Cerpen M. Shoim Anwar (Jawa Pos, 6 Maret 2011)


KAMI pergi memang untuk mati. Dengan menempuh jarak ribuan kilo meter, kami hendak menyetorkan nyawa yang ada dalam tubuh masing-masing. Kami pasrah. Kami telah dilepas dengan prosesi kematian oleh sanak keluarga. Air mata menetes. Kali ini adalah perjumpaan terakhir dalam hidup kami. Segenap sanak famili, handai tolan, serta para warga memberikan penghormatan saat kami dilepas. Mereka melingkar di lapangan sambil tangannya disilangkan ke depan ketika mendengar kata sambutan. Kami pun lantas berjalan. Cuaca meredup mengiringi kepergian kami. Mereka yang agak jauh dari kami terlihat melambaikan tangan di rumah masing-masing dengan wajah haru. Anak-anak yang mereka dekap pun ikut melambai, sebagian yang lebih besar terlihat berlari mengikuti di belakang kami. Di sepanjang perjalanan pohon-pohon seperti berlari berlawanan dengan arah kendaraan kami. Pagar-pagar rumah juga demikian. Kampung halaman merenggang dengan tubuh kami. Makin jauh dan jauh.
Sepanjang perjalanan kami tak banyak bicara. Kami pasrahkan semuanya. Mulut kami menggumamkan doa-doa. Tangan kami tak henti-hentinya memutar hitungan mengiringi bacaan-bacaan kalimat suci. Kami senantiasan memusatkan pikiran, melupakan segala peristiwa yang telah lewat. Kami memejamkan mata, menjaga kekhusyukan agar doa-doa dapat langsung melesat tanpa penghalang. Kini kami telah berada jauh dari permukaan bumi.
Makin jauh pula dari gravitasi. Saat kami membuka mata, langit sepi tanpa penghuni. Tempat yang senantiasa kami pandangi saat berdoa. Awan putih berkelompok-kelompok seperti gundukan salju mengapung. Kami merasa sangat kecil, seperti butiran debu melayang di angkasa yang mahaluas. Akankah kami membeku saat menerobos gumpalan-gumpalan awan itu. Sesekali kami merasa ada guncangan. Beberapa lelaki yang disertai istri masing-masing terlihat khusyuk sekali. Sementara yang lain melihat hamparan laut di bawah sana dengan wajah redup.
Irfa duduk di sebelah kananku, dekat jendela. Kami lebih banyak diam. Sebentar-sebentar kami berpandangan. Tak lama lagi memasuki kota kematian. Tanah yang gersang dan bebukitan mulai terlihat nun di bawah sana. Ada jejak angin membentuk gigir-gigir di permukaan pasir. Tak terlihat ada tanda-tanda kehidupan di sana.
Deru angin kering mungkin menyapu udara panas sepanjang hari. Itulah wilayah yang banyak menyimpan kisah sejarah, di mana para hamba mempertaruhkan keyakinan ketika para pemuja berhala meyulut bara permusuhan, kisah-kisah umat yang dikejar raja durhaka, mereka-mereka yang berhijrah, pasukan-pasukan yang mempertahankan kesucian jiwa, insan-insan yang teguh ketika dicoba, semua menghampar di bawah sana.
Di wilayah perbatasan kami melepas pakaian, berganti kain kafan pembungkus jenazah. Irfa, yang biasanya menyukai warna ungu atau biru, kali ini mesti berserah pada warna putih. Hanya selembar kain untuk membungkus tubuh yang papa. Irfa memandangi tubuhnya. Keningnya berkerut seperti kulit jeruk.
“Saya teringat anak-anak,” kata Irfa.
“Semua sudah ada yang mengatur. Kita harus berserah.”
“Mereka masih membutuhkan kehadiran kita,” suara Irfa melemah.
“Waktunya sudah tiba.”
“Mestinya anak-anak….”
“Mereka masih punya waktu panjang. Kau kelihatannya gundah?”
Irfa tak menjawab. Pandangannya redup diarahkan kepadaku. Bertahun-tahun kami hidup bersama, namun baru kali ini aku melihat Irfa seperti berada di titik kegundahan yang puncak. Di balik kaca mata putihnya tampak ada buliran air mata. Kupegang tangannya erat-erat. Jari-jarinya yang panjang terasa dingin.
Kami digiring ke tanah lapang yang mahaluas, nyaris tanpa tepi. Kami dikumpulkan dengan orang-orang dari berbagai asal. Kami berdiam diri sepanjang hari dipanggang terik matahari.
Semua serbaputih. Kami seperti kecambah yang tumbuh, ada yang kepalanya menunduk, ada yang tegak, ada pula yang tengadah. Kami menanti nasib selanjutnya. Sementara di sisi lain tampak bebukitan kering kerontang. Di sana-sini juga terdapat orang-orang seperti kami. Irfa memerah mukanya. Ada titik-titik keringat di sana. Punggung tangannya disembunyikan pada lipatan kain.
“Pasirnya seperti digoreng,” Irfa menggeser duduknya.
“Tak ada pilihan lain.”
“Haus sekali,” dia mengernyitkan kening. Suaranya lamban.
“Semua merasakan hal yang sama,” kataku.
“Tenggorokan kering.”
“Semua juga kering.”
“Itu burung-burung beterbangan. Pasti di sekitar sini ada air,” Irfa menuding burung-burung hitam yang berkelepak di atas kami.
“Jangan-jangan mereka menantikan air dari tubuh kita.”
Raut wajah Irfa menciut. Ujung telunjuknya tampak bergetar. Urat-urat di punggung tangan itu menegang hingga menyerupai tali-temali. Irfa tampak gerah. Tubuhnya yang tinggi dan ramping terkesan makin tipis. Kami sama-sama terdiam beberapa saat. Hanya deru angin yang terdengar di kejauhan.
“Semoga ada hujan turun,” Irfa menerawang ke langit.
“Awan tak ada sedikit pun. Mungkin bertahun-tahun tak ada hujan di sini.”
“Mungkin burung-burung itu sebagai pertanda musim akan berubah.”
“Di sini tak ada yang tahu soal perubahan musim.”
“Apa salahnya berharap?” Irfa menoleh ke arahku. Nada dan gerakannya lamban, tapi dari bola matanya terkesan ada isyarat lain. Irfa tiba-tiba menoleh ke kiri.
“Seperti ada yang menyebut nama saya,” katanya. Aku ikut menoleh ke arah pandangannya. Irfa seperti tersentak ketika pandangannya tertumbuk.
“Pe… perempuan itu pernah menampar pipi saya.”
“Siapa?”
“Istri kepala kantor.”
“Mengapa?”
Irfa terdiam. Keringat di keningnya menitik.
“Kau sebagai sekretaris. Apa ada yang lebih dari itu hingga dia cemburu?”
Di sini kami tak mampu menuding. Bibir Irfa bergerak-gerak, dia ingin mengatupkan, tapi tak bisa. Pandanganku tiba-tiba juga tertumbuk pada wajah-wajah yang pernah kukenal. Bibirku spontan bergerak.
“Aku pernah berutang janji pada orang itu.”
“Sudah kaupenuhi?”
“Belum.”
“Lelaki di sebelahnya itu pernah kutipu.”
“Kau sudah minta maaf?”
“Belum.”
Aku heran, di sini orang-orang yang pernah berurusan denganku tiba-tiba muncul silih berganti. Mereka seperti rekaman yang diputar kembali untuk kupersaksikan. Semua mengarahkan pandangannya padaku. Mereka membukakan dosa-dosaku. Mereka menagih pertanggungjawabanku. Berkali-kali pula Irfa, katanya, melihat orang-orang yang pernah dikenal. Wajah Irfa terlihat tegang, gugup, bahkan takut.
Deru angin terdengar mendekat. Sesaat setelah itu terasa ada yang menerpa kami. Tidak seperti yang kami harapkan, terpaan itu terasa panas dan kering. Kami mengernyitkan kening. Haus luar biasa. Di atas tiap-tiap kepala terlihat udara meliuk-liuk membentuk fatamorgana.
Agak jauh dari kami seorang perempuan tua terengah-engah. Mulutnya terus membuka seperti tak dapat dikatupkan. Lama-lama aku seperti telah mengenalnya. Wajah itu bahkan sudah sangat akrab di mataku. Dia berkali-kali menoleh ke arah kami. Matanya yang cekung menambah ketuannya. Irfa tampaknya ingin mengatakan sesuatu. Setiap perempuan tua itu menoleh, Irfa melihat ke arahku.
“Perempuan tua itu jadi seperti saya,” katanya beberapa saat kemudian. Kata-kata Irfa menghenyakkan aku.
“Ya, wajahnya berubah menyerupai kamu.”
Ternyata gerakan perempuan tua itu seperti menirukan Irfa. Ketika Irfa mendongak, perempuan tua itu ikut mendongak. Saat Irfa menoleh ke kiri, dia juga menoleh ke kiri. Saat Irfa ganti menoleh ke kanan, dia pun ikut ganti ke kanan. Irfa menggerakkan tubuhnya, dia pun melakukan hal yang sama. Ekspresi wajah dua perempuan itu kini juga terlihat sama.
“Apakah kelak saya begitu?”
“Tak ada yang tahu. Hidup cuma sekali.”
Wajah Irfa menciut, ekspresinya kecut, seperti buah duku mengerut. Dia kembali melihat burung-burung di awang-awang dengan tatapan cemas. Terdengar bunyi melengking dari arah mereka, seperti jerit yang tertahan lalu dilepas bagai anak panah. Bunyi itu menggema dan terasa sakit di telinga. Beberapa saat burung-burung hitam itu mengumpul dan terbang berputar-putar di atas kami. Mereka membentuk sumur pusaran. Gerakan mereka makin cepat menyerupai mesin penggiling. Kami semua menatap ke arahnya. Mata kami mengikuti ke mana arah mesin penggiling itu berputar.
Tiba-tiba terdengar bunyi dipekikkan dengan sangat keras. Gemanya makin memekakkan. Bersamaan dengan itu mesin penggiling berputar makin cepat. Tak terlihat lagi bentuknya masing-masing. Seperti sumur besar menyambar-nyambar. Ketika pekikan terdengar sekali lagi, mesin penggiling itu sudah berkumpar-kumpar di atas kepala kami. Kibasan mereka terasa di telinga. Kami tak tahu apa yang bakal terjadi.
Lengan kiri Irfa kupegangi erat-erat. Sementara mataku tak henti-henti mengikuti pusaran. Sekonyong-konyong Irfa menarik lengan, meremas mulutnya, dan matanya melotot. Kami melihat sepertinya ada yang disahut dan dibawa terbang. Pusaran mesin penggiling itu meninggi. Kami melihat ada yang dijatuhkan. Kain putih. Itu adalah pakaian di antara kami. Sesosok tubuh telah dibawanya pergi. Membumbung ke langit. Makin jauh dan jauh. Entah tubuh siapa.
“Perempuan tua tadi tidak ada,” kata Irfa. Aku segera melihat ke tempatnya. Ya, dia tak ada. Aku dan Irfa saling memandang.
“Dia tadi sebentar-sebentar melihat saya. Apa itu isyarat?”
“Tak seorang pun tahu.”
Irfa mencoba menggeser pandangan ke arah kanan. Aku melihat ekspresinya berubah kembali. Wajahnya mengerut dengan lipatan di kening. Irfa terlihat ketakutan. Bibirnya bergerak-gerak mau bicara.
“Le… lelaki itu ada juga di sini.”
“Siapa?”
Ira menjadi gugup, kedua tangannya bergetar, bibirnya bergetar. Ada buliran air mata menggelincir dari sudut matanya.
Pandanganku tertumbuk pada lelaki yang dimaksud Irfa. Ingatanku tiba-tiba meloncat pada anak-anak di rumah. Wajah lelaki itu seperti bertukar tangkap dengan wajah anak-anakku. Mereka sangat mirip, bentuk matanya, hidungnya, pipinya, bibirnya, juga rambutnya.
“Anak-anak kita kok mirip dengan dia. Bukankah aku ayahnya?”
Bibir Irfa yang kering bergetar makin keras. Tangannya berguncang. Ada ekspresi ketakutan luar biasa. Buliran air matanya menderas.
Tiba-tiba burung-burung hitam itu muncul lagi. Kali ini jumlahnya makin banyak. Begitu terdengar bunyi pekikan, mereka dengan cepat membentuk formasi melingkar dan berputar membentuk mesin penggiling seperti tadi. Mereka menderu di atas kami. Tak tampak lagi bentuknya satu per satu. Mereka telah berubah wujud menjadi kumparan yang mahadahsyat. Gemuruhnya memekakkan telinga. Tubuh Irfa bergetar makin keras. Mulutnya membuka. Matanya nanar.
“Kau… kau mau… memaafkan saya?” kata-kata Irfa bergetar.
Mulutku seperti terkunci. Mesin pengiling itu menggilas di atas kepala kami. Mendengung-dengung. Tubuh-tubuh kami seperti hendak disedot dan digilas. Irfa memegang lenganku kuat-kuat. Dia berusaha menjerit, tapi suaranya tak muncul. Kami seperti telah masuk dalam arus terowongan yang sangat kuat. Kami hendak terlepas. Irfa beralih ingin merangkul tubuhku. Tapi usahanya selalu gagal dan gagal.
Sedotan semakin kuat. Aku merasakan ada yang membetot Irfa. Tiba-tiba sebuah pekikan memecahkan telinga. Kumparan mesin penggiling itu naik dengan kuatnya. Arus sedotan semakin luar biasa. Irfa tahu-tahu sudah tak ada di dekatku. Aku berteriak memanggilnya, tapi suaraku tercekat di tenggorokan.
Orang-orang menatap langit dengan wajah beku dan kaku. Tak ada suara dari mereka. Terdengar deru makin menjauh. Aku berusaha memekik memanggil Irfa. Tetap tak bisa. Irfa telah tiada. Aku pun terus memandang ke atas sana. Mesin penggiling itu semakin melesat naik dengan menyisakan ekor yang meruncing. Terlihat kain putih melayang-layang dijatuhkan dari ekor kumparan di atas sana. Irfa lenyap. Tubuh itu telah disedotnya. Sebentar lagi, mungkin giliranku tiba. (*)

