan yang malas-malasan membantu pekerjaannya mengumpulkan daun waru dan jati, berburu keong besusul, memanen genjer liar, juga mengambil petet cina yang tumbuh liar di sepanjang pematang sungai pinggiran sawah. Istrinya tak pernah tahu karena Wo Rikan memang tak pernah memberitahu bahwa kemalasannya adalah tersebab malam-malamnya yang selalu sulit tidur dan selalu dipenuhi dengan aneka rencana.
Tak pernah ada yang tahu pula kenapa Wo Rikan tiba-tiba suka tersenyum sendiri, terlebih ketika melihat Dikin yang selalu meributkan piaraannya. Ketika Pak Madi, Pak Kandar, ataupun Haji Ali menegur kebiasaan aneh itu, Wo Rikan hanya menjawab, “ Tadi malam Gatotkaca telah melumpuhkan Kala Pracona!”
Pun ketika istrinya menegur karena teramat jengkel, Wo Rikan masih juga menjawab, “Tadi malam Gatotkaca telah melumpuhkan Kala Pracona!” tak peduli perempuannya semakin jengkel sampai pernah menyembunyikan radio tua itu, hingga Wo Rikan meradang dan tak mau lagi bantu-bantu pekerjaannya.
Wo Rikan tak peduli meski ia tak dipedulikan lagi. Oleh istrinya, oleh pemilik sawah langganannya, bahkan oleh dunia sekalipun. Baginya, ketika Kala Pracona berhasil dilumpuhkan berkali-kali oleh Gatotkaca—meski hanya sementara—itu sudah sedikit mengurangi sakit hatinya.
***
“Kalau aku mati nanti, apa kau akan cari suami lagi?” tanya Wo Rikan sebelum istrinya terlelap.
“Kalau aku tak ada lagi, apa yang akan kamu lakukan?” bertanya lagi karena diacuhkan.
Wo Rikan menoleh. Ternyata istrinya telah benar-benar terlelap. Ia mencoba memaklumi hal ini. Perempuannya memang selalu begini bila marah. Terutama semenjak ia merelakan Ngatimah—keponakan yang pernah ia ambil dari adik ipar semenjak masih umur tujuh—untuk kembali ke sisi orang tuanya karena dua saudaranya telah menetap di kota jauh.
Mbok Tu sering tak peduli dengan apa yang dilakukan dan dipikirkan Wo Rikan selain ketika lelaki itu membantunya mencari kebutuhan makan. Maka ketika shubuh itu lelakinya telah raib dari sisinya, ia pun lebih peduli dengan pesanan daun, bothok keong dan bothok petet dari para tetangganya ketimbang mencari tahu ke manakah gerangan suaminya pergi.
Hingga siang menjelang, dan seorang tetangganya terlihat tergopoh-gopoh mendekatinya, “Wo Rikan ditangkap polisi, Mbok!”
***
“Kalau ingin Wo Rikan bebas, Mbok Tu harus mau mengganti rugi semua biaya perbaikan traktor saya selama ini,” wajah Dikin terlihat memerah saat menyebutkan satu per satu kerusakan yang pernah dibengkelkannya.
Mbok Tu melangkah ke arah teralis suaminya. Menggerutu pendek, lalu mengakhirinya dengan kalimat, “Akan kujual salah satu sapimu.”
Wo Rikan tersenyum. Akhirnya dunia mengakui dan menghargai keberadaannya juga! (*)
 .
 .
                                               Kalinyamatan – Jepara, September 2011


Source: http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Arif Hidayat (Suara Merdeka, 20 November 2011)
 

KADANG-KADANG sering terbayang juga masa tua. Masa saat aku mungkin mengenang yang telah kulewati sambil menanti ajal, sambil kubayangkan juga ruhku akan terbang seperti kupu-kupu.
Ini mungkin karena aku sering melihat kakek-nenek itu melintas menyapa sambil menundukkan kepala dan tersenyum. Nenek itu matanya agak sipit. Walau kerutan-kerutan itu membekas, namun aku tahu bahwa nenek itu semasa muda memiliki kulit yang putih. Dia menyapa dengan huruf-huruf yang tak fasih, namun aku masih mengerti dan paham. Ia selalu pergi bersama seorang kakek yang tak terlalu ada keistimewaan apa pun pada tubuhnya, selain bibir yang berusaha memberikan senyum.
Mungkin usia nenek itu setara dengan pohon jati yang berada di pekarangan rumahnya. Dari rumahku, aku menatap pohon jati yang mulai meninggi kembali, walau dalam beberapa kali dipangkas ranting-rantingnya dengan alasan angin bakal merobohkan. Batang bawahnya, dua pelukanku tak cukup. Akar-akarnya seperti tulang raksasa yang dibaringkan. Kuat mencengkeram bumi. Dan dari sebuah pintu teralis, seorang pembantu berlari-lari kecil sambil bergegas dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia keluar dari sana dan menghampiriku. Wajahnya seputih awan yang mendung. Tangannya agak gemetar. Ada yang ingin disampaikan dari mata yang menatapku dengan serius, tapi sopan.
“Sudah tiga hari ini, majikanku tak di rumah,” katanya.
Aku tahu dia sedang cemas, dan biasanya kecemasanku akan hilang dengan senda gurau oleh kawan-kawanku.
“Dia sudah jadi kupu-kupu, tadi menyapaku. Sekarang hilang di antara pohon jati dan bambu,” jawabku sambil tersenyum, tapi pembantu itu tidak bicara apa-apa.
Matanya menjadi melotot. Pipinya yang putih jadi agak merah. Ototnya mengeras. Aduh, aku jadi gemetar.
Aku mencoba menenangkan bahwa tidak terjadi apa-apa. Segenap kemampuan berpikir kukerahkan untuk memberi keyakinan agar percaya dengan kata-kataku. Kini aku tidak bercanda lagi. Aku tahu, konon majikannya punya anak di Jakarta atau Surabaya yang tak pernah menjenguk. Pastinya mereka pergi menemui anaknya, atau justru anaknya yang menyuruh pindah. Biarpun, dalam cerita yang kuingat dari ibuku juga para tetangga bahwa mereka berdua tak ingin beranjak ke mana pun sampai ajal menjemput. Bahkan, mati pun ingin dikubur di pekarangan rumah, bagian belakang.
Ah, rumah yang sendiri, dengan pekarangan yang cukup luas. Ada pohon jati dan bambu kecil berbaris yang merindangi bagian belakang. Di halaman samping tampak bunga-bunga, yang ketika kau melihatnya di agak pagi akan banyak kupu-kupu berhinggapan. Kupu-kupu yang entah datang dari mana sebab tak ada kepompong maupun ulat di sekitarnya. Kupu-kupu yang bermain dengan matahari dan tak terlihat di malam hari. Matahari yang biasanya menyengat, namun di halaman itu udara terasa sejuk, maka kau akan merasakan berada di taman hutan atau seperti berada dalam dongeng tentang rumah peri atau semacamnya.
Kalau kau berkunjung di pagi, kau juga akan menemukan seorang nenek yang menyapu daun-daun kering sambil meneteskan air mata di dekat pohon jati dan beberapa bambu kecil berbaris. Ia akan merenung di situ, bergumam sendiri, kemudian tersenyum dan berbalik sambil menaburkan percikan air yang harum ke segala penjuru arah. Ciumlah aromanya. Benarlah seperti berada dalam cerita musim semi, di mana segala kebajikan doa akan tumbuh dan membuat hati merasa senang karena kesejukan pohon-pohon dari daun, juga sisa embun yang tetap bertahan di situ.
Nenek itu bersama seorang kakek yang sudah tidak bisa berjalan lagi dan seorang pembantu. Kakek itu hanya duduk di kursi roda. Bila nenek itu menyapu, maka kekek akan berada di antara kupu-kupu sambil menengadahkan tangan. Sedang pembantu akan sibuk masak dan mengurusi seisi rumah, menyapu lantai, mengepel, membersihkan debu, mengelap kaca, juga memasak. Pernah pembantu itu menyapu halaman dan menyirami tanaman ketika kemarau tiba, tapi nenek dan kekek itu marah. Pembantu dimaki-maki, tak lama mereka berdua meminta maaf dan berpesan untuk pembantu itu agar tidak mengulangi lagi. Dan pembantu itu mengangguk dengan sambil terus menunduk cukup lama.
***
SEMINGGU sekali, mereka berdua akan pergi jalan-jalan yang jaraknya tidak jauh dari rumah mereka. Di pagi yang benar-benar pagi. Nenek akan mendorong kursi roda sambil menyapa tetangga atau pun orang yang dikenal. Mereka berjalan pelan. Aku sering menatap mereka dari jendela rumah. Kemudian meledek mereka. Lama-kelaman menjadi akrab. Ketika aku kecil, mereka sering membelikan jajan pasar. Membelai rambutku dengan tersenyum. Kemudian pergi setelah dari pohon jati dan bambu turun beberapa ekor kupu-kupu.
Ibuku marah kalau aku menerima jajan pasar yang mereka berikan. Takut untuk tumbal. Takut ada racunnya. Takut ini dan itu. Yang jelas tidak boleh. Dan aku akan serba bingung. Dalam marah, ibu pernah bercerita jika mereka berdua bukanlah warga asli dari sini. Mereka datang dari kota yang jauh karena melakukan hubungan di luar nikah, orang tuanya marah kemudian mengusir, namun sudah terlanjur punya anak. Dan mereka tak boleh mengasuh anaknya.
“Nenek Ming dan suaminya itu memang kaya, tidak ada yang tahu pasti dari mana berasal. Lha, tidak kerja saja bisa bayar pembantu. Punya rumah bagus. Aku tidak ingin kamu nanti jadi tumbal.”
Ibu membanting seplastik cenil yang belum sempat kucicipi.