Source:  http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Randu Wangi (Koran Tempo, 27 Maret 2011)

“INGIN mati.”
“Pagi, Ange,” Tristan menyapa dengan nada biasa. Terlalu sering ia mendengar kalimat yang sama. Kalimat favorit Angelie. Tristan tidak lagi ambil pusing dan cemas. Pura-pura saja tidak mendengar. Tidak menanggapi.
“Tristan,” rengek Angelie. Rambut panjang cokelat kusamnya terlihat jelek di remang ruangan. Raut wajahnya kuyu. “Kapan aku….”
“Sarapan? Aku siapkan kopi sekarang.” Tristan pergi ke dapur.
“Tidak mau makan,” Angelie memberengut. “Mau mati.”
Tristan keluar dapur membawa secangkir kopi dan piring berisi beberapa keping biskuit. Ia meletakkannya di meja di samping sofa Ange.
Angelie memasang muka masam.
“Aku tidak mau makan. Aku cuma kepingin….”
“Tapi aku tidak kepingin, Ange,” suara lembut Tristan memotong.
“Kau menyebalkan, Tristan,” Angelie bersungut-sungut.
“Karena aku menyayangimu.”
Gadis itu mendongakkan kepala. Menatap mata kakak laki-lakinya dengan pandangan menyelidik. Mencari kesungguhan.
Tristan mengusap matanya buru-buru.
Angelie melengos. Ia tidak ingin larut dalam kesedihan Tristan. Ia tidak ingin air mata itu mengubah keinginannya. Ia sudah mantap dan yakin. Mati. Memangnya apa lagi?
Tristan beranjak membuka tirai jendela.
“Jangan kau buka. Berapa kali harus kukatakan aku tidak suka matahari. Aku benci cahaya matahari.”
Laki-laki itu tetap menggeser tirai ke samping. Cahaya hangat matahari menyorot masuk. Mengusir remang dalam ruangan. Ujung rambut dan bahu Tristan berpendar terkena berkas sinar. “Hidup ini indah, Ange.”
Angelie tidak bereaksi apa-apa. Sudah terlalu sering mendengar, hingga rasanya seperti mati rasa, mati kata.
“Aku berangkat kerja sekarang. Waktu istirahat siang aku akan kembali ke sini. Membawakan makan siang, dan mungkin masih sempat mengganti air Julien.”
Julien adalah seekor ikan mas koki kecil hadiah dari Tristan. Ikan itu berenang berputar-putar sambil mengipas-ngipaskan ekor.
“Tidak usah repot-repot.”
“Nanti malam, semoga aku bisa membujuk Bridgite. Kita akan malam bersama di sini. Kau tahu, ia sedang hamil muda. Kau tahu, betapa repotnya kalau dia….”
“Tidak usah repot-repot.”
“Aku pergi dulu, Ange,” Tristan mengecup kening adik perempuan satu-satunya. Lalu beranjak keluar.
“Tutup jendelanya.”
“Sampai ketemu lagi, Ange sayang,” kata Tristan sebelum menutup pintu.
Ketika Tristan tak tampak lagi, Angelie bangkit dari sofa. Tangan kurusnya menutup kembali tirai jendela. Ruangan tempat tinggalnya kini kembali redup. Gadis itu memaksa kakinya yang terasa lemah menuju kaca setinggi tubuh yang terletak di ujung ruangan. Sisa geliat matahari memaksa masuk melalui ventilasi sempit jendela. Membiaskan sosok Angelie.
Rambut kusam. Wajah kusam. Kulit tangan dan kaki yang sama sekali kusam. Lingkaran hitam menggayut menjadi kantung mata. Semua yang ada padanya tampak kusam. Tidak bercahaya.
Penyakit sialan!

“TUBUH yang indah, Cantik!” seru Thomas penuh suka cita. Seorang kakak angkatan mempesona di kampus. “Sayang kalau kau tutup begitu saja. Tanpa perlu kau pamerkan. Terutama padaku.”
Tatapan matanya sungguh menghanyutkan.
“Dengarkan aku, Angelie, hidup cuma sekali. Nikmati dan coba setiap kenikmatan yang ada. Percayalah padaku. Mungkin kau bisa menyebut kalimatku ini terlalu kuno, tapi benar. Apa yang kukatakan adalah nasihat yang benar. Kau boleh setuju boleh tidak.”
Angelie memilih resiko: setuju. Hingga terasa ada yang berbeda di dalam tubuhnya. Ia memutuskan untuk berhenti kuliah. Seorang diri menantang maut yang ditawarkan oleh aborsi ilegal.
Calon bayinya berhasil direnggut mati memang, tapi jejak Thomas masih terus ada. Virus mematikan. HIV.
Beberapa bulan kemudian, seperti yang diberitakan televisi lokal, Thomas ditemukan mati saat sedang berpesta heroin seorang diri di kamar apartemennya.
Thomas memang pergi selama-lamanya, tapi penyakit itu masih terus ada.
Tristan akhirnya tahu setelah menyaksikan perubahan yang terjadi pada tubuh Angelie. Semakin lama semakin menyurut dan menyusut habis.
Angelie menolak ditempatkan di panti khusus. “Sama saja mengingatkanku pada Thomas. Sialan,” Angelie berkata pahit.
Tapi Bridgite, istri Tristan, berkeras tidak mau tinggal dengan seorang berpenyakit. “Aku tahu, tidak menular melalui udara yang kuhirup. Tapi aku tetap saja tidak mau. Aku takut.”
Tristan turun tangan. Ia menyewa sebuah rumah kecil untuk adiknya. Dan ia bolak-balik mengurus dua wanita dalam hidupnya.
Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Bunuh diri bukan cara kematian yang Angelie inginkan. Ia ingin semua berjalan wajar. Dan ia sangat menanti saat itu tiba.
Gadis itu menghela napas. Tangisnya terasa tersangkut di tenggorokan. Cukup seperti itu. Tidak akan ada tangisan. Angelie terseok kembali ke tempat duduk. Sambil menggumam pelan, ia menggigit kecil biskuit sebagai sarapan.
Terus menggumam. Mati. Mati.
Sore hari Tristan kembali datang. Sama seperti hari sebelum-sebelumnya, semuanya berjalan monoton dan membosankan. Tristan menyiapkan segala sesuatunya, Angelie dengan gumaman suramnya.
“Maafkan aku, Ange, aku tidak bisa memaksa Bridgite….”
“Tidak usah repot-repot. Dia bisa datang ke pemakamanku besok-besok. Itu pun kalau dia sudi.”
Tristan tidak berkata apa-apa.

PAGI ini Tristan sepertinya akan datang terlambat. Sisa malam masih menggantung di sudut-sudut ruangan. Meninggalkan remang yang merata. Angelie tidak menunggu kakak laki-lakinya. Ia hanya menunggu. Lama-lama gadis itu merasa bosan sendiri dengan ratapannya.
Pagi yang membosankan.
Sisa hidup yang membosankan.
Memang benar. Akan lebih baik kalau saja ia segera….
Terdengar suara gelak tawa. Begitu riang. Begitu sempurna. Begitu menyenangkan.
Angelie berhenti bergumam. Ia menajamkan pendengaran. Tawa itu masih ada. Dengan memaksakan langkah kaki yang ringkih, Angelie mendekati jendela dan membuka tirainya.
Ia sendiri yang membuka tirai jendela. Bukan Tristan, seperti biasanya. Untuk kali pertama, setelah hampir setahun berlalu.
Berkas cahaya matahari menerpa sebagian tubuhnya.
Angelie duduk sambil menyandarkan kepala di kusen jendela yang besar. Ada seorang malaikat yang dikirim untuknya. Pagi menjelang siang ini. Gadis mungil yang sedang tersenyum seusai tergelak di antara cahaya matahari yang tumpah di halaman depan rumah. Tersenyum sambil memandang. Ke arah Angelie.
Rasa hangat merayap perlahan di hati Angelie.
Bukan sinar matahari.
Gelak murni, polos, tanpa dosa, dari seorang anak kecil membikin sedikit perbedaan. Hal yang tidak pernah ia sangka-sangka sebelumnya.

KEESOKAN pagi yang lain, Tristan kembali terlambat datang. Angelie tidak peduli. Kini, hampir setiap pagi, ia duduk di dekat jendela. Menikmati keindahan senyum seorang malaikat menjadi kebiasaan baru Angelie.
Lihat! Gadis itu sekarang melambaikan tangan.
Angelie membalas dengan menarik senyum yang masih terasa lemah.
Begitu Tristan tiba, biasanya Angelie sudah kembali menutup tirai jendela dan duduk termenung di kursinya. Dan Tristan mulai menyimpan segumpal pertanyaan dalam hati. Betapa umpatan dan keinginan mati itu semakin jarang terucap.

“PAGI, Ange,” sapa Tristan sambil buru-buru masuk.
“Maaf aku terlambat. Akhir-akhir ini Bridgite selalu mual saat pagi.”
Angelie diam saja. Kali ini ia masih bertahan duduk di tepian jendela.
Tristan berhenti bicara. Ia meletakkan tas kerjanya demi merengkuh pundak ringkih adiknya. Lalu berbisik, “Apa yang kau lihat? Apa yang kau lihat, Ange?” Angelie belum berkata-kata.
Tristan mengecup kening adiknya. Menunggu jawab.
Tangan kusut Angelie mengeratkan pelukan Tristan. Ia menggeser kepala dan menyandarkan tubuh pada Tristan. Nyaman.
“Aku melihat malaikat. Tersenyum padaku, Tristan. Aku tidak tahu dari mana ia datang. Gelak tawanya seperti memanggilku. Aku melihat keluar jendela. Rasanya seperti ia sedang menyapaku. Dan mata bulat hitam kecilnya….”
Tristan mendengarkan baik-baik.
“Dia tidak punya sayap di punggung. Dia mengenakan pakaian musim panas yang berwarna-warni. Dan skarf lucu yang menutupi seluruh kepala dan rambutnya.”
Tristan tidak mengerti.
“Ia lucu sekali. Pipinya tembam, seperti menyesak keluar dari balik skarf setiap saat ia tersenyum. Matanya, seperti yang kukatakan tadi, bulat dan hitam. Mungkin cokelat. Ah, sudahlah. Mata itu terlihat begitu polos dan bercahaya. Kau percaya?”
“Dia masih di tempatnya?” Tristan melongokkan kepala penasaran.
Angelie mengangkat bahu. “Sudah pergi. Dia mampir sebentar, menyapa, lalu pergi.”
Tristan belum sepenuhnya mengerti. Tapi ini hal yang baik untuk Angelie daripada hari-hari sebelumnya. Ia melirik jam di pergelangan tangan. Sepertinya sudah sangat terlambat untuk berangkat ke kantor. Dan Tristan memutuskan untuk tidak berangkat. Lebih baik ia menemani Angelie sehari ini. Gadis ringkih itu sedang mencoba menghirup kembali napas semangat untuk bertahan. Tristan tidak ingin terlewat sedikit pun.
Hidup.

MATAHARI pagi kembali bersinar cerah. Kelopak bunga yang mengangguk-angguk seakan ikut mengantarkan wangi kelopaknya. Dunia tersenyum.
“Ibu, es krim ya?” Dan sebuah tangan kecil menarik ujung pakaian seorang wanita yang dipanggil ibu.
Perempuan paruh baya itu berhenti berjalan. Ia menoleh dan menunggu. Matanya mengisyaratkan sesuatu.
Anak kecil itu diam sejenak lalu terkikik kecil. “Ya, ya, Ibuuu…. Tidak setelah dari rumah sakit. Kemoterapi. Mual dan muntah. Tidak bisa makan es krim.”
Perempuan itu membungkukkan badan, mengecup kening gadis kecil itu.
“Ibu, tahu tidak?”
“Hm, tidak?”
Anak itu menarik ibunya sampai di depan sebuah rumah kecil. Lalu berhenti di dekat pagar. Telunjuk kecil dan bulat pada tiap ruas-ruasnya jarinya menunjuk ke arah sebuah jendela. “Kemarin ada kakak yang sedang bersedih. Lalu aku tersenyum, Ibu. Juga melambaikan tangan!”
Perempuan itu turut menoleh. Benar. Seraut wajah sedikit tampak dari balik jendela. Ia tidak pernah memperhatikan sebelumnya.
“Tapi hari ini dia sudah tidak sesedih kemarin. Dia cantik, Ibu. Wajahnya bercahaya.”
Ibu anak mengangguk. “Pergi sekarang? Sebentar lagi bus kita datang.”
Anak kecil itu menghela napas. Untuk sekian detik, sebelum akhirnya kembali mengembangkan senyum. Ia melongokkan kepala mencari seraut wajah di balik jendela. Lalu ia melambaikan tangan kecilnya sebelum berlalu menuju halte bus.
“Pagi, Nyonya,” Tristan yang baru saja turun dari mobil berpapasan dengan ibu dan anak itu di trotoar.
“Pagi, Paak!” gadis itu berteriak sambil terus mengembangkan senyum lebar. Ia sangat suka menyapa orang dewasa dengan senyum dan tawa. Rasanya menyenangkan!
Ibu gadis kecil itu menganggukkan kepala sebelum berlalu berdua.
Tristan berhenti di depan pagar rumah. Ia menoleh dan memperhatikan dua orang itu. Skarf warna-warni? (*)

Source : http://lakonhidup.wordpress.com
Cerpen Rama Dira (Suara Merdeka, 27 Maret 2011)



DI pengujung petang itu, lidah-lidah api jingga berkeretap liar, memangsa cepat sejengkal demi sejengkal badan kapal dongfeng berbahan kayu milik Hosni Mubaroq. Dari kejauhan, orang-orang pulau yang bergegas mendekat belum bisa memastikan apakah juragan ikan itu ada dalam dongfeng yang tengah sandar di dermaga itu.
Hanya Hanafi yang mengetahui keberadaan Hosni Mubaroq di sana sebab dialah yang melemparkan dua botol bensin yang sudah tersulut sumbunya ke geladak kapal dongfeng itu, setelah ia melihat Hosni Mubaroq bergegas masuk ke sana, sehabis membeli sekantung makanan ringan dan sebotol topi miring dari warung kelontong Koh Jun sebagai kebiasaan yang selalu ia lakukan sehabis memborong ikan dari para nelayan, sebelum membawa ikan-ikan itu menyeberang ke kota.
Hanafi yakin, tak ada lagi celah bagi Hosni Mubaroq untuk selamat. Dalam bayangannya, Hosni Mubaroq sudah tamat, mungkin hanya tersisa abu kini. Hanafi menyeringai bangga. Ia puas telah menuntaskan misinya. Ia telah melenyapkan lelaki yang sudah berani mengganggu cinta murni Mak yang baru dua tahun ini ditinggal pergi Pak Hanafi, yang hilang setelah tergulung ombak lima meter di lautan lepas.
Bocah Hanafi tidak pernah menyalahkan Mak. Ia selalu yakin, jika Hosni Mubaroq yang telah beristri empat itu tak datang menggoda, Mak tak akan berani menistakan diri, mengkhianati cinta sehidup semati dengan Pak Hanafi. Hal yang semakin menguatkan keyakinan Hanafi untuk tak pernah menyalahkan Mak adalah kenyataan betapa berbagai cara telah dilakukan Hosni Mubaroq demi menundukkan hati dan cinta Mak Hanafi, termasuk mendatangi Mbah Juling, dukun yang terkenal dengan ilmu-ilmu hitam, terutama yang berkaitan dengan permasalahan kegagalan cinta.
Sebenarnya, tragedi pembakaran ini adalah puncak dari semuanya. Adalah sebuah kunjungan mencurigakan yang menjadi awal mula. Tak seperti biasa, di pengujung petang pada hari itu, Hosni Mubaroq, tidak langsung membawa dongfeng menyeberang ke kota. Dari dermaga, ia datang bertamu ke rumah Mak Hanafi. Tentu bukan pemandangan biasa itu. Meski sejak kedatangan pertama itu Hanafi sudah mengetahui ada gelagat tidak baik yang ditunjukkan oleh Hosni Mubaroq, Mak justru tidak memunculkan pikiran curiga.
Baru pada kunjungan kedua kali, Mak Hanafi mulai menaruh curiga setelah mengetahui Hosni Mubaroq datang tidak dengan tangan yang hampa. Ia membawa sekarung beras lima kilo, sebungkus gula, dan sebungkus kopi, serta selembar baju Sanghai bermotif bunga-bunga cantik. Sebagai janda beranak satu yang rentan menjadi gunjingan orang pulau, Mak Hanafi dengan tegas menolak pemberian itu hingga pemberian-pemberian selanjutnya yang semakin hari semakin mewah saja, sampai-sampai amarah Mak Hanafi memuncak hingga berujung pada pengusiran dengan sebilah golok di tangan. Betapa girang Hanafi melihat Hosni Mubaroq lari terbirit-birit. Ia pun bangga memiliki seorang Mak yang berprinsip teguh, sanggup mempertahankan cinta hanya pada seorang lelaki, dan menutup rapat-rapat kemungkinan celah yang bisa dimasuki laki-laki lain, meski dengan cara yang termasuk berlebihan sekalipun, dalam hitung-hitungan jika itu dilakukan oleh seorang perempuan.
Namun, sebuah kunjungan paling mencurigakan pada suatu petang yang lain, ditanggapi dengan begitu berbeda oleh Mak Hanafi. Dengan jelas, bocah Hanafi bisa melihat, Mak sama sekali tak merasa terganggu mengetahui Hosni Mubaroq yang ada di depan pintu. Dengan senyuman paling aneh yang pernah terpampang di wajahnya, Mak Hanafi mempersilakan lelaki itu masuk dan membuatkan segelas kopi manis serta menerima dengan suka cita semua oleh-oleh yang diberikan oleh Hosni Mubaroq untuknya.
Melihat kejadian paling aneh itu, Hanafi tak bisa berpikir jernih. Ia tidak segera bisa menemukan alasan masuk akal mengapa Mak berubah suka pada Hosni Mubaroq setelah sebelumnya berhasrat membunuh lelaki yang berencana ingin mengusik kemurnian cinta itu.
Terhitung lama, Hanafi mencoba menemukan sebab, mengapa Mak semakin lengket saja dengan Hosni Mubaroq. Sampai pada suatu pagi, bermaksud meminta sangu jajan untuk di sekolahan, bocah Hanafi justru menemukan Hosni Mubaroq dan Mak masih tertidur pulas dalam satu selimut di atas ranjang. Hatinya hancur melihat pemandangan menyakitkan itu. Hari itulah bocah Hanafi memutuskan berhenti sekolah. Menanggapi itu, Mak tak ambil pusing. Ini pula yang membuat Hanafi semakin tersiksa.
Tak berselang lama, Hanafi mendapatkan jawaban atas keanehan-keanehan yang menimpa Mak akhir-akhir ini. Melalui desas desus penuh aroma dan warna, Hanafi mendengar cerita mengenai adanya sihir cinta yang dikirim Hosni Mubaroq melalui jasa Mbah Juling. Karena tak begitu yakin dengan kebenaran desas desus itu, Hanafi menemui Mbah Juling dan segera menemukan kebenaran dari mulutnya bahwa memang Hosni Mubaroq telah meminta jasanya untuk menundukkan hati dan cinta Mak Hanafi. Detik itulah Hanafi tahu semata, bahwa seorang laki-laki telah merusak Mak. Sebagai pengganti bapaknya yang sudah tiada, Hanafi merasa wajib menyelamatkan Mak dari cengkeraman lelaki iblis itu. Mulailah ia dalam petualangan mencari cara untuk membuat Hosni Mubaroq tak lagi ada di sekitar mereka.
Mula-mula, ia selalu mengajak empat orang teman sepermainan dalam melakukan aksi-aksi jahil dengan misi membuat jera Hosni Mubaroq. Kali pertama, mereka segera mempersiapkan ketapel sebagai senjata andalan ketika melihat Hosni Mubaroq sudah mendekati kediaman mereka. Dari balik belukar bambu, masing-masing mereka membidikkan biji-biji rambutan sebagai peluru. Dalam sekali tarikan lewat aba-aba Hanafi, meluncurlah lima biji rambutan yang langsung saja mengenai badan tambun milik Hosni Mubaroq. Hosni Mubaroq tentu kesakitan. Karena serangan biji-biji rambutan itu tak henti-henti, ia tak jadi memastikan siapa yang berada di belukar bambu, yang usil mengarahkan biji-biji rambutan itu. Ia memutuskan untuk lari terbirit-birit, segera kembali ke kapal dongfeng. Tak bisa tidak, Hanafi dan kawan-kawan girang seketika itu juga, terbuai dalam aroma kemenangan, telah berhasil mengusir Hosni Mubaroq.
Aksi itu terus mereka lakukan selama beberapa hari kemudian, namun di beberapa hari lanjutannya, sepertinya Hosni Mubaroq sudah kebal dengan serangan biji-biji rambutan. Ia tetap melintas di jalan setapak depan belukar bambu itu hingga mencapai kediaman Mak Hanafi meski serangan biji rambutan terus bertubi-tubi. Rupanya, ia lari terbiritbirit kembali ke dongfeng pada hari pertama hanyalah sebagai pengaruh keterkejutan semata.
Selanjutnya, karena biji rambutan seperti tak lagi mempan, Hanafi dan kawan-kawannya memutuskan untuk mengganti peluru mereka dengan kerikil-kerikil tajam pada hari lain. Ketika sebuah kerikil tajam membuat bocor jidat Hosni Mubaroq dan menyebabkan darah mengucur deras keluar dari situ, Hosni Mubaroq tak lagi bisa menahan. Ia berlari geram menuju belukar bambu, bermaksud menangkap siapa yang melakukan aksi brutal itu. Bocah-bocah itu berlari berhamburan dan dalam hitungan tak berapa lama, Hosni Mubaroq bisa meraih salah satu dari mereka. Tak disangka, itu adalah Hanafi. Dan Hosni Mubaroq bukannya tidak tahu siapa dia. Kemuliaan sikapnya dengan tidak menyalahkan Hanafi, melepaskannya pergi dan tidak melaporkan aksi itu kepada Mak Hanafi adalah taktik setan belaka. Tentu Hanafi tahu, itu dimaksudkan Hosni Mubaroq tidak lain dan tidak bukan supaya Hanafi luluh hatinya dan mau mengaggap Hosni Mubaroq layak sebagai pengganti ayahnya. Tapi, tetap saja, semua itu tak ada pengaruhnya pada bocah Hanafi. Hanafi abadi dalam kebencian pada Hosni Mubaroq dan tak akan berhenti menemukan cara bagaimana mengusirnya.
Dalam rangkaian kunjungan pada hari yang lain, Hosni Mubaroq tak datang waktu petang. Namun, ia datang kala malam, usai mengantarkan ikan ke seberang. Pada malam yang bergerimis itu, Hanafi dan kawan-kawannya telah mempersiapkan aksi yang lain untuk mengganggu Hosni Mubaroq. Mereka menyiapkan selembar kain putih panjang dan memberinya kerangka ranting sehingga jika dipampang di atas pohon akan terlihat sebagai sosok hantu putih, jenis hantu yang paling ditakuti di pulau nelayan itu. Sebagaimana yang mereka harapkan, ketika melihat itu, Hosni Mubaroq yang berjalan seorang diri menuju ke rumah Mak Hanafi memang ketakutan setengah mati. Ia langsung berlari sambil berteriak meski teriakannya tak didengar oleh siapa pun, karena pulau nelayan memang sedang sunyi, karena kaum lelakinya sedang melaut pada musim banyak ikan. Sesuatu yang kemudian menimpa Hosni Mubaroq itu memang memberikan sensasi kesenangan pada Hanafi dan kawan-kawan. Namun, mereka tak pernah mengira yang terjadi kemudian, yakni ketika Hosni Mubaroq datang kembali ke lokasi tergantungnya sosok hantu putih buatan. Kali ini Hosni Mubaroq berlindung di belakang Mak Hanafi. Mengira-ngira kalau itu pasti ulah jahil si bocah Hanafi, Mak Hanafi percaya utuh bahwa apa yang dilakukan oleh anaknya pada Hosni Mubaroq sampai saat itu, tak lagi bisa ditoleransi. Mak Hanafi pun murka dan meneriaki Hanafi yang tetap bersembunyi di dalam belukar bersama kawan-kawan.
Teriakan Mak memang sangat menyakitkan. Ia katakan bahwa ia tahu semua itu adalah ulah Hanafi. Ia juga mengatakan apa pun dan bagaimana pun upaya yang dilakukan oleh Hanafi untuk menghalangi, dia dan Hosni Mubaroq akan tetap menjalin hubungan cinta suka sama suka, sehidup semati. Ia pun menegaskan, demi mempertahankan Hosni Mubaroq, ia rela kehilangan Hanafi sebagai anaknya.
Bocah Hanafi tak mampu membendung tumpahan air matanya mendengar itu. Sepeninggalan Mak dan Hosni Mubaroq serta kawan-kawan yang tak sanggup menenangkan, Hanafi tetap tinggal di dalam belukar, sehari semalam hingga petang pada hari berikutnya, dilanda kegalauan, kesedihan yang bercampur kegetiran. Meski demikian, otaknya terus berjalan menemukan cara untuk mengakhiri semua kerusakan yang telah menghampiri kehidupanya bersama Mak. Dalam hatinya, ia pun yakin, ayahnya yang sudah berada jauh entah di mana juga mendukung upaya terakhir sebagai pemungkas misinya menyelamatkan Mak dari cengkeraman Hosni Mubaroq.
Petang itu juga ia bergegas membawa dua botol bensin dan sekotak korek api. Dua botol bensin itu ia berikan sumbat dari kain dan ia langsung melangkah mantap menuju dermaga.
Setiba di dermaga, ia tidak langsung menuju ke dongfeng Hosni Mubaroq sebab lelaki itu belum terlihat ada di dalam dongfeng miliknya. Sejenak kemudian barulah matanya menangkap lelaki itu datang, tampaknya sehabis berbelanja dari warung kelontong Koh Jun dengan membawa sekantong makanan dan sebotol topi miring. Setelah yakin Hosni Mubaroq sudah masuk dalam dongfeng-nya, dan memastikan tak ada orang lain di dermaga petang itu, Hanafi langsung mendekat dan melemparkan dua botol bensin yang sudah disulutnya itu.
Blep!!! Api langsung menjalar melahap dongfeng itu. Api semakin mejadi-jadi sebab ada begitu banyak angin. Sehabis itu, Hanafi langsung berlari lagi, masuk ke dalam belukar, memperhatikan dari kejauhan.
Tak ada reaksi sama sekali dari dalam kapal. Itu membuatnya senang. Hosni Mubaroq pasti tak lagi berdaya dan dengan begitu, misinya menyelamatkan Mak sudah berhasil ia rampungkan. Beberapa lama setelah itu, barulah ia melihat orang-orang pulau mulai berdatangan panik, melakukan cara apa pun demi mengakhiri amukan api yang menggila pada dongfeng Hosni Mubaroq. Hanafi bergegas pergi dengan maksud mengaburkan keberadaannya di sana.
Ia terus berlari, tak sabar untuk segera mendapati Mak sebab tiba-tiba saja ia merasakan rindu yang teramat pada perempuan itu. (*)

Source  : http://lakonhidup.wordpress.com
[ Cerpen Deteksi Jawa Pos, Senin, 21 Juli 2008 ]
Oleh Retno Wi

Brakk!!…

Pintu terbuka dengan keras. Sepi. Tak ada siapa-siapa di dalam. Pasti, sebab, penghuni lain sibuk dengan aktivitas di tempat kerja masing-masing. Termasuk dia, kalau saja dia tidak teringat satu hal. Sungguh dia menyesal kenapa tidak menuruti nasihat orang-orang di sekitarnya. Ah, seandainya aku memasang alarm di ponselku. Seandainya aku menuliskan di papan. Seandainya aku…

Oh, mengapa aku mesti menjadi orang pelupa? Bukankah aku masih muda? Apa memang memori otakku terbatas? Aku ingat, otak punya memori yang sangat besar. Setidaknya, aku masih ingat beberapa hal yang aku lakukan di waktu kecil. Artinya, aku masih mampu merekam dengan baik kejadian 15 tahun lalu. Bukankah itu hebat. Tapi, mengapa aku lupa dengan semua tugas yang baru diberikan seminggu lalu? Orang bilang semua itu karena keteledoranku. Benarkah aku teledor?