Nenek Ming dan suaminya datang ketika masih muda, kemudian membeli rumah bekas kawedanan yang dipakai oleh Landa. Mereka tertarik rumah itu bukan karena bagusnya, tapi karena ada pohon jati dan bambu kecil berbaris yang merindangi bagian belakang. Itu selalu mengingatkan pada tempat tinggalnya dulu, di mana leluhurnya dimakamkan dengan diberi asap dari semacam lidi, kemudian ditaburi oleh minyak wangi.
Nenek Ming dan suaminya hidup dengan sederhana. Hingga aku besar sampai sekarang ini tidak ada yang berubah padanya. Hanya cara berjalannya yang mulai makin membungkuk dan mulai sering batuk-batuk. Mereka tidak berobat, tapi membuat ramuan dari tanaman-tanaman yang ada di pekarangan rumah. Ada kunyit, jahe, kencur, dan semacamnya. Mereka rajin meminum semacam jamu dari tanaman, bahkan rajin makan daun yang masih hijau. Sesekali mereka membeli madu asli dari pasar. Aku pernah dibuatkan obat batuk dari semacam akar-akar yang penuh dengan serbuk, kuminum setelah itu bumi terasa di bolak-balik dan pandangan gelap hingga benar-benar tak berdaya. Aku bermimpi sepasang kupu-kupu di antara pohon jati dan bambu mengitariku kemudian pergi, bahkan kemudian aku merasa punggungku ditumbuhi sayap dan pergi meninggalkan ibuku. Kata Ibu, dalam itu, aku tertidur seharian, dan setelah terbangun aku benar-benar sembuh dari batuk.
“Segala yang sakit, segala yang sehat itu ada pada alam dirimu. Kau akan melihat pengetahuan sejati bersama bumi sebagai tubuhmu, dan yang lainnya mengisi,” jawabnya ketika aku bertanya tentang rahasia obat yang diberikan padaku. Aku sendiri sampai sekarang tidak paham maksudnya. Aku malah pusing sendiri memikirkannya. Jangan dipikirkanlah.
“Lihatlah yang terbang.” Aku mencari-cari yang terbang, walau tak ada apa-apa selain desir angin di daun bambu.
“Kau dengan pohon apa bedanya, jadi kau harus merawat karena telah menanam, sebagaimana ia memberikan buah untukmu.” Aku makin bingung saja. Ini lebih membingungkan dari ujian pelajaran di sekolah.
Tanpa sepengetahuan Ibu, aku sering sembunyi-sembunyi menemui nenek Ming dan suaminya. Aku tidak melihat diri yang jahat pada mereka. Toh, pembantu rumah itu pun tetap selamat. Setidaknya sampai sekarang. Tak ada teriakan apa pun dari rumahnya. Tak ada keanehan.
“Nenek Ming dan suaminya itu menyembah pohon. Apanya yang tidak aneh.” Ibu menghardikku. Aku merinding. Bingung mau bicara apa. Terbayanglah aku pada film kartun tentang nenek sihir yang hidup di dalam kastil yang besar. Terbayang pula aku pada….
***
“HEI, hei, kenapa bengong.” Pembantu itu membangunkan lamunanku. Mengajak buru-buru untuk masuk ke rumah nenek Ming.
Aku menurut saja mencoba mengikuti pembantu itu, menelusuri rumahnya tanpa peduli ibu akan marah. Ada banyak jendela yang terbuat dari kayu jati. Jendela lama yang tetap utuh. Dari situ cahaya matahari samar-samar menembus ruangan. Aku berjalan dalam terpaan bayanganku sendiri. Sedikit merinding. Ada sunyi yang hangat berhembus. Pelan dan hati-hati sambil melihat atap dengan gapit bambu yang cukup rapi, aku terkesima pada lukisan seribu kupu-kupu dalam terpaan cahaya. Semuanya bersih, bahkan almari yang kuraba tak kutemukan debu. Dan, ternyata sebagian rumah ini tersusun atas pohon jati dan bambu yang utuh tanpa tersentuh rayap.
Di dalam kamar tak ada siapa-siapa. Hanya ada bulu-bulu halus yang bertaburan di lantai dan dinding. Aku mencium ramuan obat batuk dari Nenek Ming, yang cukup membuat pusing dan mengaburkan pandangan menjadi gelap kemudian melihat diriku menjadi keriput, berjalan dengan terbungkuk dengan ada bulu-bulu halus yang rontok dan tumbuh. Perutku gendut. Bumi serasa terbalik. Dalam begitu, aku pulang ke rumah dengan sisa tenaga yang kukerahkan untuk merambat di jalan, ibu tak mengenali, malah membuang tubuhku ke kebun dengan jijik. (*)
 .
.
Arif Hidayat, lahir di Purbalingga 7 Januari 1988. Tulisan alumnus Universitas Muhammadiyah Purwokerto ini pernah dipublikasikan di beberapa media massa. Buku antologi puisinya Syair-syair Fajar, Pendapa 5: Temu Penyair Antar Kota, Anak-anak Peti, Puisi Menolak Lupa, Rendezvous dan Catatan Perjalanan. Buku esainya: The Spirit of Love, Kekuasaan dan Agama, Manusia = Puisi, dan Dari Zaman Citra ke Metafiksi.


Source: http://lakonhidup.wordpress.com