Brak!!…

Nasib pintu kamar pun tak berbeda dengan pintu ruang depan. Terbuka dengan dorongan keras dan kasar, membuyarkan dialog yang berlangsung antara otak dan hatinya. Dengan napas memburu, tangannya mengobrak-abrik meja kayu penuh tumpukan kertas dan buku. Dia tak peduli dengan buku dan kertas yang barjatuhan akibat ulah kasarnya. Sesekali, matanya melirik jam di dinding kamar. Detik-detiknya terus berjalan, berputar mendorong menit demi menit terlewati. Detak jantungnya seolah ingin mengejar setiap detik yang terlewat cepat. Setiap detik yang selalu menambahkan butiran keringat di dahinya.

“Ah…! Akhirnya ketemu juga.” Desisnya sedikit lega. Sedikit, sebab, waktu yang dimiliki tidak banyak. Disekanya keringat yang semakin berkilat di kening untuk mengurangi kegugupan yang terlalu lama menemani. Dipandanginya tulisan di kertas yang sedang dipegangnya. Terbayang di kertas itu seorang dosen killer berkumis lebat dengan sorot mata tajam ingin menelannya bulat-bulat. Siapa yang mau berurusan dengan dia lagi? Mengumpulkan tugas tepat waktu saja masih mendapat omelan dan sanksi kalau penulisannya tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi kalau telat mengumpulkan? Dan, aku? Dani mencoba mengingat-ingat. Selalu telat mengumpulkan tugas. Alasannya pun bisa ditebak oleh semua orang. LUPA!

“Oh, Tuhan!” dia menepuk jidat dengan keras. Dia segera tersadar dengan masalah yang menerornya. “Bukankah semua jawaban ini ada di buku Statistika. Dan, bukuku… di mana bukuku??”

Dia empaskan pantatnya di kasur. Kedua tangan pucat itu meremas-remas rambutnya dengan kuat. “Sialan si Roni!” kutuknya kesal. Dengan gusar dia menekan keypad ponsel. Mulutnya mengerucut, dahinya berkerut. Mendengarkan nada ponsel yang hanya berbunyi tut..tut…, Dicobanya sekali lagi.

Tuu…ut. Tuu..ut. Tuu..ut. “Halo!? Eh, Dani. Ke mana pula kau, kok nggak nongol di kampus? Kita lagi…” Tak sempat suara di sebrang meneruskan kalimatnya.

“Heh! Mana buku statistiknya! Pinjem buku jangan ngawur dong! Masak yang punya belum ngerjain tugas, masih belom dibalikin. Aku tunggu di rumah sekarang! Bawa buku statistik itu!”

“Hei..! Hei..! Kapan pula aku pinjam bukumu, hah?! Melihatnya pun aku tak pernah!”

“Kapan kau bilang? Siapa yang merengek-rengek minggu lalu setelah kuliah statistik berakhir? Siapa? Emang kucing?!”

“Benar-benar payah kau Dan! Rupanya, kau semakin tua hingga penyakit lupamu kian parah. Ingat-ingatlah yang bener! Atau, jangan-jangan sudah saatnya kau masuk RSJ, biar sembuh. Ha ha ha… !” Klik! Sambungan diputus.

Dani memandingi ponselnya kesal. Dipencetnya sekali lagi nomor Roni.

Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang… Klik! Ponsel terlempar di atas bantal. Dia rebahkan badannya. Hatinya melemparkan ratusan kutukan untuk Roni. Dani duduk di tepi dipan. Menatap meja belajarnya yang tak pernah rapi. Kertas-kertas berserakan memenuhi meja. Buku-buku tak lagi berdiri tegak karena buku di bagian tengah deretan diambil Dani. Dia pun membiarkan buku-buku di sebelahnya ambruk. Sebagian buku itu tampak hampir tidur tertumpuk buku lain di sebelah kirinya. Pasti buku yang seharusnya mengisi dan menyangga buku di sebelah kiri sangat tebal. Oh! Bukankah buku paling tebal miliknya hanya satu! Ya, hanya satu! Dan….

Aha…! Aku ingat sekarang. Aku baru mengambilnya dua hari lalu. Yaitu, ketika akan mengerjakan tugas, namun gagal karena diminta Ayah untuk menemani ibu belanja. Lalu… Lalu… Aaahh! Kepalan tangannya meninju telapak tangan kiri dengan gemas.

Dani mencoba mengingat siluet kejadian demi kejadian. Buntu! Dia lupa di mana meletakkan buku statistiknya. Kembali dia menatap jam dinding. Tak ada pilihan. Aku harus mengerjakannya sekarang meski tanpa buku statistik itu.

Dengan gontai dia menuju meja belajar. Sedikit malas, tangannya mengumpulkan kertas yang memenuhi meja. Kertas-kertas terkumpul dan dipindahkan ke lantai pojok kamar. Dipandanginya meja yang kini bebas dari kertas. Ada perasaan nyaman. Namun, ada sesuatu yang dirasa masih kurang. Yah, mejanya belum bersih benar. Ada beberapa kertas yang terjepit antara tepi meja dengan dinding. Dani mencoba menarik beberapa kertas. Tapi, terasa sangat sulit. Dani menarik meja agar menjauh dari tembok.

Brak!!.. Sebuah benda terjatuh dengan berat. Kepala Dani melongok ke bawah meja. “Yess!!.. akhirnya kutemukan buruanku.”

****

Suasana kampus agak lengang dari biasanya. Begitu juga kantin. Dani menyeruput juice avokad yang menjadi kesukaan. Tak banyak anak berkeliaran. Ditatapnya jam yang tergantung di dinding kantin. Masih ada seperempat jam untuk menyegarkan hari dengan segelas juice dan semilir angin yang menerobos kantin pelan-pelan.

“Di sini rupanya kau, Dan.” Sebuah tepukan keras dirasakan pundak kanan Dani. Sebenarnya tanpa menoleh pun, Dani tahu siapa yang sedang berbicara. Siapa tak kenal logat batak yang medok itu?

“Lo sendiri?”

“Bah! Aku? Tentulah aku mau pulang. Buat apa panas-panas begini berlama-lama di kampus?”

Mulut Dani melepas sedotannya perlahan.

“Pulang?”

Laki- laki di depannya mengangguk mantap.

“Trus, tugas statitiskmu?”

“Tugas statistik?” Roni berpikir sejenak. Tak lama kemudian, meledaklah tawanya.

“Ha…ha…haaa…” Buru-buru mulutnya bungkam ketika beberapa pasang mata menatapnya. Atau, lebih tepat melotot ke arahnya.

“Dan…Dan… tahulah aku sekarang kenapa tak masuk kuliah kau tadi. Itu juga yang membuatmu marah-marah padaku, kan?” Roni mendekatkan wajahnya yang penuh jerawat batu ke wajah Dani. Kemudian, punggung tangannya ditempelkan ke kening Dani.

“Hmm… Rupanya, kau benar-benar harus ke RSJ,” ucapnya pelan. “Ingatanmu semakin payah.”

“Eh, apa-apaan lo? Aku bicara soal statistik, bukan masalah penyakit lupaku! Dasar bloon!”

“Ya, ya. Kau tunggu saja sampai mabok, takkan pernah Pak Naryo datang menemuimu.”

“Maksudnya?”

“Karena memang tugas statistik itu baru dikumpulkan minggu depan. Karena hari ini Pak Naryo masih di luar negeri. Bukankah itu yang disampaikan sebelum kuliah statistik berakhir minggu lalu. Begitu mudahnya kau melupakan itu teman?”

“Jadi?”

“Jadi, sebaiknya pergilah kau segera ke dokter jiwa. Ha…haa.. ha..”

Roni pun berlalu meninggalkan Dani bersama juice avokadnya.

Source: http://istanacerpen.co.cc


"Kamu tak juga mau mengerti, Nes?"
"Bukan itu maksudku."
"Lantas apa?"
"Aku juga keberatan kalau kamu mesti pergi-pergi terus; Bandung, Surabaya, Bali... sementara kamu biarkan hari-hariku sepi."
"Nes, Nes...." Kugeleng-gelengkan kepala. Rasa penatku belum pulih betul setelah seharian memburu beberapa pemulung untuk diwawancarai perihal keterlibatan mereka dalam dunia yang penuh caci-maki yang seringkali dilontarkan khalayak; tentang kecerobohannya!
Ini memang tugasku sebagai wartawan freelance di seubuah suratkabar ibukota. Sengaja aku tadi menyempatkan menjemputmu sepulang sekolah. Biasanya tidak begitu. Tapi, karena ada sesuatu hal yang harus kusampaikan padamu, Nesia - pacarku setahun ini, mau tak mau aku menjemputmu; seperti kebiasaanku kalau ada perlu yang mendadak.
Hari ini pun begitu. Tadi, sebelum berangkat memburu beberapa pemulung, seniorku menugaskan aku lagi untuk mengupas obyek wisata Lombok. Aku sendiri senang menerima tugas itu. Bukan karena aku akan senang-senang melewati Bali, atau menikmati beberapa obyek wisata dengan gratis. Tapi, karena aku mencintai pekerjaan itu. Dan dengan segenap sukacita, kukabarkan padamu dalam bis kota sepulang sekolah.
"Kamu bilang, kamu senang melihat aku maju. Maksudmu, maju yang bagaimana?"
Kamu memberengut. "Tapi tidak harus dengan pergi-pergi begitu!"
"Nes!" Kutekan suaraku. "Itu resiko, sebagai tugas dan tanggungjawabku. Kamu ngerti, kan?"
"Aku capek kalau mesti menunggumu terus-menerus!" dengusmu, tak peduli.
Aku terperanjat. "Jadi kamu tak mendukung tugasku kali ini?"
Kamu membisu, menatapku dengan bibir terkatup.
***
Pertama mengenalmu, aku serasa dibuai angan yang begitu kuat hinggap di kepalaku. Betapa tidak? Kamu yang baru duduk di kelas tiga SMP, begitu penuh perhatian padaku. Mulanya memang tak sengaja aku main ke rumahmu yang terpaut lima rumah dari tempat kosku. Aku dan kamu sudah lama saling mengenal. Tepatnya, semenjak aku duduk di semester pertama sebuah perguruan tinggi.
Berawal dari hobi menulis cerpen di majalah-majalah remaja, aku bisa menunjukkan hasil karyaku padamu. Secara kebetulan, kamu rupanya penggemar berat cerpen-cerpenku. Terbukti di kamarmu, setiap majalah edisi terbaru di mana tulisanku dimuat, kamu selalu dengan setia membelinya.
"Bagus tuh, ceritanya," komentarmu pada salah satu cerpen terbaruku.
"Yang mana?"
"Biarkan Bunga Itu."
"O."
Aku tentu saja senang diperhatikan begitu. Paling tidak, aku telah memiliki seorang penggemar hasil karyaku. Itu jugalah yang membuatku bersemangat membuat cerpen-cerpen yang lebih menarik.
Sementara, di tengah giat-giatnya membuat beberapa cerpen dalam satu bulan, aku terkena kritik olehmu ketika malam itu main ke rumahmu.
"Kok jadi asal-asalan membuat cerpennya?"
"Maksudmu?"
"Cerpenmu yang baru tuh, endingnya klise. Nggak menarik seperti cerpen-cerpen yang terdahulu!"
"Yang mana?"
"Indahnya Sepi."
"O."
Aku menelan ludah, pahit. Ini kenyataan yang harus kuhadapi, pikirku. Ini kritik membangun. Kemudian aku larut dalam diskusi kecil denganmu. Ternyata kamu enak juga diajak bicara. Pengetahuanmu tentang nilai sastra, kendati teramat minim, tapi mantap. Aku tiba-tiba larut dalam diskusi kecil malam itu.
Dan selanjutnya aku benar-benar membutuhkan teman bicara sepertimu. Di kampus, teman-temanku tak ada yang berminat pada masalah sastra; dunia tulis-menulis yang bagiku sudah menjadi sedikit bagian dari hidupku. Tapi ketika tiba di kamar kos, dan sore atau malamnya aku datang ke rumahmu sambil kadang mengajarimu tata bahasa atau memberimu jalan cara-cara men-translate yang baik - aku menemukan kembali duniaku.
Dari rutinas itu, entah siapa yang memulai menebarkan pesona, menebarkan benih-benih cinta di dada, di hati dan di setiap detak langkah kita. Tahu-tahu aku menyadari, tanpamu satu malam saja tak berbincang, kamarku jadi senyap. Aku merasa sepi seorang diri; tanpa senyummu, tanpa cubitan manjamu, tanpa gelak tawamu yang seringkali terdengar syahdu. Aku, tahu-tahu telah jatuh dan terjerembap ke alam lain yang menawarkan geletar rindu.
Aku jatuh cinta padamu! Wahai, bergeletar jugakah buluh-buluh darah di tubuhmu kala kamu dekat di sisiku?
"Ke mana saja sih, Kak? Kok nggak pernah kelihatan?" semburmu saat tiba-tiba aku datang ke rumahmu setelah seminggu tak muncul.
"Sibuk."
"Kerja, ya?"
"Ya. Daripada seusai kuliah nganggur di rumah, kan lebih baik cari kesibukan."
"Bagus begitu. Kan kreatif namanya."
Tepat setelah percakapan malam itu, esok paginya, ketika aku berangkat kuliah dan kamu ke sekolah, kamu memberiku sepucuk surat. Isinya singkat saja:
Kak Ton, aku kagum padamu.
Nesia.
***
"Besok aku berangkat, Nes!"
"Tetap dengan tugasmu?"
Aku mengangguk. "Aku telah terlanjur mencintai pekerjaanku, Nes. Aku ingin maju!"
"Jadi kamu lebih mementingkan Lombok daripada aku? Sejak kapan Lombok lebih menarik dibanding aku?"
"Nes!"
"Pergilah, Kak Ton. Biarkan aku sendiri. Bukankah Kak Ton juga pergi sendiri?"
Aku terhenyak. Begitu tiba-tiba kamu berkata begitu. Selama ini kamu belum pernah melarangku pergi ke tempat-tempat wisata untuk mengupas wisata itu; Surabaya, Bandung, bahkan empat bulan lalu Bali pun telah aku jadikan kenangan-kenangan yang terindah dalam sejarah hidupku. Aku benar-benar terpukau oleh pesona alamnya.
Tapi menjelang keberangkatanku ke Pulau Lombok, di mana aku ditugaskan untuk mengupas pulau wisata yang masih 'perawan' itu, tiba-tiba kamu tak mendukungku sedikit pun!
"Okelah, Nes, kalau begitu. Aku pikir ada perbedaan yang mendasar dalam hal ini. Aku akan tetap menjalankan tugas, dan berangkat besok."
Kamu diam saja, memberengut.
"Aku permisi dulu, Nes."
***
Menyusuri tepian Pantai Gili Aer di senja yang cerah, ditingkahi semilir angin pantai, tiba-tiba kesedihan mengalir di anganku. Barangkali karena aku berjalan seorang diri dalam suasana yang begitu cerah dan indah ini. Lihat saja, matahari merah saga di ujung barat sana. Burung-burung berterbangan; menyambar-nyambar ombak, buih-buih, dan akhirnya melayang ke atas lagi.
Aku jadi larut memikirkanmu, Nes. Padahal sebelumnya ketika aku ke Surabaya, Bandung, dan Bali untuk tujuan serupa - sebelum kamu melontarkan ketidaksetujuanmu, aku tak pernah merasa resah begitu. Setidaknya, aku merasa percaya bahwa kamu, Nes, adalah gadis satu-satunya yang mengerti diriku, profesiku, dan segala yang menyangkut kegiatanku.
Tapi, barangkali pengertian memang tak selamanya berpihak padamu. Aku tahu, gadis seusiamu memiliki kecenderungan emosi yang lebih sarat daripada kendali. Mulanya aku tak pernah menemukan sosok kamu yang begitu. Namun pada akhirnya, seperti yang kuduga sebelumnya, sosok kamu yang sesungguhnya akhirnya kamu tampakkan juga. Aku pikir, ketika kamu mengizinkan aku pergi-pergi dulu, barangkali hanya sebagai rasa pengertian dan basa-basimu belaka. Karena setiap kali kamu bilang 'ya' ketika itu, matamu bicara lain.
Kuhabiskan senja itu dengan hati tak menentu. Ini hari kesepuluh aku menyusuri jejak Pulau Lombok. Sudah hampir semua obyek wisata budaya di sini aku kupas habis. Dari desa Bayan yang masih dengan kuatnya mempertahankan tradisi Sasak masa lalu, sampai keramatnya Pura Lingsar, tempat orang Islam dan penganut Hindu bersembahyang bersama saat Waktu Telu. Hampir semua keragaman budaya Lombok telah kurekam baik-baik dalam ingatan, tulisan dan gambar.
Rasanya tak ingin kutinggalkan Lombok andai aku bersamamu atau setidaknya dengan kesetiaanmu menungguku di rumah. Karena masih ada satu lagi yang belum kutuntaskan; Gunung Rinjani dengan segala pesonanya, dengan Segara Anak-nya yang menempel di dinding Rinjadi pada ketinggian 2400 meter dari permukaan laut. Ah, Nes....
Andai saja kamu mendukungku, atau sedikitnya menyulut api semangatku seperti yang sudah-sudah - kendati barangkali terpaksa, aku pasti akan merangkak tebing Rinjani dengan segenap kemahiran climbing-ku. Tapi perjalananku kali ini tak ubahnya melarikan kekecewaan yang kamu torehkan padaku; dengan hanya tak memberiku dorongan.
Aku jadi tak mengerti kenapa tiba-tiba begitu. Rasanya tak usah kamu sangsikan perihal kesungguhanku padamu, sayangku padamu. Tak usah! Aku cukup mengerti tentang diriku, yang semuanya telah kubeberkan juga padamu sejak mula dulu.
Tapi kalau sudah begini, aku sendiri merasa goyah. Semacam ada kesangsian yang membuatku harus berpikir dua kali. Bagaimana mungkin; sementara aku tengah berjibaku dengan profesi, tiba-tiba saja kamu tak memberiku dorongan. Apalagi kalau aku mesti pergi jauh setiap hari?
Aku termenung sendiri. Ingin sekali kutuntaskan masalah kecil yang membuatku goyah seperti ini.
Sementara senja makin temaram. Ah, esok pagi akan kutinggalkan Lombok dengan seribu harapan....
***
Baru saja kubuka pintu kamar kos, kulihat sepucuk surat tergeletak di lantai. Aku tahu, kertas segi empat itu telah melewati kaca nako. Lantas kurobek amplopnya, setelah sebelumnya kuletakkan tas ini di atas velbed.

Kak Ton,
Rasanya Nes nggak bisa terus-menerus begini. Selama ini memang Nes akui, Nes bisa melepas Kak Ton dengan rela - walau kerelaan Nes nggak utuh. Bagaimanapun, Nes tak ingin kalau perhatian Kak Ton jadi berkurang karena tugas-tugas itu. Kalau Kak Ton tahu, betapa Nes sering menangisi kepergian Kak Ton....
Kalau Kak Ton tahu Nes sering mengutuki diri karena kecengangan itu....
Yah, betapa pun Nes sadari, Nes adalah sekian banyak dari Nes-Nes yang merindukan kekasihnya menemani hari libur, pergi nonton, ke ultah teman, atau paling tidak, sebulan sekali menikmati Sabtu malam yang indah....


Kusudahi saja membaca surat itu. Tiba-tiba kusadari betapa jahatnya aku! Selama ini, tepatnya hampir selama setengah tahun terakhir ini setelah aku menjadi wartawan freelance, tak pernah sekali pun kita nikmati suasana yang begitu kamu dambakan. Paling kita hanya ngobrol-ngobrol sebentar. Setelah itu aku sibuk dengan laporan-laporan yang membuat pegal pinggang dan tangan. Ah, alangkah jahatnya aku! Aku terlalu larut dalam kesibukanku. Dan hafal betul karena kamu jadi korban kesibukanku!
Masih dengan keletihan yang sangat, aku menghambur ke rumahmu yang berjarak seratus meter lebih. Ibumu yang membukakan pintu untukku. Aku duduk, setelah ibumu mempersilakan.
"Nesia pergi nonton," kata ibumu ketika aku menayakanmu.
"Dengan siapa?" selaku tak sabar.
"Katanya sih teman sekolahnya."
"Teman cewek, maksud Ibu?"
Perempuan itu menggeleng. "Teman cowok."
Aku terdiam. Tiba-tiba dadaku serasa bergemuruh.
***
"Namanya Andi."
"Teman sekelas?"
Kamu menggeleng. "Kelasnya di sebelah kelasku."
Aku mengangkat bahu. Dengan hati-hati, kutanyakan lagi tentang cowok yang bernama Andi itu; pelan-pelan agar tak terdengar oleh penumpang di belakangku.
"Kamu mencintainya?" tatapku kemudian.
"Aku belum bisa mengatakannya sekarang," gelengmu. "Yang pasti, Andi begitu penuh perhatian padaku," ujarmu, tuntas. Tak ada beban dalam nada suaramu.
Mulanya aku terkejut juga mendengar kamu bicara begitu. Malah aku nyaris tak percaya kamu bisa mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tak kuduga sebelumya. Kamu masih emosional, kamu yang baru duduk di kelas satu SMA kemarin....
Ah, tapi siapa duga gadis sepertimu bisa berterus-terang begitu? Atau barangkali karena kamu terlalu sering kukecewakan belakangan ini, sehingga kami bisa berbicara sesantai itu? Padahal bagiku itu bukanlah masalah sepele. Ya, bukan masalah kecil yang bisa terlupakan dalam beberapa hari.
Aku benar-benar tak menduga. Semalam aku berpikir keras untuk menghilangkan kecemburuanku pada Andi. Aku hampir saja berhasil, andai saja siang ini seusai sekolah, di bis kota, kamu tak berbicara tentang simpatimu pada Andi. Andi yang penuh penuh perhatian. Dan rasanya sulit kamu pungkiri dan sembunyikan, bahwa kamu mencintai cowok itu. Barangkali antara kamu dan Andi telah ada benang biru yang terajut sebelum kamu melontarkan ketidaksetujuanmu memberiku dorongan untuk mengupas obyek wisata Lombok.
"Oke, Kak Ton," ucapmu tiba-tiba. "Aku turun di sini. Kak Ton terus saja. Aku akan menjenguk Andi."
"Sakit?"
"Hm...."
Ketika kamu turun dari bis kota, kurasakan hatiku kosong. Aku tak pernah membayangkan, bagaimana peristiwa seperti ini terjadi begitu tiba-tiba. Bagaimana mungkin benang biru yang telah kurajut denganmu selama setahun lebih begitu saja terputuskan? Aku terpaku, tertunduk diam.
Tapi, barangkali itu jalan yang terbaik untukmu, pikirku setelah tiga hari tiga malam akrab dengan keterpakuan. Belakangan aku juga menemukan jawaban pasti: itu juga lebih baik untukku. Sebelum aku jauh melangkah denganmu, dengan kesentimentilanmu yang kupikir menghambat laju profesiku. ©

Source: http://www.cafenovel.com

BIODATA PENULIS
Noerdin Es. Er., lahir di Bumiayu, Jawa Tengah. Meniti karirnya sebagai penulis cerpen remaja di berbagai majalah remaja nasional, ia beranjak berkembang sebagai wartawan freelance di beberapa koran ibukota dan menjadi wartawan majalah GADIS pada akhir tahun '80-an. Tidak lama kemudian, bersama Bens Leo, ia bergabung sebagai wartawan di majalah Anita Cemerlang, dan menerima predikat sebagai wartawan nonfiksi terbaik versi poling pembaca Anita Cemerlang pada tahun 1994. Ia diangkat sebagai redaktur pelaksana pada tahun 1996, dan pemimpin redaksi pada tahun 1998. Kini ia menerbitakan majalah musik M&G.
Bidadari Yang Menghilang

Elisa begitu aku memanggilnya,gadis manis elok nan rupawan.Buatku dia adalah sesosok malaikat kecil,Sang Bidadari yang sanggup terangkan kegelapan dan kini ia tlah menjadi penerang untuk jalanku yang tadinya sedikit tanpa araH.

Ini kisahku....
Seperti kebiasaan orang mengisi waktu paginya dengan seteguk Teh hangat atau secangkir kopi pahit dengan sedikit cemilan.Ahhh... tapi rasanya semua itu belum lengkap tanpa membaca kabar berita hari ini.
Masih saja ku tunggui langganan tukang koran yang selalu rajin menghantarkannya ke rumahku.
Akhirnya tak berselang lama datang juga yang kutunggu-tunggu.Belum sampai depan teras sudah ku sambut dengan sedikit kata berbau emosi..
"Bang,ko datangnya telat sih?"
maaf mas,agak telat datangnya,soalnya tadi msih nungguin bos. sedikit pembelaannya yang terlontar dari mulut Tukang koran tersebut.Pikirku masa bodo lah,yang penting aku masih bisa menyempatkan diri membaca kabar berita hari ini sebelum mengawali aktifitas perkuliahanku yang Padat.Hari itu nampak lain,kulihat kabar berita tak satupun membuat pikiranku tertarik untuk sedikit saja membacanya,terlihat basi dan biasa saja.Ku buka lembar demi lembar,sampai akhirnya aku melihat sebuah rubrik yang membuatku sedikit tertarik.yah sebuah rubrik Halaman biro jodoh..sebenarnya aku paling anti dengan publikasi nomor handphone secara terang-terangan,tapi mau gimana lagi,itu syarat utama yang harus di penuhi dalam rubrik tersebut jika ingin mencari pasangan.

Mungkin rasa jenuh setelah putus dengan pacarku terdahulu,membuat kelakuanku sedikit terlihat aneh,termasuk keisenganku mencantumkan nama,nomor handphone beserta kegiatan atau aktifitasku saat ini pada sebuah koran harian tersebut.Satu dua hari aku belum melihat reaksi apa-apa.Handphoneku masih sunyi dari panggilan masuk orang-orang yang tak kukenal.Sampai pada hari ketiga saat aku masih memejamkan mata ini,terdengar beberapa kali nyaring bunyi ringthone dari arah handphoneku yang kutaruh disamping tempat tidurku terasa memekik telinga.Masih sedikit malas mengangkat telephone karena jiwa yang terasa belum menyatu dengan raga,rupanya ngantuk masih saja membuatku malas untuk beranjak dari tempat tidurku.

Tetapi perlahan aku mulai mengarahkan tanganku,mengambil Handphone yang kutaruh di samping tempat tidurku..

"Ahhh siapa sih pagi-pagi udah nelfon"

gerutu aku dalam hati kecilku.

Halo bisa bicara dengan Andra...???terdengar suara yang begitu halus,bayangan yang terlintas di benakku adalah sesosok cewek cantik,nan lembut.Sedikit aku tercengang dan mengira itu adalah telfon nyasar alias salah sambung.Tapi tak lama kemudian aku menjawab dengan nada lirih "ini siapa yah....???"

tanpa menunggu lama gadis itu merespon pertanyaanku" Nama aku Elisa,kamu Andra yah..?? boleh kenalan ga? aku dapet nomor kamu dari koran,waktu aku iseng baca-baca berita barusan,aku test eh ternyata nyambung juga."Dari situ barulah ku tersadar,mataku langsung terbelalak dan tanpa rasa ngantuk lagi ku ladeni percakapanya.

Pikirku toh niat baiknya untuk sekedar berkenalan saja masa harus ku tolak.Setelah lama ngobrol ngalor-ngidul dan saling memperkenalkan diri,aku merasa sedikit dekat dengannya,mungkin karena pembawaan gadis itu yang begitu ceria,bersahabat dan nyambung.

Setelah 2 sampai 3 kali aku berhubungan melalui telefon,kamipun  memutuskan untuk ketemuan di suatu tempat.Memang waktu itu aku tidak berani ketemu dengannya sendirian,lalu akupun memutuskan untuk mengajak 2 orang sahabatku.saat dia menegurku aku kaget,karena kulihat sosok gadis yang begitu terlihat menarik.aku langsung suka pada awal pandangan pertama.Namun saat yang kulihat pertama kali kekecewaan terlintas di raut wajahnya,aku sedikit paham,mungkin karena aku datang tidak sendirian,sehingga suasananyapun jadi agak berbeda.tapi tak lama aku langsung meminta maaf,beruntunglah ia seorang gadis yang sangat pengertian jadi semuanya tak di permasalahkan
Waktu terasa berjalan begitu cepat,tanpa terasa hari sudah menjelang sore,akhirnya kusudahi pertemuan ini,toh besok atau lusa masih ada waktu untuk berjumpa kembali.sesampainya di rumah aku tak lupa menghubungiya dan menanyakan apakah dia sampai dirumah dengan selamat, sedikit lega karena ternyata ia sudah sampai di rumah sebelum aku sampai duluan.Setelah itu aku sempat menjadi pendengar yang baik lewat telephone genggamku ketika di melakukan pembicaraan yang agak serius,rupanya dia ingin berterus terang jika ia ternyata menyimpan perasaan yang begitu spesial kepadaku.setelah mendengar langsung dari bibir tipisnya bahwa ia ternyata menyukaiku,ekspresi senang tanpa sadar menyelimutiku..dengan girangnya ku meloncat.... yah... gayung pun bersambut" tetapi tak lama kemudian aku kaget bukan main,ternyata di akhir pengucapanya ia mengungkapkan kejujuranya bahwa ia sudah mempunyai belahan jiwa yang lain.semenjak itu aku jadi tak berharap banyak kepadanya.

Sampai suatu ketika ia mengajakku untuk bertemu,rupanya pertemuan itu dilandasi dengan sebuah akar permasalahan yang sedang terjadi antara dirinya dan pacarnya.Aneh,,, dia mengajakku bertemu di tempat yang tidak biasa,malam itu di suatu cluub atau discotique,aku bersama kedua sahabatku pergi ke sana.Rupanya dia sedang ada masalah yang berat sehingga ia memutuskan untuk melakukan pertemuan dennganku di sebuah Cluub malam."kamu aneh...!! kenapa kita mesti ketemu di tempat seperti ini sih?"

Aku lagi stres nih,cowok aku brengsek,,," itulah sedikit kata yg terucap dari mulutnya,tetapi aku tidak mau bertanya lebih,karena pikirku aku tak mau mencampuri urusannya.Aku mengira kalau dia adalah perempuan glamour,dan suka dengan minuman penghangat,tak lama kemudian aku memangil Waitress untuk memesan sedikit minuman penghangat.Tetapi ia menolak,aku tidak biasa minum alkohol,aku minta orange juice aja" katanya.
Baiklah akan segera ku pesan untukmu.tak lama kemudian akupun memesan 1 orange juice dan 2 botol bear.
Setelah itu Aku bersama dia dan kedua temanku ikut Larut dalam suasana cluub yang semakin malam semakin panas.

tak lama berselang ia kemudian menggandeng kedua lengankku dan mengajakku ke tengah untuk joget,sampai aku betul2 nervous saat ia spontan memelukku seraya berbisik,

"Aku adalah aku,aku tak bisa menjadi seperti dirimu,aku bukan  bagian dari dirimu,tetapi hari ini ijinkan aku menghuni relung hatimu yang kosong.Diandra,,Hari kemarin adalah masa laluku jika hari ini aku dekat denganmu itu merupakan hal yang indah buatku,dan jika aku bisa mencintaimu kelak dengan sepotong hati ini yang dalam keadaan terluka,maafkan aku karena tak sempat engkau memiliki kepingan hati ini dalam keadaan sempurna.namun jika engkau mau menerimanya adalah sebuah anugerah yang besar.Dalam keadaan tersayat kutitipkan sekeping hati kepadamu dengan harapan engkau bisa mengobati luka lamaku.Aku percaya kepadamu,karena aku percaya dengan naluriku.
Hari kemarin aku mulai mengagumimu dan hari ini aku belajar mencintaimu.Harapanku hanya satu,janganlah engkau seperti masa laluku yang penuh dengan kedustaan".

Kemudian kutatap wajahnya,aku melihat goresan luka yang begitu mendalam tersirat dari wajahnya,tetesan air mata itu sudah cukup membuatku yakin,bahwa ia teramat sangat kecewa dengan masa lalunya,dengan kekasih hatinya itu

Ku rangkul pundaknya,perlahan ku usap air matanya,saat itu aku tak peduli dengan suara musik DJ yang memecah telinga aku tak memperhatikan seelilingku,bahkan aku menganggap yang ada hanyalah aku denganya tanpa ada seorangpun di sekelilingku.

"Elisa... Kemarin adalah sebuah kenangan,engkau harus bangun dengan semangatmu hari ini,dan hidup untuk hari esok.Kita tidak akan pernah tau akan arti dari sebuah perjuangan tanpa adanya kegagalan.Kita tak akan pernah mengerti Makna hidup ini tanpa kegagalan,dan tak akan menjadi lebih bijak tanpa menemukan kegagalan.Hari ini engkau titipkan hatimu di relung jiwaku,dalam keadaan luka parah.Aku tak tau apakah aku mapu,untuk mengobati luka-lukamu itu, tetapi aku kan berusaha seampu aku bisa.Aku berjanji,kan ku kembangkan sayap putihmu untuk bisa kau kepakkan kembali.Suatu saat kau bisa ajak aku untuk terbang ke nirwana cintamu.Syorga tempat kita bernaung.Pada langit ku kanfaskan namamu,pada udara ku alirkan energi Cinta kita.agar dunia tau bahwa engkau adalah permaisuriku.
Akupun mencintaimu,walaupun hari kemarin aku tak ingin berharap banyak pada cintaku kepadamu yang sudah berpunya..Namun hari ini aku yakin,Tuhan anugerahkan kepada kita sebuah cinta,untuk kita jaga,kita bina dan kita pelihara.

Aku bukanlah masa lalumu, aku adalah masa depanmu,karena aku tak pernah punya kenangan indah bersamamu,apalagi kenangan pahit dan tak pernah terlintas dalam benakku akan menjadi seperti masa lalumu.
Aku tak sama dengan dirinya,aku tak sama dengan masa lalunya.Aku lahir dari kemiskinan cinta,Aku hidup dengan kekrisisan kasih sayang.Namun aku tak pernah mengemis cinta,jika hari ini aku ditakdikan untuk itu,maka aku hanya akan mengemis cinta untuk saat ini saja dan hanya kepadamu.
Aku adalah masa depan yang kau percayakan.Aku kan menjadi payung dalam goresan luka lamamu,kan ku obati sebisa aku mampu.kan ku satukan kepingan hatimu yang retak oleh masa lalumu.

"Diandra.terimakasih atas apa yang kau ungkapkan,dan kuyakin  tuturmu itu keluar dari lubuk hatimu yang paling dalam,hari ini lukaku sedikit terobati,dan ku yakin esok kan kembali seperti semula".

Source: http://www.kjls.co.cc


Dayani melempar pandang keluar. Gadis itu mencoba menikmati jarum-jarum hujan yang terjatuh dan menikam bunga-bunga yang tumbuh di halaman. Terkadang hujan-hujan itu tidak jatuh lurus karena angin yang bertiup kencang. Hujan itu seperti menari. Dan bunga-bunga ikut menari. Seirama dengan tarian hujan.
Dayani menghela nafas. Kedua tangan berpeluk di dada. Ia sangat suka hujan. Hujan di sini, mengingatkan ia akan hujan di rumah.
Di rumah, setiap hujan, ia selalu berdiri di depan jendela kamar. Menikmati hujan yang menari di luar. Entahlah, hujan selalu mendatangkan kedamaian baginya. Terkadang, saat hujan seperti itu imajinasinya juga jadi berkembang liar.
Ia membayangkan, betapa romantisnya jika ia ikut menari bersama hujan. Tidak sendirian. Juga ada lelaki yang menemani. Mereka menari bersama. Bersama hujan. Di bawah hujan. Hujan yang menari.
Atau terkadang ia membayangkan, saat hujan menari, ia sedang bersama seorang lelaki dalam sebuah ruangan. Ruangan kecil saja. Hanya berdua. Sambil berpelukan mereka akan menatap hujan. Hujan yang menari. Lelah menatap hujan, ia akan menyandarkan kepala di bahu sang lelaki. Lelaki yang berbahu kokoh tentu saja.
Iseng tangannya akan merambah pada jurang yang ada di dada sang lelaki. Pada jurang itu harus tumbuh rumput liar. Boleh meranggas atau tersusun rapi. Terserah saja. Dayani menyukai keduanya.
Setelahnya mereka akan terbakar. Terbakar oleh nafsu dan hasrat. Mereka bergumul. Melepas dan dilepas. Menghujam dan dihujam. Mereka menari. Untuk menuntaskan semuanya.
Petir menyambar. Dayani tersentak. Tapi bukan karena suara petir itu. Ia tersentak karena sebuah tangan mendarat pada bahunya.
"Ada apa, Sayang?"
Dayani menoleh. Lantas tersenyum lembut dan menggeleng.
"Kau masih memikirkan telepon dari ayahmu?"
"Tidak."
"Lantas?"
"Aku sedang menikmati hujan."
"Terkadang aku lupa, kau seorang penikmat hujan."
"Hujan ini mengingatkan aku tentang hujan di rumah."
"Kau akan pulang?"
"Tidak."
"Pulanglah."
"Apakah harus?"
"Ayahmu merindukanmu. Ia ingin bertemu. Mungkin yang terakhir."
"Dulu ia mengusirku."
"Sudah ia sesali."
"Aku terlanjur sakit hati."
"Maafkan ia."
"Tidak bisa."
"Kenapa tidak bisa?"
Dayani menghela nafas. Membuang pandang pada bunga-bunga dan hujan yang masih menari, di luar. Tidak bisa ia jawab tanya itu. Karena sesungguhnya ia bukan hanya sakit hati. Ia juga kecewa, Ayah tidak mau menerima dia sebagai anak lengkap dengan segala kekurangannya. Hanya satu hal yang Dayani inginkan dari Ayah. Biarkan Dayani menjadi sosok yang Dayani inginkan.
Impiannya semasa remaja menjadi nyata sekarang. Sudah ia temukan lelaki itu. Lelaki yang mau menari bersamanya. Tidak saja di bawah hujan atau di dalam sebuah ruangan kecil. Tetapi lelaki itu juga berkenan memberi segala padanya.
Lelaki itu berada di sampingnya sekarang.
Rafael.
***
Dulu sekali. Beberapa tahun yang lampau.
Baru saja Dayanii membuka pintu depan, Ayah berdiri di hadapannya. Wajah Ayah menegang. Nafasnya tidak teratur. Tangan kanan Ayah terangkat, mengacungkan banyak DVD dan beberapa buah majalah yang tak pantas dikomsumsi.
"Apa ini?"
"Ayah tidak berhak masuk ke kamarku dan mengobrak-abrik barang pribadiku."
"Jadi ini barang pribadimu?"
"Tentu saja. Semua yang berada di kamarku, adalah barang pribadiku."
"Anak edan kau!" Ayah mengumpat. Muka Ayah memerah. Bibirnya sampai bergetar karena emosi.
Mereka bertengkar. Adu mulut. Ibu hanya bisa menangis. Di sofa sudut. Mungkin Ibu merasa berdosa, gagal dan tidak berharga. Ibu hanya bisa melahirkan satu anak. Tapi tidak bisa menjaga juga mengawasi.
Ayah mengusirnya. Malu punya anak seperti Dayani. Ia haramkan Dayani. Selamanya. Sampai ke liang kubur.
Sedang Ibu hanya menatap dengan aliran sungai deras di pipinya yang mengeriput. Di ambang pintu, Dayani menatap Ibu. Lama mereka bertatapan. Meski tanpa kata Dayani mengerti. Ibu menyalahkan Dayani, tapi Ibu juga ingin Dayani bertahan di rumah.
Dayani pergi. Tanpa pamit pada Ibu.
***
Telepon di malam hari. Saat sepi tengah merayap. Rafael terbangun. Di sampingnya Dayani lelap. Dengkurannya halus mampir di telinga Rafael.
Rafael keluar dari kamar untuk mengangkat telepon yang berdering itu. Hatinya bergetar. Dering telepon di waktu yang tidak wajar membuat pikiran tidak tenang.
"Halo!"
"Selamat malam! Bisa bicara dengan Rafael?" Suara dari seberang sangat jauh, bergetar.
"Saya sendiri."
"Saya Bustaman. Ayah Dayani."
Dada Rafael bergetar. Nama itu sudah akrab di telinganya. Dulu, kerap Dayani menyebut nama itu.
"Bapak mau bicara sama Dayani?"
"Oh, tidak! Tidak! Bapak ingin bicara sama kamu."
"Tentang?"
"Bapak sudah tahu semuanya. Bapak dengar dari sepupu Dayani."
"Maafkan saya, Pak!"
Suara dari seberang tertawa. Meski kering, tapi Rafael tahu tawa itu tulus.
"Kau mencintai Dayani?"
"Sangat."
"Bahagiakan dia."
"Semampu saya, Pak."
Helaan nafas di seberang terdengar berat. Mungkin pengaruh dari penyakitnya.
"Tolong, bujuk dia untuk pulang. Menjenguk saya. Sesaat saja."
"Akan saya usahakan."
"Sampaikan permintaan maaf saya. Saya sesali semuanya. Saya terlalu egois. Semua yang terjadi padanya, karena kesalahan saya. Saya terlalu keras padanya."
"Bapak jangan merasa bersalah. Itulah takdirnya. Jalan yang ia kehendaki."
"Sesungguhnya saya mencintainya."
"Saya tahu."
"Saya merindukannya. Lebih sepuluh tahun."
"Akan saya bujuk dia untuk pulang."
"Bapak mohon kau mengerti. Dayani anak Bapak satu-satunya. Tidak mudah menerima semua itu dengan dada lapang. Tapi sekarang, Bapak sudah menerima semuanya."
"Saya mengerti, Pak!"
"Syukurlah."
"Sebaiknya, Bapak bicara saja sama Dayani. Akan saya bangunkan dia."
"Tidak usah. Bapak tidak mau mengganggu tidurnya. Sampaikan saja pesan Bapak."
"Baiklah."
Percakapan berakhir. Telepon ditutup. Ia senang bisa berbicara dengan lelaki itu. Amanat yang dia beri amat mudah untuk Rafael laksanakan.
Pagi-pagi sekali. Rafael menyiapkan sarapan di atas meja. Segelas kopi dan setangkup roti bakar, khusus untuk Dayani.
Dayani keluar dari kamar. Rambut acakan. Wajah kuyu. Tapi sangat menarik di mata Rafael.
"Duduklah. Aku sudah siapkan sarapan untukmu."
"Terima kasih."
"Tadi malam ayahmu menelepon aku. Dia ingin kau pulang."
"Aku tidak akan pulang."
"Mungkin itu permintaan terakhirnya."
"Aku tidak perduli."
"Jangan begitu. Dia ayahmu."
Dayani menggeleng tegas.
Rafael menarik napas kecewa.
***
"Aku akan pulang."
Itu ucapan Dayani. Sehabis mereka menari. Peluh masih bercucur di tubuh. Belum ada waktu untuk menghapus. Mereka terlentang di atas ranjang. Bersisian. Tanpa busana. Sepolos bayi suci.
"Memang itu seharusnya," sahut Rafael tanpa menatap. Tanpa sentuhan. Ia senang mendengar.
"Meski saat pergi dari rumah, sudah kusumpahkan tidak akan pernah pulang. Tanpa nyawa sekalipun."
"Sumpah bukan takdir."
"Aku pulang karena kau minta. Aku mencintaimu. Kulakukan semua yang kau ingin. Selagi aku mampu."
"Kapan kau pergi?"
"Secepatnya."
Rafael tersenyum.
Dayani tersenyum.
Lagi, mereka lepas malam dengan menari. Sepanjang malam. Tanpa hujan menari di luar.
***
"Salam untuk Ayah dan Ibu. Maaf aku tidak bisa ikut. Terlalu sibuk. Bilang juga pada Ayah, aku selalu berdoa. Semoga Ayah cepat sembuh."
"Akan kusampaikan."
"Telepon aku sesampai di sana."
"Pasti."
"Pulsa akan aku isi."
"Terima kasih."
"Berapa lama kau di sana?"
"Entahlah. Tergantung suasana."
"Cepatlah kembali. Aku membutuhkanmu di sini."
Dayani tersenyum.
"Kasih kabar kalau akan pulang. Biar kujemput di bandara."
Dayani mengangguk.
Mereka berpeluk. Erat. Sekilas Rafael mencium pipi Dayani. Berat untuk melepas. Tapi harus. Bukan selamanya. Akan bertemu kembali.
"Pergilah."
Dayani masuk. Menjinjing sebuah tas kecil. Rafael berdiri di situ. Tidak beranjak sebelum ia lihat si burung besi membawa separuh jiwa dan nafasnya. Bersama Dayani.
Sebelum masuk ke mobil, Rafael mendongak ke atas. Menatap si burung besi. Ia tersenyum. Ia sudah merindu.
***
Lagi, Rafael coba menghubungi. Tidak aktif. Selalu saja. Dayani pasti sudah sampai di rumah. Ia hanya ingin menanya kabar. Selain melepas rindu.
Rafael kesal. Ia letakkan HP. Ia hidupkan televisi, meski di luar hujan menari dengan cepat.
"Pesawat X dengan nomor penerbangan Y, rute A menuju B kehilangan kontak saat berada di sekitar lautan Z. Pesawat yang membawa penumpang 124 beserta 8 awak ini bertolak dari A jam 14.30 WIB dan dijadwalkan tiba di B sekitar dua jam kemudian. Namun sampai malam ini...."
Rafael hanya bisa diam. Diam dan diam.
Di luar, hujan tetap menari. Meski tanpa kedua insan itu. © 

Source: http://www.cafenovel.com


BIODATA PENULIS
T. Sandi Situmorang, lahir di Hutaraja, Sumatera Utara, 10 Desember 1978. Cerpen pertamanya dimuat di majalah Anita Cemerlang pada tahun 1994. Lebih dari seratus cerpen telah dipublikasikan pada sejumlah media, di antaranya: Anita Cemerlang, Aneka Yess!, Kawanku, Keren Beken, Ceria Remaja, Kompas Anak, Suara Pembaruan, Teen, dan lain-lain. Bukunya yang sudah diterbitkan berjudul Cewek Matre (Penerbit Andi, 2007). Sebuah cerpennya termuat dalam Antologi Cerpen Koran Medan (Dewan Kesenian Medan, 2006), dan sebuah cerpen remajanya juga termuat dalam buku Bahasa Indonesia untuk kelas dua SMP, Penerbit Erlangga.

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.

Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”
Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.
Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.
Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.
Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.
Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.
Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.
”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.
”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.
Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.
Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.
”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.
Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *

Source: http://mahdy16.blog.friendster.com

Untuk Teman dekatku,

Minggu, 26 April 2009


By: Ello Aristhosiyoga
Aku nggak tahu, akhir-akhir ini aku kerap termangu sendiri menatap jendela tiraiku. Bentuknya unik, menarik, bergaya ghotic dengan aksen warna biru jingga (wah… warna apa pula tuh!), dipadu lagi dengan view yang tampak dari jendela, sebuah panorama yang lumayan menarik, padang rumput yang luas menghijau plus sebuah pondok yang kira-kira lima kali lebih kecil dari villa yang sedang kutempati ini.
Bukan itu saja motivasi utamaku betah berlama-lama di jendela lantai dua, namun sosok cantik dengan baju biru–yang seakan sepadan dengan warna jendela, menarik perhatianku. Meski nggak secantik Mischa Barton, atau Penelope Cruz sekalipun, namun menatapnya membuatku nyaman. Sosok itu sering hadir di taman pondok.
Nyaris dua minggu sudah aku menginjakkan kaki di villa ini, villa baru yang dibeli Mama karena berhasil menerima award dari sebuah perusahaan marketing multilevel yang diikutinya. Kebetulan liburan akhir semesterku masih tersisa, kuluangkan saja untuk nyantai di villa. Pemandangan gunung, barisan sawah, lekukan sungai, ternak, kerbau sepertinya cocok untukku. Sekaligus menjauhkan kejenuhan mataku terhadap kota yang begitu bising, penuh polusi, dan keramaian yang terkadang bagiku memuakkan.
Penasaranku makin mencuat saat aku mendapati sosoknya kembali pagi ini. Aku bergegas menuju balkon untuk melihat lebih jelas wajah sosok itu. Derit langkahku melaju dan kini berdiri tepat menghadang. Aku setengah kelimpungan mencari sosok itu yang hilang beberapa menit.
Tiga menit berlalu aku kembali melihatnya berdiri, menyandar dinding pondok. Ia duduk termangu dengan topangan dagu. Entah apa yang terjadi. Mungkin ia sedang memikirkan sesuatu. Tadi kulihat jelas ia ceria–meski itu kesimpulan pribadi, dengan lenggokan gaya yang manis.
Aku berniat untuk menyambangi pondok kecil di tengah pemandangan indah sawah. Dengan jiwa yang berapi-api aku mengatur langkah. Memakan waktu lima menit sebelum akhirnya aku menyaksikan dengan dekat keadaan pondok. Wah… lingkungan pondok yang kulihat begitu manis, ternyata sedikit nggak keurus. Mungkin jarak yang begitu jauh menyamarkan pandangan atau mungkin saja sawah, sungai dan bukit pegunungan sekitar sengaja menutupi kekurangan dari pondok ini, hingga nggak terdeteksi mataku.
Aku menggeleng heran. Saat kakiku selangkah lebih dekat ke pondok itu, nggak kudapati dirinya. Mungkin ia sudah berlalu masuk ke dalam pondok sejak tadi, aku berspekulasi. Aku memang kurang beruntung kali ini. “Aku harus bertemu dengannya,” janjiku kemudian dalam hati. Mungkin besok? Lusa? Atau sebentar… lah. Yup! benar, aku mesti lebih cepat.
***
Dua hari sejak kedatanganku itu, nggak pernah sekalipun diriku menjumpai sosoknya dari balik jendelaku. Mungkin waktu yang salah, hingga penantianku berbuah nihil. Lelah juga bila seharian terus kutunggu, mending enakan makan atau nyantai apalah…. Lagipula tinggal sehari liburanku di sini. Bertengger di balik jendela bukanlah solusi yang tepat untuk saat ini.
“Kenapa? Bengong?”
Mang Diman–penjaga Villa keluargaku, mengagetkan lamunan aku. Aku kembali menatapnya setengah kagok. Diam-diam Mang Diman memperhatikan keadaan aku akhir-akhir ini. Keseringan bengong sendiri, pasti menarik perhatian orang lain.
Jelas yang membuatku bengong nggak lain, sosok itu. Aku benar-benar nggak sabar dan mulai sigap kuungkapkan apa yang kualami dua minggu lebih ini. Mang Diman mengangguk-angguk sok ngerti saat kuceritakan semua. Ia tampak gagu mendadak saat kuceritakan bahwa aku kemarin berani mengunjungi pondok mungil itu.
“Pondok itu nggak berpenghuni lagi sejak tujuh bulan lalu. Menurut warga sini, seorang wanita pemilik pondok itu hilang begitu saja. Warga sekitar pun nggak tau kejadian yang sebenarnya,” cerita Mang Diman.
Aku terkesiap. Dan desahanku bermain fluktuasi, pantas saja sosok itu sering menghilang tiba-tiba.
“Barangkali yang kau lihat, warga sekitar yang kebetulan istirahat atau…”
Masa bodoh dengan omongan Mang Diman, sebab kini napasku makin memburu nggak karuan.

Source: http://kumcerpen.blogspot.com                                                 

Wednesday, September 14, 2005

Cerpen: M. Arman AZ

Adalah kenangan yang menghimbauku untuk menengok pohon randu itu. Letaknya menjorok sekitar sepuluh meter di sebelah kiri jalan masuk kampung. Dahan-dahannya seperti masa lalu yang merentangkan tangan. Aku tergoda untuk membelokkan langkah ke sana. Bersijingkat menyibak rimbun ilalang setinggi pinggang.

Ohoi, pohon randu, inilah dia si anak hilang. Lama sudah dia tak pulang. Sambut dan peluklah dia sepenuh kenang.

Kutelisik sisi belakang batang randu itu. Sekian tahun silam, menggunakan sebilah belati milik kakek yang kupinjam tanpa izin beliau, aku dan beberapa teman bergiliran memahat nama kami di sana. Tak ada lagi ukiran nama kami. Aku tersenyum kecut menyadari kebodohanku barusan. Bukankah pohon randu terus tumbuh seiring guliran waktu? Kuletakkan pantat di tanah yang lembab. Menyandarkan punggung di kekar batang randu. Kuhela napas haru. Aroma humus dan ilalang mengepung dari segenap penjuru.

Dari pohon yang jadi tapal batas kampung ini dengan kampung seberang, kusaksikan pagi menggeliat lagi. Ufuk timur perlahan benderang. Aku teringat selembar kartu pos bergambar sunrise yang mengintip dari balik punggung gedung-gedung pencakar langit. Seorang teman mengirimnya dari negeri yang jauh. Konon dia sekarang jadi kelasi kapal pesiar. Entah di belahan dunia mana dia kini berada. Masih ingatkah dia pada pohon randu ini? Masih ingatkah dia pada Pak Narto, guru kami dulu? Andai dia tahu beliau telah mangkat, sanggupkah dia lipat jarak dan waktu agar bisa ikut mengantar kepergiannya?

Kemarin siang, di tengah raung mesin pabrik, ponsel tuaku bergetar. Sebuah nomor asing berkedip-kedip gelisah. Aku kaget mendengar suara Ayub. Dia salah seorang sahabatku di kampung. "Pak Narto wafat!" jeritnya dari seberang sana. Sebelum mengakhiri percakapan yang tergesa-gesa, Ayub minta tolong agar kabar duka itu kusampaikan secara berantai ke teman-teman lain.
Kutimang ponsel dengan gamang. Kenangan kampung halaman begitu menyentak.
***

Aku tertegun menatap rumah Ayub. Dindingnya dari papan. Di samping kiri ada tumpukan kayu bakar. Tanaman hias memagari rumahnya. Ada kuntum kembang sepatu dan melati baru mekar. Sedap dipandang mata. Di depan rumah ada bale-bale bambu. Ruas-ruasnya sudah renggang. Kuucap salam di depan pintu yang separuh terbuka. Terdengar sahutan, langkah tergopoh, dan derit pintu yang dikuak.

"Man?!" Dia terperangah. Aku tersenyum. Sudah lama kami tak bersua. Detik itu juga, waktu seolah berhenti ketika kami saling berpelukan.

"Baru datang? Wah, pangling aku. Gemuk kau sekarang. Sudah jadi orang rupanya. Ah, sampai lupa aku. Ayo masuk." Runtun kalimatnya. Dia tepuk-tepuk dan rangkul bahuku. Aku duduk di kursi rotan ruang tamu. Tas kecil kuletakkan di lantai semen. Ayub memanggil istrinya. Dikenalkan padaku seraya minta dibuatkan dua gelas kopi.

Wajah Ayub yang sesegar pagi cepat menghapus letihku. Diam-diam kucermati sosoknya. Ia memakai kaos putih lusuh dan celana panjang hitam. Tubuhnya kekar. Kulitnya legam. Urat-urat lengannya menyembul keluar. Ketika senyum atau bicara, gigi putihnya berderet rapi. Dengan penuh keluguan ia dedahkan hidupnya kini.

Dari semua nama yang terpahat di batang randu, cuma Ayub yang masih setia pada kampung ini. Yang lainnya telah pergi menyabung nasib ke kota, ke pulau seberang, bahkan ke negeri orang. Ayub hidup dari mengurus sawah dan ladang warisan orang tua. Katanya, meski sempat diserang hama wereng, panen dua bulan lalu cukup lumayan. Hasilnya digunakan untuk menyulap tanah kosong di belakang rumah jadi empang. Dia pelihara ikan mas dan gurami untuk menambah penghasilan.

Aku ngilu waktu Ayub menyuruhku menginap di rumahnya. Tawaran itu menohok batinku. Aku tak punya apa-apa lagi di sini. Setengah windu setelah Emak menyusul Abah ke liang lahat, aku dan tiga saudaraku sepakat menjual sawah dan rumah. Kami ingin merantau. Mencari nasib yang lebih baik. Setelah hasil penjualan dibagi rata, kami pun berpencar ke penjuru mata angin.

Bagaimana menguraikan keadaanku pada Ayub? Aku cuma buruh pabrik tekstil di pulau seberang yang gaji tiap bulan ludes untuk menghidupi istri dan empat anak yang masih kecil. Bedeng kontrakan kami tak jauh dari kawasan pabrik. Berhimpitan dengan bedeng-bedeng lainnya. Lingkungannya kumuh, dikepung bacin selokan dan tempat pembuangan sampah. Kami sudah biasa antre mandi, buang hajat, atau cuci pakaian di WC umum yang ada di tiap pojok bedeng.

Ayub terpana mendengar ceritaku. Sambil terkekeh-kekeh dia menyela, "Jangankan mengalaminya, membayangkannya saja aku tak sanggup."

Menepis risau, kuraih gagang gelas. Kuseruput kopi yang dihidangkan istri Ayub. Ah, kopi yang digoreng sendiri lebih nikmat rasanya. Sambil menyulut rokok, Ayub berkata, "Kenapa tak pulang saja, Man? Beli sawah. Bertani. Meneruskan tradisi keluarga kita dulu."
Aku tercekat. Sekian lama di rantau, sekian jauh berjarak dengan kampung halaman, tak pernah terbersit di benakku untuk pulang.
***

Sepanjang jalan menuju rumah duka, kami kenang kawan-kawan lama. Maryamah, gadis lugu yang dulu pernah aku kesengsem padanya, kini jadi biduan orkes dangdut. Namanya diubah jadi Marta. Kata Ayub, jangan harap dia menengok jika dipanggil dengan nama asli. Darto, yang paling pintar di kelas kami, jadi tukang becak di kota. Sebulan sekali dia pulang menjenguk ibunya yang sakit tua. Aku kaget mendengar nasib Sumarno. Dia jadi bencong. Ngamen di gerbong-gerbong kereta. Lantas kuingat Abas. Ayub bilang, dia ketiban bulan. Hidupnya kini makmur. Mertua Abas orang kaya di kota kecamatan. Abas ditugasi mengurus koperasi. Kesempatan itu tak disia-siakan Abas. Dia pinjamkan uang pada orang-orang dengan bunga tinggi. Masih kuingat guyonan tentang Abas dulu. Jika ketemu Abas dan ular sawah dalam waktu bersamaan, lebih baik bunuh Abas duluan, sebab culasnya melebihi ular. Dan si Ahmad, anak pendiam dan alim itu, sekarang nyantri di sebuah pesantren di Madura.

Ah, waktu telah mengubah segalanya. Kisah teman-teman lama membuatku takjub, heran, campur sedih. Hingga tak terasa tempat yang kami tuju sudah di depan mata. Usai berdoa di sisi almarhum Pak Narto, kami beringsut keluar dari ruang tamu. Duduk di seberang jalan dekat batang bambu yang dihiasi kain kuning. Makin tinggi matahari, makin banyak pelayat datang. Aku termangu menatap rumah duka itu. Ada tarup besar memayungi halaman. Kursi-kursi plastik penuh terisi. Dari bisik-bisik yang kudengar, Marta yang membayar sewa tarup dan kursi itu. Dia tak bisa datang melayat.

Dulu warga kampung ini hidup penuh harmoni dan bersahaja. Meski tak ada hubungan darah, kami merasa selayaknya saudara. Kehidupan yang lambat laun sekeras batulah yang memaksa kami untuk memilih. Merantau jadi pilihan kami, anak-anak muda kala itu.

Sejauh-jauh terbang, warga kampung ini pasti mudik setiap lebaran. Cuma aku yang jarang pulang semenjak tak ada lagi yang tersisa di sini. Begitu juga jika ada yang meninggal, Kami yang di rantau pasti dikabari. Tapi, entah kenapa, sampai jenazah Pak Narto berkalang tanah di pemakaman umum di pojok kampung, hanya segelintir teman yang kutemui. Apakah sosok lelaki kurus jangkung dan ramah itu telah lesap dari ingatan mereka? Apakah rutinitas membuat mereka tak sempat lagi untuk sekedar menengok masa silam?
***

Hari kedua di kampung. Ayub mengajakku ke sawah. Pematang-pematang itu sudah tak sabar menunggu jejakmu, guraunya. Di jalan, kami berpapasan dengan warga yang hendak ke sawah atau ladang. Ada yang jalan kaki sambil menenteng pacul di bahu. Ada yang menggoes sepeda. Aku terharu. Mereka masih mengingatku dan meluangkan waktu sejenak untuk mengobrol.

Justru generasi muda kampung ini yang membuatku jengah. Beberapa kali kulihat mereka memacu sepeda motor sesuka hati. Ngebut di jalan tanah berbatu. Meninggalkan debu panjang di depan mataku.

Sawah Ayub beberapa puluh meter di depan sana, dekat rimbunan pohon pisang. Ketika masih ngungun menatap hamparan permadani hijau itu, Ayub mengajakku turun. Kapan terakhir kali aku meniti pematang? Alangkah jauh masa itu kutinggalkan.

Ayub melenggang tanpa kuatir tergelincir ke lumpur sawah. Aku jauh tertinggal di belakangnya. Melangkah tersendat-sendat sambil merentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan.
Lir ilir, lir ilir. Tandure wis semilir. Tak ijo royo-royo. Tak sengguh temanten anyar...

Hawa dingin meniup tengkukku ketika mendengar tembang gubahan Sunan Bonang itu. Sempat terbersit untuk mengikuti Ayub berdendang sepanjang pematang. Namun, entah kenapa, bibirku terasa kelu.

Dari huma beratap rumbia, kusaksikan Ayub berkubang di tengah sawah. Batang-batang padi meliuk. Menimbulkan suara gemerisik ketika saling bergesekan. Sepasang kepodang terbang melayang di keluasan langit. Suara serunai terdengar sayu-sayup sampai. Entah siapa peniupnya. Mendengarnya, aku seakan terhisap dan sesat dalam masa lalu.

Kami pulang menjelang petang. Memutari jalan kampung. Meski lebih jauh jaraknya, tapi aku tak keberatan. Kami mau ke sungai tempat dulu biasa berenang. Sesampainya di sana, hati-hati kami turuni tebing penuh lumut. Aku rindu membasuh muka dengan air sungai. Kutangkupkan kedua telapak tangan lalu kucelupkan ke dalam air. Ayub terkekeh-kekeh melihat kelakuanku yang mirip anak kecil. Setelah segar kami pulang. Baru beberapa puluh langkah menyusuri jalan sunyi, tiba-tiba Ayub mencekal bahuku. Tangannya menuding rimbun ilalang yang bergerak-gerak mencurigakan. Aku ingat, Ayub pernah membidik burung dengan ketapel. Bidikannya paling jitu di antara kami. Burung itu jatuh dari dahan pohon. Menggelepar di semak-semak. Kami mengendap-endap. Alangkah kaget kami memergoki pemandangan itu. Ada sepasang remaja tanggung sedang asyik bercumbu.

Ayub menghardik mereka. Aku terpana. Merasa tertangkap basah, wajah keduanya pucat dan merah padam. Mereka buru-buru membenahi pakaian lalu setengah berlari menuju tempat motor diparkir. Kami kembali melanjutkan langkah. Wajah Ayub kaku. Sepanjang jalan dia bersungut-sungut memaki kelakuan dua anak tadi.
***

Harum bunga kopi merayap dibawa angin. Bintang bertaburan di langit lama. Suara jangkerik dan kodok jadi musik alam. Aku serasa sedang berada di sorga.
"Kampung kita sudah berubah, Man," kata Ayub sambil menatap cahaya kunang-kunang yang timbul tenggelam di rimbun ilalang.

"Ya, aku seperti orang asing di sini," suaraku gamang.
"Semua teman kita pergi merantau. Jadi TKI, babu, atau buruh sepertimu. Tetua kampung meninggal satu-satu. Apalagi sejak teknologi modern menyerbu. Kampung kita makin kehilangan jati dirinya. Asal kau tahu, apa yang kau lihat di tepi sungai tadi belum seberapa..."

Kalimat Ayub terakhir membuatku risau. Aku enggan bertutur lebih banyak. Aku harus tahu diri. Setelah memilih jadi manusia urban, aku tak punya kuasa apa-apa lagi di sini.
***

Izin cuti empat hari telah usai. Takziah tiga malam berturut-turut di rumah almarhum Pak Narto telah kuikuti. Aku harus pulang pagi ini. Rindu kampung halaman telah kutebus dengan hal-hal menyakitkan. Tapi biarlah kutelan dalam hati saja.

Dengan motor tuanya, Ayub mengantarku ke pasar di kampung sebelah. Di sana ada angkutan pedesaan yang trayeknya sampai ke terminal kota. Dari terminal itu aku akan menyambung perjalanan ke pulau seberang.

Persis ketika kami lewati pohon randu itu, lagi-lagi Ayub mengimbauku agar pulang saja. Sebenarnya tak ada lagi yang ingin kukatakan. Namun sekedar menghibur diri, kukatakan pada Ayub bahwa aku punya mimpi yang sederhana. Satu saat nanti, jika ada uang, aku mau pulang. Membeli sawah. Bertani sambil beternak puyuh dan itik. Makan dari hasil keringat sendiri. Hidup tenteram bersama anak istri.

Ayub berjanji kelak akan menagih mimpiku. Sementara aku membayangkan omong kosong yang baru saja kuucapkan, cuma bisa tersenyum giris...***

Source: http://kumpulan-cerpen.blogspot.com